Halaman

Senin, 04 Mei 2009

Teknik mencari berita

Teknik di dalam mencari berita secara antara lain sebagai berikut :
1. Observasi
Secara sederhana observasi merupakan pengamatan terhadap realitas social. Ada pengamatan langsung, ada juga pengamatan tak langsung. Seseorang disebut melakukan pengamatan langsung bila ia menyaksikan sebuah peristiwa dengan mata kepalanya sendiri. Pengamatan ini bisa dilakukan dalam waktu yang pendek dan panjang. Pendek artinya, setelah melihat sebuah peristiwa dan mencatat seperlunya, seseorang meninggalkan tempat kejadian untu menulis laporan. Misalnya: peristiwa kecelakaan lalu lintas. Sedangkan panjang berarti seseorang berada di tempat kejadian dalam waktu yang lama. Bahkan ia menulis laporan dari tempat kejadian. Contoh:peristiwa bencana alam.

Seseorang disebut melakukan pengamatan tidak langsung bila ia tidak menyaksikan peristiwa yang terjadi, melainkan mendapat keterangan dari orang lain yang menyaksikan peristiwa itu. Misalnya: peristiwa penemuan mayat suami-istri di sebuah rumah. Si Bujang mendapat informasi bahwa di jalan Melati No. 24 ditemukan mayat sepasang suami-istri. Ia bergegas ke daerah itu. Sesampai di sana, ia masih melihat epasang mayat tersebut. Kalau ia kemudian mendapatkan data tentang siapa yang meninggal dunia, kapan dan kenapa meninggal dunia, data itu merupakan hasil pengamatan tidak langsung.Pengamatan di sini tidak sama persis dengan pengamatan seorang peneliti. Seseorang peneliti melakukan pengamatan berdasarkan konsep dan hipotesis. Hasilnya, biasanya dilaporkan dengan disertai pemecahan masalah ala mereka. Sedangkan seorang pekerja pers melakukan pengamatan untuk melaporkan kejadian sebuah peristiwa apa adanya.
2. Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab antara seorang wartawan dengan narasumber untuk mendapatkan data tentang sebuah fenomena (Itule dan Anderson 1987:184). Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah:

a. Posisi narasumber dalam wawancara
Posisi narasumber dalam sebuah wawancara adalah ibarat posisi pembeli dalam sebuah transaksi dagang, yaitu sebagai ?raja?. Semua keinginan narasumber harus dipenuhi oleh wartawan. Karena itu, sebelum melakukan wawancara, wartawan harus menanyakan keinginan
narasumber. Sebelum itu, wartawan harus memperkenalkan secara langsung jati dirinya dan untuk siapa ia bekerja kepada narasumber. Tahap-tahap ini, menurut prinsip etika jurnalistik yang umum, harus ditempuh oleh setiap wartawan sebelum melakukan wawancara dengan narasumber, terlepas dari narasumber mengetahui cara kerja jurnalisme atau tidak.

Terdapat beberapa hal mendasar yang perlu ditanyakan kepada
narasumber, misalnya:

• Apakah narasumber tidak keberatan bila kalimatnya dikutip secara langsung?

• Apakah narasumber tidak berniat namanya dirahasiakan dalam sebagian hasil wawancara?

• Apakah narasumber memiliki keinginan lain yang berkaitan dengan hasil wawancara?

Bila wartawan sudah mengetahui jawaban ketiga pertanyaan ini ditambah dengan keinginan narasumber lain, maka terpulang kepada wartawan bersangkutan untuk segera memenuhinya atau bernegosiasi terlbih dahulu.

Bernegosiasi dengan narasumber bukanlah pekerjaan yang haram. Wartawan boleh bernegosiasi tidak berlangsung di bawah tekanan pihak tertentu (ada dugaan wartawan yang handal sering melakukan negosiasi dengan narasumber). Kesepakatan yang dicapai berdasarkan negosiasi, biasanya, lebih memuaskan kedua belah pihak. Terlepas dari cara pencapaian kesepakatan, kesepakatan ini perlu dicapai sebelum melakukan wawancara (tidak ada salahnya wartawan juga merekan kesepakatan yang sudah dicapai. Rekaman ini bisa dijadikan bukti bila kelak ada pihak yang protes terhadap keberadaan wawancara tersebut). Berdasarkan kesepakatan inilah seharusnya wawancara berlangsung.

Setelah wawancara selesai, wartawan perlu menanyakan kembali kepada narasumber, apakah narasumber masih setuju dengan kesepakatan yang sudah dibuat? Wartawan juga perlu meyakinkan narasumber bahwa tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari atas segala akibat kesepakatan yang sudah dibuat.

Dalam pandangan sebagian kecil wartawan, pelaksanaan tahap-tahap wawancara tersebut di atas menghambat kelancaran kerja mereka. Karena itu, mereka enggan melakukannya. Tetapi, bagi mereka yang pernah ketanggor, pelaksanaan tahap-tahap itu menjadi satu keharusan.

b. Posisi wartawan dalam wawancara
Sebagian besar individu akan merasa sangat senang bila diwawancarai wartawan. Menurut mereka, bila hasil wawancara tersebut disiarkan kepada khalayak, nama mereka juga akan dikenal khalayak. Semakin sering mereka diwawancarai wartawan, semakin populerlah mereka. Individu-individu model begini akan selalu bersikap manis kepada wartawan. Tidak heran bila wartawan berada ?di atas angin? ketika berhadapan dengan mereka.

Lalu, dimana posisi wartawan yang sebenarnya? Kedudukan wartawan adalah penjaga kepentingan umum. Para wartawan berhak mengorek informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum dari narasumber. Mereka bebas menanyakan apa saja kepada narasumber untuk menjaga kepentingan umum. Posisi inilah yang menyebabkan mereka mendapat tempat di hati khalayak. Kendati begitu, para wartawan, seperti dinyatakan oleh Jeffrey Olen, harus menghormati keberadaan narasumber. Mereka haurs mengakui bahwa narasumber adalah individu yang bisa berpikir, memiliki alasan untuk berbuat dan mempunyai keinginan-keinginan (Olen 1988:59). Akibatnya, para wartawan harus memperlakukan narasumber sebagai individu yang memiliki otonomi dan bebas mengekspresikan segala keinginannya. Kalau pada satu saat narasumber keberatan hasil wawancaraya disiarkan, maka wartawan harus menghormati keinginan ini dan tidak menyiarkannya.

Menurut para ahli, terdapat tujuh jenis wawancara, yaitu man in the street interview, casual interview, personal interview, news peg interview, telephone interview, question interview dan group interview (Itule dan Andersin 1987:207-213). Operasionalisasinya begini:

Man in the street interview
Wawancara yang dilakukan untuk mengumpulkan pendapat beberapa orang awam mengenai sebuah peristiwa, bisa menyangkut satu keadaan dan bisa pula tentang sebuah kebijaksanaan baru. Biasanya wawancara ini diperlukan setelah terjadinya sebuah peristiwa yang sangat penting.

Casual interview
Sebuah wawancara mendadak. Dalam hal ini seorang wartawan minta kesediaan seorang narasumber untuk diwawancarai. Si wartawan berbuat begitu karena ia bertemu dengan narasumber yang dianggapnya punya informasi yang perlu dilaporkan kepada khalayak.

Personal interview
Merupakan wawancara untuk mengenal pribadi seseorang yang memiliki nilai berita lebih dalam lagi. Hasilnya, biasanya berupa profil tentang orang bersangkutan. News peg interview Wawancara yang berkaitan dengan sebuah laporan tentang sebuah peristiwa yang sudah direncanakan. Wawancara inisering juga disebut information interview.

Telephone interview
Wawancara yang dilakukan lewat telepon. Ini biasanya dilakukan wartawan kepada narasumber yang sudah dikenalnya dengan baik dan untuk melengkapi sebuah berita yang sedang ditulis. Dengan perkataan lain, seorang wartawan memilih jenis wawancara memilih jenis wawancara ini karena ia dalam keadaan terdesak.

Question interview
Wawancara tertulis. Biasanya dilakukan seorang wartawan yang sudah mengalami jalan buntu. Setelah ditelepon, didatangi ke rumah dan ke kantor, si wartawan tidak bisa bertemu dengan anrasumber, maka ia memilih wawancara jenis ini.

Keuntungan wawancara ini adalah: Informasi yang diperoleh lebih jelas dan mudah dimengerti.

Kelemahannya adalah: wartawan tidak bisa mengamati sukap-sikap pribadi narasumber ketika manjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.

Group interview
Wawancara yang dilakukan terhadap beberapa orang sekaligus untuk membahas satu persoalan atau implikasi satu kebijaksanaan pemerintah. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara. Contohnya adalah acara ?Pelaku dan Peristiwa? TVRI.

Semua jenis wawancara tersebut di atas akan terlaksana dengan baik bila dipenuhi teknik-teknik berikut:

• Menggunakan daftar pertanyaan yang tersusun baik, yang sudah disiapkan lebih dulu;

• Memulai wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang ringan;

• Mengajukan pertanyaan secara langsung dan tepat;

• Tidak malu bertanya bila ada jawaban yang tidak dimengerti; dan

• Mengajukan pertanyaan tambahan berdasarkan perkembangan wawancara.

3. Konferensi Pers
Pernyataan yang disampaikan seseorang yang mewakili sebuah lembaga mengenai kegiatannya kepada para wartawan. Biasanya menyangkut citra lembaga, peristiwa yang sangat penting dan bersifat insidental. Tetapi, tidak jarang bersifat periodik, seperti konferensi pers Menteri Luar Negeri, yang berlangsung seminggu sekali. Pada setiap konferensi pers, setiap wartawan memiliki hak yang sama untuk mengajukan pertanyaan kepada orang yang memberikan konferensi pers. Umumnya, lalu lintas informasi dalam konferensi pers dilakukan lewat dialog langsung. Tetapi, ada juga konferensi pers yang menggunakan informasi tertulis yang dibagikan kepada para wartawan. Untuk melengkapi informasi tersebut, para wartawan diberi kesempatan untuk bertanya.

4. Press Release
Bisa diartikan sebagai siaran pers yang dikeluarkan oleh satu lembaga, satu organisasi atau seorang individu secara tertulis untuk para wartawan. Ia mewakili kepentingan lembaga, organisasi atau individu. Itulah sebabnya media massa cetak yang besar, seperti ?Kompas? tidak mau memuat siaran pers ini. Tidak ada keharusan bagi wartawan untuk memuat siaran pers ini. Juga tidak ada kesempatan bagi para wartawan untuk bertanya kepada pihak yang mengeluarkan siaran pers tentang siaran pers. Inilah yang membedakannya dengan konferensi pers. Tegasnya, pada press release tidak ada tanya jawab dengan wartawan dan narasumber. Sedangkan pada konferensi, ada.

sumber : http://www.beritanet.com

Wawancara

Wawancara

Wawancara sangat penting dalam dunia jurnalistik. Wawancara merupakan proses pencarian data berupa pendapat/pandangan/pengamatan seseorang yang akan digunakan sebagai salah satu bahan penulisan karya jurnalistik.

Wawancara vs reportase

Apakah wawancara sama dengan reportase? Jawabnya adalah tidak.

Reportase memiliki ruang lingkup yang jauh lebih luas dari wawancara, sedangkan wawancara adalah salah satu teknik reportase.

Jenis Wawancara

1. Man in the street interview. Untuk mengetahui pendapat umum masyarakat terhadap isu/persoalan yang akan diangkat jadi bahan berita.

2. Casual interview. Wawancara mendadak. Jenis wawancara yang dilakukan tanpa persiapan/perencanaan sebelumnya.

3. Personality interview. Wawancara terhadap figure-figur public terkenal. Atau orang yang memiliki kebiasaan/prestasi/sifat unik, yang menarik untuk diangkat sebagai bahan berita.

4. News interview. Wawancara untuk memperoleh informasi dari sumber yang mempunyai kredibilitas atau reputasi di bidangnya.

Wawancara yang Baik

Agar tugas wawancara kita dapat berhasil, maka hendaknya diperhatikan hal-hal - antara lain - sebagai berikut:

1. Lakukanlah persiapan sebelum melakukan wawancara. Persiapan tersebut menyangkut outline wawancara, penguasaan materi wawancara, pengenalan mengenai sifat/karakter/kebiasaan orang yang hendak kita wawancarai, dan sebagainya.

2. Taatilah peraturan dan norma-norma yang berlaku di tempat pelaksanaan wawancara tersebut. Sopan santun, jenis pakaian yang dikenakan, pengenalan terhadap norma/etika setempat, adalah hal-hal yang juga perlu diperhatikan agar kita dapat beradaptasi dengan lingkungan tempat pelaksanaan wawancara.

3. Jangan mendebat nara sumber. Tugas seorang pewawancara adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya dari nara sumber, bukan berdiskusi. Jika Anda tidak setuju dengan pendapatnya, biarkan saja. Jangan didebat. Kalaupun harus didebat, sampaikan dengan nada bertanya, alias jangan terkesan membantah.
Contoh yang baik: "Tetapi apakah hal seperti itu tidak berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri, Pak?"
Contoh yang lebih baik lagi: "Tetapi menurut Tuan X, hal seperti itu kan berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri. Bagaimana pendapat Bapak?"
Contoh yang tidak baik: "Tetapi hal itu kan dapat berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri, Pak."

4. Hindarilah menanyakan sesuatu yang bersifat umum, dan biasakanlah menanyakan hal-hal yang khusus. Hal ini akan sangat membantu untuk memfokuskan jawaban nara sumber.

5. Ungkapkanlah pertanyaan dengan kalimat yang sesingkat mungkin dan to the point. Selain untuk menghemat waktu, hal ini juga bertujuan agar nara sumber tidak kebingungan mencerna ucapan si pewawancara.

6. Hindari pengajuan dua pertanyaan dalam satu kali bertanya. Hal ini dapat merugikan kita sendiri, karena nara sumber biasanya cenderung untuk menjawab hanya pertanyaan terakhir yang didengarnya.

7. Pewawancara hendaknya pintar menyesuaikan diri terhadap berbagai karakter nara sumber. Untuk nara sumber yang pendiam, pewawancara hendaknya dapat melontarkan ungkapan-ungkapan pemancing yang membuat si nara sumber "buka mulut". Sedangkan untuk nara sumber yang doyan ngomong, pewawancara hendaknya bisa mengarahkan pembicaraan agar nara sumber hanya bicara mengenai hal-hal yang berhubungan dengan materi wawancara.

8. Pewawancara juga hendaknya bisa menjalin hubungan personal dengan nara sumber, dengan cara memanfaatkan waktu luang yang tersedia sebelum dan sesudah wawancara. Kedua belah pihak dapat ngobrol mengenai hal-hal yang bersifat pribadi, atau hal- hal lain yang berguna untuk mengakrabkan diri. Ini akan sangat membantu proses wawancara itu sendiri, dan juga untuk hubungan baik dengan nara sumber di waktu-waktu yang akan datang.

9. Jika kita mewawancarai seorang tokoh yang memiliki lawan ataupun musuh tertentu, bersikaplah seolah-olah kita memihaknya, walaupun sebenarnya tidak demikian. Seperti kata pepatah, "Jangan bicara tentang kucing di depan seorang pecinta anjing".

10. Bagi seorang reporter pers yang belum ternama, seperti pers kampus dan sebagainya, kendala terbesar dalam proses wawancara biasanya bukan wawancaranya itu sendiri, melainkan proses untuk menemui nara sumber. Agar kita dapat menemui nara sumber tertentu dengan sukses, diperlukan perjuangan dan kiat-kiat yang kreatif dan tanpa menyerah. Salah satu caranya adalah rajin bertanya kepada orang-orang yang dekat dengan nara sumber. Koreklah informasi sebanyak mungkin mengenai nara sumber tersebut, misalnya nomor teleponnya, alamat villanya, jam berapa saja dia ada di rumah dan di kantor, di mana dia bermain golf, dan sebagainya.

Media Cetak VS Media Elektronik
Bagaimana cara memperoleh/mengumpulkan berita? Caranya adalah melalui reportase, yang bertujuan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin data yang berhubungan dengan karya jurnalistik yang akan dibuat. Pihak yang menjadi objek reportase disebut nara sumber. Nara sumber ini bisa berupa manusia, makhluk hidup selain manusia, alam, ataupun benda-benda mati. Jika nara sumbernya berupa manusia, maka reportase tersebut bernama wawancara.

Dengan demikian, ada sedikit perbedaan antara reportase dengan wawancara. Wawancara merupakan bagian dari reportase, dan reportase tidak hanya dapat dilakukan terhadap manusia.

Namun perlu diingat bahwa wawancara untuk media cetak berbeda dengan wawancara untuk media elektronik. Wawancara untuk media elektronik biasanya dikemas semenarik mungkin. Sebelum wawancara berlangsung, seringkali dilakukan briefing antara pewawancara dan nara sumber, yang bertujuan untuk menjaga kelancaran wawancara. Hal ini dilakukan karena wawancara untuk media elektronik merupa kan "produk" tersendiri yang "dijual" kepada pemirsa/pendengar.

Sedangkan dalam media cetak, yang terpenting bagi pembaca adalah tulisan yang dibuat berdasarkan hasil reportase, sehingga proses wawancara tidaklah penting bagi mereka. Karena itu, wawancara untuk media cetak dapat berlangsung tanpa kemasan yang menarik ataupun briefing antara wartawan dengan nara sumber. Satu-satunya persiapan yang perlu dilakukan adalah persiapan wartawan itu sendiri, yang mencakup bahan wawancara dan pengetahuan umum mengenai materi wawancara. Sedangkan proses wawancaranya dapat berlangsung dalam berbagai situasi dan tempat. Bisa di kantor, di restoran sambil makan siang, lewat telepon, sambil berjalan menuju halaman parkir, sambil ngobrol, dan sebagainya. Nah, selamat mewawancara..

Teknik Wawancara dan Menulis Berita

Yang dimaksud berita dari segi pendekatan jurnalistik ialah peristiwa yang telah dimuat dalam suatu media cetak, atau disiarkan lewat radio atau televisi.

Mengapa orang membaca berita? Tentu bukan sekedar ingin mengisi waktu luang. Orang membaca berita karena ingin mengetahui perkembangan situasi lingkungan sekitarya.

Kriteria Kelayakan Berita

Apakah semua peristiwa layak dijadikan berita? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi berita, antara lain:

1. Penting. Pengesahan RUU Sisdiknas adalah penting, karena menyangkut kepentingan rakyat banyak, yang menjadi pembaca media bersangkutan. Maka layak jadi berita. Ini juga relatif tergantung dari khalayak pembaca yang dituju. Isu Amien Rais menjadi calon presiden tentu penting untuk dimuat di Harian Republika, tetapi kurang penting dimuat di Majalah Gadis, karena khalayak pembacanya berbeda.

2. Baru terjadi, bukan peristiwa lama. Peristiwa yang telah terjadi pada 10 tahun yang lalu jelas tidak bisa jadi berita.

3. Unik, bukan sesuatu yang biasa. Seorang mahasiswa yang kuliah tiap hari adalah peristiwa biasa. Tetapi jika mahasiswa berkelahi dengan dosen di dalam ruang kuliah, itu luar biasa.

4. Asas keterkenalan. Kalau mobil anda ditabrak mobil lain, tidak pantas jadi berita. Tetapi kalau mobil yang ditumpangi putri Diana ditabrak mobil lain, itu jadi berita dunia.

5. Asas kedekatan. Asas kedekatan ini bisa diukur secara geografis maupun kedekatan emosial. Banjir di Cina yang telah menghanyutkan ratusan orang, masih kalah nilai beritanya dibandingkan banjir yang melanda Jakarta, karena lebih dekat dengan kita.

6. Magnitude (dampak dari suatu peristiwa). Demonstrasi yang dilakukan oleh 10.000 mahasiswa tentu lebih besar magnitudenya dibanding demonstrasi oleh 100 mahasiswa.

7. Trend. Sesuatu bisa menjadi berita ketika menjadi kecenderungan yang meluas dimasyarakat. Misalnya, sekarang orang mudah marah dan mudah membunuh pelaku kejahatan kecil (pencuri, pencopet) dengan cara dibakar hidup-hidup.

Teknik Wawancara

Berita sebagai produk jurnalistik hanya bisa lahir dari fakta-fakta yang ada di masyarakat. Dan di balik fakta-fakta itu tentu ada aktornya. Untuk kelahiran sebuah produk jurnalistik yang sehat, jurnalis harus mampu membuat si aktor bicara. Cara efektif untuk itu, tidak ada lain, kecuali dengan jalan melakukan wawancara.

Dalam aktifitas jurnalistik, sebuah wawancara sudah barang tentu memerlukan berbagai sentuhan teknik dalam aplikasinya. Dan berbicara ikhwal teknik wawancara, tentu saja kita akan berhadapan dengan sesuatu yang dinamis bahkan progresif dan juga fleksibel. Artinya, teknik wawancara itu bukan merupakan sesuatu yang musti baku, kaku, apalagi sakral. Teknik itu berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan masyarakat. Karenanya, para jurnalis juga dituntuk untuk senantiasa memberdayakan diri sesuai tuntutan jaman.

Terpenuhinya prinsip-prinsip keberimbangan bagi sebuah berita, hanya bisa ditempuh dengan wawancara. Dan sekali lagi, hanya dengan wawancara, maka berita sebagai hasil karya jurnalistik akan memiliki daya hidup sekaligus bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, dengan wawancara, fakta-fakta dari masyarakat yang dihimpun wartawan akan terekonstruksi dengan baik.

Namun, Wartawan tidak boleh mengabaikan anatomi persoalan yang terkait dengan temuan fakta-fakta tersebut di lapangan. Dan untuk persoalan-persoalan tertentu, Wartawan wajib memetakannya. Penyiapan anatomi persoalan itu bahkan merupakan langkah awal sebelum berlangsungnya sebuah wawancara. Bermutu tidaknya sebuah wawancara, biasanya justru lebih banyak ditentukan oleh hal tersebut. Misalnya, seorang Wartawan ingin mengetahui secara detail tentang posisi, peran dan sumbangan intelektual dalam mendorong demokrasi di Indonesia, maka Wartawan harus mampu menggambarkan bagaimana kaum intelektual Indonesia mengembangkan wacana yang beragam atas wacana resmi Orde Baru di sekitar tema-tema pokok “Pembangunan”, “Dwi fungsi”, “Demokrasi Pancasila”,”Persatuan dan kesatuan” serta “Sara”. Itu yang penting !.

Dari sana akan bisa dibuat kategori-kategori intelektual Indonesia. Dan mungkin saja akan segera terpetakan adanya intelektual ortodoks, revisionis dan mungkin oposisionis. Secara demikian, setidaknya telah tercipta sarana pemahaman baru yang lebih memadai tentang intelektual Indonesia.

Untuk sampai pada pemahaman itu, seorang Wartawan harus memiliki referensi cukup tentang berbagai bidang yang diminati. Jadi, wawancara seorang jurnalis hanya akan sukses dan bermutu, manakala ia telah memiliki kesiapan seperti dimaksud. Namun, yang justru tampak rumit, adalah aktifitas di balik teknik wawancara itu.

Adapun teknik wawancara bisa dikelompokkan menjadi dua (2) bagian.

1. Teknik verbal yang betul-betul memerlukan alat bantu hard ware yang diperlukan.

2. Teknik substansial – teknik yang terkait dengan kemampuan jurnalis dari segi ketajaman nuraninya dalam menentukan pilihan tema, tempat dan saat yang tepat bagi berlangsungnya sebuah wawancara. Disini perlu adanya ketajaman analisis sosial.

Itulah pentingnya seorang Wartawan menguasai materi yang hendak diwawancarakannya terhadap narasumber. Hanya dengan cara seperti itu, ia mampu memperoleh informasi banyak dan akurat serta signifikan.

Konkritnya, beberapa hal dibawah ini bolehlah dianggap sebagai tip untuk menunjang suksesnya sebuah wawancara.

1. Wartawan harus memakai kalimat tanya yang bisa membuahkan jawaban obyektif.

2. Pertanyaan harus selalu diusahakan dengan menggunakan kalimat pendek dan mudah dimengerti.

3. Tidak boleh segan-segan mengajukan pertanyaan ulang atas hal-hal yang belum jelas untuk dimengerti.

4. Tahu momentum yang tepat. Juga tahu apa yang layak dan tidak layak untuk ditanyakan, sekaligus cara bertanya yang pas.

5. Jauhi pertanyaan yang bernada menggurui.

6. Hindari gaya interogasi.

7. Hindari pertanyaan yang sifatnya mencari legitimasi dari frame pemikiran yang sebetulnya sudah dimiliki.

8. Hindari pertanyaan yang bersifat menguji nara sumber.

9. Tumbuhkan sifat empaty dalam wawancara.

10. Untuk hal-hal yang spesifik, wartawan perlu terlebih dahulu memaparkan persoalan yang hendak dimintakan pendapat dari nara sumber.

11. Hindari kalimat tanya yang bersifat mengadu domba.

12. Buat pertanyaan yang mampu menggugah daya nalar, ingatan serta perspektif nara sumber.

Ke dua belas tips itu, mungkin akan menjadi jaminan suksesnya sebuah wawancara. Tetapi, mungkin juga takkan berguna apa-apa, jika tidak diimbangi dengan kemampuan jurnalistik individu yang mengoperasikannya. Karena itu pula, seorang jurnalis ”haram” mendatangi nara sumber dengan kepala kosong.

Persiapan Wawancara

Ada beberapa persiapan yang harus anda lakukan sebelum melakukan wawancara, diantaranya:

  1. Penentuan tema. Mengapa suatu tema harus diangkat? Kenapa harus sekarang? Pertama-tama tanyakan pada diri anda sendiri – mengapa kasus dibawakan sekarang? Dari awal harus sudah jelas peran apa yang akan anda bawakan – informasi apa yang anda mau dari narasumber, apakah perspektifnya, dimana mereka akan anda posisikan.
  2. menentukan Angle. Angle atau sudut pandang sebuah berita ini dibikin untuk membantu tulisan supaya terfokus. Kita tidak mungkin menulis seluruh laporan tentang apa yang kita lihat, atau menulis seluruh uraian yang disampaikan oleh narasumber. Tulisan yang tidak terfokus hanyalah akan membingungkan pembaca. Untk mebentukan angle salah satu cara yang termudah adalah membuat sebuah [pertanyaan tunggal tentang apa yang mau kita tulis. Jawaban pertanyaan tidak boleh melebar kemana-mana. Hal-hal yang tidak relevan dengan angle sebaiknya tidak ditanyakan. Jika ada informasi lain yang disampaikan maka bisa dibuat judul lain. Atau informasi yang sangat penting tersebut tidak cukup untuk dibuat dalam berita tersendiri, maka bikinlah sub judul.
  3. Susunlah outline. Agar memudahkan dalam wawancara maka sebaiknya anda menyusun kerangka berita (outline) atau istilah yang lebih lazim flowchart. Outline berisi antara lain:
    1. Tema berita
    2. Angle
    3. Latar belakang masalah
    4. Narasumber
    5. Daftar pertanyaan

Mengumpulkan Informasi dengan Tepat

Ketidak akuratan (kesalahan) dalam pemberitaan kebanyakan disebabkan oleh kelalaian (kesembronoan) yang tidak disengaja. Seorang reporter mungkin tidak menggunakan waktu secukupnya untuk mengecek informasinya sebelum menulis berita. Kemudian ia salah menuliskan nara sumber berita.

Seorang wartawan kawakan akan mengambil langkah-langkah pencegahan untuk menghindari kesalahan fakta:

  1. Bila anda mewawancarai seseorang, tanyakan nama, umur, alamat, dan nomor teleponnya. Setelah mengumpulkan informasi, ejalah namanya dan bacakan informasi yang anda peroleh (tangkap) sehingga sumber berita bisa mengoreksinya. Nomor telepon tidak ditulis dalam berita, namun reporter harus mengetahuinya untuk mengadakan kontak dengan sumber berita tersebut.
  2. Bila informasi nara sumber anda peroleh dari tangan kedua, harap dicek pada sumber berita untuk membetulkannya.
  3. Jangan sekali-kali beranggapan bahwa bahwa anda mengetahui semuanya. Anda selalu harus mengecek ulang setiap informasi yang penting.
  4. Bila tulisan anda menyangkut materi yang rumit, pastikanlah dulu bahwa anda mengetahui hal itu.

Umumnya seorang wartawan mengambil peranan sebagai seorang pembaca kebanyakan, dan megajukan pertanyaan sesuai dengan posisi itu.

  1. Bila menggunakan statistik atau data matematis, reporter harus mengecek angka-angkanya dan menghitung. Banyak wartawan yang berdalih bermacam-macam bila seorag pembaca yang kritis mengirim surat ke redaksi dan menunjukkan perhitungan yang keliru dalam tulisan wartawan.

Statistik harus dicermati benar dengan penuh kecurigaan. Anda bisa membuktikan apa saja dengan statistik, tergantung bagaimana cara anda menyajikannya dan apa saja yang anda masukkan atau tinggalkan. Tanyakanlah kepada sumber secara cermat untuk meyakinkan kebenaran angka-angka tersebut.

Seorang reporter tidak boleh membiarkan dirinya menjadi alat untuk menipu masyarakat. Kekritisan dan pengecekan yang teliti sering bisa menghindarkan hal it terjadi.

Teknik Penulisan Berita

Setelah mendapat informasi dari lapangan, maka tugas reporter selanjutnya adalah menyampaikan informasi tersebut kepada pembaca secara cepat, jelas, dan akurat.

Unsur-Unsur Suatu Berita

Berita yang baik umumnya harus memenuhi unsur: 5 W + 1 H

Yakni: (Who, What, Where, When, Why) + How

Atau : (Siapa, Apa, Dimana, Kapan, Mengapa) + Bagaimana

Kriteria Khusus:

  1. kebijakan redaksional/misi media. Masing-masing media memiliki kebijakan redaksional dan misi yang berbeda.
  2. Pendekatan keamanan (ancaman pembredelan, dan sebagainya). Berita yang mengkritik keras korupsi dan kolusi antara penguasa dan pengusaha bisa berujung pada pembredelan atau teguran terhadap media yang bersangkutan. Atau bisa memakan korban wartawan media itu sendiri, seperti kasus yang menyebabkan terbunuhnya wartwan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin.
  3. kepekaan masyarakat pembaca dan kemungkinan dampak negatif berita terhadap pembaca. Misalnya untuk isu-isu yang menyangkut SARA (suku, Agama, Ras, dan antar golongan). Atau bisa menyinggung perasaan atau martabat pembaca.

Beberapa Macam Berita:

Dari segi sifatnya, kita kenal dua macam: Hard News dan Soft News.

Hard News/Straight News: berita yang lugas, singkat, langsung kepokok persoalan dan fakta-faktanya. Biasanyaharus memenuhi unsur 5W+1H secara ketat dan harus cepat-cepat dimuat, karena terlamba sedikit bisa basi. Istilah Hard News lebih mengacu pada isi berita, sedangkan istilah Straight News lebih mengacu pada cara penulisannya (struktur penulisanya).

Soft News: beritayang dari segi struktur penulisannya relatif lebih luwes, dan dari segi isi tidak terlalu berat. Soft news umumnyatidak terlalu lugas, tidak kaku, atau ketat khususnya dalam soal waktunya. Misalnya tulisan untuk menggambarkan kesulitan yang dihadapi rakyat kecil akibat krisis ekonomi. Selama krisis ekonomi masih berlanjut, berita itu bisa diturunkan kapan saja. Biasanya lebih banyak mengangkat aspek kemanusiaan (human interest).

Dari segi bentuknya, soft news masih bisa kita perinci lagi menjadi dua: News Features dan Feature. Feature adalah teknik penulisan yang khas berbentuk luwes, tahan lama, menarik, strukturnya tidak kaku, dan biasanya megangkat aspek kemanusiaan. Pada hakekatnya penulisan feature adalah seorang yang berkisah. Ia melukis gambar dengan kata-kata, ia menghidupkan imajinasi pembaca, ia menarik pembaca kedalam cerita dengan mengidentififkasikan diri dengan tokoh utama. Panjang tulisan feature bervariasi dan boleh ditulis seberapa panjang pun, sejauh masih menarik.

Sedangkan News Feature adalah Feature yang mengandung unsur berita. Misalnya tulisan yang menggambarkan peristiwa penangkapan Tommy Suharto oleh polisi, yang diawali dengan penyadapan telepon dengan bantuan Roy Suryo seorang pakar Multimedia dan Komunikasi, pembongkaran ruang bawah tanah, sampai proses tertangkapnya disajikan secara seru, menarik, dan dramatis. Seperti menonton film saja.

Struktur Penulisan Berita

Hard news/straight news biasanya ditulis dalam bentuk struktur “piramida terbalik” yakni inti berita ditulis pada bagian paling awal, dan hal-hal yang tidak penting ditulis belakangan.

Soft news, News Feature dan Feature ditulis dengan gaya yang tidak kaku. Hal-hal yang penting bisa ditulis di bagian awal, namun juga tidak mutlak. Yang pening tetap menarik untuk dibaca. Lebih jauh mengenai teknik penulisan Feature akan dibahas pada pertemuan berikutnya.

Penulisan Judul

Judul merupakan inti dari teras berita. Judul harus jelas, mudah dimengerti dengan sekali baca dan menarik, sehingga mendorong pembaca untuk mengetahui lebih lanjut isi tulisan. Selain itu judul juga harus menggigit, perlu kejelasan makna asosiatif setiap unsur Subyek, Obyek, dan Keterangan.

Panjang judul maksimal dua baris terdiri atas empat hingga enam kata. Bila panjang judul satu baris, maksimal terdiri atas lima kata. Untuk judul berita utama maksimal lima kata.

Semua kata di dalam judul dimulai dengan huruf besar, kecuali kata sambung seperti dan, di, yang, bila, dalam, pada, oleh, dan kata tugas lainnya yang ditentukan redaksi.

Penulisan judul tidak boleh dimulai dengan angka. Hindari penggunaan singkatan yang tidak populer. Judul bersifat tenang dan tidak bombastis.


http://penaonline.wordpress.com/2007/12/23/teknik-wawancara-dan-menulis-berita/

Minggu, 03 Mei 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

www.bpkp.go.id
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2007
TENTANG
PERKERETAAPIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan
ekonomi, pengembangan wilayah dan pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara, serta memperkukuh
ketahanan nasional dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi
nasional yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara massal dan keunggulan
tersendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari moda transportasi lain, perlu
dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah,
baik nasional maupun internasional, untuk menunjang, mendorong, dan
menggerakkan pembangunan nasional guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3479) tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan
perkembangan hukum dalam masyarakat, perkembangan zaman, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c perlu dibentuk Undang- Undang tentang Perkeretaapian;
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKERETAAPIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan
sumber daya manusia, serta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk
penyelenggaraan transportasi kereta api.
2. Kereta api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri
maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun
sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api.
3. Prasarana perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas
operasi kereta api agar kereta api dapat dioperasikan.
4. Jalur kereta api adalah jalur yang terdiri atas rangkaian petak jalan rel yang meliputi
ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang pengawasan
jalur kereta api, termasuk bagian atas dan bawahnya yang diperuntukkan bagi lalu
lintas kereta api.
5. Jaringan jalur kereta api adalah seluruh jalur kereta api yang terkait satu dengan yang
lain yang menghubungkan berbagai tempat sehingga merupakan satu sistem.
6. Jalur kereta api khusus adalah jalur kereta api yang digunakan secara khusus oleh
badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tersebut.
7. Jalan rel adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton, atau konstruksi
lain yang terletak di permukaan, di bawah, dan di atas tanah atau bergantung beserta
perangkatnya yang mengarahkan jalannya kereta api.
8. Fasilitas operasi kereta api adalah segala fasilitas yang diperlukan agar kereta api
dapat dioperasikan.
9. Sarana perkeretaapian adalah kendaraan yang dapat bergerak di jalan rel.
10. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau
badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk perkeretaapian.
11. Fasilitas penunjang kereta api adalah segala sesuatu yang melengkapi
penyelenggaraan angkutan kereta api yang dapat memberikan kemudahan,
kenyamanan, dan keselamatan bagi pengguna jasa kereta api.
12. Pengguna jasa adalah setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan jasa
angkutan kereta api, baik untuk angkutan orang maupun barang.
13. Lalu lintas kereta api adalah gerak sarana perkeretaapian di jalan rel.
14. Angkutan kereta api adalah kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari satu
tempat ke tempat lain dengan menggunakan kereta api.
15. Awak Sarana Perkeretaapian adalah orang yang ditugaskan di dalam kereta api oleh
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian selama perjalanan kereta api.
16. Penyelenggara prasarana perkeretaapian adalah pihak yang menyelenggarakan
prasarana perkeretaapian.
17. Penyelenggara sarana perkeretaapian adalah badan usaha yang mengusahakan sarana
perkeretaapian umum.
18. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
19. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
21. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkeretaapian.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Perkeretaapian sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem transportasi nasional
diselenggarakan berdasarkan:
a. asas manfaat;
b. asas keadilan;
c. asas keseimbangan;
d. asas kepentingan umum;
e. asas keterpaduan;
f. asas kemandirian;
g. asas transparansi;
h. asas akuntabilitas; dan
i. asas berkelanjutan.
Pasal 3
Perkeretaapian diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar perpindahan orang
dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat,
tertib dan teratur, efisien, serta menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas,
pendorong, dan penggerak pembangunan nasional.
BAB III
TATANAN PERKERETAAPIAN
Pasal 4
Kereta api menurut jenisnya terdiri dari:
a. kereta api kecepatan normal;
b. kereta api kecepatan tinggi;
c. kereta api monorel;
d. kereta api motor induksi linear;
e. kereta api gerak udara;
f. kereta api levitasi magnetik;
g. trem; dan
h. kereta gantung.
Pasal 5
(1) Perkeretaapian menurut fungsinya terdiri dari:
a. perkeretaapian umum; dan
b. perkeretaapian khusus.
(2) Perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. perkeretaapian perkotaan; dan
b. perkeretaapian antarkota.
(3) Perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya digunakan
secara khusus oleh badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan
usaha tersebut.
Pasal 6
(1) Tatanan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a
meliputi:
a. perkeretaapian nasional;
b. perkeretaapian provinsi; dan
c. perkeretaapian kabupaten/kota.
(2) Tatanan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu
kesatuan sistem perkeretaapian yang disebut tatanan perkeretaapian nasional.
(3) Sistem perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terintegrasi dengan
moda transportasi lainnya.
Pasal 7
(1) Untuk mewujudkan tatanan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1), ditetapkan rencana induk perkeretaapian.
(2) Rencana induk perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. rencana induk perkeretaapian nasional;
b. rencana induk perkeretaapian provinsi; dan
c. rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.
Pasal 8
(1) Rencana induk perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf a disusun dengan memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah nasional; dan
b. rencana induk jaringan moda transportasi lainnya.
(2) Rencana induk perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
dengan mempertimbangkan kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran
transportasi nasional.
(3) Rencana induk perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat :
a. arah kebijakan dan peranan perkeretaapian nasional dalam keseluruhan moda
transportasi;
b. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan;
c. rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian nasional;
d. rencana kebutuhan sarana perkeretaapian nasional; dan
e. rencana kebutuhan sumber daya manusia.
Pasal 9
(1) Rencana induk perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf b disusun dengan memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi;
c. rencana induk perkeretaapian nasional; dan
d. rencana induk jaringan moda transportasi lainnya pada tataran provinsi.
(2) Rencana induk perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
dengan mempertimbangkan kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran
transportasi provinsi.
(3) Rencana induk perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
a. arah kebijakan dan peranan perkeretaapian provinsi dalam keseluruhan moda
transportasi;
b. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan pada
tataran provinsi;
c. rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian provinsi;
d. rencana kebutuhan sarana perkeretaapian provinsi; dan
e. rencana kebutuhan sumber daya manusia.
Pasal 10
(1) Rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) huruf c disusun dengan memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi;
c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota;
d. rencana induk perkeretaapian provinsi; dan
e. rencana induk jaringan moda transportasi lainnya pada tataran kabupaten/kota.
(2) Rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran
transportasi kabupaten/kota.
(3) Rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling rendah memuat:
a. arah kebijakan dan peranan perkeretaapian kabupaten/kota dalam keseluruhan
moda transportasi;
b. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan pada
tataran kabupaten/kota;
c. rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian kabupaten/kota;
d. rencana kebutuhan sarana perkeretaapian kabupaten/kota; dan
e. rencana kebutuhan sumber daya manusia.
Pasal 11
Rencana induk perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ditetapkan
oleh:
a. Pemerintah untuk rencana induk perkeretaapian nasional;
b. Pemerintah provinsi untuk rencana induk perkeretaapian provinsi; dan
c. Pemerintah kabupaten/kota untuk rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kereta api dan penyusunan rencana induk
perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 13
(1) Perkeretaapian dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengaturan;
b. pengendalian; dan
c. pengawasan.
(3) Arah pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memperlancar
perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman,
cepat, tepat, tertib, dan teratur, serta efisien.
(4) Sasaran pembinaan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak
pembangunan nasional.
Pasal 14
(1) Pembinaan perkeretaapian nasional dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
a. penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota;
b. penetapan, pedoman, standar, serta prosedur penyelenggaraan dan pengembangan
perkeretaapian;
c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang
perkeretaapian;
d. pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada Pemerintah
Daerah, penyelenggara dan pengguna jasa perkeretaapian; dan
e. pengawasan terhadap perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian.
(2) Pembinaan perkeretaapian provinsi dilaksanakan oleh pemerintah provinsi yang
meliputi:
a. penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian provinsi, dan
kabupaten/kota;
b. pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada
kabupaten/kota, penyelenggara dan pengguna jasa perkeretaapian; dan
c. pengawasan terhadap penyelenggaraan perkeretaapian provinsi.
(3) Pembinaan perkeretaapian kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah
kabupaten/kota yang meliputi:
a. penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian
kabupaten/kota;
b. pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada
penyelenggara dan pengguna jasa perkeretaapian; dan
c. pengawasan terhadap penyelenggaraan perkeretaapian kabupaten/kota.
Pasal 15
Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah harus mengintegrasikan perkeretaapian dengan moda transportasi
lainnya.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan perkeretaapian diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB V
PENYELENGGARAAN
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a berupa penyelenggaraan:
a. prasarana perkeretaapian; dan/atau
b. sarana perkeretaapian.
(2) Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf b berupa penyelenggaraan:
a. prasarana perkeretaapian; dan
b. sarana perkeretaapian.
Pasal 18
Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum meliputi kegiatan :
a. pembangunan prasarana;
b. pengoperasian prasarana;
c. perawatan prasarana; dan
d. pengusahaan prasarana.
Pasal 19
Pembangunan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
huruf a wajib:
a. berpedoman pada ketentuan rencana induk perkeretaapian; dan
b. memenuhi persyaratan teknis prasarana perkeretaapian.
Pasal 20
Pengoperasian prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
huruf b wajib memenuhi standar kelaikan operasi prasarana perkeretaapian.
Pasal 21
Perawatan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf
c wajib:
a. memenuhi standar perawatan prasarana perkeretaapian; dan
b. dilakukan oleh tenaga yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi keahlian di bidang
prasarana perkeretaapian.
Pasal 22
Pengusahaan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
huruf d wajib dilakukan berdasarkan norma, standar, dan kriteria perkeretaapian.
Pasal 23
(1) Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik secara sendiri-sendiri
maupun melalui kerja sama.
(2) Dalam hal tidak ada Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian
umum, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan prasarana
perkeretaapian.
Pasal 24
(1) Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki:
a. izin usaha;
b. izin pembangunan; dan
c. izin operasi.
(2) Izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a diterbitkan oleh pemerintah.
(3) Izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b diterbitkan setelah dipenuhinya persyaratan teknis prasarana
perkeretaapian.
(4) Izin operasi prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c diterbitkan setelah dipenuhinya persyaratan kelaikan operasi prasarana
perkeretaapian.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan oleh :
a. Pemerintah untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan
jalurnya melintasi batas wilayah provinsi;
b. pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang
jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi
setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah; dan
c. pemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian umum yang
jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi
pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah.
Pasal 25
Penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum sebagaimanadimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:
a. pengadaan sarana;
b. pengoperasian sarana;
c. perawatan sarana; dan
d. pengusahaan sarana.
Pasal 26
Pengadaan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a
wajib memenuhi persyaratan teknis sarana perkeretaapian.
Pasal 27
Pengoperasian sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf
b wajib memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian.
Pasal 28
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak
memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin, dan
pencabutan izin operasi.
Pasal 29
Perawatan sarana perkeretaapian umum sebagaimanadimaksud dalam Pasal 25 huruf c
wajib:
a. memenuhi standar perawatan sarana perkeretaapian; dan
b. dilakukan oleh tenaga yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi keahlian di bidang
sarana perkeretaapian.
Pasal 30
Pengusahaan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d
wajib dilakukan berdasarkan norma, standar, dan kriteria sarana perkeretaapian.
Pasal 31
(1) Penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik secara sendiri-sendiri
maupun melalui kerja sama.
(2) Dalam hal tidak ada badan usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian
umum, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan sarana
perkeretaapian.
Pasal 32
(1) Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 wajib memiliki:
a. izin usaha; dan
b. izin operasi.
(2) Izin usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a diterbitkan oleh Pemerintah.
(3) Izin operasi sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b diterbitkan oleh:
a. Pemerintah untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan
jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;
b. pemerintah provinsi untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang
jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan
c. pemerintah kabupaten/kota untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum
yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota;
Pasal 33
(1) Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(2) dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang kegiatan pokoknya.
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki:
a. izin pengadaan atau pembangunan; dan
b. izin operasi.
(3) Perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan teknis prasarana dan sarana perkeretaapian.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh :
a. Pemerintah untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya
melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;
b. pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan
jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah
mendapat persetujuan dari Pemerintah; dan
c. pemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang
jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi
pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah.
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan perkeretaapian umum dan
penyelenggaraan perkeretaapian khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PRASARANA PERKERETAAPIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 35
(1) Prasarana perkeretaapian umum dan perkeretaapian khusus meliputi :
a. jalur kereta api;
b. stasiun kereta api; dan
c. fasilitas operasi kereta api.
(2) Jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperuntukkan bagi
pengoperasian kereta api.
(3) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berfungsi sebagai
tempat kereta api berangkat atau berhenti untuk melayani :
a. naik turun penumpang;
b. bongkar muat barang; dan/atau
c. keperluan operasi kereta api.
(4) Fasilitas operasi kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan
peralatan untuk pengoperasian perjalanan kereta api.
Bagian Kedua
Jalur Kereta Api
Pasal 36
Jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a meliputi:
a. ruang manfaat jalur kereta api;
b. ruang milik jalur kereta api; dan
c. ruang pengawasan jalur kereta api.
Pasal 37
(1) Ruang manfaat jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a terdiri
dari jalan rel dan bidang tanah di kiri dan kanan jalan rel beserta ruang di kiri, kanan,
atas, dan bawah yang digunakan untuk konstruksi jalan rel dan penempatan fasilitas
operasi kereta api serta bangunan pelengkap lainnya.
(2) Jalan rel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berada:
a. pada permukaan tanah;
b. di bawah permukaan tanah; dan
c. di atas permukaan tanah.
Pasal 38
Ruang manfaat jalur kereta api diperuntukkan bagi pengoperasian kereta api dan
merupakan daerah yang tertutup untuk umum.
Pasal 39
(1) Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a diukur dari sisi terluar jalan
rel beserta bidang tanah di kiri dan kanannya yang digunakan untuk konstruksi jalan
rel termasuk bidang tanah untuk penempatan fasilitas operasi kereta api dan bangunan
pelengkap lainnya.
(2) Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah yang
masuk terowongan diukur dari sisi terluar konstruksi terowongan.
(3) Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah yang
berada di jembatan diukur darisisi terluar konstruksi jembatan.
Pasal 40
Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel di bawah permukaan tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b diukur dari sisi terluar konstruksi
bangunan jalan rel di bawah permukaan tanah termasuk fasilitas operasi kereta api.
Pasal 41
Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel di atas permukaan tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf c diukur dari sisi terluar dari konstruksi jalan rel
atau sisi terluar yang digunakan untuk fasilitas operasi kereta api.
Pasal 42
(1) Ruang milik jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b adalah
bidang tanah di kiri dan di kanan ruang manfaat jalur kereta api yang digunakan
untuk pengamanan konstruksi jalan rel.
(2) Ruang milik jalur kereta api di luar ruang manfaat jalur kereta api dapat digunakan
untuk keperluan lain atas izin dari pemilik jalur dengan ketentuan tidak
membahayakan konstruksi jalan rel dan fasilitas operasi kereta api.
Pasal 43
(1) Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak pada permukaan tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a diukur dari batas paling luar
sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api.
(2) Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak di bawah permukaan
tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b diukur dari batas paling
luar sisi kiri dan kanan serta bagian bawah dan atas ruang manfaat jalur kereta api.
(3) Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak di atas permukaan
tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf c diukur dari batas paling
luar sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api.
Pasal 44
Ruang pengawasan jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c adalah
bidang tanah atau bidang lain dikiri dan di kanan ruang milik jalur kereta api untuk
pengamanan dan kelancaran operasi kereta api.
Pasal 45
Batas ruang pengawasan jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak pada permukaan
tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a diukur dari batas paling luar
sisi kiri dan kanan daerah milik jalan kereta api.
Pasal 46
(1) Tanah yang terletak di ruang milik jalur kereta api dan ruang manfaat jalur kereta api
disertifikatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Tanah di ruang pengawasan jalur kereta api dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain
dengan ketentuan tidak membahayakan operasi kereta api.
Pasal 47
Penyelenggara prasarana perkeretaapian harus memasang tanda batas daerah manfaat
jalur kereta api.
Pasal 48
(1) Untuk keperluan pengoperasian dan perawatan, jalur kereta api umum
dikelompokkan dalam beberapa kelas.
(2) Pengelompokan kelas jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada:
a. kecepatan maksimum yang diizinkan;
b. beban gandar maksimum yang diizinkan; dan
c. frekuensi lalu lintas kereta api.
Pasal 49
(1) Jalur kereta api untuk perkeretaapian umum membentuk satu kesatuan jaringan jalur
kereta api.
(2) Jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. jaringan jalur kereta api nasional yang ditetapkan dalam rencana induk
perkeretaapian nasional;
b. jaringan jalur kereta api provinsi yang ditetapkan dalam rencana induk
perkeretaapian provinsi; dan
c. jaringan jalur kereta api kabupaten/kota yang ditetapkan dalam rencana induk
perkeretaapian kabupaten/kota.
Pasal 50
(1) Jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang diselenggarakan
oleh beberapa penyelenggara prasarana perkeretaapian dapat saling bersambungan,
bersinggungan, atau terpisah.
(2) Pembangunan dan pengoperasian jalur kereta api yang bersambungan atau
bersinggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan atas dasar kerja sama
antar penyelenggara prasarana perkeretaapian.
(3) Dalam hal penyelenggaraan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dioperasikan oleh pihak lain, penyelenggaraannya harus dilakukan atas dasar kerja
sama antara penyelenggara prasarana dan pihak lain tersebut.
(4) Satu jalur kereta api untuk perkeretaapian umum dapat digunakan oleh beberapa
penyelenggara sarana perkeretaapian.
Pasal 51
(1) Jalur kereta api khusus yang jaringannya melebihi satu provinsi ditetapkan oleh
Pemerintah.
(2) Jalur kereta api khusus yang jaringannya melebihi 1 (satu) wilayah kabupaten/kota
dalam provinsi ditetapkan oleh pemerintah provinsi.
(3) Jalur kereta api khusus yang jaringannya dalam wilayah kabupaten/kota ditetapkan
oleh pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 52
(1) Jalur kereta api khusus dapat disambungkan pada jaringan jalur kereta api umum.
(2) Jalur kereta api khusus dapat disambungkan pada jaringan jalur kereta api khusus
lainnya.
(3) Penyambungan jalur kereta api khusus pada jaringan jalur kereta api umum dan jalur
kereta api khusus dengan jaringan jalur kereta api khusus lainnya harus mendapat izin
dari pemerintah sesuai dengan tingkat kewenangannya.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai jalur kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Stasiun Kereta Api
Pasal 54
(1) Stasiun kereta api untuk keperluan naik turun penumpang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a paling rendah dilengkapi dengan fasilitas:
a. keselamatan;
b. keamanan;
c. kenyamanan;
d. naik turun penumpang;
e. penyandang cacat;
f. kesehatan; dan
g. fasilitas umum.
(2) Stasiun kereta api untuk keperluan bongkar muat barang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (3) huruf b dilengkapi dengan fasilitas:
a. keselamatan;
b. keamanan;
c. bongkar muat barang; dan
d. fasilitas umum.
(3) Untuk kepentingan bongkar muat barang di luar stasiun dapat dibangun jalan rel yang
menghubungkan antara stasiun dan tempat bongkar muat barang.
(4) Stasiun kereta api untuk keperluan pengoperasian kereta api sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c harus dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan
kepentingan pengoperasian kereta api.
Pasal 55
Di stasiun kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) dapat dilakukan
kegiatan usaha penunjang angkutan kereta api dengan syarat tidak mengganggu fungsi
stasiun.
Pasal 56
(1) Stasiun kereta api dikelompokkan dalam:
a. kelas besar;
b. kelas sedang; dan
c. kelas kecil.
(2) Pengelompokan kelas stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan kriteria:
a. fasilitas operasi;
b. frekuensi lalu lintas;
c. jumlah penumpang;
d. jumlah barang;
e. jumlah jalur; dan
f. fasilitas penunjang.
Pasal 57
(1) Stasiun kereta api dapat menyediakan jasa pelayanan khusus.
(2) Jasa pelayanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. ruang tunggu penumpang;
b. bongkar muat barang;
c. pergudangan;
d. parkir kendaraan; dan/atau
e. penitipan barang.
(3) Pengguna jasa pelayanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai tarif
jasa pelayanan tambahan.
Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut mengenai stasiun kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Fasilitas Pengoperasian Kereta Api
Pasal 59
Fasilitas pengoperasian kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c
meliputi:
a. peralatan persinyalan;
b. peralatan telekomunikasi; dan
c. instalasi listrik.
Pasal 60
(1) Peralatan persinyalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a berfungsi
sebagai:
a. petunjuk; dan
b. pengendali.
(2) Peralatan persinyalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. sinyal;
b. tanda; dan
c. marka.
Pasal 61
Peralatan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b berfungsi
sebagai penyampai informasi dan/atau komunikasi bagi kepentingan operasi
perkeretaapian.
Pasal 62
(1) Peralatan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 menggunakan
frekuensi radio dan/atau kabel.
(2) Penggunaan frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang telekomunikasi.
Pasal 63
(1) Instalasi listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c terdiri dari:
a. catu daya listrik; dan
b. peralatan transmisi tenaga listrik.
(2) Instalasi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
a. menggerakkan kereta api bertenaga listrik;
b. memfungsikan peralatan persinyalan kereta api yang bertenaga listrik;
c. memfungsikan peralatan telekomunikasi; dan
d. memfungsikan fasilitas penunjang lainnya.
(3) Instalasi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dioperasikan berdasarkan
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pengoperasian kereta api diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Perawatan Prasarana Perkeretaapian
Pasal 65
(1) Penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib merawat prasarana perkeretaapian agar
tetap laik operasi.
(2) Perawatan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perawatan berkala; dan
b. perbaikan untuk mengembalikan fungsinya.
(3) Perawatan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi standar dan tata cara perawatan yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Perawatan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilakukan oleh tenaga yang memenuhi syarat dan kualifikasi yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan prasarana perkeretaapian diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Kelaikan Prasarana Perkeretaapian
Pasal 67
(1) Prasarana perkeretaapian yang dioperasikan wajib memenuhi persyaratan kelaikan
yang berlaku bagi setiap jenis prasarana perkeretaapian.
(2) Persyaratan kelaikan prasarana perkeretaapian meliputi:
a. persyaratan teknis; dan
b. persyaratan operasional.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi persyaratan
sistem dan persyaratan komponen.
(4) Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah
persyaratan kemampuan prasarana perkeretaapian sesuai dengan rencana operasi
perkeretaapian.
Pasal 68
(1) Untuk menjamin kelaikan prasarana perkeretaapian, wajib dilakukan pengujian dan
pemeriksaan.
(2) Pengujian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang
mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(3) Pemeriksaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian.
Pasal 69
Pengujian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2)
terdiri dari:
a. uji pertama; dan
b. uji berkala.
Pasal 70
(1) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a wajib dilakukan untuk
prasarana perkeretaapian baru dan prasarana perkeretaapian yang mengalami
perubahan spesifikasi teknis.
(2) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a dilakukan terhadap:
a. rancang bangun prasarana perkeretaapian; dan
b. fungsi prasarana perkeretaapian.
(3) Uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan
dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari
Pemerintah.
(4) Prasarana perkeretaapian yang mengalami perubahan spesifikasi teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari Menteri.
Pasal 71
(1) Prasarana perkeretaapian yang lulus uji pertama diberi sertifikat uji pertama oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk selamanya,
kecuali mengalami perubahan spesifikasi teknis.
Pasal 72
(1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b wajib dilakukan untuk
prasarana perkeretaapian yang telah dioperasikan sesuai dengan jadwal yang
ditetapkan.
(2) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap fungsi
prasarana perkeretaapian.
(3) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pemerintah dan
dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari
Pemerintah.
Pasal 73
(1) Prasarana perkeretaapian yang lulus uji berkala diberi sertifikat uji berkala oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sesuai dengan
jadwal uji berkala yang ditetapkan untuk setiap jenis prasarana perkeretaapian.
Pasal 74
(1) Pemerintah, badan hukum, atau lembaga yang melaksanakan uji pertama dan uji
berkala prasarana perkeretaapian wajib memiliki tenaga penguji.
(2) Tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kualifikasi
keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat keahlian.
(3) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh setelah lulus
mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(4) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan oleh
Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan atau lembaga yang mendapat
akreditasi dari Pemerintah.
Pasal 75
Pelaksanaan pengujian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
wajib menggunakan peralatan pengujian dan sesuai dengan tata cara pengujian yang
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 76
Setiap badan hukum atau lembaga pengujian prasarana perkeretaapian yang melakukan
pengujian wajib menggunakan tenaga penguji yang memiliki sertifikat keahlian,
menggunakan peralatan pengujian, dan melakukan pengujian sesuai dengan tata cara
pengujian prasarana perkeretaapian yang ditetapkan.
Pasal 77
Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76 dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin, atau
pencabutan izin operasi.
Pasal 78
Setiap tenaga penguji prasarana perkeretaapian wajib melakukan pengujian prasarana
perkeretaapian dengan menggunakan peralatan pengujian dan sesuai dengan tata cara
pengujian yang ditetapkan.
Pasal 79
Tenaga penguji prasarana perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis,
pembekuansertifikat keahlian, atau pencabutan sertifikat keahlian.
Pasal 80
(1) Pengoperasian prasarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh petugas yang telah
memenuhi syarat dan kualifikasi kecakapan yang dibuktikan dengan sertifikat
kecakapan.
(2) Sertifikat kecakapan pengoperasian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(3) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh
Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan usaha atau lembaga lain yang
mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(4) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
Pasal 81
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian wajib menempatkan tanda larangan di jalur
kereta api secara lengkap dan jelas.
Pasal 82
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 81, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis atau
pembekuan izin atau pencabutan izin operasi.
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelaikan prasarana perkeretaapian diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
Prasarana Perkeretaapian
Pasal 84
(1) Pengadaan tanah untuk pembangunan prasarana perkeretaapian umum dilaksanakan
berdasarkan rencana induk perkeretaapian.
(2) Pembangunan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disosialisasikan kepada masyarakat, baik pada tahap perencanaan maupun
pelaksanaannya, terutama yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan prasarana
perkeretaapian.
(3) Pemegang hak atas tanah, pemakai tanah negara, atau masyarakat hukum adat, yang
tanahnya diperlukan untuk pembangunan prasarana perkeretaapian, berhak mendapat
ganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan.
(4) Pemberian ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Pasal 85
(1) Apabila kesepakatan tidak tercapai dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan,
dilakukan pencabutan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
di bidang pertanahan.
(2) Pelaksanaan pembangunan prasarana perkeretaapian dapat dimulai pada bidang tanah
yang telah diberi ganti kerugian atau telah dicabut hak atas tanahnya.
Pasal 86
Tanah yang sudah dikuasai oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha
dalam rangka pembangunan prasarana perkeretaapian, disertifikatkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Penyelenggara Prasarana
Perkeretaapian
Pasal 87
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggung jawab kepada Penyelenggara
Sarana Perkeretaapian dan pihak ketiga atas kerugian seba gai akibat kecelakaan yang
disebabkan kesalahan pengoperasian prasarana perkeretaapian.
(2) Tanggung jawab Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian kepada Penyelenggara
Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan perjanjian
kerja sama antara Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian.
(3) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggung jawab kepada pihak ketiga atas
kerugian harta benda, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh
penyelenggaraan prasarana perkeretaapian.
(4) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggungjawab terhadap Petugas
Prasarana Perkeretaapian yang mengalami luka-luka, atau meninggal dunia yang
disebabkan oleh pengoperasian prasarana perkeretaapian.
(5) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian
yang nyata dialami.
Pasal 88
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang
diderita oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan/atau pihak ketiga yang
disebabkan oleh pengoperasian prasarana perkeretaapian apabila:
a. pihak yang berwenang menyatakan bahwa kerugian bukan disebabkan kesalahan
pengoperasian prasarana perkeretaapian; dan/atau
b. terjadi keadaan memaksa.
Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Penyelenggara Prasarana
Perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Hak dan Wewenang Penyelenggara
Prasarana Perkeretaapian
Pasal 90
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian berhak dan berwenang:
a. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi perjalanan kereta api;
b. menghentikan pengoperasian sarana perkeretaapian apabila dapat membahayakan
perjalanan kereta api;
c. melakukan penertiban terhadap pengguna jasa kereta api yang tidak memenuhi
persyaratan sebagai pengguna jasa kereta api di stasiun;
d. mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan;
e. menerima pembayaran dari penggunaan prasarana perkeretaapian; dan
f. menerima ganti kerugian atas kerusakan prasarana perkeretaapian yang disebabkan
oleh kesalahan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian atau pihak ketiga.
BAB VII
PERPOTONGAN DAN PERSINGGUNGAN JALUR
KERETA API DENGAN BANGUNAN LAIN
Pasal 91
(1) Perpotongan antara jalur kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api
dan lalu lintas jalan.
Pasal 92
(1) Pembangunan jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air dan/atau prasarana
lain yang memerlukan persambungan, dan perpotongan dan/atau persinggungan
dengan jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) harus
dilaksanakan dengan ketentuan untuk kepentingan umum dan tidak membahayakan
keselamatan perjalanan kereta api.
(2) Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat izin dari pemilik
prasarana perkeretaapian.
(3) Pembangunan, pengoperasian, perawatan, dan keselamatan perpotongan antara jalur
kereta api dan jalan menjadi tanggung jawab pemegang izin.
Pasal 93
Pemanfaatan tanah pada ruang milik jalur kereta api untuk perpotongan atau
persinggungan dikenakan biaya oleh pemilik prasarana perkeretaapian.
Pasal 94
(1) Untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, perlintasan sebidang
yang tidak mempunyai izin harus ditutup.
(2) Penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Pasal 95
Ketentuan lebih lanjut mengenai perpotongan dan persinggungan jalur kereta api dengan
bangunan lain diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
SARANA PERKERETAAPIAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Teknis dan Kelaikan Sarana Perkeretaapian
Pasal 96
(1) Sarana perkeretaapian menurut jenisnya terdiri dari:
a. lokomotif;
b. kereta;
c. gerbong; dan
d. peralatan khusus.
(2) Setiap sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
persyaratan teknis dan kelaikan operasi yang berlaku bagi setiap jenis sarana
perkeretaapian.
Pasal 97
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan kelaikan operasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengujian dan Pemeriksaan
Pasal 98
(1) Untuk memenuhi persyaratan teknis dan menjamin kelaikan operasi sarana
perkeretaapian, wajib dilakukan pengujian dan pemeriksaan.
(2) Pengujian sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang
mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(3) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
Pasal 99
Pengujian sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) terdiri
dari:
a. uji pertama; dan
b. uji berkala.
Pasal 100
(1) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a wajib dilakukan terhadap
setiap sarana perkeretaapian baru dan sarana perkeretaapian yang telah mengalami
perubahan spesifikasi teknis.
(2) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf a meliputi :
a. uji rancang bangun dan rekayasa;
b. uji statis; dan
c. uji dinamis.
(3) Uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan
dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari
Pemerintah.
(4) Sarana perkeretaapian yang mengalami perubahan spesifikasi teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari Menteri.
Pasal 101
(1) Setiap sarana perkeretaapian yang lulus uji pertama diberi sertifikat uji pertama oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk selamanya,
kecuali mengalami perubahan spesifikasi teknis.
Pasal 102
(1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf b wajib dilakukan untuk
sarana perkeretaapian yang telah dioperasikan sesuai dengan ketentuan.
(2) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap fungsi sarana
perkeretaapian yang meliputi:
a. uji statis; dan
b. uji dinamis.
(3) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pemerintah dan
dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari
Pemerintah.
Pasal 103
(1) Sarana perkeretaapian yang lulus uji berkala diberi sertifikat uji berkala oleh :
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku:
a. berdasarkan jarak tempuh yang ditetapkan untuk sarana dengan penggerak;
b. selama 1 (satu) tahun untuk kereta dan gerbong.
Pasal 104
(1) Pemerintah, badan hukum, atau lembaga yang melaksanakan uji pertama dan uji
berkala sarana perkeretaapian wajib memiliki tenaga penguji.
(2) Tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kualifikasi
keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat keahlian.
(3) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh setelah lulus
mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(4) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan oleh
Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan atau lembaga yang mendapat
akreditasi dari Pemerintah.
Pasal 105
Pelaksanaan pengujian sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99
wajib menggunakan peralatan pengujian dan sesuai dengan tata cara pengujian yang
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 106
Setiap badan hukum atau lembaga pengujian sarana perkeretaapian wajib melakukan
pengujian sarana perkeretaapian dengan tenaga penguji sarana perkeretaapian yang
memiliki sertifikat keahlian sarana perkeretaapian dan menggunakan peralatan pengujian
prasarana perkeretaapian yang sesuai dengan tata cara pengujian sarana perkeretaapian
yang ditetapkan.
Pasal 107
Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin,
atau pencabutan izin operasi.
Pasal 108
Setiap tenaga penguji sarana perkeretaapian yang melakukan pengujian sarana
perkeretaapian wajib menggunakan peralatan pengujian dan melakukan pengujian sesuai
dengan tata cara pengujian yang ditetapkan.
Pasal 109
Tenaga penguji sarana perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 108, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan
sertifikat keahlian, atau pencabutan sertifikat keahlian.
Pasal 110
(1) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3)
dilakukan terhadap setiap jenis sarana dan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
(2) Pemeriksaan setiap jenis sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa pemeriksaan teknis yang meliputi kondisi dan fungsi sarana perkeretaapian.
Pasal 111
(1) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3)
harus dilakukan oleh tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan sesuai dengan
tata cara pemeriksaan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Tenaga pemeriksa sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
melakukan pemeriksaan wajib menggunakan peralatan yang sesuai dengan standar.
Pasal 112
Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian dalam melaksanakan pemeriksaan tidak
menggunakan tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan tidak sesuai dengan tata
cara yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin operasi, atau pencabutan izin
operasi.
Pasal 113
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian dan pemeriksaan sarana perkeretaapian diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Perawatan Sarana Perkeretaaapian
Pasal 114
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib merawat sarana perkeretaapian agar tetap
laik operasi.
(2) Perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perawatan berkala; dan
b. perbaikan untuk mengembalikan fungsinya.
(3) Perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi standar dan tata cara perawatan yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dilakukan oleh tenaga yang memenuhi syarat dan kualifikasi yang ditetapkan oleh
Menteri.
(5) Pelaksanaan perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di balai yasa dan/atau di depo.
Pasal 115
Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 114 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Awak Sarana Perkeretaapian
Pasal 116
(1) Pengoperasian sarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh awak yang memenuhi
persyaratan dan kualifikasi kecakapan yang dibuktikan dengan sertifikat kecakapan.
(2) Sertifikat kecakapan awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(3) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh
Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan usaha atau lembaga lain yang
mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(4) Sertifikat kecakapan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
Pasal 117
Ketentuan lebih lanjut mengenai awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 116 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
RANCANG BANGUN DAN REKAYASA
PERKERETAAPIAN
Pasal 118
(1) Untuk pengembangan perkeretaapian dilakukan rancang bangun dan rekayasa
perkeretaapian.
(2) Rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah;
c. badan usaha;
d. lembaga penelitian; atau
e. perguruan tinggi.
Pasal 119
Ketentuan lebih lanjut mengenai rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
LALU LINTAS KERETA API
Bagian Kesatu
Tata Cara Berlalu Lintas Kereta Api
Pasal 120
Pengoperasian kereta api menggunakan prinsip berlalu lintas satu arah pada jalur tunggal
dan jalur ganda atau lebih dengan ketentuan:
a. setiap jalur pada satu petak blok hanya diizinkan dilewati oleh satu kereta api; dan
b. jalur kanan digunakan oleh kereta api untuk jalur ganda atau lebih.
Pasal 121
(1) Pengoperasian kereta api yang dimulai dari stasiun keberangkatan, bersilang,
bersusulan, dan berhenti di stasiun tujuan diatur berdasarkan grafik perjalanan kereta
api.
(2) Grafik perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh pemilik
prasarana perkeretaapian sekurang-kurangnya berdasarkan:
a. jumlah kereta api;
b. kecepatan yang diizinkan;
c. relasi asal tujuan; dan
d. rencana persilangan dan penyusulan.
(3) Grafik perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah
apabila terjadi perubahan pada:
a. prasarana perkeretaapian;
b. jumlah sarana perkeretaapian;
c. kecepatan kereta api;
d. kebutuhan angkutan; dan
e. keadaan memaksa.
(4) Pengaturan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
petugas pengatur perjalanan kereta api yang memenuhi kualifikasi yang ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 122
(1) Sarana perkeretaapian hanya dapat dioperasikan oleh awak kereta api yang mendapat
tugas dari penyelenggara sarana perkeretaapian.
(2) Awak Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
surat perintah tugas dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
(3) Awak kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mematuhi perintah atau
larangan sebagai berikut:
a. petugas pengatur perjalanan kereta api;
b. sinyal; atau
c. tanda.
(4) Apabila terdapat lebih dari satu perintah atau larangan dalam waktu yang bersamaan,
awak kereta api wajib mematuhi perintah atau larangan yang diberikan berdasarkan
prioritas sebagai berikut:
a. petugas pengatur perjalanan kereta api;
b. sinyal; atau
c. anda.
Pasal 123
Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan kereta api yang tidak memiliki surat
perintah tugas dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 122 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan
sertifikat kecakapan, atau pencabutan sertifikat kecakapan.
Pasal 124
Pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib
mendahulukan perjalanan kereta api.
Bagian Kedua
Penanganan Kecelakaan Kereta Api
Pasal 125
Dalam hal terjadi kecelakaan kereta api, pihak Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian
dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. mengambil tindakan untuk kelancaran dan keselamatan lalu lintas;
b. menangani korban kecelakaan;
c. memindahkan penumpang, bagasi, dan barang antaran ke kereta api lain atau moda
transportasi lain untuk meneruskan perjalanan sampai stasiun tujuan;
d. melaporkan kecelakaan kepada Menteri, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota;
e. mengumumkan kecelakaan kepada pengguna jasa dan masyarakat;
f. segera menormalkan kembali lalu lintas kereta api setelah dilakukan penyidikan awal
oleh pihak berwenang; dan
g. mengurus klaim asuransi korban kecelakaan.
Pasal 126
Ketentuan lebih lanjut mengenai lalu lintas kereta api diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB XI
ANGKUTAN
Bagian Kesatu
Jaringan Pelayanan Perkeretaapian
Pasal 127
(1) Angkutan kereta api dilaksanakan dalam lintas-lintas pelayanan kereta api yang
membentuk satu kesatuan dalam jaringan pelayanan perkeretaapian.
(2) Jaringan pelayanan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota; dan
b. jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan.
Pasal 128
(1) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127
ayat (2) huruf a merupakan pelayanan yang menghubungkan:
a. antarkota antarnegara;
b. antarkota antarprovinsi;
c. antarkota dalam provinsi; dan
d. antarkota dalam kabupaten.
(2) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127
ayat (2) huruf b yang berada dalam suatu wilayah perkotaan dapat:
a. melampaui 1 (satu) provinsi;
b. melampaui 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; dan
c. berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota.
(3) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota antarnegara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan antarkota antarprovinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b serta jaringan pelayanan perkotaan yang melampaui 1 (satu) provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Pemerintah.
(4) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c dan jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang
melampaui 1(satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh pemerintah provinsi.
(5) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam kabupaten sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dan jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang berada
dalam 1 (satu) kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 129
Ketentuan lebih lanjut mengenai jaringan pelayanan perkeretaapian diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengangkutan Orang dengan Kereta Api
Pasal 130
(1) Pengangkutan orang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan kereta.
(2) Dalam keadaan tertentu Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dapat melakukan
pengangkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan
gerbong atas persetujuan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3) Pengangkutan orang dengan menggunakan gerbong sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib memperhatikan keselamatan dan fasilitas minimal.
Pasal 131
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib memberikan fasilitas khusus dan
kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah lima tahun, orang
sakit, dan orang lanjut usia.
(2) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dipungut biaya tambahan.
Pasal 132
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki
karcis.
(2) Orang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan
tingkat pelayanan yang dipilih.
(3) Karcis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanda bukti terjadinya
perjanjian angkutan orang.
Pasal 133
(1) Dalam penyelenggaraan pengangkutan orang dengan kereta api, Penyelenggara
Sarana Perkeretaapian wajib:
a. mengutamakan keselamatan dan keamanan orang;
b. mengutamakan pelayanan kepentingan umum;
c. menjaga kelangsungan pelayanan pada lintas yang ditetapkan;
d. mengumumkan jadwal perjalanan kereta api dan tarif angkutan kepada
masyarakat; dan
e. mematuhi jadwal keberangkatan kereta api.
(2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengumumkan kepada pengguna jasa
apabila terjadi pembatalan dan penundaan keberangkatan, keterlambatan kedatangan,
atau pengalihan pelayanan lintas kereta api disertai dengan alasan yang jelas.
Pasal 134
(1) Apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api, Penyelenggara
Sarana Perkeretaapian wajib mengganti biaya yang telah dibayar oleh orang yang
telah membeli karcis.
(2) Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan dan sampai
dengan batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan tidak melapor kepada
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, orang tersebut tidak mendapat penggantian
biaya karcis.
(3) Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan sebelum batas
waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan melapor kepada Penyelenggara
Sarana Perkeretaapian, mendapat pengembalian sebesar 75% (tujuh puluh lima
perseratus) dari harga karcis.
(4) Apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang
mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan
yang disepakati, penyelenggara sarana perkeretaapian wajib:
a. menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai
stasiun tujuan; atau
b. memberikan ganti kerugian senilai harga karcis.
Pasal 135
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak menyediakan angkutan dengan kereta
api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan atau tidak memberi ganti
kerugian senilai harga karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (4) dikenai
sanksi administratif berupa pembekuan izin operasi atau pencabutan izin operasi.
Pasal 136
(1) Dalam kegiatan angkutan orang Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berwenang
untuk:
a. memeriksa karcis;
b. menindak pengguna jasa yang tidak mempunyai karcis;
c. menertibkan pengguna jasa kereta api atau masyarakat yang mengganggu
perjalanan kereta api; dan
d. melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap masyarakat yang berpotensi
menimbulkan gangguan terhadap perjalanan kereta api.
(2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam keadaan tertentu dapat membatalkan
perjalanan kereta api apabila terdapat hal-hal yang dapat membahayakan
keselamatan, ketertiban, dan kepentingan umum.
Pasal 137
(1) Pelayanan angkutan orang harus memenuhi standar pelayanan minimum.
(2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan
di stasiun keberangkatan, dalam perjalanan, dan di stasiun tujuan.
Pasal 138
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan orang dengan kereta api diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Angkutan Barang dengan Kereta Api
Pasal 139
(1) Angkutan barang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan gerbong.
(2) Angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. barang umum;
b. barang khusus;
c. bahan berbahaya dan beracun; dan
d. limbah bahan berbahaya dan beracun.
Pasal 140
(1) Angkutan barang umum dan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139
ayat (2) huruf a dan huruf b wajib memenuhi persyaratan:
a. pemuatan, penyusunan, dan pembongkaran barang pada tempat-tempat yang telah
ditetapkan sesuai dengan klasifikasinya;
b. keselamatan dan keamanan barang yang diangkut; dan
c. gerbong yang digunakan sesuai dengan klasifikasi barang yang diangkut.
(2) Kereta api untuk mengangkut bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139 ayat (2) huruf c serta limbah bahan berbahaya dan beracun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) huruf d wajib:
a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan
beracun yang diangkut;
b. menggunakan tanda sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang
diangkut; dan
c. menyertakan petugas yang memiliki kualifikasi tertentu sesuai dengan sifat bahan
berbahaya dan beracun yang diangkut.
Pasal 141
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengangkut barang yang telah dibayar
biaya angkutannya oleh pengguna jasa sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(2) Pengguna jasa yang telah membayar biaya angkutan berhak memperoleh pelayanan
sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(3) Surat angkutan barang merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan
barang.
Pasal 142
(1) Dalam kegiatan pengangkutan barang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian berwenang untuk:
a. memeriksa kesesuaian barang dengan surat angkutan barang;
b. menolak barang angkutan yang tidak sesuai dengan surat angkutan barang; dan
c. melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila barang yang akan diangkut
merupakan barang terlarang.
(2) Apabila terdapat barang yang diangkut dianggap membahayakan keselamatan,
ketertiban, dan kepentingan umum, penyelenggara sarana perkeretaapian dapat
membatalkan perjalanan kereta api.
Pasal 143
(1) Pengguna jasa bertanggung jawab atas kebenaran keterangan yang dicantumkan
dalam surat angkutan barang.
(2) Semua biaya yang timbul sebagai akibat keterangan yang tidak benar serta merugikan
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian atau pihak ketiga menjadi beban dan tanggung
jawab pengguna jasa.
Pasal 144
(1) Apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api, Penyelenggara
Sarana Perkeretaapian wajib mengirim barang dengan kereta api lain atau moda
transportasi lain atau mengganti biaya angkutan barang.
(2) Apabila pengguna jasa membatalkan pengiriman barang dan sampai dengan batas
waktu sebagaimana dijadwalkan tidak melapor kepada Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian, pengguna jasa tidak mendapat penggantian biaya angkutan barang.
(3) Apabila pengguna jasa membatalkan atau menunda pengiriman barang sebelum batas
waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan, biaya angkutan barang dikembalikan
dan dapat dikenai denda.
(4) Apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang
mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan,
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib meneruskan angkutan barang dengan:
a. kereta api lain; atau
b. moda transportasi lain.
Pasal 145
(1) Pada saat barang tiba di tempat tujuan, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian segera
memberitahu kepada penerima barang bahwa barang telah tiba dan dapat segera
diambil.
(2) Biaya yang timbul karena penerima barang terlambat dan/atau lalai mengambil
barang menjadi tanggung jawab penerima barang.
(3) Dalam hal barang yang diangkut rusak, salah kirim, atau hilang akibat kelalaian
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib
mengganti segala kerugian yang ditimbulkan.
Pasal 146
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan kereta api diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Angkutan Multimoda
Pasal 147
(1) Angkutan kereta api dapat merupakan bagian dari angkutan multimoda yang
dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda.
(2) Penyelenggaraan angkutan kereta api dalam angkutan multimoda dilaksanakan
berdasarkan perjanjian antara Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dengan badan
usaha angkutan multimoda dan penyelenggara moda lainnya.
(3) Apabila dalam perjanjian angkutan multimoda menggunakan angkutan kereta api
tidak diatur secara khusus mengenai kewajiban Penyelenggara Sarana Perkeretaapian,
diberlakukan ketentuan angkutan kereta api.
Pasal 148
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 147 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Angkutan Perkeretaapian Khusus
Pasal 149
(1) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(3) hanya digunakan untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tertentu.
(2) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diintegrasikan dengan pelayanan jaringan angkutan perkeretaapian umum dan
pelayanan jaringan angkutan perkeretaapian khusus lainnya setelah mendapat
persetujuan dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus disesuaikan dengan ketentuan mengenai
angkutan orang dan/atau angkutan barang perkeretaapian umum.
Pasal 150
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 149 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Tarif Angkutan Kereta Api
Pasal 151
(1) Tarif angkutan kereta api terdiri dari tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang.
(2) Pedoman tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Pedoman penetapan tarif angkutan berdasarkan perhitungan modal, biaya operasi,
biaya perawatan, dan keuntungan.
Pasal 152
(1) Tarif angkutan orang ditetapkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dengan
memperhatikan pedoman tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(2) Tarif angkutan orang dapat ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
untuk:
a. angkutan pelayanan kelas ekonomi; dan
b. angkutan perintis.
Pasal 153
(1) Untuk pelayanan kelas ekonomi, dalam hal tarif angkutan yang ditetapkan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2)
huruf a lebih rendah daripada tarif yang dihitung oleh Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian berdasarkan pedoman penetapan tarif yang ditetapkan oleh
Pemerintah, selisihnya menjadi tanggung jawab Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dalam bentuk kewajiban pelayanan publik.
(2) Untuk pelayanan angkutan perintis, dalam hal biaya yang dikeluarkan oleh
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian untuk mengoperasikan sarana perkeretaapian
lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh berdasarkan tarif yang ditetapkan
oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, selisihnya menjadi tanggung jawab
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam bentuk subsidi angkutan perintis.
Pasal 154
(1) Apabila Penyelenggara Sarana Perkeretaapian menggunakan prasarana
perkeretaapian yang dimiliki atau dioperasikan oleh Penyelenggara Prasarana
Perkeretaapian, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian membayar biaya penggunaan
prasarana perkeretaapian.
(2) Besarnya biaya penggunaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dihitung berdasarkan pedoman penetapan biaya penggunaan prasarana
perkeretaapian yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 155
Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
berdasarkan pedoman penetapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
Pasal 156
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan kereta api dan biaya penggunaan
prasarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian
Pasal 157
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa
yang mengalami kerugian, lukaluka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh
pengoperasian angkutan kereta api.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak pengguna jasa
diangkut dari stasiun asal sampai dengan stasiun tujuan yang disepakati.
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian
yang nyata dialami.
(4) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian, lukaluka,
atau meninggalnya penumpang yang tidak disebabkan oleh pengoperasian
angkutan kereta api.
Pasal 158
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
oleh pengirim barang karena barang hilang, rusak, atau musnah yang disebabkan oleh
pengoperasian angkutan kereta api.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diterima
oleh Penyelenggara SaranaPerkeretaapian sampai dengan diserahkannya barang
kepada penerima.
(3) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang
nyata dialami, tidak termasuk keuntungan yang akan diperoleh dan biaya jasa yang
telah digunakan.
(4) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan oleh keterangan yang tidak benar dalam surat angkutan barang.
Pasal 159
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian
yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta
api, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh
kesalahan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
(2) Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian dari pihak ketiga
kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal
terjadinya kerugian.
Pasal 160
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Hak Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
Pasal 161
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berhak menahan barang yang diangkut dengan
kereta api apabila pengirim atau penerima barang tidak memenuhi kewajiban dalam
batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan.
(2) Pengirim atau penerima barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya
penyimpanan atas barang yang ditahan.
(3) Dalam hal pengirim atau penerima barang tidak memenuhi kewajiban setelah batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
dapat menjual barang secara lelang.
(4) Penjualan barang secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pelelangan.
(5) Hasil penjualan lelang barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk
memenuhi kewajiban pengirim dan/atau penerima barang.
(6) Dalam hal barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat membahayakan atau
dapat mengganggu dalam penyimpanannya, barang tersebut harus dimusnahkan.
Pasal 162
Barang-barang yang tidak diambil setelah melebihi batas waktu yang telah ditentukan
dinyatakan sebagai barang takbertuan dan dapat dijual secara lelang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan atau dimusnahkan apabila membahayakan atau dapat
mengganggu dalam penyimpanannya.
Pasal 163
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak penyelenggara sarana perkeretaapian diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Jangka Waktu Pengajuan Keberatan dan Ganti Kerugian
Pasal 164
(1) Dalam hal pihak penerima barang tidak menyampaikan keberatan pada saat menerima
barang dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, barang dianggap telah diterima
dalam keadaan baik.
(2) Dalam hal terdapat kerusakan barang pada saat barang diterima, penerima barang
dapat mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari sejak barang diterima.
(3) Dalam hal penerima barang tidak mengajukan ganti kerugian dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hak untuk menuntut ganti kerugian kepada
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian menjadi gugur.
Pasal 165
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan keberatan dan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 164 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
ASURANSI DAN GANTI KERUGIAN
Pasal 166
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan tanggung jawabnya
terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 87.
Pasal 167
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan tanggung jawabnya
terhadap pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 dan Pasal 158.
(2) Besarnya nilai pertanggungan paling sedikit harus sama dengan nilai ganti kerugian
yang diberikan kepada pengguna jasa yang menderita kerugian sebagai akibat
pengoperasian kereta api.
Pasal 168
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa
pembekuan izin operasi atau pencabutan izin operasi.
Pasal 169
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan awak sarana
perkeretaapian.
(2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan sarana perkeretaapian.
(3) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan kerugian yang diderita
oleh pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian angkutan kereta api.
Pasal 170
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
berhak menuntut ganti kerugian kepada pihak yang menimbulkan kerugian terhadap
prasarana perkeretaapian, sarana perkeretaapian, dan orang yang dipekerjakan.
Pasal 171
Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi dan ganti kerugian Penyelenggara Prasarana
Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian terhadap pengguna jasa, awak,
pihak ketiga, dan sarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 172
Masyarakat berhak:
a. memberi masukan kepada Pemerintah, Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian, dan
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan,
dan pengawasan perkeretaapian;
b. mendapat pelayanan penyelenggaraan perkeretaapian sesuai dengan standar
pelayanan minimum; dan
c. memperoleh informasi mengenai pokok-pokok rencana induk perkeretaapian dan
pelayanan perkeretaapian.
Pasal 173
Masyarakat wajib ikut serta menjaga ketertiban, keamanan, dan keselamatan
penyelenggaraan perkeretaapian.
Pasal 174
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB XIV
PEMERIKSAAN DAN PENELITIAN
KECELAKAAN KERETA API
Pasal 175
(1) Pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api dilakukan oleh
Pemerintah.
(2) Pelaksanaan pemeriksaan dan penelitian kecelakaan kereta api sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu badan yang dibentuk atau ditugaskan
oleh Pemerintah.
(3) Hasil pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang dibuat dalam bentuk rekomendasi wajib ditindaklanjuti
oleh Pemerintah, Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian, dan Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian serta dapat diumumkan kepada publik.
Pasal 176
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan/atau Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian wajib membiayai pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan
kereta api.
(2) Biaya pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib diasuransikan.
Pasal 177
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta
api diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XV
LARANGAN
Pasal 178
Setiap orang dilarang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, bangunan
lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta
api yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan
perjalanan kereta api.
Pasal 179
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan, baik langsung maupun tidak langsung, yang
dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran tanah di jalur kereta api sehingga
mengganggu atau membahayakan perjalanan kereta api.
Pasal 180
Setiap orang dilarang menghilangkan, merusak, atau melakukan perbuatan yang
mengakibatkan rusak dan/atau tidak berfungsinya prasarana dan sarana perkeretaapian.
Pasal 181
(1) Setiap orang dilarang:
a. berada di ruang manfaat jalur kereta api;
b. menyeret, menggerakkan, meletakkan, atau memindahkan barang di atas rel atau
melintasi jalur kereta api; atau
c. menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain, selain untuk angkutan
kereta api.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi petugas di bidang
perkeretaapian yang mempunyai surat tugas dari Penyelenggara Prasarana
Perkeretaapian.
Pasal 182
Setiap orang dilarang melaksanakan pengujian sarana perkeretaapian dalam hal:
a. tidak memiliki sertifikat keahlian pengujian sarana perkeretaapian;
b. melaksanakan pengujian tidak sesuai dengan tata cara pengujian; dan/atau
c. tidak menggunakan peralatan pengujian.
Pasal 183
(1) Setiap orang dilarang berada:
a. di atap kereta;
b. di lokomotif;
c. di dalam kabin masinis;
d. di gerbong; atau
e. di bagian kereta yang peruntukannya bukan untuk penumpang.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi awak kereta api
yang sedang melaksanakan tugas dan/atau seseorang yang mendapat izin dari
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
Pasal 184
Setiap orang dilarang menjual karcis kereta api di luar tempat yang telah ditentukan oleh
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
Pasal 185
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dilarang menugaskan Awak Sarana Perkeretaapian
yang tidak memiliki sertifikat kecakapan untuk mengoperasikan sarana perkeretaapian.
BAB XVI
PENYIDIKAN
Pasal 186
(1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di bidang perkeretaapian dapat diberi
kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan atas
pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang
untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan, pengaduan, atau keterangan
tentang terjadinya tindak pidana di bidang perkeretaapian;
b. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi dan/atau tersangka
tindak pidana di bidang perkeretaapian;
c. melakukan penggeledahan, penyegelan, dan/atau penyitaan alat-alat yang
digunakan untuk melakukan tindak pidana dibidang perkeretaapian;
d. melakukan pemeriksaan tempat terjadinya tindak pidana dan tempat lain yang
diduga terdapat barang bukti tindak pidana dibidang perkeretaapian;
e. melakukan penyitaan barang bukti tindak pidana dibidang perkeretaapian;
f. meminta keterangan dan barang bukti dari orang dan/atau badan hukum atas
terjadinya tindak pidana di bidang perkeretaapian;
g. mendatangkan ahli yang diperlukan untuk penyidikan tindak pidana di bidang
perkeretaapian;
h. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan perkara tindak pidana di
bidang perkeretaapian; dan
i. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti terjadinya tindak
pidana di bidang perkeretaapian.
(3) Pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XVII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 187
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana
Perkeretaapian umum yang tidak memenuhi standar kelaikan operasi prasarana
perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 yang mengakibatkan
kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda atau barang, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka
berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 188
Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak
memiliki izin usaha, izin pembangunan, dan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 189
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian
umum yang tidak memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 yang mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi
harta benda atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6
(enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 190
Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memiliki
izin usaha dan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 191
(1) Penyelenggara perkeretaapian khusus yang tidak memiliki izin pengadaan atau
pembangunan dan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling
banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 192
Setiap orang yang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, dan bangunan
lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta
api, yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan
perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 193
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan, baik langsung maupun tidak langsung, yang
dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran tanah di jalur kereta api sehingga
mengganggu atau membahayakan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 179, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kerusakan prasarana perkeretaapian dan/atau sarana perkeretaapian, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau pidana denda paling banyakRp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 194
Tenaga penguji Prasarana Perkeretaapian yang melakukan pengujian Prasarana
Perkeretaapian tidak menggunakan peralatan pengujian Prasarana Perkeretaapian
dan/atau melakukan pengujian tidak sesuai dengan tata cara pengujian Prasarana
Perkeretaapian yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
Pasal 195
Petugas prasarana perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak
memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 196
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan prasarana perkeretaapian
dengan petugas yang tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 80
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 197
(1) Setiap orang yang menghilangkan, merusak, dan/atau melakukan perbuatan yang
mengakibatkan rusak dan tidak berfungsinya prasarana perkeretaapian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 180, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kecelakaan dan/atau kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara
palinglama 5 (lima) tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka
berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 198
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang tidak menempatkan tanda larangan
secara jelas dan lengkap di ruang manfaat jalur kereta api dan di jalur kereta api
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 yang mengakibatkan kerugian bagi harta
benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka
berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 199
Setiap orang yang berada di ruang manfaat jalan kereta api, menyeret barang di atas atau
melintasi jalur kereta api tanpa hak, dan menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan
lain selain untuk angkutan kereta api yang dapat mengganggu perjalanan kereta api
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga)bulan atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belasjuta rupiah).
Psal 200
Pemilik Prasarana Perkeretaapian yang memberi izin pembangunan jalan, jalur kereta api
khusus, terusan, saluranair dan/atau prasarana lain yang memerlukan persambungan, dan
perpotongan dan/atau persinggungan dengan jalur kereta api umum yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 201
Setiap orang yang membangun jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air,
dan/atau prasarana lain yang menimbulkan atau memerlukan persambungan,
perpotongan, atau persinggungan dengan jalan kereta api umum tanpa izin pemilik
prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 202
Tenaga penguji sarana perkeretaapian yang melakukan pengujian sarana perkeretaapian
tidak menggunakan peralatan pengujian dan/atau melakukan pengujian tidak sesuai
dengan tata cara pengujian yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108,
mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 203
(1) Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak
memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka
berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 204
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian
dengan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat tanda kecakapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1), dipidana dengan pidanapenjara paling
lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00. (dua ratus lima
puluh juta rupiah).
Pasal 205
Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan kereta api tanpa surat perintah tugas
dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat
(2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 206
(1) Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan kereta api yang tidak mematuhi
perintah petugas pengatur perjalanan kereta api, sinyal, atau tanda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 122 ayat (3) dan ayat (4), mengakibatkan kecelakaan kereta
api dan kerugian bagiharta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka
berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya orang, dipidana denganpidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 207
Setiap orang yang tanpa hak berada di dalam kabin masinis, di atap kereta, di lokomotif,
di gerbong, atau di bagian kereta yang peruntukannya bukan untuk penumpang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas
juta rupiah).
Pasal 208
Setiap orang yang menjual karcis kereta api di luar tempat yang telah ditentukan oleh
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 209
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya
terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, Petugas Prasarana Perkeretaapian, dan
pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 210
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191, dan Pasal 193
yang mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191 dan Pasal 193 yang
mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6(enam)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 211
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya
terhadap Pengguna Jasa, Awak Sarana Perkeretaapian, dan pihak ketiga
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) dan Pasal 169 ayat (1) dan ayat (3),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 212
Selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 196, Pasal 204, dan Pasal 211, korban dapat menuntut ganti kerugian terhadap
Penyelenggara Prasarana atau Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang
pelaksanaannya berdasarkan ketentuanhukum acara pidana.
Pasal 213
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187, Pasal 188, Pasal 189,
Pasal 190, Pasal 191, Pasal 196, Pasal 198, Pasal 200, Pasal 204, Pasal 209, dan Pasal
211 dilakukan oleh suatu korporasi, maka dipidana dengan pidana denda yang sama
sesuai pasal-pasal tersebut ditambah dengan 1/3 (satu pertiga).
BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 214
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Badan Usaha yang telah menyelenggarakan
prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian tetap menyelenggarakan
prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang ini berlaku,
penyelenggaraan prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian
yangdilaksanakan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta
penyelenggaraan prasarana perkeretaapian milik Pemerintah wajib disesuaikan
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 215
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia
Nomor 3479) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti
berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 216
Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini ditetapkan paling
lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 217
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992
tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 218
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 65
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2007
TENTANG
PERKERETAAPIAN
I. UMUM
Perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi memiliki karakteristik dan
keunggulan khusus, terutama dalam kemampuannya untuk mengangkut, baik orang
maupun barang secara massal, menghemat energi, menghemat penggunaan ruang,
mempunyai faktor keamanan yang tinggi, memiliki tingkat pencemaran yang rendah,
serta lebih efisien dibandingkan dengan moda transportasi jalan untuk angkutan jarak
jauh dan untuk daerah yang padat lalu lintasnya, seperti angkutan perkotaan.
Dengan keunggulan dan karakteristik perkeretaapian tersebut, peran perkeretaapian perlu
lebih ditingkatkan dalam upaya pengembangansistem transportasi nasional secara
terpadu. Untuk itu, penyelenggaraan perkeretaapian yang dimulai dari pengadaan,
pengoperasian, perawatan, dan pengusahaan perlu diatur dengan sebaik-baiknya sehingga
dapat terselenggara angkutan kereta api yang menjamin keselamatan, aman,nyaman,
cepat, tepat, tertib, efisien, serta terpadu dengan modatransportasi lain. Dengan demikian,
terdapat keserasian dan keseimbangan beban antarmoda transportasi yang mampu
meningkatkanpenyediaan jasa angkutan bagi mobilitas angkutan orang dan barang.
Penyelenggaraan perkeretaapian telah menunjukkan peningkatan peran yang penting
dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan
keamanan, memperlancar kegiatan pemerintahan, memperkukuh persatuan dan kesatuan
bangsa, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Dengan adanya perkembangan teknologi perkeretaapian dan perubahan lingkungan
strategis yang semakin kompetitif dan tidak terpisahkan dari sistem perekonomian
internasional yang menitikberatkan pada asas keadilan, keterbukaan, dan tidak
diskriminatif, dipandang perlumelibatkan peran pemerintah daerah dan swasta guna
mendorong kemajuan penyelenggaraan perkeretaapian nasional.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian,
kondisi perkeretaapian nasional yang masih bersifat monopoli dihadapkan pada berbagai
masalah, antara lain kontribusiperkeretaapian terhadap transportasi nasional masih
rendah, prasarana dan sarana belum memadai, jaringan masih terbatas, kemampuan
pembiayaan terbatas, tingkat kecelakaan masih tinggi, dan tingkatpelayanan masih jauh
dari harapan.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, peran Pemerintah dalam penyelenggaraan
perkeretaapian perlu dititikberatkan pada pembinaanyang meliputi penentuan kebijakan,
pengaturan, pengendalian, danpengawasan dengan mengikutsertakan peran masyarakat
sehingga penyelenggaraan perkeretaapian dapat terlaksana secara efisien, efektif,
transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan tetap berpijak pada makna dan hakikat yang terkandung dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dengan
memperhatikan perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional,
terutama di bidang perkeretaapian, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang
Perkeretaapian perludiganti.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa perkeretaapian harus dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan
kemakmuran rakyat, kesejahteraan rakyat, dan pengembangan kehidupan yang
berkesinambungan bagi warga negara.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa perkeretaapian harus dapat
memberi pelayanan kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau
serta memberi kesempatan berusaha dan perlindungan yang sama kepada semua pihak
yang terlibat dalam perkeretaapian.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa perkeretaapian harus
diselenggarakan atas dasar keseimbangan antara sarana dan prasarana, kepentingan
pengguna jasa dan penyelenggara, kebutuhan dan ketersediaan, kepentinganindividu dan
masyarakat, antardaerah dan antarwilayah, serta antara kepentingan nasional dan
internasional.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kepentingan umum” adalah bahwa perkeretaapian harus
lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas daripada kepentingan perseorangan
atau kelompok dengan memperhatikan keselamatan, keamanan, kenyamanan, dan
ketertiban.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa perkeretaapian harus
merupakan satu kesatuan sistem dan perencanaan yang utuh, terpadu, dan terintegrasi
serta saling menunjang, baik antarhierarki tatanan perkeretaapian, intramoda maupun
antarmoda transportasi.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah bahwa penyelenggaraan
perkeretaapian harus berlandaskan kepercayaan diri, kemampuan dan potensi produksi
dalam negeri, serta sumber daya manusia dengan daya inovasi dan kreativitas yang
bersendi pada kedaulatan, martabat, dan kepribadian bangsa.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas transparansi” adalah bahwa penyelenggaraan
perkeretaapian harus memberi ruang kepada masyarakat luas untuk memperoleh
informasi yang benar, jelas, dan jujur sehingga masyarakat mempunyai kesempatan
berpartisipasi bagi kemajuan perkeretaapian.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah bahwa penyelenggaraan
perkeretaapian harus didasarkan pada kinerja yang terukur, dapat dievaluasi, dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas berkelanjutan” adalah bahwa penyelenggaraan
perkeretaapian harus dilakukan secara berkesinambungan, berkembang, dan meningkat
dengan mengikuti kemajuan teknologi dan menjaga kelestarian lingkungan untuk
menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “secara massal” adalah bahwa kereta api memiliki kemampuan
untuk mengangkut orang dan/atau barang dalam jumlah atau volume besar setiap kali
perjalanan.
Yang dimaksud dengan “selamat” adalah terhindarnya perjalanan kereta api dari
kecelakaan akibat faktor internal.
Yang dimaksud dengan “aman” adalah terhindarnya perjalanan kereta api akibat faktor
eksternal, baik berupa gangguan alam maupun manusia.
Yang dimaksud dengan “nyaman” adalah terwujudnya ketenangan dan ketenteraman bagi
penumpang selama perjalanan kereta api.
Yang dimaksud dengan “cepat dan lancar” adalah perjalanan kereta api dengan waktu
yang singkat dan tanpa gangguan.
Yang dimaksud dengan “tepat” adalah terlaksananya perjalanan kereta api sesuai dengan
waktu yang ditetapkan.
Yang dimaksud dengan “tertib dan teratur” adalah terlaksananya perjalanan kereta api
sesuai dengan jadwal dan peraturan perjalanan.
Yang dimaksud dengan “efisien” adalah penyelenggaraan perkeretaapian yang mampu
memberikan manfaat yang maksimal.
Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kereta api kecepatan normal” adalah kereta api yang
mempunyai kecepatan kurang dari 200 km/jam.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kereta api kecepatan tinggi” adalah kereta api yang mempunyai
kecepatan lebih dari 200 km/jam.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kereta api monorel” adalah kereta api yang bergerak pada 1
(satu) rel.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kereta api motor induksi linear” adalah kereta api yang
menggunakan penggerak motor induksi linear dengan stator pada jalan rel dan rotor pada
sarana perkeretaapian.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “kereta api gerak udara” adalah kereta api yang bergerak dengan
menggunakan tekanan udara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “kereta api levitasi magnetik” adalah kereta api yang digerakkan
dengan tenaga magnetik sehingga pada waktu bergerak tidak ada gesekan antara sarana
perkeretaapian dan jalan rel.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “trem” adalah kereta api yang bergerak di atas jalan rel yang
sebidang dengan jalan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “kereta gantung” adalah kereta yang bergerak dengan cara
menggantung pada tali baja.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perkeretaapian umum” adalah perkeretaapian yang digunakan
untuk melayani angkutan orang dan/atau barang dengan dipungut bayaran.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perkeretaapian khusus” adalah perkeretaapian yang hanya
digunakan untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tertentu dan tidak digunakan
untuk melayani masyarakat umum.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perkeretaapian perkotaan” adalah perkeretaapian yang melayani
perpindahan orang di wilayah perkotaan dan/atau perjalanan ulang-alik dengan
jangkauan:
a. seluruh wilayah administrasi kota; dan/atau
b. melebihi wilayah administrasi kota.
Dalam hal perkeretaapian perkotaan berada di wilayah metropolitan disebut kereta api
metro.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perkeretaapian antarkota” adalah perkeretaapian yang melayani
perpindahan orang dan/atau barang dari satu kota ke kota yang lain.
Dalam hal perkeretaapian antarkota melayani angkutan orang dan/atau barang dari satu
kota ke kota di negara lain, disebut kereta api antarnegara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tatanan perkeretaapian” adalah hierarki kewilayahan pada
jaringan perkeretaapian yang membentuk satu kesatuan sistem pelayanan perkeretaapian
di suatu wilayah.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perkeretaapian nasional” adalah tatanan perkeretaapian yang
melayani angkutan orang dan/atau barang lebih dari satu provinsi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perkeretaapian provinsi” adalah tatanan perkeretaapian yang
melayani angkutan orang dan/atau barang yang melebihi satu kabupaten/kota dalam satu
provinsi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “perkeretaapian kabupaten/kota” adalah tatanan perkeretaapian
yang melayani angkutan orang dan/atau barang dalam satu kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “terintegrasi sistem perkeretaapian dengan moda transportasi
lain” adalah menyinergikan modaperkeretaapian dengan moda transportasi lain sehingga
terwujud keterpaduan jaringan serta mempermudah dan memperlancar pelayanan
angkutan orang dan/atau barang.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rencana induk perkeretaapian” adalah rencana pengembangan
jaringan prasarana perkeretaapian, baik yang memuat jaringan jalur kereta api yang telah
ada maupun rencana jaringan jalur kereta api yang akan dibangun.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rencana induk perkeretaapian nasional” adalah rencana induk
perkeretaapian yang menghubungkan antarpusat kegiatan nasional serta antara pusat
kegiatan nasional dan pusat kegiatan provinsi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rencana induk perkeretaapian provinsi” adalah rencana induk
perkeretaapian yang menghubungkan antarpusat kegiatan provinsi serta antara pusat
kegiatan provinsi dan pusat kegiatan kabupaten/kota.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota” adalah rencana
induk perkeretaapian yang menghubungkan antarpusat kegiatan dalam kabupaten/kota.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rencana tata ruang wilayah nasional” adalah rencana tata ruang
nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rencana induk jaringan moda transportasi lainnya” adalah
rencana induk jaringan transportasi jalan, laut, dan udara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tataran transportasi” adalah tingkatan transportasi yang terbagi
dalam tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rencana tata ruang wilayah provinsi” adalah rencana tata ruang
provinsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang
wilayah kota” adalah rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tataruang
wilayah kota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dikuasai oleh Negara” adalah bahwa Negara mempunyai
kewenangan untuk mengaturpenyelenggaraan perkeretaapian dan pelaksanaannya
dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengaturan” meliputi penetapan kebijakan umum dan kebijakan
teknis, antara lain penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, rencana, dan prosedur.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah pemberian arahan, bimbingan, supervisi,
pelatihan, perizinan, sertifikasi, serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan
pengoperasian.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengawasan” adalah kegiatan pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan perkeretaapian agar sesuai dengan peraturan perundangundangan,
termasuk melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Yang dimaksud dengan “standar perawatan prasarana perkeretaapian” adalah sistem,
prosedur, dan tolok ukur perawatan prasarana perkeretaapian yang ditetapkan oleh
Pemerintah sesuai dengan jenisnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan
prasarana perkeretaapian” adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah diberi amanat
untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian yang pelaksanaannya ditugaskan kepada
badan usaha yang dibentuk untuk keperluan tersebut.
Dalam hal penyelenggaraan prasarana perkeretaapian dilaksanakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah yang secara ekonomi sudah bersifat komersial, penyelenggaraan
prasarananya dialihkan kepada badan usaha prasarana perkeretaapian.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan
sarana perkeretaapian” adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah diberi amanat untuk
penyelenggaraan sarana perkeretaapian yang pelaksanaannya ditugaskan kepada badan
usaha yang dibentuk untuk keperluan tersebut.
Dalam hal penyelenggaraan sarana perkeretaapian dilaksanakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah yang secara ekonomi sudah bersifat komersial, penyelenggaraan
sarananya dialihkan kepada badan usaha sarana perkeretaapian.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bangunan pelengkap lainnya” adalah fasilitas yang menunjang
kelancaran dan keselamatan pengoperasian kereta api.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jalan rel di atas permukaan tanah” adalah jalan rel layang
dan/atau jalan rel gantung.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lebar ruang manfaat jalur kereta api” adalah ruang yang
digunakan untuk konstruksi jalan rel dan fasilitas operasi sesuai dengan jenis jalurnya,
antara lain jalur tunggal, jalur ganda, jembatan, dan terowongan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Batas ruang milik jalur kereta api merupakan ruang di sisi kiri dan kanan ruang manfaat
jalur kereta api yang lebarnya paling rendah 6 (enam) meter.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “untuk keperluan lain” adalah kepentingan di luar kereta api,
antara lain kepentingan pipa gas, pipa minyak, dan kabel telepon.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Batas ruang pengawasan jalur kereta api merupakan ruang di sisi kiri dan kanan ruang
milik jalur kereta api yang lebarnya paling rendah 9 (sembilan) meter.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup Jelas.
Pasal 48
Cukup Jelas.
Pasal 49
Cukup Jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “fasilitas kesehatan” adalah pelayanan kesehatan yang
disesuaikan dengan kelas stasiun.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “fasilitas umum” adalah sarana pelayanan umum, sekurangkurangnya
toilet, musala, dan restoran.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55
Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha penunjang” adalah aktivitas usaha untuk
mendukung pengusahaan perkeretaapian, antara lain usaha pertokoan, restoran,
perkantoran, dan perhotelan.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “jasa pelayanan khusus” adalah fasilitas pelayanan yang
disediakan oleh Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian selain fasilitas pelayanan
standar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Huruf a
Yang dimaksud dengan “peralatan persinyalan” adalah fasilitas pendukung operasi yang
memberi petunjuk atau isyarat berupa warna atau cahaya dengan arti tertentu yang
dipasang pada tempat tertentu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sinyal” adalah alat atau perangkat yang digunakan untuk
menyampaikan perintah bagi pengaturan perjalanan kereta api dengan peragaan dan/atau
warna. Perangkat sinyal terdiri atas peralatan luar ruangan (outdoor) dan peralatan dalam
ruangan (indoor).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tanda” adalah isyarat yang berfungsi untuk memberi peringatan
atau petunjuk kepada petugas yang mengendalikan pergerakan sarana kereta api.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “marka” adalah tanda berupa gambar atau tulisan yang berfungsi
sebagai peringatan atau petunjuk tentang kondisi tertentu pada suatu tempat yang terkait
dengan perjalanan kereta api.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “memenuhi persyaratan kelaikan” adalah kondisi prasarana siap
operasi dan secara teknis aman untuk dioperasikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”persyaratan sistem” adalah kondisi yang harus dipenuhi untuk
berfungsinya sistem jalan rel, sistem jembatan, sistem terowongan, sistem stasiun, sistem
persinyalan, sistem telekomunikasi, dan sistem perlistrikan.
Yang dimaksud dengan ”persyaratan komponen” adalah spesifikasi teknis yang harus
dipenuhi setiap komponen sebagai bagian dari suatu sistem, misalnya sistem jalan rel
terdiri atas rel, bantalan, balas, dan alat penambat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ jadwal yang ditetapkan” adalah kegiatan pengecekan kelaikan
prasarana perkeretaapian sesuai dengan jadwal tertentu berdasarkan spesifikasi teknis,
tingkat penggunaan, dan kondisi lingkungan setiap jenis prasarana perkeretaapian yang
diuji.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “petugas” meliputi antara lain, petugas pengatur perjalanan
kereta api, tenaga perawatan prasarana perkeretaapian, penjaga perlintasan kereta api.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah pihak-pihak selain Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian dan pengguna jasa.
Yang dimaksud dengan “pengoperasian prasarana perkeretaapian” adalah kegiatan yang
terkait dengan operasional prasarana perkeretaapian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Musibah yang dialami oleh pihak ketiga, antara lain akibat dari bangunan stasiun roboh,
jembatan kereta api ambruk, dan menara telekomunikasi roboh.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 88
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” adalah force majeur.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “jalan” adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Yang dimaksud dengan “tidak sebidang” adalah letak jalur kereta api tidak berpotongan
secara horizontal dengan jalan, tetapi terletak di atas atau di bawah jalan.
Perlintasan antara jalur kereta api dan jalan yang sebidang yang telah ada sebelum
ditetapkan Undang-Undang ini diupayakan untuk dibuat tidak sebidang secara berangsurangsur
sesuai dengan kemampuan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “lokomotif” adalah sarana perkeretaapian yang memiliki
penggerak sendiri yang bergerak dan digunakan untuk menarik dan/atau mendorong
kereta, gerbong, dan/atau peralatan khusus, antara lain lokomotif listrik dan lokomotif
diesel.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kereta” adalah sarana perkeretaapian yang ditarik lokomotif atau
mempunyai penggerak sendiri yang digunakan untuk mengangkut orang, antara lain
kereta rel listrik (KRL), kereta rel diesel (KRD), kereta makan, kereta bagasi, dan kereta
pembangkit.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “gerbong” adalah sarana perkeretaapian yang ditarik lokomotif
digunakan untuk mengangkut barang, antara lain gerbong datar, gerbong tertutup,
gerbong terbuka, dan gerbong tangki.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “peralatan khusus” adalah sarana perkeretaapian yang tidak
digunakan untuk angkutan penumpang atau barang, tetapi untuk keperluan khusus,antara
lain kereta inspeksi (lori), gerbong penolong, derek (crane), kereta ukur, dan kereta
pemeliharaan jalan rel.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “uji rancang bangun dan rekayasa” adalah pengujian yang
meliputi uji ketepatan atau kesesuaian antara rancang bangun dan fisik sarana
perkeretaapian. Pengujiannya meliputi rangka dasar, badan,roda, keseimbangan berat,
dan kekuatan konstruksi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “uji statis” adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui
kondisi peralatan dan kemampuan kerja sarana perkeretaapian dalam keadaan tidak
bergerak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “uji dinamis” adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui
kondisi peralatan dan kemampuan kerja sarana perkeretaapian dalam keadaan bergerak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup Jelas.
Pasal 107
Cukup Jelas.
Pasal 108
Cukup Jelas.
Pasal 109
Cukup Jelas.
Pasal 110
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “jadwal yang ditetapkan” adalah waktu yang ditentukan untuk
pemeriksaan sarana perkeretaapian yang berpedoman pada buku petunjuk dan
dilaksanakan secara harian, bulanan, 6 (enam) bulanan, dan tahunan.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup Jelas.
Pasal 112
Cukup Jelas.
Pasal 113
Cukup Jelas.
Pasal 114
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “balai yasa” adalah tempat perawatan sarana perkeretaapian
untuk 2 (dua) tahunan atau semi perawatan akhir (SPA), perawatan 4 (empat) tahunan
atau perawatan akhir (PA), dan rehabilitasi atau modifikasi.
Yang dimaksud dengan “depo” adalah tempat perawatan sarana perkeretaapian untuk
harian, bulanan, 6 (enam) bulanan, dan 1(satu) tahunan.
Pasal 115
Cukup Jelas.
Pasal 116
Cukup Jelas.
Pasal 117
Cukup Jelas.
Pasal 118
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rancang bangun” adalah perencanaan, perancangan, dan
perhitungan teknis material dan komponen, uji simulasi, dan pembuatan prototipe atau
model sarana perkeretaapian.
Yang dimaksud dengan “rekayasa” adalah peningkatan kemampuan dan mengubah
fungsi sarana perkeretaapian melalui inovasi dan modifikasi sesuai dengan persyaratan
teknis, antara lain kereta penumpang menjadi kereta bagasi dan kereta rel listrik (KRL)
menjadi kereta rel diesel elektrik (KRDE).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup Jelas.
Pasal 120
Huruf a.
Yang dimaksud dengan “petak blok” adalah jalan rel di antara dua sinyal yang
berdekatan.
Huruf b.
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup Jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Huruf a
Yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk kelancaran dan keselamatan lalu
lintas” adalah menghentikan semua kereta api di stasiun terdekat atau membatasi
kecepatan kereta api yang akan melewati lintas yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “penyidikan awal” adalah pemeriksaan dan penelitian untuk
mencari dan mengumpulkan barang-barang yang dapat dijadikan sebagai bukti adanya
tindak pidana yang mengakibatkan kecelakaan kereta api yang dapat dilaksanakan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang perkeretaapian dengan secepat-cepatnya
dan berkoordinasi dengan penyidik kepolisian setempat.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup Jelas.
Pasal 129
Cukup Jelas.
Pasal 130
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah:
a. keadaan darurat;
b. bencana alam; atau
c. jumlah orang yang jauh di atas jumlah rata-rata orang yang diangkut dan tidak
tersedia kereta pada saat itu.
Ayat (3)
Fasilitas minimal pelayanan penumpang, antara lain tempat duduk, lampu penerangan,
kipas angin, dan toilet darurat.
Pasal 131
Ayat (1)
Fasilitas khusus dapat berupa pembuatan jalan khusus di stasiun dan sarana khusus untuk
naik kereta api atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi penempatan kursi
roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam
posisi tidur.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 132
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “karcis” adalah tanda bukti pembayaran pengguna jasa yang
berbentuk lembaran kertas, karton, atau tiket elektronik.
Pasal 133
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Pengumuman jadwal dan tarif angkutan kepada masyarakat dapat dilakukan di stasiun
atau media cetak atau elektronik.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 134
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Batas waktu melapor adalah 30 (tiga puluh) menit sebelum keberangkatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penindakan terhadap pengguna jasa yang tidak memiliki karcis dapat didenda atau
diturunkan di stasiun terdekat.
Huruf c
Penertiban terhadap pengguna jasa atau masyarakat dapat dilakukan bersama-sama
dengan aparat keamanan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hal-hal yang membahayakan keselamatan, ketertiban, dan kepentingan umum, antara
lain:
a. bersumber pada sarana perkeretaapian, misalnya kondisi kereta api diragukan
kelaikannya untuk dioperasikan; dan
b. bersumber di luar sarana perkeretaapian, misalnya jalur longsor dan ancaman teror.
Pasal 137
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “standar pelayanan minimum” adalah kondisi pelayanan yang
harus dipenuhi oleh penyelenggara sarana perkeretaapian sebagaimana ditetapkan oleh
Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “barang khusus” adalah bahan atau benda yang sifat atau
bentuknya harus diperlakukan secara khusus, antara lain :
a. muatan barang curah, misalnya semen curah dan batubara;
b. muatan barang cair, misalnya BBM dan bahan dasar gula pasir;
c. muatan yang diletakkan di atas palet;
d. muatan kaca lembaran;
e. pengangkutan barang yang memerlukan fasilitas pendingin;
f. pengangkutan tumbuh-tumbuhan dan hewan hidup; dan
g. pengangkutan kendaraan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bahan berbahaya dan beracun” adalah setiap bahan atau benda
yang karena sifat dan ciri khasnya dapat membahayakan keselamatan, kesehatan
manusia, makhluk hidup lainnya, dan ketertiban umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “limbah bahan berbahaya dan beracun” adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat
dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia, dan makhluk
hidup lain.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “angkutan multimoda” adalah angkutan yang menggunakan
paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar perjanjian angkutan
multimoda dengan menggunakan satu dokumen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal masyarakat dinilai belum mampu membayar tarif yang ditetapkan oleh
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, Pemerintah atau Pemerintah Daerah menetapkan
tarif angkutan pelayanan kelas ekonomi yang merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban
pelayanan publik (Public Service Obligation) dan angkutan perintis.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “angkutan pelayanan kelas ekonomi” adalah angkutan orang
yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sesuai dengan standar
pelayanan minimum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “angkutan perintis” adalah penyelenggaraan perkeretaapian yang
dioperasikan dalam waktu tertentu untuk melayani daerah baru atau daerah yang sudah
ada jalur kereta apinya dalam rangka menunjang pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas
pembangunan nasional, tetapi secara komersial belum menguntungkan.
Pasal 153
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tarif yang dihitung oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian”
adalah besarnya tarif yang dihitung berdasarkan pedoman penetapan tarif.
Yang dimaksud dengan kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation) adalah
kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan angkutan kereta api kepada
masyarakat dengan tarif yang terjangkau.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “biaya yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian” adalah besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengoperasikan sarana
perkeretaapian pada lintas perintis yang dihitung berdasarkan asumsi yang disepakati
oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Pasal 154
Ayat (1)
Biaya penggunaan prasarana perkeretaapian atau yang dikenal dengan Track Acces
Charge (TAC) adalah biaya yang harus dibayaroleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
untuk penggunaan prasarana perkeretaapian yang dioperasikan oleh Penyelenggara
Prasarana Perkeretaapian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Ayat (1)
Bentuk bertanggung jawab adalah pemberian ganti kerugian dan biaya pengobatan bagi
pengguna jasa yang luka-luka atau santunan bagi pengguna jasa yang meninggal dunia.
Kerugian pengguna jasa yang ditanggung oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
berupa penggantian kehilangan atau kerusakan barang sebagai akibat pengoperasian
angkutan kereta api.
Ayat (2)
Batas waktu tanggung jawab penyelenggara sarana perkeretaapian adalah dipenuhinya
kewajiban penyelenggara sarana perkeretaapian memberikan ganti kerugian, biaya
pengobatan, dan santunan paling lama 1 (satu) bulan sejak kejadian.
Pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka, dan keluarga pengguna jasa yang
meninggal dunia harus memberitahukan kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian
paling lama 12 (dua belas) jam terhitung sejak kejadian.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Luka atau meninggalnya pengguna jasa yang tidak disebabkan oleh pengoperasian kereta
api, misalnya pengguna jasa luka atau meninggal dunia di dalam kereta api karena sakit
bawaan atau karena kejahatan.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tempat penyimpanan yang disediakan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dapat
berupa gerbong, gudang, dan ruang terbuka.
Biaya penyimpanan, antara lain sewa gerbong, biaya pembongkaran, biaya pemindahan,
biaya penumpukan, dan biaya sewa gudang.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “batas waktu” adalah ketentuan yang disebutkan dalam
perjanjian angkutan.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengajuan keberatan” adalah pengaduan kerusakan barang
dengan disertai bukti rusaknya barang serta perincian permintaan ganti kerugian dan
keterangan nilai barang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Yang dimaksud dengan “kerugian” adalah nilai kerusakan pada prasarana perkeretaapian
dan sarana perkeretaapian serta luka-luka dan meninggalnya orang yang dipekerjakan
oleh Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
Tuntutan kerugian kerusakan pada prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian
serta biaya pengobatan dan santunan harus dipenuhi oleh pihak yang menimbulkan
kerugian dan luka-luka serta meninggal.
Yang dimaksud dengan “orang yang dipekerjakan” adalah petugas Penyelenggara
Prasarana Perkeretaapian atau Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam melaksanakan
kegiatan di bidang prasarana dan sarana perkeretaapian.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Ayat (1)
Penelitian sebab-sebab terjadinya kecelakaan adalah bukan dalam kaitan dengan
penyidikan (penegakan hukum), melainkan semata-mata untuk mengetahui sebab-sebab
terjadinya kecelakaan dalam rangka perbaikan teknologi dan agar kecelakaan serupa
tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Apabila dalam kecelakaan tersebut memang terdapat unsur melawan hukum,
pemeriksaannya juga dilakukan oleh penyidik dalam rangka penegakan hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Yang dimaksud dengan “pandangan bebas” adalah tidak terhalangnya pandangan masinis
kereta api untuk melihat peralatan persinyalan dan kondisi jalan rel.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menyeret” adalah menarik atau mendorong barang tanpa roda
dan melintasi jalur kereta api.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kepentingan lain” adalah penggunaan jalur kereta api yang tidak
sesuai dengan fungsinya, antara lain berjualan, menggembala ternak, dan menjemur
barang.
Ayat (2)
Yang termasuk surat tugas adalah kartu atau tanda pengenal.
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku, antara lain Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 107 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 187
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini, yang dipidana adalah pengurus dari Penyelenggara Prasarana
Perkeretaapian sebagai korporasi.
Pengurus dalam hal ini adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional
dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau
demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain
dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sediri-sendiri atau bersama-sama.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan ”luka berat” adalah:
- sakit atau luka yang tidak ada harapan untuk sembuh sama sekali atau yang
menimbulkan bahaya maut;
- tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas, jabatan, atau pekerjaan
pencaharian;
- kehilangan salah satu panca indera;
- cacat berat;
- lumpuh;
- daya pikir terganggu selama lebih dari 4 (empat) minggu; dan
- gugur atau matinya kandungan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 188
Dalam ketentuan ini, yang dipidana adalah pengurus dari Badan Usaha yang
menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebagai korporasi. Pengurus dalam
hal ini adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur
organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi
kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain dalam
lingkup usaha korporasi tersebut, baik sediri-sendiri atau bersama-sama.
Pasal 189
Dalam ketentuan ini, yang dipidana adalah pengurus dari Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian sebagai korporasi. Pengurus dalam hal ini adalah orang-orang yang
mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak
untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan
kerja atau berdasar hubungan lain dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sedirisendiri
atau bersama-sama.
Pasal 190
Lihat penjelasan Pasal 187.
Pasal 191
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini, yang dipidana adalah pengurus dari Penyelenggara Perkeretaapian
Khusus sebagai korporasi.
Pengurus dalam hal ini adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional
dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau
demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain
dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sediri-sendiri atau bersama-sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Yang dimaksud dengan “mengoperasikan” meliputi pengoperasian, perawatan,
pengelolaan, pengawasan, dan pemeriksaan.
Pasal 196
Lihat penjelasan Pasal 187 ayat (1).
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 187 ayat (1).
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 187 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Lihat penjelasan Pasal 189.
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “awak kereta api” dalam ketentuan ini adalah masinis dan asisten
masinis.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 187 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Lihat penjelasan Pasal 187 ayat (1).
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 211
Lihat penjelasan Pasal 189.
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Cukup jelas.
Pasal 214
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Waktu 3 (tiga) tahun dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan
penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero), atas
Prasarana Perkeretaapianmilik Pemerintah, dalam rangka memberikan kesempatan
kepada Pemerintah memperbaiki kondisi PT. Kereta Api Indonesia
(Persero) dengan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. melakukan audit secara menyeluruh terhadap PT. Kereta Api Indonesia (Persero);
b. melakukan inventarisasi aset prasarana dan sarana PT. Kereta Api Indonesia
(Persero);
c. menegaskan status kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation) dan
kewajiban masa lalu penyelenggaraan program pensiun pegawai PT. Kereta Api
Indonesia (Persero) eks Pegawai Negeri Sipil PJKA/Departemen Perhubungan (Past
Service Liability);
d. membuat neraca awal PT. Kereta Api Indonesia (Persero).
Pasal 215
Cukup jelas.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217
Cukup jelas.
Pasal 218
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4722