Halaman

Senin, 22 Desember 2008

FILSAFAT HUKUM

Teori Hukum Kodrat
Pertanyaan: Apa "kodrat" atau "alamiah" itu ?
PERSOALAN DASAR: "tarik menarik" dua sisi:
1. Hukum diperlukan untuk melindungi kebebasan manusia dari campur tangan yang lain.
2. Hukum dapat dipandang sebagai musuh dari kebebasan (alami).
Refleksi kasus:

- 1970 : Kasus perkawinan antara seorang laki-laki dengan "wanita transeksual".
- 1976: Mensterilkan "gadis idiot" >< right to reproduction.
- 1978: Keputusan pengadilan untuk menolak tuntutan seorang suami yang berusaha mencegah istrinya melakukan aborsi.
- 199...: di Inggris hukum menetapkan hak istri untuk menolak berhubungan intim dengan suami. KDRT ?
Teori Hukum Kodrat Klasik:
1. Plato (428 � 347 SM)
Latar Balakang Umum: Runtuhnya kejayaan konfederasi Athena (Pericles meninggal 425 SM). Terjadi demoralisasi kehidupan warga Athena. Ini sebagai akibat dari perang Peloponesian yang berlangsung dari sebelum lahirnya Plato hingga usianya yang ke 23, dan berakhir dengan kekalahan dan penghinaan bagi Athena. Pemerintahan tidak stabil, dan selalu berganti-ganti sistem: dari timokrasi, oligarkhi, demokrasi hingga tirani. Muncul pula pertentangan pemahaman antara "kodrat" dan "kebiasaan". Mulai dipertentangkan antara "kehendak dewa (Antigone, Creon sebagai hukum Zeus) dengan hukum manusia. Atas jasa Sokrates, mulai berkembang filsafat dan lembaga pendidikan.
Karya utama tentang hukum (dan negara):
-Masa idealisme : Politea (Republic)

Peradilan Sokrates yang meski disaksikannya pada usia 20 th sangat traumatis bagi Plato muda. Dia tidak percaya pada kehidupan "demokratis", model masyarakat yang telah menuduh dan mengadili gurunya, Sokrates, sebagai "penghasut kaum muda untuk tidak percaya pada dewa". [Baca "Apologia" karya Plato, sudah diterjemahkan oleh Dr Fuad Hasan] Namun Plato masih percaya tentang adanya hidup yang sempurna, baik untuk individu dan negara.
Bereaksi terhadap situasi jaman, Plato berpendapat bahwa keempat sistem pemerintahan yang ada semua buruk (Book VIII, p.543-592). Bagi Plato "Kebaikan" (Goodness) ditemukan dalam kebutuhan timbal balik dan pembagian kerja yang didasarkan atas keyakinannya tentang pararelitas antara kecakapan mental (jiwa) dan kelas-kelas dalam negara. "Keadilan" kemudian dimaknai sebagai ikatan yang mempersatukan masyarakat, dimana masing-masing individu menunaikan tugas hidupkan sesuai dengan bakkat dan pendidikannya. Jadi "keadilan" tidak ada kaitannya dengan hukum positif. Hak dan kewajiban inheren dalam jasa yang dilakukan individu dalam masyarakatnya. Masyarakat ideal: masyarakat yang warganya loyal terhadap negara, penghapusan pemilikan dan keluarga. Jadi, pada fase idealisme, "hukum" ditinggalkan. Pengaturan masyarakat hanya didasarkan pada bakat atau kemampuan manusia.
-Masa realisme: Nomoi (Laws)

Nomoi terdiri 12 buku yang tidak sistematik. Ditulis setelah berdirinya Akademia, masa setelah sempat dijual sebagai budak oleh Dionysus II. Pada fase ini Plato mulai menanggalkan beberapa impian "filosofisnya", dan pendekatan yang dilakukannya lebih empiristik, yang kemudian diikuti oleh salah satu muridnya yang terkenal, Aristoteles. Berbeda dengan Politea, dalam Nomoi Plato berpandangan bahwa dalam pemerintah yang baik, hukumlah yang berdaulat. Tanpa hukum manusia sama dengan binatang buas [namun bila ada orang bijak yang memimpin, hukum tidak perlu, sebab (sisa semangat idealisme) tidak ada aturan atau hukum yang lebih berkuasa daripada pengetahuan (akal-murni)]. Berbeda dengan Politea, kebajikan tertinggi adalah menghormati hukum dan lembaga-lembaga negara, serta tunduk pada kekuasaannya, karena dalam negaralah kearifan itu terbeku dalam hukum. Untuk itu perlu dibentuk suatu komisi perundang-undangan guna menyusun hukum baru. Negara ideal: kombinasi monarkhi yang arif dengan demokrasi yang diliputi kebebasan, dan bukannya anarkhi. Bagi Plato hukum merupakan sarana pendidikan masyarakat. Hukuman bagi penjahat adalah untuk memperbaiki sikap mental, dan bila tidak bisa diperbaiki, dibunuh saja

Tidak ada komentar: