Amandemen Ketiga UUD 1945, dalam Pasal 1 ayat (3) Bab I, ditegaskan bahwa
“Negara
(machtstaat), dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3)
Amandemen ketiga UUD 1945, 3 (tiga) prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara
yaitu supremasi hukum; persamaan kedudukan di hadapan hukum; dan penegakan hukum
dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Peraturan perundang-undangan yang baik akan membatasi, mengatur dan sekaligus
memperkuat hak warga negara. Pelaksanaan hukum yang transparan dan terbuka di satu sisi
dapat menekan dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh tindakan warga negara sekaligus
juga meningkatkan dampak positif dari aktivitas warga negara. Dengan demikian hukum pada
dasarnya memastikan munculnya aspek-aspek positif dari kemanusiaan dan menghambat aspek
negatif dari kemanusiaan. Penerapan hukum yang ditaati dan diikuti akan menciptakan
ketertiban dan memaksimalkan ekspresi potensi masyarakat.
Dengan demikian, penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak bagi
upaya-upaya penciptaan masyarakat yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan
ketertiban diwujudkan, maka kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang rukun
akan dapat terwujud. Ketiadaan penegakan hukum dan ketertiban akan menghambat
pencapaian masyarakat yang berusaha dan bekerja dengan baik untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Hal tersebut menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara damai, adil dan
sejahtera. Untuk itu perbaikan pada aspek keadilan akan memudahkan pencapaian
kesejahteraan dan kedamaian.
A. PERMASALAHAN
Permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum pada dasarnya meliputi
substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
1. SUBSTANSI HUKUM
Tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan Perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan yang ada masih banyak yang tumpang tindih, inkonsisten dan
bertentangan antara peraturan yang sederajat satu dengan lainnya, antara peraturan tingkat
pusat dan daerah, dan antara peraturan yang lebih rendah dengan peraturan di atasnya.
Inventarisasi yang dilakukan oleh Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah menemukan
hanya 14,8 persen, dari sebanyak 709 Perda yang diteliti, secara umum tidak bermasalah.
Sisanya, sebesar 85,2 persen perda yang dibuat oleh 134 daerah kabupaten/kota merupakan
Bagian III.7 - 2
Perda-perda yang bermasalah. Masalah terbesar pada berbgai peraturan daerah yang
bermasalah tersebut antara lain terkait dengan prosedur, standar waktu, biaya, tarif, dan lainnya
dengan persentase sebesar 22,7 persen, dan permasalahan acuan yuridis yang tidak disesuaikan
dengan peraturan perundang-undangan tingkat pusat dengan persentase sebesar 15,7 persen.
Sementara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat dua undang-undang yang
dijadikan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yaitu Undang-
Undang No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan daerah. Disamping itu terhadap Undang-uUndang Nomor 37 Tahun 2000
tentang Pelabuhan Bebas Sabang belum ada peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan
Pemerintah. Keadaan seperti itu memerlukan usaha singkronisasi dan harmonisasi peraturan
perundang-undangan agar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan berjalan dengan
baik.
Perumusan peraturan perundang-undangan yang kurang jelas mengakibatkan sulitnya
pelaksanaannya di lapangan atau menimbulkan banyak interpretasi yang mengakibatkan
terjadinya inkonsistensi. Seringkali isi peraturan perundang-undangan tidak mencerminkan
keseimbangan antara hak dan kewajiban dari obyek yang diatur, keseimbangan antara hak
individual dan hak sosial, atau tidak mempertimbangkan pluralisme dalam berbagai hal.
Implementasi undang-undang terhambat peraturan pelaksanaannya. Pada asasnya,
undang-undang yang baik adalah undang-undang yang langsung dapat diimplementasikan dan
tidak memerlukan peraturan pelaksanaan lebih lanjut. Akan tetapi kebiasaan untuk menunggu
peraturan pelaksanaan menjadi penghambat operasionalisasi peraturan perundang-undangan.
Berbagai undang-undang yang dibentuk dalam rangka reformasi banyak yang tidak dapat
dilaksanakan secara efektif. Penyebab utamanya antara lain tidak dibuatkan dengan segera berbagai
peraturan pelaksanaan yang diperintahkan oleh undang-undang yang bersangkutan. Menurut data
yang dihimpun oleh Bappenas, pada tahun 1998-2004, dari sejumlah 383 peraturan pemerintah
yang diamanatkan oleh 211 undang-undang, hanya 60 peraturan pemerintah yang berhasil
diselesaikan. Ini berarti hanya mencapai 15 persen dari keseluruhan peraturan pemerintah yang
diamanatkan. Kondisi demikian berpengaruh pada penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
pembangunan daerah.
Tidak adanya perjanjian ekstradisi dan Mutual Legal Assistance (MLA) atau
Bantuan Hukum Timbal Balik antara pemerintah dengan negara yang berpotensi
sebagai tempat pelarian khususnya pelaku tindak pidana korupsi dan pelaku tindak
pidana lainnya. Masalah ini sangat menghambat proses penyidikan terutama kasus-kasus
korupsi besar, sehingga mengganggu percepatan proses penyelesaian di peradilan dan
pengembalian hasil korupsi kepada negara. Di samping itu aturan perundang-undangan
mengenai izin pemeriksaan terhadap pejabat yang diduga terlibat korupsi;
sakit; cegah tangkal terhadap tersangka pelaku korupsi dan lain-lain belum mendukung
Bagian III.7 - 3
percepatan proses penyidikan sehingga menjadi kesempatan bagi tersangka untuk melarikan
diri ke luar negeri, menghilangkan bukti-bukti otentik, usaha melepaskan tanggungjawab
hukum dan sebagainya
2. STRUKTUR HUKUM
Kurangnya independensi kelembagaan hukum, terutama lembaga-lembaga penegak
hukum sehingga membawa akibat besar dalam sistem penegakan hukum. Intervensi terhadap
kekuasaan kehakiman misalnya, telah mengakibatkan terjadinya partialitas dalam berbagai putusan,
walaupun hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip impartialitas dalam sistem peradilan. Akumulasi
terjadinya putusan-putusan yang meninggalkan prinsip impartialitas dalam jangka panjang telah
berperan terhadap terjadinya degradasi kepercayaan masyarakat kepada sistem hukum maupun
hilangnya kepastian hukum.
Akuntabilitas kelembagaan hukum. Independensi dan akuntabilitas merupakan dua
sisi uang logam. Oleh karena itu independensi lembaga hukum harus disertai dengan
akuntabilitas. Namun demikian dalam praktek, pengaturan tentang akuntabilitas lembaga
hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana ia harus
bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan
pertanggungjawabannya. Hal yang demikian telah memberikan kesan tiadanya transparansi di
dalam semua proses hukum. Namun penting juga untuk disadari bahwa sistem
pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman dapat mengurangi independensi kekuasaan
kehakiman.
Sumber daya manusia di bidang hukum. Secara umum, kualitas sumber daya manusia di
bidang hukum, dari mulai para peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan sampai
tingkat pelaksana dan penegak hukum masih perlu peningkatan, termasuk dalam hal memahami dan
berperilaku responsif gender. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang hukum juga tidak
terlepas dari belum mantapnya sistem pendidikan hukum yang ada. Apalagi sistem, proses seleksi serta
kebijakan pengembangan SDM di bidang hukum yang diterapkan ternyata tidak menghasilkan SDM
yang berkualitas. Disamping itu, sinyalemen tentang kurangnya integritas dari para pelaku hukum juga
sangat memprihatinkan. Bahkan ada sementara pihak yang justru mengambil keuntungan dari situasi
yang ada. Ini semua berpengaruh besar terhadap memudarnya supremasi hukum serta semakin
menambah derajat ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.
Sistem peradilan yang tidak transparan dan terbuka. Masalah ini mengakibatkan
hukum belum sepenuhnya memihak pada kebenaran dan keadilan karena tiadanya akses
masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan. Kondisi
tersebut juga diperlemah dengan profesionalisme dan kualitas sistem peradilan yang masih
belum memadai sehingga membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektif di dalam
proses peradilan sebagaimana dikenal dengan istilah mafia peradilan.
Bagian III.7 - 4
Pembinaan dengan sistem satu atap oleh Mahkamah Agung merupakan upaya untuk
mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman dan menciptakan putusan pengadilan yang
tidak memihak (impartial). Cetak biru (blueprint) yang dibuat dalam rangka mendukung
Mahkamah Agung untuk melaksanakan pembinaan satu atap lembaga peradilan telah dibuat
secara komprehensif. Ini dimaksudkan untuk menetapkan langkah-langkah prioritas dalam
pembenahan lembaga peradilan.
3. BUDAYA HUKUM
Timbulnya degradasi budaya hukum di lingkungan masyarakat. Gejala ini ditandai
dengan meningkatnya apatisme seiring dengan menurunnya tingkat appresiasi masyarakat baik
kepada substansi hukum maupun kepada struktur hukum yang ada. Hal ini telah tercermin dari
peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di masyarakat.
Pada tataran akar rumput, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para pelaku
kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat yang terjadi secara terus
menerus tidak seharusnya dilihat sebagai sekedar eforia yang terjadi pasca reformasi. Dibalik
itu tercermin rendahnya budaya hukum masyarakat karena kebebasan telah diartikan sebagai
“serba boleh”. Padahal hukum adalah instrumen untuk melindungi kepentingan individu dan
sosial. Sebagai akibatnya timbul ketidakpastian hukum yang tercipta melalui proses
pembenaran perilaku salah dan menyimpang atau dengan kata lain hukum hanya merupakan
instrumen pembenar bagi perilaku salah.
Menurunnya kesadaran akan hak dan kewajiban hukum masyarakat. Kesadaran
masyarakat terhadap hak dan kewajiban hukum tetap mensyaratkan antara lain tingkat
pendidikan yang memungkinkan untuk dapat memahami dan mengerti berbagai permasalahan
yang terjadi. Dua pihak berperan penting yaitu masyarakat dan kualitas aparat yang bertugas
melakukan penyebarluasan hukum dan berbagai peraturan perundang-undangan. Walaupun
tingkat pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai, namun dengan kemampuan
dan profesionalisme dalam melakukan pendekatan penyuluhan hukum ke dalam masyarakat,
pesan yang disampaikan kepada masyarakat dapat diterima secara baik dan dapat diterapkan
apabila masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan hak dan kewajiban
mereka.
B. SASARAN
Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum, sasaran yang akan dilakukan
dalam tahun 2004-2009 adalah terciptanya sistem hukum yang adil, konsekuen, dan tidak
diskriminatif; terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat
daerah dalam suatu sistem perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan
perundangan yang lebih tinggi. Terciptanya kelembagaan peradilan dan institusi penegak
hukum yang berwibawa, bersih, tidak memihak, independen, profesional dalam upaya
Bagian III.7 - 5
memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan. Terlaksananya
dengan baik fungsi sistem peradilan Syar’iyah dalam proses penegakan hukum Islam di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta berfungsinya dengan baik sistem penyelesaian
perselisihan secara adat pada kelembagaan adat gampong dengan baik sebagai suatu sistem
penyelesaian secara damai (non-litigasi).
C. ARAH KEBIJAKAN
Pembenahan sistem dan politik hukum dalam
kebijakan untuk memperbaiki substansi (materi) hukum, struktur (kelembagaan) hukum, dan
kultur (budaya) hukum, melalui upaya:
1. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan
perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan
memperhatikan berbgai prinsip hukum umum dan hirarki perundang-undangan; dan
menghormati serta memperkuat kearifan lokal atau hukum adat, dan prinsip-prinsip dan
norma syari’at Islam, guna untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui
permberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan atau pengembangan
materi hukum;
2. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui penguatan kelembagaan dengan
meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas sistem peradilan
yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan
transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum
diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; memperkuat sistem peradilan syari’at
Islam untuk mempercepat proses penegakan syari’at Islam;
3. Meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai
peraturan perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari kepala daerah dan
jajarannya dalam mematuhi dan menaati hukum serta penegakan supremasi hukum.
D. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN
Langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mendukung pembenahan sistem dan
politik hukum dijabarkan ke dalam program-program pembangunan sebagai berikut:
1. PROGRAM PERENCANAAN HUKUM
Program ini ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi dari seluruh
pelaku pembangunan khususnya di bidang hukum dalam menghadapi berbagai isu
strategis dan global yang secara cepat perlu diantipasi agar penegakan dan kepastian
hukum tetap berjalan secara berkesinambungan. Dengan program ini diharapkan akan
dihasilkan kebijakan/materi hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik pada
Bagian III.7 - 6
saat ini maupun masa mendatang, perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia serta mempunyai daya laku yang efektif dalam masyarakat secara keseluruhan.
Kegiatan-kegiatan pokok yang dilaksanakan dalam kurun waktu
mendatang meliputi:
a. Pengumpulan dan pengolahan serta penganalisaan bahan informasi hukum terutama
yang terkait dengan pelaksanaaan berbagai kegiatan perencanaan pembangunan
hukum secara keseluruhan;
b. Penyelenggaraan berbagai forum diskusi dan konsultasi publik yang melibatkan
instansi/lembaga pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk melakukan
evaluasi dan penyusunan rencana pembangunan hukum yang akan datang;
c. Penyusunan dan penyelenggaraan forum untuk menyusun prioritas rancangan
Qanun ke dalam program legislasi daerah (Prolegda) bersama Pemerintah Daerah
dan Badan Legislasi DPRD; serta
d. Penyelenggaraan berbagai forum kerjasama di bidang hukum yang terkait terutama
dengan isu-isu korupsi, terorisme, perdagangan perempuan dan anak, obat-obat
terlarang, perlindungan anak, dan lain-lain.
2. PROGRAM PEMBENTUKAN HUKUM
Program ini dimaksudkan untuk menciptakan berbagai perangkat peraturan
perundang-undangan (Qanun), yang akan menjadi landasan hukum untuk berperilaku
tertib dalam rangka menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pembentukan Qanun atau peraturan lainnya dilakukan melalui proses yang
benar dengan memperhatikan tertib perundang-undangan serta asas umum peraturan
perundang-undangan yang baik.
Dengan program ini diharapkan tersedia berbagai peraturan perundangundangan
(Qanun) dalam rangka pembentukan norma untuk mengatur perilaku individu
dan lembaga serta penyelesaian sengketa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi:
a. Pelaksanaan berbagai pengkajian hukum dengan mendasarkan pada norma hukum
yang berlaku, baik dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis yang terkait
dengan issu hukum, hak asasi manusia dan peradilan;
b. Pelaksanaan berbagai penelitian hukum untuk dapat lebih memahami kenyataan yang ada
dalam masyarakat dalam rangka pembentukan norma peraturan perundang-undangan;
c. Harmonisasi di bidang hukum (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis) terutama
singkronisasi dan harmonisasi norma sesuai dengan hirarkhi peraturan perundangundangan,
yang mempunyai implikasi menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat;
d. Penyusunan berbagai naskah akademis sebagai tindakan awal dari perancangan suatu
Qanun, sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
Bagian III.7 - 7
e. Penyelenggaraan berbagai konsultasi publik terhadap hasil pengkajian dan
penelitian sebagai bagian dari proses pelibatan masyarakat dalam proses
penyusunan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
f. Penyempurnaan dan perubahan dan pembaruan berbagai peraturan perundangundangan
yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan, serta yang masih berindikasi diskriminasi dan yang tidak memenuhi
prinsip kesetaraan dan keadilan;
g. Penyusunan dan penetapan berbagai qanun berdasarkan asas hukum umum, taat prosedur
serta sesuai dengan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
serta
h. Pemberdayaan berbagai putusan pengadilan (terutama putusan hakim Mahkamah
Syar’iyah) yang telah berkekuatan hukum tetap untuk menjadi sumber hukum bagi
para hakim termasuk para praktisi hukum dalam menangani perkara sejenis yang
diharapkan akan menjadi bahan penyempurnaan, perubahan dan pembaruan hukum
(peraturan perundang-undangan).
3. PROGRAM PENINGKATAN KINERJA LEMBAGA PERADILAN DAN
LEMBAGA PENEGAKAN HUKUM LAINNYA
Program ini ditujukan untuk memperkuat lembaga peradilan dan lembaga penegakan
hukum melalui sistem peradilan pidana terpadu (intergrated criminal justice system) yang
melibatkan antara badan peradilan (termasuk Mahkamah Syar’iyah), kepolisian, kejaksaan, dan
praktisi hukum sebagai upaya mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap
hukum dan peradilan. Dengan program ini diharapkan terwujudnya lembaga peradilan dan
lembaga penegakan hukum yang transparan, akuntabel dan berkualitas dalam bentuk putusan
pengadilan yang berpihak pada kebenaran dan rasa keadilan masyarakat.
Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan adalah
a. Peningkatan kegiatan operasional penegakan hukum dengan perhatian khusus
kepada pemberantasan korupsi, terorisme, penyalahgunaan narkoba dan
pemberantasan berbagai bentuk perjudian serta berbagai bentuk kejahatan lainnya;
b. Peningkatan forum diskusi dan pertemuan antar berbagai lembaga penegakan
hukum, lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian dan praktisi hukum sebagai usaha
penegakan hukum yang lebih transparan dan terbuka bagi masyarakat;
c. Pembenahan sistem manajemen penanganan perkara yang menjamin akses publik
pada semua institusi penegakan hukum;
d. Pengembangan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel, antara lain
pembentukan komisi pengawas kejaksaan dan komisi kepolisian di daerah;
e. Penyederhanaan sistem penegakan hukum;
Bagian III.7 - 8
f. Pembaruan konsep penegakan hukum, antara lain penyusunan konsep sistem
peradilan pidana terpadu dan penyusunan konsep pemberian bantuan hukum serta
meninjau kembali peraturan perundang-undangan tentang izin pemeriksaan
terhadap penyelenggara negara dan cegah tangkal tersangka kasus korupsi;
g. Penguatan kelembagaan, untuk pemberantasan korupsi dan memperkuat sistem
peradilan tindak pidana korupsi;
h. Memperkuat sistem peradilan syar’iyah dalam usaha mempercepat proses
penerapan syari’at Islam.
4. PROGRAM PENINGKATAN KUALITAS PROFESI HUKUM
Program ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan professional aparat
penegak hukum yang meliputi hakim, polisi, jaksa, petugas pemasyarakatan, petugas
keimigrasian, perancang peraturan perundang-undangan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS), para praktisi hukum dan lain sebagainya. Dengan program ini diharapkan
tercipta aparatur hukum yang profesional dan berkualitas serta cepat tanggap dalam
mengantisipasi berbagai permasalahan hukum dalam rangka pelaksanaan pembangunan
secara keseluruhan. Sasaran program ini adalah terciptanya lembaga peradilan dan
lembaga penegak hukum lainnya yang madiri, bebas dari pengaruh penguasa maupun
pihak lain, dengan tetap mempertahankan prinsip cepat, sederhana dan biaya ringan.
Kegiatan-pokok yang akan dilakukan meliputi:
a. Pengembangan sistem manajemen sumber daya manusia yang transparan dan
profesional dalam penegakan hukum;
b. Penyelenggaraan berbagai pendidikan dan pelatihan di bidang hukum dan hak asasi
manusia;
c. Pengawasan terhadap berbagai profesi hukum dengan penerapan secara konsisten
kode etiknya;
d. Penyelenggaraan berbagai seminar dan lokakarya di bidang hukum dan hak asasi
manusia untuk lebih meningkatkan wawasan dan pengetahuan aparatur hukum agar
lebih tanggap terhadap perkembangan yang terjadi baik pada saat ini maupun pada
masa mendatang; serta
e. Memperkuat sistem pendidikan hukum, yang lebih menguasai pengetahuan hukum
dan skill di bidang hukum.
5. PROGRAM PENINGKATAN KESADARAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Program ini ditujukan untuk menumbuhkembangkan serta meningkatkan kadar
kesadaran hukum dan hak asasi manusia masyarakat termasuk para penyelenggara
negara dan pemerinahan, agar tidak hanya mengetahui dan menyadari hak dan
kewajibannya, tetapi juga mampu berperilaku sesuai dengan kaidah hukum serta
menghormati hak asasi manusia. Dengan program tersebut diharapkan akan terwujud
Bagian III.7 - 9
penyelenggaraan negara an pemerinahan yang bersih serta memberikan penghormatan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain:
a. Pemantapan metode pengembangan dan peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi
manusia yang disusun berdasarkan pendekatan dua arah, agar masyarakat tidak hanya
dianggap sebagai objek pembangunan tetapi juga sebagai subjek pembangunan serta
benar-benar memahami dan menerapkan hak dan kewajibannya sesuai ketentuan yang
berlaku;
b. Peningkatan penggunaan media komunikasi yang lebih modern dalam rangka
pencapaian sasaran penyadaran hukum pada berbagai lapisan masyarakat;
c. Pengkayaan metode pengembangan dan peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi
manusia secara terus menerus untuk mengimbangi pluralitas sosial yang ada dalam
masyarakat maupun sebagai implikasi dari globalisasi; serta
d. Peningkatan kemampuan dan profesionalisme tenaga penyuluh tidak saja dari
kemampuan substansi hukum juga sosiologi serta perilaku masyarakat setempat,
sehingga komunikasi dalam menyampaikan materi dapat lebih tepat, dipahami dan
diterima dengan baik oleh masyarakat.
6. PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH/QANUN
Program ini bertujuan untuk mendukung upaya-upaya dalam rangka
mewujudkan peraturan daerah (Qanun) terutama untuk mensejahterkan masyarakat.
Sasaran progam ini adalah terciptanya harmonisasi dan singkronisasi berbagai peraturan
yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah:
a. Menyusun peraturan dalam bentuk Qanun, yang mengatur tentang tata cara
penyusunan berbagai peraturan yang membuka kemungkinan untuk
mengakomodasi aspirasi masyarakat dengan tetap mengakui dan menghargai
syari’at dan hukum adat;
b. Menyempurnakan mekanisme hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD
dalam rangka pembentukan Qanun;
c. Menyempurnakan berbagai peraturan yang mendukung sistim desentralisasi sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
d. Pengkajian berbagai norma hukum dalam rangka penyusunan berbagai peraturan
dalam rangka penerapan dan penegakan syari’at Islam.
7. PROGRAM PEMBINAAN, PELAYANAN DAN KESADARAN HUKUM
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kembali kesadaran dan kepatuhan
hukum, baik bagi masyarakat maupun aparat penyelenggara negara dan pemerintahan
Bagian III.7 - 10
secara keseluruhan, dan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap peran dan
fungsi aparat penegak hukum, yang diharapkan akan menciptakan budaya hukum yang
baik di semua lapisan masyarkat.
Sasaran program ini adalah semakin meningkatnya jumlah masyarakat dan aparat
penyelenggara negara yang sadar terhadap hak dan kewajibannya serta semakin
meningkatnya tingkat partisipasi masyarakat dalam berbagai proses perumusan kebijakan
pembangunan di bidang hukum.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah:
a. Melakukan pemetaan permasalahan hukum dalam rangka menerapkan materi,
metode, dan pendekatan dialogis yang tepat sasaran;
b. Menggunakan pendekatan pada nilai-nilai budaya masyarakat sebagai salah satu
sarana untuk meningkatkan kesadaran hukum;
c. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengaktualisasikan hak serta
melaksanakan kewajiban masyarakat sebagai warga negara sekaligus dalam rangka
membentuk budaya hukum bagi masyarakat dan aparat penyelenggara negara;
d. Meningkatkan penggunaan media komunikasi yang lebih moderen dalam rangka
pencapaian sasaran penyadaran hukum di berbagai lapisan masyarakat;
8. PROGRAM PENGEMBANGAN HUKUM ADAT
Program ini bertujuan untuk melaksanakan hukum-hukum adat sebagaimana
berlaku dalam masyarakat sesuai dengan daerahnya masing-masing.
Sasaran dari program ini adalah semakin meningkatnya pemahaman hukum adat
baik bagi aparat penyelenggara negara maupun masyarakat, sehingga hukum adat dapat
berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Kegiatan pokok yang dilakukan adalah :
a. Inventarisasi norma-norma hukum adat sebagai upaya reaktualisasi hukum adat
dalam berbagai kegiatan masyarakat;
b. Sosialisasi tentang usaha reaktualisasi norma hukum dalam penyelesaian berbagai
perselidihan di dalam masyarakat; dan
c. Menghidupkan (mengaktifkan) kembali lembaga-lembaga adat sebagai institusi
penyelesaian perselisihan (non-litigasi) menurut hukum adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar