Halaman

Rabu, 17 Juni 2009

ILMU PERUNDANG-UNDANGAN DAN JUDICIAL REVIEW


“Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 18/PUU-V/2007 Pengujian Terhadap Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia ”

Oleh: Muhammad Syahrum

1. Identitas Para pihak, yang meliputi: Nama (beserta bin/binti dan aliasnya), umur, agama, pekerjaan dan tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “dahulu bertempat tinggal di….. tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia, dan kewarganegaraan (bila perlu). Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan perkara itu harus disebut secara jelas tentang kedudukannya dalam perkara, apakah sebagai penggugat, tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon, atau termohon.

(Siapa yang mengajukan pemohonan pengujian undang-undang).

EURICO GUTERRES, umur 38 tahun, agama Katolik, pekerjaan Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi Timor Timur, alamat Kelurahan Liliba, RT/RW. 008/001 Kecamatan Oebobo Kota Kupang;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bulan Juni 2007 memberikan kuasa kepada

M. Mahendradatta, S.H.,MA.,MH.PhD, A. Wirawan Adnan, S.H., Achmad Michdan,S.H., Akhmad Kholid, S.H., Irwan H. Siregar, S.H.,LL.M., Guntur Fattahillah, S.H.,Hery Susanto, S.H., Sutejo Sapto Jalu, S.H., Advokad/Penasihat Hukum yang berdomisili pada Kantor The Law Offices of M. Mahendradatta, Jalan Rumah Sakit Fatmawati Nomor 22 FG, Cipete Selatan, Cilandak Jakarta Selatan 12410, yang bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama;

Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------------Pemohon;

2. Fundamentum Petendi (Posita), yaitu penjelsan tentang keadaan / peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar atau alasan gugat.

Posita memuat dua bagian:

(a) alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum, dan

(b) alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam putusan nantinya.

(Alasan dan dasar pengujian (pasal atau ayat dalam undang-undang yang bertentangan dengan UUD)

Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026, selanjutnya disebut UU Pengadilan HAM) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) dengan surat permohonan bertanggal 19 Juni 2007 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 21 Juni 2007 dengan registrasi Nomor 18/PUU-V/2007, yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Pemohon mengajukan permohonan pengujian undang-undang mengenai norma-norma yang terdapat di dalam Pasal 43 ayat (2) beserta Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, karena melanggar hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) juncto Pasal 24A ayat (5), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

Sebelum Pemohon menguraikan alasan dalam permohonan a quo, terlebih dahulu akan diuraikan legal standing Pemohon dan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutuskan permohonan dimaksud

Segala alasan dan dasar hukum pengujian Undang-Undang a quo adalah bersifat materiil, namun Pemohon juga mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang a quo;

2.1. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

1. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Pengadilan HAM, khususnya Pasal 43 ayat (2) beserta Penjelasan Pasal 43 ayat (2);

2. Bahwa Pemohon dalam mengajukan permohonan ini bertindak dalam kapasitas atau kualifikasi pribadi sebagai warga negara Indonesia yang memiliki Kartu Tanda Penduduk warga negara Indonesia, sehingga dapat bertindak sendiri tanpa ijin maupun tanpa dapat dianggap mewakili kategori lain selain sebagai perorangan;

3. Bahwa sebagai warga negara Indonesia, Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang antara lain tidak terbatas pada Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama terhadap hukum". Untuk melaksanakan hak tersebut, UUD 1945 telah memberikan jaminan:

v Pasal 24 UUD 1945:

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;

(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang;

v Pasal 24A ayat (5) UUD 1945: “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”;

4. Bahwa selain Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut, Pemohon juga memiliki hak konstitusional yang lain sebagaimana dimaksud dalam:

v Pasal 27 ayat (1): "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

v Pasal 28G ayat (1): "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi";

v Pasal 28I ayat (2): "Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”;

5. Bahwa DPR pernah membentuk Pansus :Timor Timur Periode Pasca Jajak Pendapat yang berujung pada disampaikannya usulan yang kemudian, ditindaklanjuti menjadi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili tersangka pelanggaran HAM berat di Timor Timur;

6. Bahwa kegiatan DPR a quo merupakan pelaksanaan kegiatan dalam Iingkup penerapan UU Pengadilan HAM, khususnya Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2);

v Pasal 43 ayat (2) yang berbunyi "Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden".

v Penjelasan Pasal 43 ayat (2) yang berbunyi "Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini". Sebagaimana ternyata pada butir konsideran "Mengingat" pada poin 2;

7. Bahwa dengan demikian Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM telah diterapkan kepada Pemohon sebagai perorangan, karena kemudian DPR telah memutuskan 17 orang dari 21 orang yang diajukan oleh KPP-HAM dan Kejaksaan, untuk diadili pada Pengadilan HAM ad hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana Pemohon adalah termasuk diantara 17 orang tersebut;

8. Bahwa karena adanya Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, Pemohon telah dirugikan hak konstitutionalnya untuk memperoleh perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, secara konkrit kerugian tersebut berupa pengadilan terhadap Pemohon di Pengadilan HAM ad hoc Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara 04/Pid.Ham/ad.hoc/2002/PH.JKT.PST, yang telah menjatuhkan putusan kepada Pemohon berupa pidana penjara sepuluh tahun, yang kemudian akhirnya juga diputus hal yang sama oleh Mahkamah Agung dengan Nomor Putusan 06 K/Pid.HAM AD HOC/2005, tanggal 8 Maret 2006;

9. Bahwa disamping itu Pemohon yakin segala keputusan yang telah diambil oleh DPR memiliki landasan kepentingan politik, sehingga hak constitutional Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum telah terintervensi oleh kepentingan politik, hal ini merupakan kerugian konstitusional;

10. Bahwa Pemohon berpendapat segala bentuk badan-badan peradilan haruslah dibentuk berdasarkan UUD 1945 oleh undang-undang, sehingga akan sangat merugikan Pemohon apabila sampai.diperiksa atau diadili oleh badan peradilan yang tidak dibentuk berdasarkan UUD 1945;

11. Bahwa fakta hukum kegiatan DPR yang membentuk Pansus a quo, bahkan sebelumnya Komisi III DPR telah mengajukan rekomendasi agar DPR memberikan usul kepada Presiden RI untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa a quo, adalah akibat dari diberlakukannya Pasal 43 ayat (2) beserta Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM. Sehingga terdapat hubungan kausalitas antara diberlakukannya Pasal a quo dari Undang-Undang a quo dengan tindakan DPR yang dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon;

12. Bahwa bilamana permohonan Pemohon dikabulkan, tentunya DPR dianggap tidak memiliki dasar hukum untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc, sehingga kerugian konstitusional Pemohon dapat direhabilitasi dengan cara mengajukan peninjauan kembali atas kerugian (hukuman pidana) yang saat ini sedang dijalankan;

13. Bahwa bilamana permohonan Pemohon dikabulkan juga tidak akan menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) terhadap penanganan Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc karena Pemohon tidak mempersoalkan keberadaan pengadilan-pengadilan tersebut, namun prosesnya yang harus sesuai dengan UUD 1945;

2.2. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Bahwa Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM yang diajukan oleh Pemohon memang sudah pernah diuji materiil oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 065/PUU-II/2004 yang diajukan oleh Abilio Jose Osorio Soares, dengan keputusan permohonan ditolak;

2. Bahwa menurut hemat Pemohon, khususnya untuk Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM a quo hanya sekedar turut teruji oleh Pemohon sebelumnya dalam arti tidak dengan maksud yang serius dan argumentatif. Karena apabila dibaca permohonan, Pemohon sebelumnya tidak ada satu alasanpun yang dikemukakan oleh Pemohon sebelumnya untuk menguji Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang a quo;

3. Bahwa oleh karenanya, apapun alasan yang dikemukan oleh Pemohon sudah pasti berbeda dengan Pemohon sebelumnya, karena Pemohon sebelumnya tidak mempunyai alasan apapun untuk menguji Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang a quo;

4. Bahwa sebaliknya justru Mahkamah Konstitusi yang memberikan pertimbangan terhadap Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang a quo sebagaimana kutipan Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 halaman 56 sampai dengan 58;

5. Alasan atau syarat konstitusional yang diajukan Pemohon berbeda dengan yang diajukan oleh Pemohon sebelumnya, hal ini terlihat dari kutipan Perkara Nomor 065/PUU-II/2004, dimana dasar konstitusional yang dijadikan argumentasi Pemohon sebelumnya adalah hanya Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, sedangkan dasar konstitusional yang diajukan Pemohon a quo adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 24 dan Pasal 24A ayat (5), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;

6. Bahwa Pemohon perkara Nomor 065/PUU-II/2004 pun tidak memberikan alasan atau argumentasi apapun mengenai Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang a quo selain dari mengkaitkannya dengan argumentasi untuk Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang a quo. Sehingga apapun syarat konstitusional atau alasan Pemohon sudah pasti berbeda dengan Pemohon sebelumnya, karena Pemohon memberikan alasan sebaliknya dari Pemohon sebelumnya tidak ada alasannya;

7. Bahwa Pemohon sebelumnya dalam Perkara Nomor 065/PUU-II/2004, yang dikemukakan adalah tertuju hanya pada pembahasan asas non-retroaktif versus asas retroaktif, sedangkan Pemohon a quo sama sekali tidak mendalilkan permasalahan asas retroaktif tersebut karena sejak pada bagian permulaan sampai akhir permohonan ini, Pemohon akan membangun konstruksi uji materiel Pasal a quo berdasarkan kerugian Pemohon yang dilanggar hak konstitusionalitasnya dalam memperoleh jaminan, perlindungan dan kepastian hukum. Lebih khusus lagi Pemohon akan menyajikan dalil-dalil berkenaan dengan kekuasaan kehakiman yang bebas sebagai bentuk jaminan, perlindungan dan kepastian hukum bagi Pemohon. Disamping itu Pemohon juga akan menyampaikan dalil-dalil mengenai syarat konstitusional pembentukan badan peradilan demi kepastian hukum bagi Pemohon;

8. Bahwa oleh karena syarat konstitusional yang dipergunakan oleh Pemohon berbeda dengan Pemohon sebelumnya, maka sudah sepantasnya apabila Mahkamah Konstitusi berkenan menerima permohonan Pemohon dan menyatakan berwenang untuk memeriksa pokok permohonan Pemohon;

9. Bahwa Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 10 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;

10. Bahwa dari uraian legal standing permohonan a quo, Pemohon merasa sebagai perorangan warga negara Indonesia, telah memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan uji materiil dari Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 24 dan Pasal 24A ayat (5), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Selain itu yang dimohonkan diuji adalah Ketentuan Normatif Undang-Undang a quo Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) yang jelas-jelas merugikan hak konstitusional Pemohon;

11. Bahwa bilamana Mahkamah memutuskan untuk menyatakan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dan Penjelasannya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dapat dipastikan Pemohon dapat segera memperoleh rehabilitasi dan terbebas dari kemungkinan diperiksa bahkan diadili kembali oleh proses criminal justice system dan Lembaga Pengadilan yang bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga putusan Mahkamah akan memiliki manfaat nyata/berpengaruh menghentikan kerugian hak konstitusional Pemohon;

12. Bahwa Pasal 50 UU MK yang menyatakan bahwa undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 dengan perubahan terakhir yaitu perubahan ketiga yang disahkan pada tanggal 10 November 2001;

13. Bahwa UU Pengadilan HAM diundangkan pada tanggal 23 November 2000 atau lahir sebelum adanya UU MK;

14. Bahwa akan tetapi Pasal 50 UU MK tersebut telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 066/PUU-II/2004 tanggal 12 April 2005, sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji secara materiil Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM;

2.3. ALASAN PEMOHON.

1. Bahwa segala apa yang telah dikemukakan dalam bagian I dan I I permohonan a quo di atas, mohon pula dipertimbangkan sebagai alasanalasan permohonan a quo secara mutatis mutandis masuk pula kedalam bagian ini;

2. DPR sebagai lembaga legislatif dan lembaga politik tidak memiliki wewenang intervensi terhadap criminal justice system;

3. Bahwa menurut UU Pengadilan HAM menentukan bahwa Pengadilan HAM ad hoc hanya dapat dibentuk atas usulan DPR kepada Presiden RI untukkemudian (bilamana menyetujui juga) dikeluarkan Keputusan Presiden untuk membentuknya;

4. Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat DPR diberikan wewenang untuk melakukan dugaan. Dengan demikian sebelum DPR mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, maka ketika itu DPR telah melakukan apa yang tindakan menduga terlebih dahulu tentang telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Timor Timur;

5. Bahwa pasal-pasal a quo jelas-jelas menunjukkan DPR haruslah memberikan putusan atau penilaian (judgement) terlebih dahulu sebelum mengajukan usul pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Berarti DPR telah melakukan fungsi pengadilan yang didasarkan atas dugaannya;

6. Bahwa secara normatif, menurut UU Pengadilan HAM a quo, DPR tidak membutuhkan adanya bahan-bahan atau syarat konstitusional apapun untuk melakukan tindakan menduga dan mengajukan usul pembentukan Pengadilan HAM ad hoc tersebut. Laporan ataupun rekomendasi dari Komnas HAM hanyalah merupakan kebiasaan dalam praktik belaka dan bukan merupakan suatu aturan yang mengikat. Dengan lain perkataan, DPR dapat mengajukan usul pembentukan Pengadilan HAM ad hoc bilamana menurut dugaannva telah terjadi pelanggaran HAM berat, tanpa harus mengikutsertakan lembaga lain;

7. Bahwa di dalam UU Pengadilan HAM, kata dugaan atau diduga ditemukan didalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi, “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini." Dimana berdasarkan pengertian pasal tersebut, maka dugaan merupakan suatu bagian dari sebuah tindakan hukum penyelidikan;

8. Bahwa namun sebelum terlalu jauh, maka perlu dimengerti dahulu bahwa sesuai Undang-Undang a quo, penyelidikan merupakan suatu wewenang didalam sistim Pengadilan HAM yang hanya dimiliki oleh Komnas HAM sebagaimana Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang a quo yang berbunyi, "Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia". Sedangkan Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU Pengadilan HAM yang berbunyi, "Kewenangan penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjaga objektivitas hasil penyelidikan karena lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga yang bersifat independen";

9. Bahwa dengan demikian fungsi DPR disini adalah menggantikan atau bahkan tumpang tindih (overlap) atau mengambil alih fungsi Komnas HAM sebagai penyelidik dalam tindak pidana pelanggaran HAM berat;

10. Pemohon sama sekali tidak mempersoalkan penerapan asas retroaktif maupun eksistensi Pengadilan HAM ad hoc, tetapi proses pembentukannya melalui usulan DPR dan dengan Keputusan Presiden RI yang menurut Pemohon merugikan hak konstitusionalnya. Dengan perkataan lain, Pemohon tidak mengajukan pembatalan eksistensi Pengadilan HAM ad hoc tetapi memohonkan uji materiel terhadap proses pembentukannya;

11. Bahwa Pemohon saat ini bukan sedang mempermasalahkan keberadaan Pengadilan HAM ad hoc yang telah mengadili Pemohon, tetapi mempermasalahkan proses peradilannya yang tidak sesuai dengan UUD 1945, sehingga Pemohon telah dirugikan karena telah diadili oleh suatu proses kekuasaan politik yang tidak merdeka karena bukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan namun mengakomodasi kepentingan Politik;

12. Bahwa fungsi DPR yang diberikan oleh UUD 1945 adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, serta utamanya menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Di dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun secara normatif yang memberikan hak kepada DPR untuk ikut serta di dalam criminal justice system atau in casu melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana;

13. Bahwa namun yang menjadi persoalan adalah bukan peran serta DPR dalam membentuk Pengadilan HAM ad hoc tetapi didalam proses mengusulkannya ternyata terkandung keharusan DPR untuk melakukan penilaian yang bersifat menghakimi tentang suatu peristiwa hukum pidana sebagaimana secara normatif disebut dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2);

14. Bahwa akibat Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang a quo menentukan penilaian yuridis untuk menduga adanya pelanggaran HAM yang berat ditentukan secara politis, maka Pemohon tidak memperoleh kepastian hukum. Oleh karenanya sangatlah bijaksana apabila Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dinyatakan tidak lagi mengikat secara hukum;

15. Bahwa peranan lembaga lain dalam menentukan terbentuknya Pengadilan ad hoc dan menerapkan prinsip kehati-hatian dapat dikembalikan lagi dalam lingkup kekuasaan kehakiman, sebagaimana dalam penanganan tindak pidana terorisme (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 juncto Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002) yang mempergunakan hasil laporan intelijen;

16. Bahwa UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum" dan Pasal 28I ayat (2) berbunyi "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu". Maka nyatalah hak Pemohon secara konstitusional untuk memperoleh perlakuan yang sama dihadapan hukum dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun, telah dilanggar dengan berlakunya Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang a quo;

17. Bahwa Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM yang berbunyi, "Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden", secara normatif dan tegas menyatakan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc adalah melalui Keputusan Presiden;

18. Bahwa Pemohon berpendapat bahwa pembentukan Pengadilan HAM ad hoc tidak dapat dilakukan dengan Keputusan Presiden karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (5) UUD 1945, sehingga pantas dinyatakan tidak lagi mengikat secara hukum;

19. Bahwa sangat jelas didalam Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa Timor Timur pasca jajak pendapat ditentukan kedudukan Pengadilan HAM ad hoc adalah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Padahal apabila mengikuti kedudukan Pengadilan HAM ad hoc yang ditentukan oleh UU Pengadilan HAM, khususnya Pasal 45 ayat (2), maka seharusnya locos delicti Timor Timur (masuk Nusa Tenggara Timur), sehingga seharusnya Pemohon diadili di Pengadilan Negeri Surabaya. Oleh karenanya sangat jelas bahwa Keputusan Presiden tersebut menentukan kedudukan Pengadilan HAM ad hoc, dan bukan ditentukan oleh Undang-Undang a quo;

20. Bahwa Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 menyatakan, "Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang". Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai implementasi dari Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 ayat (1) yang berbunyi, "Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang";

21. Bahwa penjelasan ayat tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan pengadilan khusus dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara". Meskipun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dibuat lebih kemudian dari UU KPK, akan tetapi ketentuan yang sama telah tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) (beserta penjelasannya) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman). Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam Iingkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara". Sementara itu, Penjelasannya berbunyi, "Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai Iingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkaraperkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana. Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan undang-undang". Di samping itu, frasa yang berbunyi diatur dengan undangundang yang tersebut dalam Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 juga berarti bahwa susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya itu tidak boleh diatur dengan bentuk peraturan perundang-undangan lain selain undang-undang;

22. Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas, sudah sepatutnya apabila permohonan Pemohon dikabulkan seluruhnya;

23. Bahwa bilamana permohonan Pemohon dikabulkan juga tidak akan menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) terhadap penanganan Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc karena Pemohon tidak mempersoalkan keberadaan pengadilan-pengadilan tersebut, namun prosesnya yang harus sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Disamping itu untuk Pengadilan HAM ad hoc sampai saat ini tidak ada lagi yang sedang diadili dan cukup waktu bagi pembentuk undang-undang untuk merumuskan kembali undang-undang yang sesuai;

3. Petitum (tuntutan), Menurut Pasal 8 Nomor 3 R.Bg. ialah apa yang diminta atau yang diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Petitum akan dijawab oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Petitum harus berdasarkan hukum dan harus pula didukung oleh Posita. Pada prinsipnya posita yang tidak didukung oleh petitum (tuntutan) berakibat tidak diterimanya tuntutan, pun sebaliknya petitum / tuntutan yang tidak didukung oleh posita berakibat tuntutan penggugat ditolak.

1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026) khususnya Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2). Pasal 43 ayat (2) yang berbunyi, "Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden" dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang a quo berbunyi "Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan ternpus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini" bertentangan dengan UUD 1945;

3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 43 ayat (2) yang berbunyi, ”Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden" dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang- Undang a quo yang berbunyi "Dalam hal. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini”, tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Atau bilamana Mahkamah berpendapat lain sudilah kiranya memberikan putusan yang seadil-adilnya.

4. Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi.

Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti berupa surat/atau tulisan dan oleh telah

Pemohon diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-3, sebagai berikut:

1. Bukti P-1 : Fotokopi Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 06 K/PID. HAM AD HOC/2005, tanggal 13 Maret 2006 atas nama Eurico Guterres;

2. Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;

3. Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

4.1 . KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia;

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau

d. lembaga negara.

Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:

a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;

c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

Ketentuan tersebut di atas oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 24A ayat (5), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut:

v Pasal 24A ayat (5) yang berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”;

v Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

v Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

v Pasal 28G ayat (1) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”;

v Pasal 28I ayat (2) yang berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”;

Karena menurut Pemohon ketentuan a quo telah menimbulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM beserta Penjelasannya, telah memberikan justifikasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk ikut serta dalam kewenangan criminale justice system, yang pada gilirannya dapat melakukan penilaian atau menduga yang bersifat menghakimi terhadap suatu peristiwa tindak pidana pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat di Timor Timur;

2. Bahwa ketentuan a quo juga dianggap telah menimbulkan proses peradilan yang tidak benar, karena dugaan telah terjadi pelanggaran HAM berat ditentukan atas muatan dan intervensi politik dan bukan dalam rangka penegakan hukum, selain itu pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dengan Keputusan Presiden juga tidak sesuai dengan amanat Pasal 24A UUD 1945, yang pada gilirannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (unrechtszekerheid);

Sehubungan dengan anggapan Pemohon tersebut, Pemerintah dapat menyampaikan penjelasan sebagai berikut:

1. Bahwa secara limitative kewenangan Pengadilan HAM ad hoc dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM adalah hanya untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum Undang-Undang ini diundangkan. Maka terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, termasuk yang berkaitan dengan kasus Pemohon, maka diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc;

2. Bahwa pembentukan Pengadilan HAM ad hoc adalah berkait erat dengan pemberlakuan asas retroaktif untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diberlakukan, misalnya kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Tanjung Priok (1984) dan Timor Timur pasca jajak pendapat (1999), disisi lain menurut Pemerintah pembentukan Pengadilan HAM ad hoc secara filosofis historis sangat diperlukan, agar upaya-upaya impunity terhadap penegakan pelanggaran HAM yang berat dapat dikesampingkan, juga diharapkan dapat menyelesaikan secara tuntas konflik yang berlarut-larut yang terjadi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, ataupun antar bangsa yang satu dengan bangsa yang lain;

3. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan pandangan Pemohon yang menyatakan bahwa usul pembentukan Pengadilan HAM ad hoc apabila terdapat dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (2) beserta penjelasannya UU Pengadilan HAM, semata-mata ditentukan atas muatan dan intervensi politik dan bukan dalam rangka penegakan hukum. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa intervensi politik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembentukan Pengadilan ad hoc, selain dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan (vide Pasal 20A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945), juga mengacu pada praktik-praktik kebiasaan internasional (international custom); Misalnya: kasus Nuremberg, Yugoslavia dan Rwanda, maka International Criminal Tibunal for the former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB, yang tentunya tidak mungkin lepas dari intervensi politik, dan hal tersebut masih dapat dibenarkan oleh hukum, utamanya untuk kepentingan mengungkap kasus pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights); Bahwa ICTY dan ICTR, kedua lembaga peradilan khusus tersebut, dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB setelah terjadinya peristiwa atau pelanggaran HAM yang berat. Demikian pula halnya dengan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang didasarkan atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Memperhatikan hal tersebut di atas, maka independensi kekuasaan kehakiman dari pengaruh politik dapat dipandang sebagai pengecualian (exeptional), hal tersebut dikarenakan kasus pelanggaran HAM yang berat merupakan tindak pidana yang bersifat spesifik, yang pengungkapannya sangatlah sulit jika menggunakan perangkat dan mekanisme hukum yang sudah ada. Misalnya menggunakan KUHP;

4. Bahwa Pemerintah juga tidak sependapat dengan dalil atau argumen Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan Pengadilan HAM ad hoc tidak sesuai dengan lingkup kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam UUD 1945;

Terhadap hal tersebut di atas Pemerintah dapat menjelaskan bahwa kedudukan Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc adalah berada di lingkungan Peradilan Umum (vide Pasal 2 dan Pasal 43 ayat (3) UU Pengadilan HAM);

v Pasal 2 UU Pengadilan HAM berbunyi, "Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dilingkungan Peradilan Umum”;

v Pasal 43 ayat (3) UU Pengadilan HAM berbunyi, "Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum”;

Bahwa Pembentukan dan kedudukan Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc juga telah sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi, “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang”;

Lebih lanjut Penjelasan pasal dimaksud berbunyi, “Yang dimaksud dengan pengadilan khusus dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara”;

Atas hal tersebut di atas, maka pembentukan dan kedudukan Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc, termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, dan karenanya telah sesuai dan selaras dengan Pasal 24 UUD 1945 berbunyi:

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;

(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

5. Lebih lanjut mengenai kedudukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUUII/2004, dapat dijelaskan bahwa: Menimbang bahwa pembentukan pengadilan HAM ad hoc, sebagai forum untuk mengadili pelaku kejahatan yang tergolong ke dalam "kejahatan serius terhadap masyarakat international secara keseluruhan" (the most serious crimes of concern to the international community as a whole), sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM, di samping dapat dibenarkan menurut UUD 1945 juga dapat dibenarkan oleh praktik dan perkembangan hukum internasional, yang antara lain ditunjukkan oleh pembentukan Mahkamah Pidana ad hoc (Ad Hoc Criminal Tribunal) di bekas negara Yugoslavia, yaitu International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) dan di Rwanda, yaitu, International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). ICTY dibentuk (1993) dengan yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang tempus delicti-nya dibatasi yaitu setelah 1 Januari 1991 dan locus delicti-nya adalah di wiliyah bekas Yugoslavia. Sementara ICTR dibentuk (1994) dengan yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan genosida dan kejahatan serius lain terhadap hukum humaniter internasional (other serious crimes of international humanitarian law), dengan tempus delicti antara 1 Januari sampai dengan 31 Desember 1994, sedangkan locus delicti-nya adalah Rwanda dan negara-negara tetangganya. ICTY dan ICTR, yang keduanya didirikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, meskipun dibentuk setelah terjadinya peristiwa tetapi secara substansial yurisdiksi kedua Mahkamah ad hoc tersebut sesungguhnya adalah terhadap pelanggaran-pelanggaran yang sebelumnya sudah merupakan kejahatan menurut hukum internasional (vide Otto Triffterer, Commentary on the Rome of the International Criminal Court, Nomos Verlagsgesellschaft, Baden-Baden, 1999, h. 324). Demikian Pula halnya dengan Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM, yang meskipun dibentuk setelah terjadinya peristiwa atau pelanggaran, namun jenis jenis pelanggaran yang menjadi yurisdiksinya (ratione materiale-nya) sesungguhnya merupakan pelanggaran-pelanggaran yang sudah merupakan kejahatan sebelum dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc dimaksud, yaitu dalam hal ini kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan,”... Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka kedudukan Pengadilan HAM ad hoc di samping dapat dibenarkan menurut UUD 1945, juga dapat dibenarkan oleh praktik dan perkembangan hukum internasional, yang antara lain adanya pembentukan Mahkamah Pidana ad hoc (Ad Hoc Criminal Tribunal) di bekas negara Yugoslavia;

Bahwa mengenai pandangan Pemohon bahwa pembentukan Pengadilan HAM ad hoc tidak dapat dilakukan dengan Keputusan Presiden, maka Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pada dasarnya Presiden baru dapat menerbitkan Keputusan Presiden guna pembentukan Pengadilan HAM ad hoc hanya apabila telah ada usul dari Dewan Perwakilan Rakyat yang berpendapat bahwa dalam suatu peristiwa tertentu diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Keputusan Presiden tersebut bukan bersifat pengaturan (regelling) terhadap Pengadilan HAM ad hoc, tapi lebih bersifat penetapan (beschikking) dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc dalam kasus atau peristiwa tertentu;

Selain itu pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dengan Keputusan Presiden (Keppres) atas usul DPR merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU Pengadilan HAM. Dengan demikian, pembentukan Pengadilan HAM ad hoc ini memenuhi ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;

6. Jika yang dipersoalkan adalah ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU Pengadilan HAM, yang memberlakukan asas retroaktif sehingga dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menganut asas non retroaktif, Pemerintah berpendirian bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU Pengadilan HAM, merupakan pembatasan dari ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pembatasan demikian diperkenankan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 berbunyi, "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis";

Dari uraian tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM beserta Penjelasannya, baik secara formil (formel toetsingrecht), maupun materil (materiele toetsingrecht), tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 24A ayat (5), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon;

4.2 Pertimbangan Hukum

A. Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana telah diuraikan di atas;

B. Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan substansi atau pokok permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo;

2. Apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk diterima sebagai Pemohon di hadapan Mahkamah dalam permohonan a quo;

Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:

Kewenangan Mahkamah

C. Menimbang bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-undang, in casu Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026, selanjutnya disebut UU Pengadilan HAM) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selajutnya disebut UUD 1945);

D. Menimbang bahwa perihal kewenangan Mahkamah, menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, antara lain menentukan bahwa Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK);

E. Menimbang bahwa objek permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah pengujian undang-undang, in casu Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasannya UU Pengadilan HAM terhadap UUD 1945;

F. Menimbang sepanjang menyangkut Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM pernah dimohonkan pengujian dalam perkara Nomor 065/PUU-II/2004. Sesuai dengan Pasal 60 UU MK juncto Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Kontitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang berbunyi,”...permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syaratsyarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda”;

G. Menimbang bahwa dalam perkara Nomor 065/PUU-II/2004 tersebut yang dijadikan alasan oleh Pemohon adalah larangan menggunakan asas retroaktif karena bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945, sedangkan dalam permohonan a quo yang menjadi alasan adalah keterlibatan DPR dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo;

Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon

H. Menimbang bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Pasal 51 ayat (1) UU MK menentukan bahwa yang dapat bertindak sebagai Pemohon adalah (a) perorangan warga Negara Indonesia, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang, (c) badan hukum publik atau privat, atau (d) lembaga negara;

I. Menimbang bahwa dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK, harus dijelaskan:

a. kualifikasinya dalam permohonan, yaitu apakah perorangan warga Negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara;

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, sebagai akibat diberlakukannya undangundang yang dimohonkan pengujian;

J. Menimbang pula, sejak Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-III/2005 hingga saat ini, telah menjadi pendirian Mahkamah bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus dipenuhi syaratsyarat:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang iberikan oleh UUD 1945;

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan actual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

K. Menimbang bahwa Pemohon Eurico Guterres oleh Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara Nomor 04/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST, telah dijatuhi pidana penjara selama sepuluh tahun, putusan tersebut telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 06 K/PID.HAM AD HOC/2005, tanggal 13 Maret 2006;

L. Menimbang bahwa Pemohon selaku perorangan warga Negara Indonesia dalam permohonannya mendalilkan telah dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasannya. Pemohon berdasarkan pasal tersebut telah ternyata diajukan ke Pengadilan HAM ad hoc dan dijatuhi pidana penjara selama sepuluh tahun. Oleh karena itu, Pemohon memenuhi syarat guna dinyatakan memiliki kedudukan hukum (legal standing) selaku Pemohon dalam perkara ini;

Pokok Permohonan

M. Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasannya UU Pengadilan HAM, yang berbunyi sebagai berikut: ”Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden”, sedangkan Penjelasannya berbunyi, ”Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini”.

Bahwa Pemohon menganggap ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU a quo, beserta Penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945, sebagai berikut:

v Pasal 24A ayat (5) UUD 1945, ”Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”;

v Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;

v Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;

v Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”;

v Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”;

N. Bahwa Pemohon dalam permohonannya tidak mempersoalkan keberadaan (the existence) Pengadilan HAM ad hoc, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM, tetapi terhadap proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945. Bagi Pemohon, proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, menurut Pasal 43 ayat (2) UU a quo, diadakan atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden, dan dalam Penjelasannya, dinyatakan bahwa dalam hal DPR mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, pada hakikatnya membuka peluang intervensi kekuasaan politik terhadap proses hukum yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Bagi Pemohon DPR menurut UUD 1945, memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, utamanya menjalankan kekuasaan membentuk undangundang. Dalam UUD 1945 tidak ada satu pasal pun secara normatif yang memberikan hak kepada DPR untuk melakukan ’penilaian’ yang bersifat menghakimi suatu peristiwa hukum pidana, sebagaimana secara normative tercantum dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) a quo;

O. Menimbang bahwa dengan uraian permohonan dan keterangan Pemohon sebagaimana dikemukakan di atas, maka persoalan hukum yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah benar Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, beserta Penjelasannya bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;

P. Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan bukti berupa surat/atau tulisan (Bukti P-1 s.d. Bukti P-3) dan menghadirkan tiga orang ahli masing-masing bernama Dr. M. Sholehuddin, S.H., M.H., Dr. Bernard L. Tanya, S.H., M.H., dan Prof. Dr. M. Arief Amrullah S.H.,M.Hum., yang memberikan keterangan di bawah sumpah dan telah pula menyampaikan keterangan tertulisnya yang selengkapnya telah diuraikan dalam Duduk Perkara, pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:

Ahli Dr. M. Sholehuddin, S.H., M.H.

v Pasal 20A UUD 1945 berbunyi ”Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Berkaitan dengan fungsi legislasi tersebut, bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undangundang, termasuk perundang-undangan pidana. UU Pengadilan HAM secara substantif dapat dikategorikan ke dalam peraturan perundang-undangan pidana karena di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan tentang berbagai perbuatan yang dikriminalisasikan. Selain mencantumkan ketentuan hukum pidana materiil dalam undang-undang tersebut ditetapkan pula ketentuan hukum pidana formilnya, seperti halnya Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasannya yang mengatur tentang ‘prosedur’ atau ‘tata cara’ dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc;

v Menurut Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, pembentukan Pengadilan HAM ad hoc ditetapkan melalui Keputusan Presiden atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu. Kemudian penjelasan pasal a quo menegaskan bahwa untuk mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu. Dalam terminologi hukum pidana, “dugaan” bukanlah sekedar sebuah kata, melainkan sudah merupakan suatu istilah umum yang sudah diterima di kalangan teoritisi maupun praktisi hukum pidana. Kata “dugaan” bermakna mengajuk, mengukur dalam laut atau mengira. Jadi sangat naif apabila menilai atau menetapkan suatu kasus yang dianggap pelanggaran HAM yang berat dengan cara mengira-ngira atau memperkirakan begitu saja, karena hal tersebut menyangkut persoalan nasib calon tersangka yang harus pula dilindungi hak-haknya secara hukum. Secara konseptual, istilah “dugaan” berkaitan dengan tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang dipandang merupakan pelanggaran pidana. Dengan demikian, untuk sampai pada “dugaan” telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat, DPR harus melakukan tindakan penyelidikan untuk dijadikan dasar hukum atau pertimbangan dalam menetapkan adanya suatu peristiwa tertentu yang diduga telah terjadi pelanggaran HAM yang berat. Tidak dapat dibayangkan ekses negatif yang akan terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara apabila ‘penilaian’ yang lebih bersifat judgement terhadap suatu peristiwa hukum pidana (pelanggaran HAM yang berat) diserahkan kepada lembaga politik, seperti DPR;

v Menurut Pasal 1 angka 5 UU Pengadilan HAM, bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa yang “diduga” merupakan pelanggaran HAM yang berat guna ditindaklanjuti dengan penyidikan. Sedangkan penyelidik yang ditunjuk oleh UU Pengadilan HAM hanyalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dengan kata lain, DPR tidak mempunyai kewenangan secara yuridis normatif untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang berat;

Ahli Dr. Bernard L. Tanya, S.H., M.H.

v Dalam dunia modern, imparsialitas dan kemandirian peradilan menjadi kata kunci bagi terwujudnya proses hukum yang adil untuk memperoleh kepastian dan keadilan. Intervensi kekuasaan apapun dalam proses hukum selalu ditanggapi sebagai ancaman dan distorsi terhadap keluhuran peradilan. Dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM, bahwa dugaan yang dibuat DPR untuk dipakai sebagai dasar mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc merupakan bentuk intervensi kekuasaan politik dalam proses hukum;

v Pokok soal yang menjadi objek ”dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM adalah merupakan persoalan kejahatan atau pelanggaran hukum. Kata dugaan dalam penjelasan pasal a quo, harus menunjuk pada terminologi hukum pidana, khususnya berkaitan dengan tindakan penyelidikan terhadap pelanggaran pidana. Hal dimaksud, juga merupakan pengingkaran terhadap fungsi melindungi dan fungsi instrumental dalam legalitas dan asas Lex Certa;

v Masuknya DPR dalam wilayah proses hukum pidana telah menyimpangi prinsip Trias Politica. Sejak Montesquieu merevisi konsep Locke, kekuasaan kehakiman mendapat posisi sentral sebagai pilar negara demokrasi modern. Montesquieu mendudukkan kekuasaan kehakiman dalam areal yang otonom, lepas dari kooptasi kekuasaan eksekutif. Gebrakan Montesquieu itu, tidak hanya melepaskan genggaman eksekutif atas yudikatif, tetapi juga pada perkembangan kemudian menjadi inspirasi untuk mengakhiri superioritas parlemen warisan Yunani Purba;

v Penyelidik yang ditunjuk oleh UU Pengadilan HAM hanyalah Komnas HAM, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pengadilan HAM. DPR tidak mempunyai kewenangan secara yuridis normatif melakukan penyelidikan terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Penunjukan lembaga Komnas HAM sebagai penyelidik terhadap peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang berat merupakan salah satu bentuk kehati-hatian dan rasionalitas penggunaan dan penerapan hukum pidana;

Ahli Prof. Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum.

v Letak permasalahan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM adalah adanya kewenangan DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dengan Keputusan Presiden. Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM berbunyi ”Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden”. Kalimat tersebut, apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU Nomor 10 Tahun 2004) dan asas hukum lex superior derogat legi inferiori, terjadi ketidaksinkronan baik vertikal maupun horizontal. Apabila dibaca dalam UU Nomor 10 Tahun 2004, maka Keputusan Presiden tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundangundangan. Kemudian apabila Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dikaitkan dengan asas lex superior derograt legi inferiori yang menyatakan undangundang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah, maka Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM yang menentukan ”... Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR dengan Keputusan Presiden”, jelas bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (3), Pasal 24A ayat (5) UUD 1945, dan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM yang menentukan Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR dengan Keputusan Presiden, perlu ditinjau ulang, hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dengan bersaranakan undang-undang;

v Konsep pemisahan kekuasaan meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan kehakiman berada pada bidang kekuasaan yudikatif, bukan pada kekuasaan legislatif ataupun eksekutif, sehingga merupakan suatu kejanggalan, jika Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden;

v UU Pengadilan HAM tidak menyebutkan bahwa DPR sebagai lembaga penegakan hukum (pidana). Hal tersebut dapat dibaca dalam Pasal 18 – 20 yang memberikan kewenangan kepada Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat, Pasal 21 – 22 yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan dalam pelanggaran HAM yang berat, dan Pasal 23 – 25 yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk melakukan penuntutan dalam pelanggaran HAM yang berat. Apabila kewenangan DPR dalam Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM tersebut tetap dipertahankan, sangat berpotensi akan mengacaukan tatanan kekuasaan kehakiman dan bekerjanya sistem peradilan pidana;

Q. Menimbang bahwa Mahkamah telah meminta keterangan pembentuk undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah), yang keterangan selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara Putusan ini, pada pokoknya menerangkan hal-hal sebagai berikut:

Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

v Latar belakang terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc berdasarkan Risalah Rapat Pansus RUU tentang Pengadilan HAM tanggal 2 November 2000 adalah bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun kepentingan internasional. Oleh karena itu untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan HAM;

Dasar pembentukan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM adalah sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di mana Undang-Undang tentang Pengadilan HAM diharapkan dapat melindungi hak asasi manusia, baik perseorangan maupun masyarakat, dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan, dan perasaan aman, baik bagi perseorangan maupun masyarakat terhadap pelanggaran HAM yang berat;

v Dalam Risalah Rapat Pansus RUU tentang Pengadilan HAM pada tanggal 2 November 2000 dikemukakan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc, kemudian memberi kewenangan kepada DPR [Pasal 43 ayat (2)] untuk membantu dalam penyelesaiannya, sehingga Pemerintah dapat segera memproses pelanggaran HAM dimaksud;

v Pelanggaran HAM yang berat merupakan extra ordinary crimes, berdampak secara luas, baik tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta menimbulkan kerugian materil maupun immateril yang mengakibatkan perasaan tidak aman, baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pelanggaran HAM yang berat harus dilakukan secara khusus, yaitu:

a. diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc, dan hakim ad hoc;

b. diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komnas HAM, sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

c. diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan;

d. diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi; diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

v Pembentukan Pansus DPR Pasca Jajak Pendapat di Timor Timur merupakan pelaksanaan kegiatan dalam lingkup penerapan UU Pengadilan HAM. Proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc melalui usul dari DPR, telah sejalan dengan fungsi DPR di bidang pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

v Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 berbunyi "Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum". Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka DPR merupakan representasi rakyat Indonesia, wajar apabila undang-undang memberikan kewenangan pada DPR untuk menentukan dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat yang telah terjadi sebelum berlakunya undang-undang a quo. Kewenangan demikian perlu diberikan kepada DPR, karena terhadap Pengadilan HAM ad hoc diberlakukan ketentuan mengenai pengesampingan asas non-retroaktif, sehingga diperlukan kebijakan yang bersifat politis. Kewenangan DPR untuk menentukan dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat tidak terlepas dari kewajiban untuk mendasarkan kewenangan tersebut pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menegaskan bahwa “dugaan” harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup;

v Intervensi politik DPR dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, mengacu pada kebiasaan internasional, misalnya dalam kasus Nuremberg, Yugoslavia dan Rwanda, bahwa Pengadilan HAM ad hoc yang mengadili kasus tersebut terbentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB, sehingga intervensi politik masih dapat dibenarkan dalam koridor hukum untuk mengungkap kasus HAM berat;

Keterangan Pemerintah:

v Secara limitative kewenangan Pengadilan HAM ad hoc adalah hanya untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum undang-undang ini diundangkan. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc adalah berkait erat dengan pemberlakuan asas retroaktif untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diberlakukan. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc demikian secara filosofis historis sangat diperlukan, agar upaya-upaya ”impunity” terhadap penegakan pelanggaran HAM yang berat dapat dikesampingkan, dan juga diharapkan dapat menyelesaikan secara tuntas konflik yang berlarut-larut yang terjadi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, ataupun antar bangsa yang satu dengan bangsa yang lain;

v Intervensi politik dari DPR dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, selain dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan (vide Pasal 20A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945), juga mengacu pada praktek-praktek kebiasaan internasional (international custom). Misalnya kasus Nuremberg, Yugoslavia dan Rwanda, bahwa Pengadilan HAM ad hoc yang mengadili perkara tersebut dibentuk berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB dan intervensi politik demikian dapat dibenarkan oleh hukum, utamanya untuk kepentingan mengungkap kasus pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights). Demikian juga dengan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang didasarkan atas usul dari DPR harus dipandang sebagai suatu pengecualian (exeptional), karena kasus pelanggaran HAM yang berat merupakan tindak pidana yang bersifat spesifik, maka pengungkapannya sangatlah sulit jika menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

v Keberadaan Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc menurut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 43 ayat (3) UU Pengadilan HAM berada di lingkungan Peradilan Umum. Oleh karena kedudukan Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc berada dilingkungan umum, maka hal tersebut telah sesuai dan selaras dengan ketentuan Pasal 24 UUD 1945. Keberadaan Pengadilan HAM ad hoc demikian telah pula dibenarkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004;

R. Menimbang bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyampaikan keterangan tertulisnya bertanggal 4 Februari 2008 yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal 8 Februari 2008, pada pokoknya menguraikan sebagai berikut:

v Ketentuan Pasal 43 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dalam penerapannya telah menimbulkan permasalahan yang tidak menunjang adanya kepastian dalam penyelesaian perkara pelanggaran HAM yang berat sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal tersebut terjadi karena frasa ”mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat” yang dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM telah ditafsirkan DPR bahwa DPR memiliki kewenangan melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM yang berat. Maksud pasal a quo memberikan kewenangan pada DPR, hal tersebut didasarkan pada pertimbangan politik, bukan pertimbangan hukum. Pertimbangan politik DPR yang melakukan ”dugaan” adanya pelanggaran HAM yang berat, harus mendasarkan pada hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Oleh karena itu frasa ”mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat", harus diartikan mengacu pada hasil penyelidikan Komnas HAM;

v DPR sebagai lembaga politik tidak mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan dalam perkara-perkara pidana, khususnya perkara pelanggaran HAM yang berat. Penyelidikan terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan tindak yudisial yang memerlukan tingkat ketelitian dan kehati-hatian yang tinggi, karena kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut berlapis-lapis unsurnya. Oleh karena itu agar penyelidikan pelanggaran HAM yang berat tersebut terjaga objektivitasnya, maka penyelidikannya diserahkan pada lembaga independen yang dalam ini Komnas HAM;

Pendapat Mahkamah

S. Menimbang bahwa sebelum Mahkamah memberikan pendapatnya tentang Pokok Permohonan, Mahkamah lebih dahulu akan mempertimbangkan latar belakang pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang diatur dalam Bab VIII Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pengadilan HAM;

T. Bahwa pembentukan Pengadilan HAM ad hoc oleh Pemerintah Indonesia pada hakikatnya didasarkan atas mandat yang diberikan Dewan Keamanan PBB seperti termuat di dalam Resolusi 1264 (1999) yang telah diputuskan pada tanggal 15 September 1999 yang isinya antara lain, Dewan Keamanan PBB sangat prihatin karena memburuknya situasi keamanan di Timor Timur, khususnya adanya kekerasan yang berlanjut yang dilakukan terhadap warga sipil di Timor Timur sehingga mengakibatkan pemindahan yang sangat luas, termasuk laporan mengenai pelanggaran yang berat terhadap hukum humaniter dan HAM yang terjadi di Timor Timur dan Dewan Keamanan mendesak agar orang-orang yang melakukan kekerasan tersebut memikul tanggung jawabnya. Karena itu, Dewan Keamanan PBB juga mengutuk semua tindakan kekerasan di Timor Timur dan meminta agar mereka yang bertanggung jawab terhadap kekerasan tersebut dibawa ke pengadilan; ”Deeply concerned by deterioration in the security situation in East Timor, and in particular by continuing violence against and large scale displacement and relocation of East Timorese civilians”; ”Expressing its concern at reports indicating that systematic, widespread and flagrant violation of international humanitarian and human rights law have been committed in East Timor, and stressing that person committing such violation bear individual responsibility”; ”Determining that present situation in East Timor constitutes a threat to peace and security.” ”Condemned all acts of violation in East Timor, calls for their immediate end and demands that those responsible for such acts be brought to justice.

U. Bahwa dengan Resolusi Dewan Keamanan tersebut, maka pemerintah Indonesia terikat akan kewajiban internasional untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab terhadap kekerasan-kekerasan yang terjadi setelah jajak pendapat di Timor Timur melalui Pengadilan HAM ad hoc. Untuk tujuan tersebut, Komnas HAM telah membentuk Komite Penyelidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (KPPHAM) untuk melakukan penyelidikan dan setelah melakukan tugasnya kemudian telah menyampaikan laporannya kepada Jaksa Agung pada tanggal 31 Januari 2000 dan telah memberikan rekomendasi antara lain sebagai berikut:

a. Minta kepada Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan terhadap para pelaku yang diduga terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran berat HAM yang berat di Timor Timur setelah jajak pendapat;

b. Minta kepada DPR dan Pemerintah untuk membentuk pengadilan nasional HAM yang mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara-perkara pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengacu pada hukum nasional dan internasional (human rights dan humanitarian law);

Bahwa atas rekomendasi KPPHAM, Kejaksaan Agung telah melakukan penyidikan dan pada 1 September 2000 telah menetapkan kurang lebih 23 orang sebagai tersangka yang juga sebagai pelaku pelanggaran HAM di Timor Timur dan salah satunya Pemohon a quo;

V. Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama uraian permohonan, dan dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, bukti-bukti yang diajukan, keterangan lisan maupun tertulis dari ahli Pemohon, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan latar belakang pembentukan Pengadilan HAM, Mahkamah berpendapat:

W. Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonannya telah mendalilkan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM yang berbunyi, ”Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden” dan Penjelasannya yang berbunyi, ”Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, bertentangan dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945; Namun demikian Pemohon pada dasarnya tidak mempersoalkan eksistensi Pengadilan HAM ad Hoc, melainkan mempermasalahkan proses pembentukannya yang melalui usulan DPR kepada Presiden yang kemudian menetapkannya dengan Keppres yang merugikan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum dan keadilan;

Terhadap dalil-dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU a quo dan Penjelasannya, Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum atas keberadaan Pasal a quo dalam Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 dalam kaitannya dengan asas non-retroaktif yaitu, “... Pembentuk undang-undang juga memberikan persyaratan yang ketat dalam pengesampingan asas non-retroaktif, yang dapat dilihat dalam rumusan Pasal 43 ayat (2) yang menyatakan, "Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden": Dengan ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM ini tampak jelas bahwa kendatipun UUD 1945 membenarkan untuk dalam batas-batas tertentu mengesampingkan asas non-retroaktif, pembentuk undang-undang telah sangat berhati-hati dalam menjabarkan maksud undang-undang dasar dimaksud, yakni bahwa:

i. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk hanya terhadap peristiwa-peristiwa tertentu, yaitu bukan terhadap semua peristiwa melainkan hanya terhadap pertistiwaperistiwa yang locus delicti dan tempus delicti-nya dibatasi sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM;

ii. Peristiwa tertentu yang diduga mengandung pelanggaran hak asasi manusia yang berat harus dinilai terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebelum dapat dinyatakan adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau tidak;

iii. Presiden baru dapat menerbitkan Keputusan Presiden guna membentuk Pengadilan HAM ad hoc hanya apabila telah ada usul dari Dewan Perwakilan Rakyat yang berpendapat bahwa dalam suatu peristiwa tertentu diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

Kehati-hatian demikian yang secara substansial merupakan langkah untuk

membatasi pengesampingan asas non-retroaktif, menunjukkan dua hal.

Pertama, bahwa pada dasarnya UU Pengadilan HAM adalah mengutamakan prinsip non-retroaktif, hanya dalam keadaan tertentu saja dapat diberlakukan pengesampingan terhadapnya dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc.

Kedua, bahwa Pengadilan HAM ad hoc tersebut hanya dapat dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat karena menurut UUD 1945 Dewan Perwakilan Rakyat adalah representasi rakyat Indonesia, yang berarti bahwa pada dasarnya rakyat Indonesialah yang sesungguhnya berhak menentukan kapan suatu pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah terjadi sebelum berlakunya undang-undang a quo, sehingga karenanya timbul kebutuhan hukum untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc;

Di samping itu, Pemohon tidak mempersoalkan eksistensi Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana telah diuraikan di atas, sehingga permohonan

Pemohon mengenai Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM di atas beserta dalil-dalil yang terkait itu tidak perlu dipertimbangkan;

X. Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dengan Keppres sebagaimana diamanatkan dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM bertentangan dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 012-016-019/PUUIV/ 2006 telah menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

“Bahwa, pelaku kekuasaan kehakiman, menurut Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, adalah sebuah Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan yang berada di empat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung) dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahwa, badan-badan peradilan dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 adalah badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung; Bahwa, dengan demikian pula, pembentukan pengadilan-pengadilan khusus, sepanjang masih berada dalam salah satu dari empat lingkungan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, dimungkinkan;

Bahwa, selanjutnya Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 menyatakan, "Susunan,

kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. Pengertian frasa "diatur dengan undang-undang" dalam Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 tersebut berarti pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus dilakukan dengan undang-undang. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai implementasi dari Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 ayat (1) tersebut berbunyi, "Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undangundang".

Penjelasan ayat tersebut berbunyi, "Yang dimaksud dengan "pengadilan khusus" dalam ketentuan ini antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara”:

Meskipun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dibuat lebih kemudian dari UU KPK, akan tetapi ketentuan yang sama telah tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) (beserta Penjelasannya) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Bunyi ketentuan Pasal 10 ayat (1) tersebut adalah, "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:

a. Peradilan Umum;

b. Peradilan Agama;

c. Peradilan Militer;

d. Peradilan Tata Usaha Negara.

"Sementara itu, Penjelasannya berbunyi, "Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana. Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan undang-undang. Di samping itu, frasa yang berbunyi "diatur dengan undang-undang" yang tersebut dalam Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 juga berarti bahwa susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya itu tidak boleh diatur dengan bentuk peraturan perundang-undangan lain selain undang-undang”;

Y. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah menyatakan bahwa yang diatur dengan undang-undang adalah Mahkamah Agung dan empat Iingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung serta pengadilan-pengadilan khusus yang merupakan diferensiasi atau spesialisasi dari empat Iingkungan peradilan tersebut. Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus di Iingkungan peradilan umum telah dibentuk dengan UU Pengadilan HAM;

Z. Menimbang bahwa walaupun pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang merupakan kekhususan dari Pengadilan HAM tidak diatur oleh undang-undang tersendiri, hal ini tidaklah berarti bertentangan dengan Pasal 24 ayat (5) UUD 1945 karena keberadaan Pengadilan HAM ad hoc merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ruang lingkup Pengadilan HAM yang diatur dalam BAB VIII UU Pengadilan HAM. Sehingga, keberadaan lembaga Pengadilan HAM ad hoc dengan Keputusan Presiden (Keppres) tidaklah bertentangan dengan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. Dengan demikian dalil Pemohon tidak beralasan;

Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc yang melibatkan DPR dengan mendasarkan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat, menurut Pemohon sangat bernuansa politis dan membuka peluang intervensi politis atas proses hukum. Sehingga, menurut Pemohon, peranan DPR dapat diartikan memasuki ranah kekuasaan yudisial dan merusak prinsip ”integrated justice system”. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti memang memerlukan keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat yaitu DPR. Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Harus dipahami bahwa kata ”dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan

HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat dapat ditafsirkannya kata ”dugaan” berbeda dengan mekanisme sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian, sebagian permohonan Pemohon yang terkait dengan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata ”dugaan” beralasan.

5. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI.

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian UU Pengadilan HAM dapat memberikan putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing);

2. Menolak permohonan pengujian Pemohon (void) seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet onvantkelijk verklaard);

3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

4. Menyatakan ketentuan Pasal 43 ayat (2) beserta Penjelasannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 24A ayat (5), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) Pasal 28G ayat (1), dan PasaI 28I ayat (2) UUD 1945;

5. Menyatakan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia beserta Penjelasannya, tetap mempunyai kekuatan hukum dan berlaku mengikat diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadiladilnya (ex aequo et bono);

A. Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan tertulisnya bertanggal 21 Agustus 2007 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 19 September 2007, menguraikan sebagai berikut:

v Ketentuan Pasal UU Pengadilan HAM yang dimohonkan pengujian terhadap UUD 1945.

v Hak Konstitusional yang menurut Pemohon dilanggar dengan berlakunya UU Pengadilan HAM.

v Ketentuan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dan Penjelasannya oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

v Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat.

B. Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 31 Oktober 2007, tanggal 29 November 2007, dan 14 Januari 2008 telah didengar keterangan dibawah sumpah tiga orang ahli dari Pemohon bernama Dr. M. Sholehuddin, S.H., M.H, ahli dalam bidang Sistem Peradilan Pidana, DR. Bernard L. Tanya, S.H.,M.H, ahli dalam bidang Filsafat dan Teori Hukum, keduanya Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya dan Prof. Dr. M. Arief Amrullah, S.H.,M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, ahli dalam bidang Hukum Pidana Internasional. Selain memberikan keterangan lisan di persidangan, ketiga ahli tersebut tersebut telah pula menyampaikan keterangan tertulis, sebagai berikut:

v Keterangan Tertulis Dr. M. Sholehuddin, S.H., MH.

v Keterangan Tertulis DR. Bernard L. Tanya, S.H.,MH.

v Keterangan Tertulis Prof.Dr.M. Arief Amrullah, S.H.M.Hum.

C. Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 29 November 2007, ahli Pemohon bernama Prof. Dr. Dahlan Thaib, S.H., M.Si tidak hadir di persidangan, namun ahli tersebut telah menyerahkan keterangan tertulisnya melalui Pemohon, pada pokoknya menguraikan sebagai berikut:

D. Menimbang bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atas pertanyaan tertulis Kuasa Hukum Pemohon telah menyampaikan keterangan tertulisnya bertanggal 4 Februari 2008 yang dikirimkan melalui faksimili dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Februari 2008, pada pokoknya menguraikan sebagai berikut:

E. Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulannya bertanggal 14 Februari 2008 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Februari 2008 pada pokoknya menyatakan tetap pada dalil permohonannya dan secara tegas membantah segala dalil yang disampaikan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat;

F. Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, maka segala sesuatu yang tertera dalam berita acara persidangan telah termuat dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini;

6. Penutup.

6.1. Konklusi

a. Berdasarkan keseluruhan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon mengenai Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata ”dugaan” beralasan, sehingga harus dikabulkan;

b. Sedangkan permohonan Pemohon terhadap Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM tidak beralasan, sehingga harus ditolak;

6.2. Amar Putusan

a. Dengan mengingat Pasal 56 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);

Mengadili:

b. Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan untuk sebagian;

c. Menyatakan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026), sepanjang mengenai kata ”dugaan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. Menyatakan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026), sepanjang mengenai kata ”dugaan” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

e. Menolak permohonan Pemohon untuk selebihnya;

f. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Rabu, 20 Februari 2008 dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Kamis, 21 Februari 2008, oleh kami berdelapan, yaitu Jimly Asshiddiqie selaku Ketua merangkap Anggota, H.M. Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya, H. Abdul Mukthie Fadjar, H. Achmad Roestandi, I Dewa Gede Palguna, Maruarar Siahaan, dan Soedarsono, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Sunardi sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.