Halaman

Jumat, 14 Agustus 2009

kata-kata Mutiara cinta

Jika kita mencintai seseorang, kita akan senantiasa mendo'akannya walaupun dia tidak berada disisi kita.

Tuhan memberikan kita dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua telinga untuk mendengar dan dua mata untuk melihat. Tetapi mengapa Tuhan hanya menganugerahkan sekeping hati pada kita ? Karena Tuhan telah memberikan sekeping lagi hati pada seseorang untuk kita mencarinya. Itulah Cinta ...

Jangan sesekali mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba. Jangan sesekali menyerah jika kamu masih merasa sanggup. Jangan sesekali mengatakan kamu tidak mencintainya lagi, jika kamu masih tidak dapat melupakannya.

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

Jangan simpan kata-kata cinta pada orang yang tersayang sehingga dia meninggal dunia lantaran akhirnya kamu terpaksa catatkan kata-kata cinta itu pada pusaranya. Sebaliknya ucapkan kata-kata cinta yang tersimpan dibenakmu itu sekarang selagi ada hayatnya.

Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dan bercinta dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterimakasih atas karunia tersebut.

Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh,
penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat dan kemarahan menjadi rahmat.

Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi lebih menyakitkan adalah
mencintai seseorang dan kamu tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cintamu kepadanya.

Seandainya kamu ingin mencintai atau memiliki hati seorang gadis, ibaratkanlah seperti menyunting sekuntum mawar merah. Kadangkala kamu mencium harum mawar tersebut, tetapi kadangkala kamu terasa bisa duri mawar itu menusuk jari.

Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu, hanya untuk menemukan bahwa pada akhirnya menjadi tidak berarti dan kamu harus membiarkannya pergi.

Kadangkala kamu tidak menghargai orang yang mencintai kamu sepenuh hati, sehingga kamu kehilangannya.
Pada saat itu, tiada guna penyesalan karena perginya tanpa berkata lagi.

Cintailah seseorang itu atas dasar siapa dia sekarang dan bukan siapa dia sebelumnya.
Kisah silam tidak perlu diungkit lagi, kiranya kamu benar-benar mencintainya setulus hati.

Hati-hati dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya menjadi miskin, raja menjadi budak, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta PALSU.

Kemungkinan apa yang kamu sayangi atau cintai tersimpan keburukan didalamnya dan kemungkinan
apa yang kamu benci tersimpan kebaikan didalamnya.

Cinta kepada harta artinya bakhil, cinta kepada perempuan artinya alam, cinta kepada diri artinya bijaksana,
cinta kepada mati artinya hidup dan cinta kepada Tuhan artinya Takwa.

Lemparkan seorang yang bahagia dalam bercinta kedalam laut, pasti ia akan membawa seekor ikan.
Lemparkan pula seorang yang gagal dalam bercinta ke dalam gudang roti, pasti ia akan mati kelaparan.

Seandainya kamu dapat berbicara dalam semua bahasa manusia dan alam, tetapi tidak mempunyai
perasaan cinta dan kasih, dirimu tak ubah seperti gong yang bergaung atau sekedar canang yang gemericing.

Cinta adalah keabadian ... dan kenangan adalah hal terindah yang pernah dimiliki.

Siapapun pandai menghayati cinta, tapi tak seorangpun pandai menilai cinta karena cinta bukanlah suatu
objek yang bisa dilihat oleh kasat mata, sebaliknya cinta hanya dapat dirasakan melalui hati dan perasaan.

Cinta mampu melunakkan besi, menghancurkan batu, membangkitkan yang mati dan
meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dahsyatnya cinta.

Cinta sebenarnya adalah membiarkan orang yang kamu cintai menjadi dirinya sendiri dan tidak merubahnya menjadi
gambaran yang kamu inginkan. Jika tidak, kamu hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kamu temukan didalam dirinya.

Kamu tidak akan pernah tahu bila kamu akan jatuh cinta. Namun apabila sampai saatnya itu,
raihlah dengan kedua tanganmu dan jangan biarkan dia pergi dengan sejuta rasa tanda tanya dihatinya.

Cinta bukanlah kata murah dan lumrah dituturkan dari mulut kemulut tetapi cinta adalah
anugerah Tuhan yang indah dan suci jika manusia dapat menilai kesuciannya.

Bercinta memang mudah, untuk dicintai juga memang mudah. Tapi untuk dicintai oleh orang yang kita cintai
itulah yang sukar diperoleh.

Jika saja kehadiran cinta sekedar untuk mengecewakan, lebih baik cinta itu tak pernah hadir.
sumber: http://kata-katamutiara.internet.

Senin, 27 Juli 2009

SISTEM PEMERINTAHAN DI DAERAH

“SISTEM PEMERINTAHAN DI DAERAH”
Oleh: Muhammad Syahrum.

I. Latar Belakang
Pemahaman Orde Baru mengenal UUD 1945 sangat sederhana, yaitu “ Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”. Murni dan konsekuen dipahami sebagai menjalankan UUD 1945 sesuai dengan asas dasar,tujuan,dan berbagai ajaran mengenai hakikat UUD dalam suatu Negara yang berdasarkan atas hukum dan bersistem konstitusi (Sistem Konstitusional).
Sehubungan itu, sesuai dengan semangat Pasal 18 UUD 1945, seyogyanya pemahaman desentralisasi lebih diharapkan pada otonomi. Otonomi mengandung pengertian kemandirian (“Zelfstandigheid”) untuk mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintah yang diserahkan atau dibiarkan sebagai urusan rumah tangga satuan pemerintahan lebih rendah yang bersangkutan. Jadi esensi otonomi adalah kemandirian, yaitu kebebasan untuk berinisiatif dan bertanggung jawab sendiri dalam mengatur dan mengurus pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya.
Dalam makna otonomi, maka desentralisasi bukan hanya bermakna efisiensi, melainkan juga sebagai sarana demokrasi penyelenggaraan pemerintahan. Seperti yang disebutkan dalam pasal 18.UUD 1945, bahwa pemerintahan daerah (pemerintahan otonom) diselenggarakan “ dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara “. Dasar permusyawaratan hanya dijalankan dalam corak pemerintahan demokrasi. Sedangkan demokrasi memberikan tempat keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan Negara atau pemerintahan, baik secaa individual maupun melalui kelompok organisasi masyarakat ataupun politik.
Dengan demikian, ditinjau dari sudut pandang ilmu hukum delegasi yang semata – mata berisi delegasi wewenang (pemancaran wewenang) dari satuan pemerintahan yang lebih tinggi kepada bagian – bagiannya, bukanlah desentralisasi melainkan sebagai suatu bentuk sentralisasi. Setiap bentuk otonomi selalu mengandung muatan desentralisasi. Tiada otonomi tanpa desentralisasi. Bahkan dalam pandangan ilmu hukum, isi desentralisasi tidak lain dari otonomi. Tetapi otonomi tidak sekadar pemancaran wewenang.

II. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana pemahaman Pasal 18 UUD 1945 tentang desentralisasi.
2. Bagaimana kedudukan desentralisasi dalam sistem ketatanegaraan yang desentralistik.
3. Bagaimana hubungan desentralisasi dengan tugas pembantuan.
4. Bagaimana hakikat otonomi dalam Negara kesatuan RI.

III. Pembahasan
Selama ini, ternyata tidak mudah mewujudkan kehendak yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945. Ketidak mudahan tersebut antara lain disebabkan karena perbedaan persepsi dan cara pemahaman mengenai makna atau gagasan yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945.
Kenyataan demikian, terlihat dalam perjalanan mengatur pemerintahan daerah.
Dimasa sebelum Orde Baru, ada tiga undang – undang yang dibuat mengenai pemerintahan daerah sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, Yaitu :
1. UU No. 1 Tahun 1945
2. UU No. 22 Tahun 1948
3. UU No. 18 Tahun 1965
Sedang setelah Orde Baru, dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1974. UU No. 22 Tahun 1948 menjabarkan Pasal 18 UUD 1945, antara lain dengan hanya memberi dasar untuk mengatur pemerintahan daerah otonom (asas desentralisasi). Sehingga hanya ada satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah ( pemerintahan daerah otonom). Demikian pula, UU No. 22 Tahun 1948 mewujudkan bahwa pemerintahan daerah otonom itu tersusun dalam satu kesatuan integral (Pasal 1 ayat (1)), yaitu :
• Propinsi,
• Kabupaten ( Kota Bsar),
• Desa ( Kota Kecil, Nagari, Marga).
Bahkan UU No. 22 Tahun 1948, meletakan Desa sebagai pusat pembaharuan dan pembangunan (Desa yang akan diperbahurui; lihat Penjelasan UU No. 22 Tahun 1948).
Sebaiknya UU No. 5 Tahun 1974 ternyata memberi persepsi dan pemahaman, bahwa Pasal 18 UUD 1945 tidak hanya menjadi dasar pengaturan pemerintahan otonom, tetapi juga mengatur pemerintahan Pusat di Daerah/pemerintahan wilayah administratip (asas dekonsentrasi).
Dengan demikian, UU No. 5 Tahun 1974 mengenal dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan (di) daerah, yaitu :
a. Pemerintahan Daerah Otonom, yang tersusun dalam dua tingkat :
1. DT I
2. DT II,
Sebagai perwujdan asas desentralisasi, dengan titik berat otonomi diletakan pada DT II (Pasal 3 ayat (1) jo pasal II ayat (1).
b. Pemerintahan Wilayah Administratip (asas dekonsentrasi), yang tersusun dalam (pasal 72) :
1. Wilayah Propinsi dan Ibukota Negara;
2. Wilayah Kabupaten dan Kotamadya;
3. Wilayah Kecamatan.
Dan apabila dipandang perlu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan dalam Wilayah Kabupaten dapat dibentuk Kota Administratip yang pengaturannya ditetapkan dengan PP. Selain itu, apabila dipandang perlu Mendagri dapat menunjuk Pembantu Gubernur/Bupati/Walikotamadya, yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi (pasal 73).
Dengan perkataan lain, UU No. 5 Tahun 1974 membedakan secara tegas desentralisasi dengan dekonsentrasi (juga tugas pembantuan) sebagai asas – asas yang masing – masing berdiri sendiri (satu hal yang bertentangan dengan sudut pandang doktriner).
Demikian pula UU No. 5 Tahun 1974, memisahkan antara susunan pemerintahan daerah ( otonom) dengan pemerintahan desa (Pasal 88; Desa diatur dengan UU No. 5 Tahun 1979).
Sebenarnya ditinjau dari prinsip – prinsip pemerintahan tingkat lebih rendah yang terkandung dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu :
a. Prinsip territorial;
b. Prinsip kerakyatan yang pempin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (kedaulautan rakyat);
c. Prinsip dengan memandang dan mengingat hak – hak asal usul dalam daerah – daerah yang bersifat istimewa.
Tidak terdapat indikasi bahwa Pasal 18 UUD 1945 mengatur prinsip Wilayah Administratip (asas dekonsentrasi) disamping desentralisasi atau otonomi. Sehingga atas dasar itu, Pasal 18 UUD 1945 hanya mengenal satu satuan pemerintahan daerah (pemerintahan daerah otonom). Jadi secara konstitusional hanya daerah otonom yang perlu diatur dalm undang – undang organic sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 18 UUD 1945.
Apabila kesimpulan tersebut dihubungkan dengan UU No. 5 Tahun 1974 yang justru mengatur mengenai Wilayah Administratip dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi (Pasal 72), maka tidaklah berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUD 1945, melainkan semata – mata terpengaruh oleh bunyi penjelasannya (“ Di daerah – daerah yang bersifat otonom/streek dan locale rechhtsgemeenschappen atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang – undang”) yang didorong oleh hasrat menonjolkan kekuasaan Pusat di Daerah.
Bilamana diteliti secara lebih mendalam mengenai pembangunan pemikiran terhadap tempat yang wajar bagi desentralisasi dan dekonsentrasi dalam system pemerintahan daerah, maka terungkap bahwa yang menjadi masalah utama justru terletak pada konsep sentralisasi dan dekonsentrasi dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana pengertian dekonsentrasi dipandang sangat erat dengan sentralisasi.
Dengan mengikuti sejarah pertumbuhan dan perkembangan organisasi – organisasi modern dibeberapa Negara, dapat diketahui bahwa desentralisasi pada hakikatnya merupakan suatu konsep yang lahir setelah sentralisasi mencapai wujudnya. Ini berarti bahwa desentralisasi tak mungkin lahir tanpa didahului oleh sentraslisasi, sebab sebelum desentralisasi dilaksanakan, sentralisasilah yang mula – mula diperlukan.
Dekonsentralisasi adalah unsur tatalaksana penyelenggaraan pemerintahan Pusat, karenanya tidak seyogianya dilekatkan pada pengaturan mengenai pemerintahan daerah. Pasal 18 UUD 1945, mengatur mengenai “ Pemerintahan Daerah” (Bab IV), bukan “Pemerintahan Di Daerah”. Kalau memang Pasal 18 UUD 1945 dimaksudkan juga mengatur dekonsentrasi, maka sudah tentu dalam undang- undang terdahulu diatur.
Apalagi ditinjau secara doktriner sebagaimana dikemukakan R Tresna yang memberi gambaran mengenai desentralisasi, sebagai berikut :
1. Staatkudige decentralisatie/Politieke desentralisatie :
a. Territoriale decentralisatie :
a.1. Autonomie
a.2. Medebewind/Medebestuur/Zelfbestuur/Selfgovernment
b. Functionale decentralisastie
2. Ambtelijke decentralisatie (deconsentratie).
Begitu pula menurut Irawan Soejito , bahwa pada umumnya desentralisasi mempunyai bentuk :
1. Desentralisasi territorial;
2. Desentralisasi fungsional;
3. Desentralisasi administrative (ambtelijk) atau dekonsentrasi.
Melalui pendapat – pendapat diatas dapat diketahui, bahwa meskipun dekonsentrasi memuat pemencaran kekuasaan, tetapi tidak dapat disejajarkan dengan desentralisasi bersifat ketatanegaraan (staatkundig),sedang dekonsentrasi hanya berkaitan dengan penyelenggaraan administrasi Negara, karena itu bersifat kepegawaian ( ambtelijk).
Aspek ketatanegaraan dalam desentralisasi mengandung arti bahwa penyelenggaraan desentralisasi merupakan bagian dari organisasi Negara. Sebagai bagian dari organisasi Negara, desentralisasi harus memcerminkan sepenuhnya tatanan organisasi Negara dan penyelenggaraan Negara (misalnya, tentang “dasar permusyawaratan” dalam rumusan Pasal 18 UUD 1945).
Dalam dekonsentrasi, dasar permusyawaratan itu tidak ada, Dekonsentrasi dapat hadir tanpa menghiraukan corak Negara atau sistem kenegaraan. Kehadiran dekonsentrasi semata – mata untuk melancarkan pemerintahan sentral/Pusat di Daerah. Jadi di dalam dekonsentrasi, terkandung unsur sentralisasi. Karena semata – mata “ambtelijk”, maka dekonsentrasi dalam ilmu hukum terletak dalam lingkungan Hukum Administrasi. Dengan demikian, pengaturan dekonsentrasi inheren dalam wewenang administrasi Negara. Artinya pengaturan dekonsentrasi baru menjadi wewenang pembentuk undang – undang, apabila administrasi Negara bermaksud mengalihkan wewenang itu pada badan – badan diluar administrasi Negara yang bersangkutan.
Hal ini dapat ditunjukkan dalam UU No. 5 Tahun 1974, bahwa Kepala Daerah adalah pejabat administrasi Negara, tetapi secara hukum bukan bagian dari administrasi Pusat. Kepala Daerah adalah pejabat administrasi Negara dari suatu satuan pemerintahan yang berdiri sendiri, yang apabila hanya dilihat dari status hukumnya mempunyai kedudukan yang sama (di depan hukum) dengan Negara, karena merupakan sama – sama subjek hkum. Sehingga sebaiknya akan lebih tepat apabila Kepala Daerah disebut “pejabat administrasi Negara”.
Selain memisahkan desentralisasi dengan dekonsentrasi, UU No. 5 Tahun 1974 juga membedakan desentralisasi dengan tugas pembantuan sebagai dua asas yang berbeda satu sama lain. Padahal menurut kepustakaan baik di Belanda maupun di Indonesia, tugas pembantuan/medebewind/zelfbestuur, adalah salah sastu aspek dari desentralisasi (bukan sesuatu yang berada diluar desentralissasi). Kalaupun akan di bedakan, seharusnya diantara otonoi dengan tugas pembantuan. Meskipun saat ini pendapat umum yang berlaku mengatakan, bahwa perbedaan antara otonomi dengan tugas pembantuan hanya bersifat “gradual” .
Perbedaan secara mendasar antara otonomi dan tugas pembantuan, berlaku sampai pertengahan abad ke – 19. Timbulnya perbedaan tersebut berdasarkan “driekringennleer” (Oppenheim) , yang bertolak dari pemikiran bahwa urusan pemerintahan dapat dipilah – pilah secara pasti antara urusan Pusat, Propinsi, dan Gemeente/Kotanya.
Otonomi menurut “driekringenleer”, berhubungan dengan soal rumah tangga daerah, yaitu kebebasan melaksanakan sendiri urusan rumah tangganya. Sedang tugas pembantuan, merupakan kewajiban membantu mengurus kepentingan rumah tangga tingkat lebih atas ( Pasal 1 sub d UU No. 5 Tahun 1974).
Akhir – akhir ini telah terjadi pergeseran pandangan mengenai hubungan otonomi dengan tugas pembantuan, yang disebabkan antara lain :
Pertama : Tidak ada jenis pengurusan pemerintahan yang secara lengkap dan alamiah, adalah urusan Pusat atau Daerah. Suatu urusan pemerintahan, setiap saat dapat bergeser dari urusan Daerah menjadi urusan Pusat atau sebaliknya.
Kedua : Perkembangan paham Negara kesejahtraan yang mewajibkan pemerintahan memberikan pelayanan pada hampir setiap aspek kehidupan, baik individu maupun masyarakat, menyebabkan tidak mungkin menentukan secara pasti aneka ragam urusan pemerintahan.
Berdasarkan perkembangan diatas, baik secara doktriner maupun kebutuha praktis, tidaklah tepat untuk memisahkan antara desentralisasi dengan tugas pembantuan, begitu pula antara otonomi dengan tugas pembantuan.
Sejalan dengan itu, UU No. 22 Tahun 1948 telah merumuskan hubungan antara otonomi dan tugas pembantuan, yaitu dengan memperkenalkan dua macam pemerintahan daerah :
a. Pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak otonomi, dan
b. Pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak menebewind.
Dalam pemerintahan yang disandarkan pada hak otonomi, bersumber pada penyerahan penuh, sedangkan dalam pemerintahan daerah yang disandarkan pada medebewind, berasal dari penyerahan tidak penuh suatu urusan dari pemerintah Pusat kepada Daerah.
Penyerahan penuh, artinya baik tentang asas – asasnya/prinsip – prinsipnya, maupun tentang cara menjalankan kewajiban/pekerjaan yang diserahkan itu, semuanya diberikan kepada Daerah ( hak otonomi). Penyerahan tidak penuh, artinya dalam penyerahan urusan hanya mengenai cara menjalankan saja, sedang prinsip – prinsipnya/asas – asasnya ditentukan oleh Pusat sendiri (hak menebewind).
Hak medebewind hendaknya jangan diartikan sempit, yaitu hanya menjalankan perintah dari atas saja (Pasal 12 ayat (1),(2) UU No. 5 Tahun 1974). Oleh karena Pemerintah Daerah berhak mengatur cara menjalankannya menurut pendapat sendiri. Jadi masih mengandung hak otonomi, sekalipun hanya mengenai cara menjalankan saja (Pasal 45 UU No. 5 Tahun 1974).
Sesuai dengan perkembangan pemahaman desentralisasi dan otonomi, pendekatan terhadap medebiwind yang pergunakan UU No. 22 Tahun 1948 akan lebih memperkuat posisi otonomi secara keseluruhan. Selain itu, untuk mengurangi beban berat perangkat dekonsentrasi (di wilayah) dalam pelaksanaan urusan pemerintahan tertentu, daerah diikutsertakan berdasarkan kebijaksanaan medebewind. Dengan demikian, ditinjau dari sudut kebijaksanaan, medebewind dapat menjadi sarana antara sebelum suatu urusan pemerintahan masuk kedalam rumah tangga daerah sepenuhnya. Bahkan dalam UU No. 18 Tahun 1945 terdapat anjuran untuk sebanyak mungkin menerapkan kebijaksanaan tugas pembantuan di samping pemberian otonomi yang luas dan riil kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi.
Sehubungan dengan otonomi dan tugas pembantuan, Moh. Hatta menyatakan, bahwa keperluan memberikan otonomi dan pembantuan kepada kota, desa, atau daerah yaitu dalam rangka melaksanakan dasar kedaulatan rakyat dan keperluan setempat yang berlain – lainan.
Tetapi dari penjelasan UU No. 5 Tahun 1974 tersimpul, bahwa UU No. 5 Tahun 1974 meskipun mengakui sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan (di) daerah, tetapi tugas pembantuan hanya ditempatkan sebagai asas pelengkap disamping asas desentralisasi dan dekonsentrasi yang ditempatkan sebagai asas pokok/utama.
Lebih jelas lagi, apabila menelaah ketentuan dalam Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1974 yang member kesan bahwa seolah – olah tugas pembantu itu baru dilaksanakan seandainya dianggap perlu oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah daerah Tk. I, dan pengaturannya harus dicantumkan dalam peraturan perundang – undangan. Sehingga dengan penafsiran demikian, tugas pembantuan dapat dianggap sebagai “ tugas yang diperintahkan” .
Adapun mengenai otonomi, seperti telah disinggung dimuka, otonomi adalah kebebasan dan kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu, menjadi urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah. Tetapi meskipun kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi, namun bukan kemerdekaan, kebebasan dan kemandirian itu kebebasan dan kemandirian dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Jadi otonomi itu sekadar subsistem dari kesatuan yang lebih besar.
Dari segi hukum tatanegara (teori bentuk Negara), otonomi adalah subsistem dari Negara kesatuan. Otonomi adalah fenomena Negara kesatuan. Segala pengertian dan isi/materi otonomi, adalah pengertian dan isi Negara kesatuan. Atau dengan perkataan lain, Negara kesatuan merupakan landas batas dari pengertian dan isi otonomi.
Otonomi dapat diberi arti luas dan sempit. Dalam arti luas, otonomi mencakup pula tugas pembantuan. Baik otonomi maupun tugas pembantuan, sama – sama mengandung kebebasan dan kemandirian. Perbedaannya hanya pada tingkat kebebasan dan kemandiriannya (tidak mendasar).
Pasal 1.c UU No. 5 tahun 1974 member pengertian otonomi, yaitu :
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku”
Selanjutnya dalam penjelasan umum UU No. 5 Tahun 1974 terdapat penegasan, bahwa dalam pelaksanaannya lebih menekankan pada aspek kewajiban dari pada haknya. Penjelasan tersebut, menimbulkan kontraversi pendapat dikalangan para pakar hukum.
Sujamto mengemukakan, bahwa otonomi daerah dalam Negara Kesatua RI memang lebih merupakan kewajiban daripada hak. Artinya aspek hak dan kewajiban itu sama – sama ada, akan tetapi aspek kewajibanlah yang lebih menonjol. Pendapatnya tersebut, dilandasi pertimbangan :
1. Daerah otonomi dan Pemerintahan Daerah yang dibentuk berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 itu semuanya merupakan subsistem Negara Kesatuan dan Pemerintah RI. Dengan kata lain, daerah otonomi itu diadakan atau dibentuk dalam rangka memperlancar penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI. Jadi otonomi daerah itu lahir dengan mengemban tugas dan kewajiban tertentu. Untuk melaksanakan itu, ia diberi hak – hak dan wewenang – wewenang tertentu. Dengan kewajiban lahir lebih dulu dari hak. Jadi dengan filsafat otonomi yang demikian itu berarti mendahului lahirnya daerah otonom.
2. Oleh karena aspek hak itu timbul kemudian, maka jika terjadi tuntutan dari masyarakat si suatu Daerah agar Daerahnya diberi otonomi ( dibentuk menjadi suatu daerah otonom), maka tuntutan yang sedemikian itu tidak mempunyai dasar secara konstitusional. Yang menentukan apakah suatu Daerah itu diberi otonomi atau tidak, adalah Presiden ( dengan persetujuan DPR), karena pembentukan, demikian pula penghapusansuatu daerah otonom harus dittapkan dengan undang – undang.
3. Berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, maka”kedaulatan rakyat” di daerah tidak bersifat hakiki ataupun mutlak, akan tetapi hanya sebagai “ perolehan” dari pemberian sistem kedaulatan rakyat yang lebih atas. Dengan demikian, wajarlah kalau dapat diambil kembali.
Sebelumnya, Moh. Hatta pernah mengutarakan :
“Memang, rakyat didaerah juga mempunyai kekuatan, artinya berhak memutuskan tentang segala hal yang mengenai lingkungan daearahnya sendiri, berhak mengatur rumah tangganya menurut putusan mufakat mereka sendiri. Tetapi bukan kedaulatan yang keluar dari pokoknya sendiri, melainkan kedaulatan yang dating dari kedaulatan rakyat yang lebih atas”.
Kedua pendapat diatas menggambarkan bahwa dalam sistem rumah tangga nyata (riil) dan bertanggung jawab, otonomi daerah bukanlah merupakan sesuatu yang tumbuh dan berkembang secara alami kemudian diakui oleh Pemerintah melalui peraturan Perundang – undangan, melainkan semata – mata hanyalah merupakan pemberian dari pemerintahan Pusat dengan maksud untuk lebih melancarkan penyelenggaraan pemerintahan Negara. Artinya, pembentukan daerah otonom pada hakikatnya dimaksudkan untuk mengemban suatu tugas dan tanggung jawab tertentu dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara, oleh sebab itu perlu diberikan hak – hak dan wewenang – wewenang (otonomi) tertentu.
Sementara itu pendapat berbeda dikemukakan oleh Ateng Sjafrudin, yaitu bahwa rumusan yang menganggap otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban dari pda hak, rasanya tidak sepenuhnya cocok dengan asas keselarasan, keserasian, terutama keseimbangan, dengan alasan :
1. Dalam implementasinya banyak sekali kewajiban yang diberikan kepada Pemerintah Daerah Otonomi oleh Pemerintah Pusat yang tidak seimbang dengan kemampuan aparatur Pemerintah Daerah untuk memikul dan menjalankannya.
2. Dengan adanya penekanan aspek kewajiban yang biasanya dicerminkan melalui aturan pelaksanaan yang kaku dan “jelimet”, maka mengakibatkan ruang gerak aparatur Pemerintah Daerah menjadi sempit, khususnya dalam rangka mengembangkan prakarsa maupun dalam menyesuaikan instruksi dan arahan atasan dengan situasi dan kondisi daerah.
3. Kata kewajibanmengandung makna sanksionistik, yaitu apabila Daerah tidak mau persis menerima dan melaksanakan apa yang diinstruksikan, diarahkan, dan ditetapkan, maka ada kemungkinan daerah akan mendapatkan sanksi – sanksi tertentu, misalnya dana akan ditarik dan dialihkan ke Daerah lain.
Lebih jauh dikemukakan, persepsi bahwa otonomi itu lebih merupakan kawajiban dari pada hak, membuktikan sekali lagi bahw otonomi tidak konsisten dengan asas keseimbangan dan semangat kekeluargaan yang diperintahkan UUD 1945, yang didasari falsafah Pancasila. Otonomi Daerah yang dianggap lebih menekankan kepada aspek kewajiban daripada hak, merupakan bentuk pengingkaran dari pengakuan terhadapsatuan – satuan pemerintah asli yang telah diakui oleh Pasal 18 UUD 1945, khusunya mengenai hak – hak asal – usul daerah – daerah yang bersifat istimewa.
Beranjak dari pandangan Ateng Sjafrudin, maka jelas otonomi daerah menurut sitem rumah tangga (otonomi) nyata ( riil) merupakan bentuk pengakuan terhadap keberadaan pemerintahan asli yang telah ada sebelum suatu Negara terbentuk. Artinya sebelum suatu Negara itu ada dalam arti merdeka dan berdaulat, satuan – satuan pemerintahan asli yang ada tetap diakui dan dibiarkan tumbuh bahkan diberi pengakuan sebagai bagian dari Negara melalui peraturan perundang – undangan.

IV. Kesimpulan
1. Menurut pemahaman Pasal 18 UUD 1945, desentralisasi bukan hanya bermakna efesiensi, tetapi juga sebagai sarana demokrasi penyelenggaraan pemerintahan.
2. Ditinjau dari prinsip – prinsip pemerintahan tingkat lebih rendah yang terkandung dalam Pasal 18 UUD 1945, tidak terdapat indikasi bahwa Pasal 18 UUD 1945 mengatur prinsip Wilayah Administrasi (asas dekonsentrasi) di samping desentralisasi atau otonomi. Meskipun demikian, dalam lingkungan desentralisasi dapat saja fungsi dekonsentrasi dilaksanakan, karena dekonsentrasi merupakan mekanisme untuk menyelenggarakan urusan Pusat di Daerah (bersifat kepegawaian/”ambtelijk”.
3. Baik secaradoktriner maupun kebutuhan praktis, tidak tepat untuk memisahkan antara desentralisasi dengan tugas pembantuan ( otonomi dengan tugas pembantuan), karena tugas pembantuan (medebewind) adalah salah satu aspek dari desentralisasi.
4. Ditinjau dari sudut kebijaksanaan, tugas pembantuan dapat menjadi sarana antara sebelum suatu pemerintahan diserahkan secara penuh kepada Daerah.
5. Dari segi Hukum Tatanegara, otonomi adalah subsistem dari Negara kesatuan. Negara kesatuan, merupakan landas batas dari pengertian dan isi otonomi.
6. Persepsi bahwa otonomi lebih merupakan kewajiban daripada hak, adalah tidak konsisten dengan asas keseimbangan dan semangat kekeluargaan yang diperintahkan UUD 1945, yang didassari falsafah Pancasila.


DAFTAR PUSTAKA

Ateng Sjafrudin, Titik berat Otonomi Daerah Pada Daerah tingkat II dan Perkembangannya, mandar Maju, Bandung, 1991, hlm. 5,6.

Burger,B.A.J., Schets van het Nederlands GEmeentercht, dikutip dari Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Uniska, 1993, hlm. 54.

Hatta,Moh., dalam Sujamto, Cakrawala Otonomi Daerah.loc.cit

Hatta,Moh., Kearah Indonesia Merdeka (1932), dikutip dari Bagir Manan, idem,hlm. 9. Moh.Hatta sendiri menggunakan istilah “ Zelfbestuur”.

Irawan Soejito, Hubungan Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah, Bina Aksaa, Jakarta, 1984, hlm. 20. Bandingkan dengan Amrah Muslimin, Aspek- aspek Hukum Otonomi daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 5.

Ismail husin, Penerapan Asas Tugas Pembantuan Untuk Mendorong desentralisasi Pemerintahan, Pidato Wisuda dalam Rapat Senat Terbuka Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri, Jakarta, 16 Juli 1986. Hlm. 5, 6.

Istilah Tugas Pembantuan, pertama kali dipergunakan dalamUU No. 1 Tahun 1957. Sedang istilah medebewind, diperkenalkan oleh Van Vollenhoven.

Lihat bagir Manan, ibid, hlm. 54.

Otonomi riil (nyata) untuk pertama kali dianut dalam UU No. 1 Tahun 1957.

Sujamto, Cakrawala Otonomi Daerah, hlm. 18 – 21.

Tresna, R., Bertamasya ke Taman Ketatanegaraan dibja, bandung, hlm. 31 ; lihat juga Logemann dan Koessoemaatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Binacipta, Bandung, hlm.14.

Minggu, 26 Juli 2009

Take Home Paper


PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

I. Perbedaan Common Law, Civil Law, Dan Islamic Law

Sistem Hukum

Secara garis besar di dunia ini meskipun dikenal ada lima sistem hukum, yaitu; Civil law, common law, socialis law, islamic law dan sistem hukum adat, tetapi sesungguhnya yang dominan dipakai di dunia internasional hanyalah dua, yaitu sistem hukum civil law dan common law. Dalam pembentukan kontrak, terdapat perbedaan antara common law dan civil law. Akibat perbedaan ini sangat mempengaruhi dalam penyusunan ketentuan kontrak internasional. Sehubungan dengan perbedaan dalam sistem hukum tersebut, maka kemudian dalam rangka merancang suatu kontrak atau pembuatan suatu konsep perjanjian pun dengan sendirinya mengacu pada sistem hukum yang dianut. Namun zaman terus bergerak, dan tiba saatnya era globalisasi yang juga mau tidak mau mempengaruhi sistem hukum yang diterapkan, apabila terjadi perjumpaan antara sistem hukum yang berlainan.

1. Common Law

Dalam pembuatan kontrak di sistem common law, para pihak memiliki kebebasan untuk menyepakati persyaratan yang diinginkan, sepanjang persyaratan tersebut tidak melanggar kebijakan publik ataupun melakukan tindakan yang melanggar hukum. Jika ada persyaratan tertentu yang tidak tercakup, hak dan kewajiban yang wajar akan diterapkan diambil dari ketetapan hukum yang ada atau praktek bisnis yang biasa dijalankan oleh para pihak atau industri. Biasanya kerugian di ukur dengan â€Å“lost benefit of the bargainâ (manfaat/keuntungan yang harus di dapat yang hilang).

Peraturan ini memberi kesempatan kepada satu pihak untuk menggugat kerugian sejumlah manfaat yang bisa dibuktikan yang akan diperoleh pihak tersebut jika pihak lain tidak melanggar kontrak. Di kebanyakan jurisdiksi, salah satu pihak diminta untuk membayar ganti rugi akibat pelanggaran, yang dikenal sebagai konsekuensi kerugian.

Kontrak menurut sistem hukum common law, memiliki unsur sebagai berikut:

A. Bargain

Unsur bargain dalam kontrak common law dapat memiliki sifat memaksa. Sejarah menunjukkan bahwa pemikiran mengenai bargain , dalam hubungannya dengan konsep penawaran (offer)dianggap sebagai ujung tombak dari sebuah perjanjian dan merupakan sumber dari hak yang timbul dari suatu kontrak. Penawaran dalam konteks ini tidak lebih adalah sebuah transaksi di mana para pihak setuju untuk melakukan pertukaran barang-barang, tindakan-tindakan, atau janji-janji antara satu pihak dengan pihak yang lain. Karena itu, maka ukuran dari pengadilan terhadap perjanjian tersebut dilakukan berdasarkan penyatuan pemikiran dari para pihak, ditambah dengan sumber dari kewajiban mereka, dan kemudian memandang ke arah manifestasi eksternal dari pelaksanaan perjanjian tersebut. Pengertian penawaran merupakan suatu kunci yang digunakan untuk lebih mengerti tentang penerapan aturan-aturan common law mengenai kontrak.

B. Agreement

Suatu proses transaksi yang biasa disebut dengan istilah offer and acceptance, yang ketika diterima oleh pihak lainnya akan memberikan akibat hukum dalam kontrak. Dalam perjanjian sering ditemukan, di mana satu pihak tidak dapat menyusun fakta-fakta ke dalam suatu offer yang dibuat oleh pihak lainnya yang telah diterima sebagai acceptance oleh pihak tersebut. Karena penawaran dan penerimaan adalah hal yang fundamental, maka dalam sistem common law, sangat diragukan apakah suatu pertukaran offer (cross-offer) itu dapat dianggap sebagai kontrak. Berdasarkan sistem common law, pada saat suatu kontrak dibuat, saat itulah hak dan kewajiban para pihak muncul, hal yang demikian itu diatur dalam statute. Karena bisa saja terjadi suatu kontrak yang dibuat berdasarkan keinginan dari para pihak dan pada saat yang sama juga kontrak tersebut tidak ada. Hal ini disebabkan karena aturan mengenai acceptance dan revocation ini memiliki akibat-akibat yang berbeda pada setiap pihak.

C. Consideration

Dasar hukum yang terdapat dalam suatu kontrak adalah adanya unsur penawaran yang kalau sudah diterima, menjadi bersifat memaksa, bukan karena adanya janji-janji yang dibuat oleh para pihak. Aturan dalam sistem common law tidak akan memaksakan berlakunya suatu janji demi kepentingan salah satu pihak kecuali ia telah memberikan sesuatu yang mempunyai nilai hukum sebagai imbalan untuk perbuatan janji tersebut. Hukum tidak membuat persyaratan dalam hal adanya suatu kesamaan nilai yang adil. Prasyarat atas kemampuan memaksa ini dikenal dengan istilah consideration. Consideration adalah isyarat, tanda dan merupakan simbol dari suatu penawaran. Tidak ada definisi dan penjelasan yang memuaskan dari sistem common law mengenai konsep ini. Hal demikian ini telah di mengerti atas dasar pengalaman.

D. Capacity

Kemampuan termasuk sebagai syarat tentang, apakah para pihak yang masuk dalam perjanjian memiliki kekuasaan. Suatu kontrak yang dibuat tanpa adanya kekuasaan untuk melakukan hal tersebut dianggap tidak berlaku.

Sebagai illustrasi dapat diuraikan putusan pengadilan dalam Quality Motors, Inc. V. Hays di mana memutuskan bahwa kontrak tidak sah karena dilakukan oleh individu yang belum dewasa, walaupun transaksi dilakukan oleh melalui orang lain yang telah dewasa, dan surat jual belinya di sahkan oleh notaris. Dalam kasus ini terlihat bahwa pengadilan menerapkan secara tegas dan kaku ketentuan umur untuk seseorang dapat melakukan perbuatan hukum. Walaupun jual beli akhirnya dilakukan oleh orang dewasa, namun fakta menunjukkan ternyata hal tersebut dilakukan dengan sengaja untuk melanggar ketentuan kontrak, akhirnya pengadilan membatalkan ketentuan kontrak tersebut.

Civil law

Kebanyakan negara yang tidak menerapkan common law memiliki sistem civil law. Civil law ditandai oleh kumpulan perundang-undangan yang menyeluruh dan sistematis, yang dikenal sebagai hukum yang mengatur hampir semua aspek kehidupan.

Teori mengatakan bahwa civil law berpusat pada undang-undang dan peraturan. Undang-Undang menjadi pusat utama dari civil law, atau dianggap sebagai jantung civil law.

Namun dalam perkembangannya civil law juga telah menjadikan putusan pengadilan sebagai sumber hukum. Di banyak hukum dalam sistem civil law tidak tersedia peraturan untuk menghitung kerugian karena pelanggaran kontrak. Standar mengenai penghitungan kerugian ini masih tetap belum jelas di banyak negara dengan civil law. Meskipun demikian pengadilan di negara-negara ini cenderung memutuskan untuk menghukum pihak yang salah tidak dengan uang, tetapi dengan pelaksanaan tindakan kontrak tertentu.

Keputusan pengadilan ini mengisyaratkan salah satu pihak untuk menjalankan tindakan tertentu yang dimandatkan oleh pengadilan, seperti mengembalikan hak milik atau mengembalikan pembayaran. Banyak sistem dari civil law memiliki mekanisme penegakan dan pamantauan agar penegakan bisa dijalankan secara efektif. Unsur kontrak dalam civil law sistem terdiri dari empat unsur, sebagai berikut:

a. Kapasitas Para Pihak

Kebebasan kehendak sangat dipengaruhi oleh kapasitas atau kemampuan seseorang yang terlibat dalam perjanjian. Kemampuan ini sangat menentukan untuk melakukan perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Kapasitas yang dimaksudkan dalam civil law antara lain ditentukan individu menurut umur seseorang. Di Indonesia, Philipina, dan Jepang yang dianggap telah mempunyai kapasitas untuk melakukan suatu kontrak harus telah berumur 21 tahun. Civil Code Perancis yang merefleksikan pemikiran modern, menyatakan bahwa kehendak individu yang bebas adalah sumber dari sistem hukum, yang meliputi hak dan kewajiban. Namun kebebasan kehendak ini harus sesuai dengan hukum tertulis, yaitu hukum perdata.

Di Indonesia, Jepang, Iran dan Philipina, di mana perusahaan sebagai subjek hukum dapat melakukan kontrak melalui pengurus perusahaan. Di Indonesia pengurus perusahaan terdiri dari anggota direksi dan komisaris. Dalam melakukan kegiatannya, maka anggota direksi harus memenuhi ketentuan anggaran dasar perusahaan dan peraturan perundang-undangan, yang memberikan kepadanya kapasitas dalam melakukan penandatanganan kontrak dan tindakan hukum lainnya. Hal inilah yang dikatakan dalam civil law merupakan the code granted them full capacity.

b. Kebebasan Kehendak Dasar Dari Kesepakatan

Kebebasan kehendak yang menjadi dasar suatu kesepakatan, agar dianggap berlaku efektif harus tidak dipengaruhi oleh paksaan (dures), kesalahan (mistake), dan penipuan(fraud). Berkenaan dengan kebebasan kehendak, pengadilan di Perancis menerapkan ketentuan civil Code sangat kaku, yaitu tidak boleh merugikan pihak lain. Dalam kenyataan sehari-hari, walaupun yang dianggap mampu melaksanakan kebebasan kehendak ada pada orang yang sudah dewasa, namun diantara mereka tidak boleh membuat kebebasan kehendak, yang dapat merugikan pihak lain.

Kesepakatan di antara para pihak menjadi dasar terjadinya perjanjian. Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menetukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh Å“asas konsensualisme. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya.

c. Subjek yang pasti

Merujuk pada kesepakatan, terdapat dua syarat di hadapan juristic act, suatu perjanjian dapat diubah menjadi efektif yaitu harus dengan ada antara lain suatu subyek yang pasti. Sesuatu yang pasti tersebut, dapat berupa hak-hak, pelayanan (jasa), barang-barang yang ada atau akan masuk keberadaannya, selama mereka dapat menentukan. Para pihak, jika perjanjian telah terbentuk tidak mungkin untuk melakukan prestasi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

d. Suatu sebab yang diijinkan (A Premissible Cause)

Perjanjian tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Suatu sebab yang halal adalah syarat terakhir untuk berlakunya suatu perjanjian. Pasal 1320 ayat 4 jo 1337 KUHPerdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang adalah tidak sah.

PERBEDAAN COMMON LAW (Anglo Saxon) dan CIVIL LAW (Hk. Continental)

Ada perbedaan yang sangat mendasar antara sistem hukum Continental (Eropa) dan sistem hukun Anglo-Saxon (AS). Pada sistem hukun continental, filosofinya tampak pada sifat-sifatnya yang represif, yang senantiasa cenderung melindungi yang berkuasa. Hal ini bisa dimaklumi karena yang berkuasa (waktu itu) adalah kolonial Belanda yang jelas ingin mempertahankan dan mengokohkan kekuasaannya melalui berbagai undang-undang atau sistem hukumnya. Sedang sistem hukum Anglo Saxon selain tentunya ada sifat yang represif, namun sifat penekanannya lebih mengutamakan pada sifat-sifat yang preventif. Pasal-pasalnya merupakan rambu-rambu untuk mencegah munculnya KKN dalam segala bentuk maupun manifestasinya. Selain mencegah terjadinya white collar crime dan corporate crime juga untuk mencegah terjadinya distorsi, keharusan memberikan proteksi bagi kepentingan umum dan bukan untuk kepentingan orang perorang, serta menjamin partisipasi dan pengawasan sosial secara transparan dan demokratis.

Dengan pengalaman krisis yang multidimensi sekarang ini, bukankah sudah tiba waktunya untuk memikirkan secara serius, untuk mengalihkan sistem hukum Continental kita ke hukum Angl-Saxon bagi sistem hukum Indonesia Baru di masa mendatang. Mudah-mudahan. (Cartono Soejatman). Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan Continental terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan sistem politik yang digunakan.System anglo saxon. Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon). Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama.

Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.

Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara. Anglo-Saxon adalah sebuah wilayah yang menarik. Nama Anglo-Saxon, sejak abad ke-8 lazim dipakai untuk menyebut penduduk Britania Raya, yakni bangsa Germania yang berasal dari suku-suku Anglia, Saks, dan Yut. Konon, pada tahun 400 M mereka menyeberang dari Jerman Timur dan Skandinavia Selatan untuk menaklukkan bangsa Kelt, lantas mendirikan 7 kerajaan kecil yang disebut Heptarchi. Mereka dinasranikan antara 596-655 M.Sejarah Anglo-Saxon ini, oleh Theresa Tomlinson, diangkat menjadi latar cerita dalam novel Gadis Serigala, sebuah fiksi remaja tentang seorang gadis pemberani bernama Wulfrun. Wulfrun anak seorang penenun, Cwen. Mereka tinggal di wilayah kekuasaan Biara Whitby yang dikepalai oleh Suster Hild. Setiap hari, Wulfrun bertugas menggembalakan angsa-angsa mereka bersama sahabatnya, Cadmon, seorang penggembala sapi. Cwen anak-beranak hidup sangat miskin. Saking miskinnya, dia terpaksa menjual putra sulungnya, Sebbi, sebagai budak. Pada masa tersebut, perbudakan masih menjadi sesuatu yang lazim terjadi.

Barangkali akibat perang yang terus berlangsung antara daerah-daerah yang saling berseteru. Rakyat di sana terbagi menjadi dua: kaum bebas dan kaum tak bebas. Sejarah Eropa dan Amerika Utara menjadi acuan bagi studi kasus bangkitnya lapisan menengah, yang lebih dikenal sebagai perjuangan kelas menengah selama abad ke-18 dan akhir abad ke-19. Dua model yang diajukan Francois Raillon, yakni model Anglo-Saxon dan model Eropa Kontinental, menarik untuk disimak. Model Anglo-Saxon, yang menurut Raillon terlalu mengandalkan pengalaman sejarah kaum borjuis Inggris dan Amerika Serikat, tak selamanya relevan untuk menjelaskan kemungkinan tumbuhnya demokratisasi politik dan ekonomi di negara berkembang. Terlalu banyak menekanan diberikan pada model “masyarakat” berhadapan dengan “negara”.

Raillon mengisahkan bahwa lapisan menengah dapat tumbuh dan berkembang dalam tubuh kehidupan negara, karena keterkaitan antara pejabat negara dan mitranya di kalangan swasta. Model ini, katanya, lebih cocok untuk menggambarkan tumbuhnya lapisan menengah, terutama di negara bekas jajahan Prancis, termasuk di Indocina. Perdebatan tentang model Anglo-Saxon atau model Eropa Kontinental sesungguhnya tak bermakna terlalu besar. Bagaimanapun, kedua model itu dikembangkan atas dasar struktur dan sifat perekonomian dunia yang jauh berbeda dari perkembangan ekonomi 30 tahun terakhir. Perekonomian dunia 30 tahun terakhir (1966-1996) jauh berbeda dengan perekonomian masa sebelumnya, tatkala revolusi informasi belum berkembang pesat. Karena lingkungan berbeda maka berbeda pula lintasan peran lapisan menengah mancanegara. Perbedaan paling utama ialah lapisan menengah mancanegara kini lebih banyak berpangkal pada ekonomi informasi atau ekonomi pengetahuan. Berbeda dengan masa pra-1966, gerak ekonomi di dunia sekarang lebih mengandalkan peran pengolahan (informasi, jasa, teknologi) daripada perekonomian produksi dan perdagangan. Ini berarti pendorong perekonomian lebih banyak dilakukan oleh kecepatan dan ketepatan pengolahan ilmu pengetahuan daripada pemroses produksi barang dan distribusi. Setiap hari sekitar US$ 1,6 trilyun diolah dalam transaksi valuta asing, sedangkan perdagangan barang manufaktur (bermakna membuat barang dengan tangan) “hanya” sekitar US$ 600 milyar. Ini berarti lapisan menengah di mancanegara sebagian terbesar adalah ahli pengolah otak daripada pengolah otot. Maka lapisan menengah masa kini bukan lagi kaum pedagang tahun 1940-an atau 1950-an yang menjadi pemilik tanah, modal, dan tenaga kerja. Lapisan menengah Indonesia kini makin terdiri atas pekerja otak (insinyur, ahli hukum, akuntan, pialang pasar modal, dokter spesialis). Kesetiaan mereka adalah pada keahlian profesinya, bukan terhadap perusahaan tertentu.

Di sisi lain, Friedman tidak menganalisis lebih jauh bahwa pada dasarnya demokrasi bukan sebuah sistem praktis untuk setiap negara dengan resep yang sama, yang hal ini terlihat dari tradisi Kontinental dan Anglo-Saxon. Bahkan kini Nicholas Syarkozi ingin agar Prancis lebih menyerupai demokrasi Amerika. Maksudnya, pengembangan demokrasi lebih dekat dengan kecenderungan yang nisbi atau sesuatu yang to come dan tertunda sebagaimana diungkap filsuf Derrida. Ketidakmampuan melihat tabiat dan kondisi Timur Tengah-lah yang menyebabkan kegagalan misi Amerika. Pada dasarnya masyarakat Timur Tengah menolak proyek peradaban yang prestisius menuju demokrasi, dan kebebasan bukan karena nilai-nilai itu bertentangan, melainkan lebih disebabkan oleh perbuatan Amerika yang permisif. Pada prinsipnya, masyarakat Arab tidak lebih heterofobia dibandingkan dengan Amerika.

Perbedaan mendasar Anglo Saxon dengan Continental terletak pada perangkat hukum yang dipakai dan sistem politik yang digunakan. Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. System hukum continental

Sistem hukum Eropa Kontinental adalah suatu sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan hukum dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Hampir 60% dari populasi dunia tinggal di negara yang menganut sistem hukum ini. Sistem hukum yang juga dikenal dengan nama Civil Law ini berasal dari Romawi yang kemudian berkembang ke Prancis. Perkembangannya diawali dengan pendudukan Romawi atas Prancis. Pada masa itu sistem ini dipraktekkan dalam interaksi antara kedua bangsa untuk mengatur kepentingan mereka. Proses ini berlangsung bertahun-tahun, sampai-sampai negara Prancis sendiri mengadopsi sistem hukum ini untuk diterapkan pada bangsanya sendiri.Bangsa Prancis membawa sistem ini ke Negeri Belanda, dengan proses yang sama dengan masuknya ke Prancis. Selanjutnya sistem ini berkembang ke Italia, Jerman, Portugal, Spanyol, dan sebagainya. Sistem ini pun berkembang ke seluruh daratan benua Eropa. Ketika bangsa bangsa Eropa mulai mencari koloni di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, sistem hukum ini digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa tersebut untuk mengatur masyarakat pribumi di daerah jajahannya. Misalnya Belanda menjajah Indonesia. Pemerintah penjajah menggunakan sistem hukum Eropa Kontinental untuk mengatur masyarakat di negeri jajahannya. Apabila terdapat suatu peristiwa hukum yang melibatkan orang Belanda atau keturunannya dengan orang pribumi, sistem hukum ini yang menjadi dasar pengaturannya. Selama kurang lebih empat abad di bawah kekuasaan Portugis dan seperempat abad pendudukan Indonesia, sistem hukum Eropa Kontinental yang berlaku.

Sekarang di bawah Pemerintah Transisi PBB (UNTAET), sistem hukum ini tetap diberlakukan di Timor Lorosae. Pasal 3 Regulasi UNTAET No. 1/1999 menyebutkan bahwa hukum yang berlaku di Timor Lorosae sebelum 25 Oktober 1999 tetap berlaku, sejauh tidak bertentangan dengan standar internasional. Dengan demikian berarti sistem hukum Eropa Kontinental yang diberlakukan Indonesia tetap berlaku. Hal yang membedakan sistem Civil Law dengan sistem Common Law (yang juga disebut sistem Anglo-Saxon) adalah, pertama, pada Civil Law dikenal apa yang dinamakan “kodifikasi hukum”. Artinya pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan hukum, dan kesatuan hukum. Contoh hukum yang sudah dikodifikasi dalam kitab undang-undang adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Kitab-kitab di atas ditulis dan disusun oleh pemerintah kolonial Belanda dan diberlakukan di Indonesia sampai sekarang. Kedua, sistem hukum Eropa Kontinental tidak mengenal adanya juri di pengadilan. Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara selalu adalah majelis hakim (panel), yang terdiri dari tiga orang. Kecuali untuk kasus-kasus ringan dan kasus perdata, yang menangani bisa hakim tunggal.

II. Dilema Hirarkhi Perundang-undangan dengan peraturan di luar Hirarkhi.

Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi :

a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.

Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a dinyatakan bahwa Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.

Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa Qanun Aceh dan Qanun Kabupaten/Kota merupakan peraturan perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah yang secara khusus hanya berlaku di Aceh karena kesitimewaan dan kekhususannya sebagai daerah otonomi khusus Pemerintahan Aceh. Begitu pula Perdasus dan Perdasi merupakan peraturan perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah yang secara khusus hanya berlaku di Provinsi Papua karena keistimewaan dan kekhususannya sebagai daerah otonomi khusus Provinsi Papua. Oleh karena Qanun, Perdasus, dan Perdasi merupakan peraturan perundang-undangan yang sejenis dengan Peraturan Daerah pada umumnya tentunya Qanun, Perdasus, dan Perdasi memiliki kedudukan yang setingkat dengan Peraturan Daerah.

Qanun dibedakan menjadi Qanun Aceh dan Qanun Kabupaten/Kota. Qanun Aceh berlaku di tingkat Provinsi dan memiliki kedudukan setingkat yang dengan Peraturan Daerah Provinsi. Qanun Kabupaten/Kota berlaku di tingkat Kabupaten/Kota dan memiliki kedudukan yang setingkat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berbeda halnya dengan Qanun, Perdasus dan Perdasi hanya terdapat pada tingkatan Provinsi dan kedudukannya setingkat dengan Peraturan Daerah Provinsi.

Berdasarkan uraian di atas, Qanun, Perdasus, dan Perdasi merupakan peraturan perundang-undangan yang sejenis dan setingkat dengan Peraturan Daerah pada umumnya sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional dan hirarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sesuai dengan asas hirarki peraturan perundang-undangan maka Qanun, Perdasus, dan Perdasi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain oleh undang-undang otonomi khusus terkait. Hal ini sesuai dengan asas umum peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus dapat menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis). Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 235 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pemerintah dapat membatalkan qanun yang bertentangan dengan kepentingan umum; antarqanun; dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kecuali diatur lain dalam Undang-Undang ini.

Penggunaan istilah Qanun, Perdasus, dan Perdasi ini sebagai nama lain dari Peraturan Daerah sesuai dengan hal-hal khusus yang berkaitan dengan kondisi dan karakteristik daerah yang bersangkutan. Hal-hal khusus yang membedakan Qanun, Perdasus, dan Perdasi dengan Peraturan Daerah pada umumnya antara lain lembaga yang membentuk dan materi muatannya.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa Peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berbeda dengan Peraturan Daerah pada umumnya, Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh, sedangkan Qanun Kabupaten/Kota disahkan oleh bupati/walikota setelah mendapat persetujuan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

Perdasus dan Perdasi juga memiliki kekhususan tertentu yang membedakan dengan Peraturan Daerah pada umumnya. Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua, sedangkan Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua bersama-sama Gubernur. Tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan MRP tersebut diatur dengan Perdasi.

Aspek lain yang membedakan Qanun, Perdasus, dan Perdasi dengan Peraturan Daerah pada umumnya adalah mengenai materi muatannya. Mengenai materi muatan Qanun, Perdasus, dan Perdasi ini akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Materi Muatan Qanun, Perdasus, dan Perdasi

Sebagaimana dituliskan pada bagian sebelumnya bahwa Qanun, Perdasus, dan Perdasi sebagai Peraturan Daerah yang bersifat khusus memiliki kedudukan yang sama dengan Peraturan Daerah pada umumnya sebagai bagian dari sistem hukum nasional dalam kerangka hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Pengaturan mengenai materi muatan peraturan daerah selain tunduk kepada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga tunduk kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai undang-undang yang lebih spesifik mengatur mengenai pemerintahan daerah. Bagi daerah yang berstatus sebagai daerah otonomi khusus tentunya pengaturan mengenai materi muatan daerah selain tunduk kepada kedua undang-undang tersebut, juga tunduk kepada undang-undang otonomi khusus bagi daerah yang bersangkutan.

Dengan demikian, materi muatan Qanun adalah materi muatan Perda pada umumnya kecuali diatur lain oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan ditambah dengan materi muatan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Begitu pula materi muatan Perdasus dan Perdasi adalah materi muatan Perda pada umumnya kecuali diatur lain oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan ditambah dengan materi muatan yang diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Dengan demikian untuk memahami apa saja materi muatan Qanun, Perdasus, dan Perdasi terlebih dahulu harus dipahami materi muatan peraturan daerah secara umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksanaannya.

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beberapa pasal mengatur mengenai materi muatan Perda. Ketentuan yang menjadi landasan bagi pengaturan materi muatan Peraturan Daerah adalah Pasal 10 yang terdiri dari 5 (lima) ayat sebagai berikut.

(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.

(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-seluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. politik luar negeri;

b. pertahanan;

c. keamanan;

d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan

f. agama.

(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada Pemerintahan Daerah dan/atau Pemerintahan Desa.

(5) Dalam urusan pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah, di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat:

a. Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;

b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintahahan; dan

c. menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.

Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut merupakan aturan umum mengenai materi muatan Peraturan Daerah. Pasal 10 ayat (1) menentukan bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang sangat luas, kecuali kewenangan yang menyangkut urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama yang ditetapkan sebagai kewenangan Pemerintah Pusat. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-seluasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan demikian materi muatan Peraturan Daerah mencakup aspek yang sangat luas yaitu seluruh materi yang berkaitan dengan urusan pemerintahan diluar 6 (enam) urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat ditambah dengan tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat.

Tentunya selain 6 (enam) kewenangan yang ditentukan menjadi kewenangan pemerintah pusat tidak begitu saja dibagi habis menjadi kewenangan pemerintahan daerah. Pemerintah pusat masih memiliki kewenangan lainnya yang dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 11 sampai dengan 18 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Saat ini, setelah disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sudah terdapat pengaturan yang baku mengenai batasan-batasan kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dengan adanya Peraturan Pemerintah ini, tentunya daerah akan lebih mudah memahami urusan apa saja yang menjadi kewenangannya dan materi muatan apa yang perlu dibentuk menjadi suatu Peraturan Daerah.

III. Judicial Review

Judicial review dalam system hukum common law acapkali dipahami sebagai upaya pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh badan peradilan, walaupun dalam konteks cakupan kewenangan yang lebih luas, karena kadangkala menguji pula produk administrasi (administrative Acts).

Mahkamah Konstitusi RI adalah constitutional court yang ke-78 di dunia, dibentuk berdasarkan Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, di kala Perubahan Ketiga UUDNRI Tahun 1945, diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR RI ke-7 ( lanjutan 2),tanggal 9 November 2001, Sidang Tahunan MPR-RI.

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final guna-antara lain- menguji undang-undang terhadap UUD. Putusan final Mahkamah, sebagaimana dimaksud Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 tidak membuka peluang bagi upaya hukum banding, kasasi ataupun upaya hukum lainnya.

Menurut Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat 2 (dua) macam pengujian undang-undang, yakni :

Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan keberlakuan suatu undang-undang tetapi menyatakan bahwasannya suatu undang-undang, atau materi ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat (not legally binding). Mahkamah tidaklah dapat mengubah rumusan redaksi ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang.

Legal standing (lazim dialih bahasakan: kedudukan hukum) mendasari pembenaran subyektum pencari keadilan mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Pemohon harus dapat mendalilkan legal standing yang mendasari pengajuan permohonan pengujiannya itu. Legal standing adalah entitle atau hak yang membenarkan subyektum mengajukan permohonan pengujian undang-undang.

  1. Perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang perorang yang mempunyai kepentingan sama;
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
  3. Badan hukum publik atau privat, atau;
  4. Lembaga negara.

Hanya subyektum (‘pihak’) yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yang dapat dipandang memiliki legal standing guna pengajuan permohonan pengujian undang-undang ke hadapan mahkamah. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dianggap merugikan itu. (Pasal 51 ayat (2) Undang-UndangNomor 24 Tahun 2003).

Namun, bila melihat kasus dalam perkara MachryHendra, SH, hakim pengadilan negeri Padang, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 004/PUU-I/2003 tanggal 30 Desember 2003, pernah menyampingkan (opzijleggen, to put aside, exeption d’illegalite) Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tatkala pemohon memohonkan pengujian Pasal 7 ayat 91) huruf g Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Mahkamah bukan menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tidak mengikat secara hukum, tetapi menyampingkan pasal dimaksud guna menguji pasal undang-undang tertentu.

IV. Peranan Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga

Reformasi nasional tahun 1998 telah membuka peluang perubahan mendasar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (kemudian akan kita sebut UUD RI 1945) yang disakralkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk tidak direvisi. Setelah reformasi, konstitusi Indonesia telah mengalami perubahan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 (UUD RI 1945). Salah satu perubahan dari UUD RI 1945 adalah dengan telah diadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan 'checks and balances' sebagai pengganti sistem supremasi parlemen. Dalam Pasal 24C hasil perubahan ketiga UUD RI 1945, dimasukkannya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi kedalam konstitusi negara kita sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan organ konstitusi lainnya. Fungsi Mahkamah Konstitusi telah dilembagakan berdasarkan Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24, 2003), sejak tanggal 13 Agustus 2003. Hal ini disahkan dengan adanya ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD RI 1945 yang menentukan: "Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang." Oleh karena itu, sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai mestinya, Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2003 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.

Pembentukan Mahkamah Konstitusi telah dilakukan dengan proses rekruitmen calon hakim menurut tata cara yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang berbunyi "Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden".

Mahkamah Konstitusi secara resmi dibentuk dengan adanya Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 dan setelah pelantikan dan pengucapan sumpah tanggal 16 Agustus 2003, maka kewenangan transisi Mahkamah Agung yang dibebani tugas oleh pasal III Aturan Peralihan UUD RI 1945, untuk melaksanakan segala kewenangan Mahkamah Konstitusi telah berakhir. Untuk itu pada bagian berikut ini akan kita bahas kewenangan mahkamah konstitusi sebagai alat untuk melaksanakan peranannya sebagai penjaga konstitusi seperti yang diatur dalam UUD RI 1945.

Dalam menjalankan peranannya sebagai penjaga konstitusi, yaitu melakukan kekuasaan kehakiman seperti diatur dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD RI 1945. Sedangkan yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan mahkamah konstitusi diberi beberapa kewenangan (Pasal 24 ayat (1) UUD RI 1945). Adanya sebuah kekuasaan kehakiman yang bebas adalah salah satu prasyarat bagi negara hukum disamping syarat-syarat yang lainnya.

Untuk memahami peran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, haruslah dikaji dengan komprehensif kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD RI 1945 kepada lembaga ini. Pasal 24 C ayat (1) menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dimana putusannya bersifat final. Dari ketentuan tersebut berarti Mahkamah Konstitusi bersifat tunggal yang tidak mempunyai peradilan yang berada dibawahnya dan tidak merupakan bawahan dari lembaga lain. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Agung yang mempunyai peradilan-peradilan dibawahnya dan merupakan puncak dari peradilan-peradilan yang berada dibawahnya. Dengan ketunggalannya dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalam sebuah forum khusus untuk melakukan kewenangannya. Didalam menjalankan perannya sebagai penjaga konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia diberi kewenangan seperti yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 yang kemudian dipertegas dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili:

  1. Menguji undang-undang terhadap UUD RI 1945;
  2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945;
  3. Memutus pembubaran partai politik;
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu;
  5. Memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, danatau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, sebagaimana dimaksud dalam UUD RI 1945.

Pelanggaran hukum yang diduga dilakukan presiden yang disebut dalam pasal 10 ayat (2) UU No. 24, 2003, telah diperjelas dalam ayat (3) dengan memberi batasan sebagai berikut:

  1. Penghianatan terhadap negara adala tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang;
  2. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang;
  3. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  4. Perbuatan tercela adalah perbuatan-perbuatan yang dapat merendahakan martabat Presiden danatau Wakil Presiden;
  5. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden danatau wakil presiden adalah syarat sebagaimana dtentukan dalam pasala 6 UUD RI 1945.

Dari kewenangan yang disebutkan diatas terlihat bahwa sengketa yang diperkarakan dan diadili Mahkamah Konstitusi sangat banyak berkaitan dengan proses politik, sebagian besar merupakan perselisihan yang syarat dengan sifat politik sebagai salah satu karakteristik sengketa. Jadi yang dikemukakan oleh Agung Laksono, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Mahkamah Konstitusi untuk tetap memegang komitmen dalam menjalankan tugasnya di wilayah hukum dan tidak memasuki wilayah politik adalah kurang begitu tepat (Kompas 11 Oktober, 2005). Sudah barang tentu hal ini juga akan mempunyai dampak pada pihak-pihak yang dapat menggerakkan mekanisme Konstitusional kontrol oleh berbagai lembaga negara.

Diberbagai negara didunia sebanyak lebih kurang 78 negara yang dalam konstitusinya juga mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi, semenjak Hans Kelsen merancang undang-undang dasar Austria dan memasukkan lembaga ini dalam konstitusi Austria. Sebagian besara negara-negara demokrasi yang sudah mapan kecuali Jerman, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Fungsinya dicakup dalam fungsi Mahkamah Agung yang ada disetiap negara (Jimly Asshiddiqie. 2003).

Kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dapat dibedakan menjadi dua. Yaitu kewenangan utama, dan kewenangan tambahan. Kewenangan utama meliputi: (a) pengujian undang-undang terhadap UUD, (b) memutus keluhan konstitusi yang diajukan oleh rakyat terhadap penguasa (UUD RI 1945 tidak memberikan kewenangan ini kepada Mahkamah Konstitusi), sebaiknya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan utamanya yaitu untuk memutus memutus constituional complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa seperti Mahkamah konstitusi Austria, Itali, Jerman dan lainnya. Dengan diberikannya kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi wajib menerima dan memutus permohonan dari rakyat bilamana adanya produk peraturan yang berada dibawah undang-undang seperti Keputusan Presiden, Penetapan Presiden, Instruksi Presiden danatau Peraturan Presiden untuk diajukan judicial review. Seperti kita ketahui bahwa Peraturan Presiden no 552005 tentang harga BBM yang mengacu pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dimana Pasal 28 ayat (2) dan (3), telak di dikoreksi dalam judicial review Mahkamah Konstitusi pada tanggal 21 Desember 2004 karena dinilai bertentangan dengan UUD RI 1945. Tanpa diberi kewenangan tersebut diatas maka Mahkamah Konstitusi belum bisa melakukan perannya sebagai penjaga konstitusi secara tuntas dan menyeluruh. (c) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sedangkan kewenangan tambahan dapat bervariasi antara negara satu dengan yang lainnya. UUD RI 1945 memberikan kewenangan tambahan tersebut berupa; (a) pembubaran partai politi, (b) perselisihan hasil pemilihan umum, (d) pemberian putusan Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden danatau wakil presiden.

Peranan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi melalui kewenangannya sebagai sebuah lembaga peradilan oleh UUD RI 1945, mencerminkan semangkin kuatnya penuangan prinsip negara hukum dalam UUD RI 1945 setelah adanya perubahan. Pilar yang sangat fundamental yang diletakkan dalam UUD RI 1945 untuk memperkuat prinsip negara hukum adalah perumusan pada Pasal 1 ayat (2), yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan adanya perumusan ini, maka Indonesia yang menganut asas demokrasi dalam penyelenggaraan kenegaraan menyandarkan mekanisme demokrasinya kepada hukum, yaitu UUD RI 1945. Hak-hak yang diakui dalam UUD RI 1945 , dan tata cara pelaksanaan demokrasi didalamnya menjadi rambu-rambu bagi pelaksanaan demokrasi. Karena demokrasi tanpa hukum akan mengarah menjadi anarki. Pelanggaran terhadap konstitusi dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Meskipun DPR yang anggotanya dipilih dalam pemilihan umum dan Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, yang berarti keduanya mempunyai dasar legitimasi perwakilan aspiratif, namun, dalam prinsip negara hukum kedua lembaga ini tetap dapat melakukan pelanggaran terhadap konstitusi (Harjono. 2003). Dengan ditetapkannya mekanisme pembuatan undang-undang dalam UUD RI 1945, yang melibatkan kedua lembaga ini, DPR dan Presiden, maka produk bersama dari kedua lembaga ini, yaitu undang-undang secara potensial pun dapat menyimpang dari UUD RI 1945. Sebuah undang-undang dapat menjadi objek legislative review, yang dilakukan oleh badan legislative yang membuatnya. Namun, haruslah diingat bahwa legislative review masih tetap didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan politik karena memang produk dari lembaga politik. Kehadiran Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji undang-undang adalah untuk menjaga menegakkan konstitusi bilamana terjadi pelanggaran konstitusi oleh undang-undang. Dengan mekanisme ini jelas bahwa peranan Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia adalah untuk menjaga jangan sampai terjadi pelanggaran konstitusi oleh lembaga negara.

Mahkamah Konstitusi yang melaksanakan fungsi peradilannya untuk melakukan uji undang-undang harus membatasi dirinya jangan samapai menjadi super body dalam pembuatan undang-undang yang terjebak untuk menjadi lembaga yang mempunyai hak "veto" secara terselubung. Dalam hal pembuatan undang-undang harus dipahami secara kesistiman bahwa terdapat tiga kategori substansi dalam konstitusi; (a) pembuat undang-undang diberi kewenangan penuh untuk mengatur dan menetapkan, (b) dalam mengatur dan menetapkan pembuat undang-undang dengan kualifikasi atau pembatasan, (c) pembuat undang-undang tidak diberi kewenangan untuk mengatur dan menetapkan karena telah ditetapkan dan diatur sendiri oleh konstitusi.

UUD RI 1945 telah mendistribusikan kewenangannya kepada beberapalembaga negara. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut sangat mungkin akan terjadi dimana satu lembaga negara menggunakan kewenangannya melampaui batas kewenangan yang diberikan kepadanya sehingga melanggar kewenangan lembaga lain. Dengan adanya perubahan UUD RI 1945, hubungan antar lembaga negara diposisikan secara fungsional, dan tidak secara hirarkis, maka diperlukan sebuah lembaga yang secara final dapat memutus perselisihan kewenangan antar lembaga negara. Mahkamah Konstitusi berperan sebagai lembaga peradilan yang memutus sengketa antar kewenangan lembaga negara. Sebelumnya peran ini dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dimana sebagai sebuah lembaga pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat yang omnipotent, yang berwenang untuk melakukan apa saja termasuk didalamnya untuk menmyelesaikan persengketaan yang timbul antar lembaga negara. Dapat diartikan bahwa peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dalam sistem check and balances antar lembaga negara. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana tata cara pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.


3. Tata Cara Pengajuan Permohonan

Untuk melaksanakan peranannya menjaga konstitusi, Mahkamah Konstitusi dilengkapi dengan mekanisme constitutional control, digerakkan oleh adanya permohonan dari pemohon yang memiliki legal standing untuk membela kepentingannya. Pemilihan kata pemohon dan bukan gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi bilamana dibandingkan dengan Hukum Acara Perdata, seolah-olah perkara itu merupakan perkara yang bersifat satu pihak (ex parte) dan tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai pihak atau termohon dan yang mempunyai hak melawan permohonan tersebut. Hal ini tidak selalu benar, karena dalam jenis perkara tertentu harus ada pihak yang secara tegas ditetapkan dan ditarik sebagai pihak, dan yang mempunyai hak untuk menjawab atau menanggapi permohonan tersebut (Maruarar, Siahaan. 2003).

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2002 tentang tata cara penyelenggaraan wewenang Mahkamah Konstitusi oleh Mahkamah Agung dalam Pasal 1 ayat (7) dan (8) membedakan permohonan dan gugatan. Terhadap perkara:

  1. Pengujian undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar;
  2. Sengketa wewenang antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang dasar RI 1945;
  3. Memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden danatau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7B ayat (1) UUD RI 1945 dan perubahannya.

Diajukan dalam permohonan yang merupakan permintaan untuk diputus. Di pihak lain jika perkara yang diajukan adalah mengenai:

  1. Pembubarana partai politik;
  2. Perselisihan hasil pemilihan umum.

Maka harus dengan gugatan yang merupakan tuntutan yang diajukan secara tertulis.
Undang-undang No. 24 tahun 2003 menyebutkan bahwa semuanya diajukan dengan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, ditanda tangani oleh pemohon kuasa, diajukan dalam 12 rangkap dan syarat-syarat yang harus dipenuhi disebut dalam Pasal 31 adalah sebagai berikut:

  1. Nama dan alamat pemohon;
  2. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan;
  3. Hal-hal yang diminta untuk diputus.

Permohonan itu harus pula melampirkan bukti-bukti sebagai pendukung permohonan, yang menunjukkan permohon bersungguh-sungguh. Dengan kata lain, pemohon harus memuat identitas piha-pihak posita dan petitum. Tapi Undang-undang No. 24 tahun 2003 tidak mengharuskan disebut termohon. Karena sifatnya yang lebih banyak melibatkan lembaga-lembaga negara dan khusus tentang pengujian undang-undang terhadap UUD RI 1945, yang berada dalam posisi sebagai termohon tidak terlalu menentukan karena putusan yang diminta adalah bersifat deklaratif terhadap aturan yang berlaku umum juga dilain pihak oleh karena adanya kewajiban Mahkamah Konstitusi memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan danatau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan termohon, maka yang menentukan termohon itu adalah Mahkamah Konstitusi. Meski tidak secara tegas disebut perlu dimuat siapa yang menjadi termohon, sebagai pihak yang paling berwenang dan berkepentingan menjawab gugatan tersebut, secara praktis dengan penunjukan termohon. Termohon dapat dipanggil untuk memberikan keterangan. Bisa juga dianalogikan keterangan tersebut dengan jawaban dalam Hukum Acara Perdata. Hal ini untuk memenuhi tenggang waktu yang disebut Pasal 4i ayat (3) yang menentukan paling lambat tujuh hari kerja sejak permintaan Hakim Konstitusi diterima, lembaga negara yang bersangkutan wajib menyampaikan penjelasan. Permohonan dapat disatukan dengan panggilan sebagaimana disebutkan dalam Acara Perdata.

Memang secara spesifik dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak disebut siapa yang menjadi termohon, tapi dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara, pembubaran partai politik, impeachment, termohon harus ditulis secara tegas. Khusus mengernai sengketa kewenangan antar lembaga negara, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahakan pihak pemohon danatau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Tanpa adanya penyebutan termohon secara tegas dalam penetapan yang sifatnya menghentikan kewenangan sementara, maka putusan itu boleh jadi tidak mempunyai arti apa-apa, karena tidak jelas siapa yang wajib melaksanakan perintah tersebut. Hal yang lebih tegas lagi adalah ketika permohonan untuk membatalkan hasil pemilu dan pembubaran partai politik dikabulkan, maka harus jelas siapa yang wajib melaksanakan keputusan hakim Mahkamah Konstitusi tersebut.

Mahkamah konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus dalam sidang plenonya dengan sembilan (9) Hakim Konstitusi, akan tetapi dalam keadaan luar biasa dengan tujuh (7) Hakim. Itulah sebabnya surat permohonan diajukan dua belas (12) rangkap, karena disamping dibagikan pada sembilan (9) Hakim, juga harus disampaikan kepda presiden dan DPR dalam waktu tujuh (7) hari sejak permohonan dicatat dalam register perkara konstitusi. Mahkamah Agung, menurut Pasal 53 cukup diberi tahu tentang permohona judicial review. Namun, tidak diatur secara tegas bahwa permohonan disampaikan ke Mahkamah Agung, yang mempunyai arti bahwa tidak perlu diberkanan copy surat permohonan. Salah satu perbedaan dengan gugatan dalam perkara perdata adalah permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat didaftar harus telah menyertakan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut (Pasal 32 ayat (2) dan (3) UU No. 24 tahun 2003). Karena masih ada proses untuk memeriksa perkara dan alat-alat bukti, maka hal ini harus ditafsirkan sebagai bukti awal yang menunjukkan kesungguhan permohonan tersebut dan bukan hanya bertujuan untuk menimbulkan sensasi atau uji coba. Selanjutnya kita akan membahas siapa yang dapat mengajukan permohonan pada bagian berikut.


3. Siapa yang Dapat Mengajukan Permohonan

Yang berhak mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi adalah setiap orang yang memiliki kepentingan hukum atau kewenangan yang dilanggar dan dirugikan dengan kata lain bahwa yang bersangkutan harus mempunya legal standing untuk mengajukan permohonan. Pemohon untuk setiap jenis perkara konstitusi berbeda.
A. Pengujian Undang-undang terhadap UUD RI 1945

Permohonan untuk pengujian undang-undang terhadap UUD RI 1945 dapat dilakukan bagi yang menganggap hak danatau kewenangan konstitusionalnya sedang dan akan dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang terdiri dari:

  1. Individu atau perorangan warga negara Indonesia;
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
  3. Badan hukum publik atau privat; atau
  4. Lembaga negara.

Keempat kategori yang disebut diatas, jika hak dan kewenangan konstitusionalnya dilanggar oleh berlakunya satu undang-undang mempunyai legal standing, untuk mengajukan permohonan.


B. Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara

Pihak yang mengajukan permohonan dalam hal ini adalah lembaga negara yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan, akan tetapi lembaga negara dimaksud harus secara khusus yang kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945. Kalau diteliti dalam UUD RI 1945, secara tegas dapat disebut MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, Pemerintah Daerah, Pemerintah Provinsi yang dibagi atas Kabupaten dan Kotamadia. Mahkamah Agung sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari UUD RI 1945 tidak dapat menjadi pihak baik pemohon maupun termohon dalam sengketa kewenangan antar lembaga negara (Pasal 65 UU 24 2003).


C. Pembubaran Parta Politik

Pemohon dalam sengketa pembubaran partai politik adalah pemerintah dan lebih jauh dijelaskan pemerintah pusat. Tetapi, departemen atau lembaga dimana ewenangnya memohon hal semacam ini dari pemerintah pusat? Sebagai wakil untuk mengajukan permohonan adalah Jaksa Agung. Tapi boleh jadi dalam prakteknya nanti akan berkembang yang akan memungkinkan mengajukan permohanan adalah departemen-departemen atau lembaga negara yang mempunyai kaitan langsung dengan alasan pembubaran partai politik. Karena pemerintah pusat adalah kesatuan, maka harus terlebih dahulu diperoleh izin atau perintah atau penunjukan presiden sebagai kepala pemerintahan. Sedangkan alasan yang diajukan karena ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik tertentu yang dianggap bertentangan dengan UUD RI 1945.

D. Perselisihan Hasil Pemilu

Perselisihan hasil pemilu merupakan sengketa tentang hasil pemilu secara nasional yang dipandang penetapan Komisi Pemilihan Umum mempengaruhi:

  1. Terpilihnya anggota DPD;
  2. Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden;
  3. Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan.

Munculnya sengketa ini adalah karena adanya perbedaan pendapat tentang hasil perhitungan suara yang oleh pemohon dipandang tidak benar dan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali 24 jam) sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional. Sedangkan pemohon dalam sengketa ini adalah:

1. Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta pemilu;
2. Pasangan calon Presiden Wakil Presiden peserta pemilu Presiden Wakil Presiden;
3. Partai politik peserta pemilu.

E. Pendapat DPR mengenai Pelanggaran oleh Presiden danatau Wakil Presiden
Dalam hal ini yang dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini tentu melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 23 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 23 anggota DPR (Pasal 7 B ayat (3) UUD RI 1945).

4. Kesimpulan

Peranan Mahkamah Konstitusi dalam menjaga Konstitusi melalui kekuasaan kehakiman meliputi kewenangan utama dan kewenangan tambahan. Kewenangan utama meliputi; (a) Pengujian undang-undang terhadap UUD RI 1945, (b) memutus constituional complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa (UUD RI 1945 tidak memberikan kewenangan ini kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, sedangkan dinegara lain diberikan kepada mahkamah konstitusi), (c) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara. Sebagai kewenangan tambahan dapat bervariasi antara negara satu dengan negara lainnya. Sedangkan UUD RI 1945 memberikan kewenangan tambahan kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu; (a) pembubaran partai politik, (b) perselisihan hasil pemilihan umum, (c) pemberian putusan DPR atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh presiden danatau wakil presiden.
Sebaiknya Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan utamanya yaitu untuk memutus memutus constituional complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa seperti Mahkamah konstitusi Austria, Itali, Jerman dan lainnya. Dengan sendirinya bisa melakukan perannya sebagai penjaga konstitusi secara tuntas.

DAFTAR PUSTAKA

Hajono. 2003. Kedudukan dan Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Kekuasaan Kehakiman dan Ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Jimly, Asshiddiqie. 2003. Mahkamah Konstitusi: Penomena Hukum Tata Negara. Mahkamah Konstitusi.

Maruarar, Siahaan. 2003. Prosedur Berperkara di Mahkamah Konstitusi dan Perbandingan dengan Hukum Acara di Pengadilan Umum dan TUN. Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi.

Keebet von Benda-Beckmann: Pluraisme Hukum, Sebuah Sketsa Genealogis dan Perdebatan Teoritis, dalam: Pluralisme Hukum, Sebuah Pendekatan Interdisipliner, Ford Fondation, Huma, Jakarta, 2006 hal 21

Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Di Indoensia, Kompas, 2003,23,24

Satjipto Rahardjo: Penafsiran Hukum Yang Progresif, dalam : Anthon Freddy Susanto,SH,MH: Semiotika Hukum, Dekontruksi Teks Menuju Progresifitras Makna, Efika Aditama, Bandung,

Satjipto Rahardjo: Modernisasi Dan Perembangan Kesadaran Hukum Masyarakat, Jurnal Masalah-masalah Hukum, FH Undip, No.1-6 Tahun X/ 1980.

Eman Suparman, asal usul serta landasan pengembangan ilmu hukum indonesia (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen), Esmi Warassih Pujirahayu, “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mewujudkan

Sorjono Soekanto, Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat, Academica, Jakarta 1979.

Eman Suparman, asal usul serta landasan pengembangan ilmu hukum indonesia (Kekuatan Moral Hukum Progresif sebagai das Sollen)

Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam Dan Adat Di Indonesia, INIS, Jakarta, 1998

Hilman Hadukusuma: Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003

Van Vallenhoven, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Jambatan, Jakarta, 1983, hal 14, lihat juga Abdulrahman ,SH : Hukum Adat menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, 1984.

Abdulrahman , SH: Hukum Adat Menurut Perundang-undanga Republik Indonesia, Cendana Press, 1984

Soepomo, Kedududkan Hukum Adat di Kemudian Hari, Pustaka Rayat, Jakarta

Sudjito Sastrodiharjo, Hukum adat Dan Realitas Kehidupan, dimuat dalam : Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Fakultas Hukum –Universitas Islam Indonesia,1998.

Sunaryati Hartono: Sumbangsih Hukum Adat bagi Perkembangan Pembantukan Hukum Nasional dalam M.Syamsudin et al Editor: Hukum Adat dan Mordernisasi Hukum, FH-UII,1998

Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Sebelum Perang Dunia II, Pradnjaparamita, Jakarta,cet 15 1997

Khundzalifah Dimyati, : Teoritisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangan Demikian Hukum di Indonesia 1945 – 1990, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004 – 22.

Achid Masduki, Peranan Hukum Adat Dalam Mengatasi Masalah Pemilikan pada Masyarakat Industri, dalam , Hukum Adat Dan Modernisasi Hukum, UII, Jogyakarta

Harian Kompas 11 Oktober, 2005