Halaman

Selasa, 25 September 2012

advokasi


DRAFT PEDOMAN
ADVOKASI  HUKUM  BAGI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
PENDIDIKAN NON FORMAL (PTK-PNF)
OLEH LKBH 


























DIREKTORAT PTK-PNF
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA
2009

DAFTAR ISI


Hal.

Bab I : Latar Belakang                                                                                            1                                                                                                          1         
1.      Pengertian Perlindungan Hukum, Advokasi dan Advokasi Hukum      4
2.      Tujuan Advokasi Hukum                                                                                5
3.      Urgensi Perlindungan Hukum PTK-PNF                                                     6
4.      Dasar Hukum Perlindungan Hukum PTK-NF                                             9
5.      Urgensi Advokasi                                                                                              10
6.      Urgensi Advokasi Hukum                                                                               11
7.      Relevansi Perlindungan Hukum, Advokasi dan Advokasi Hukum        12
8.      Peran LBH PT dan Non PT Dalam Pelaksanaan Advokasi Hukum
Bagi PTK-NF                                                                                                      13

Bab II  : Ruang Lingkup Advokasi Hukum                                                      22
A.    Dimensi Advokasi Hukum                                                                              22
B.     Prinsip Advokasi Hukum                                                                                24
C.     Jenis-jenis Advokasi Hukum                                                                           24
1.      Advokasi Litigasi                                                                                        24
2.      Advokasi Non Litigasi                                                                                25
a.      Konsultasi                                                                                               26
b.      Negosiasi dan Perdamaian                                                                  26
c.       Mediasi                                                                                                    27
d.     Konsiliasi dan Perdamaian                                                                  27
e.      Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase                                      28
f.        Arbitrase                                                                                                  28


Bab III : Strategi dan Pelaksanaan                                                                      31
A. Tahapan advokasi Hukum                                                                               31
B.  Strategi Advokasi Hukum                                                                                36
C. Mekanisme Pelaksanaan Advokasi Hukum                                                  40
  1. Pelaksanaan Advokasi Litigasi                                                                 40
  2. Pelaksanaan advokasi Non Litigasi                                                         42

Bab IV : Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Advokasi Hukum             51
A.    Prinsip Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi                                            51
B.     Metode Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi                                            51
C.     Instrumen Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi                                       52

Bab V: Penutup                                                                                                       54
Lampiran                                                                                                                  56















A.        Latar Belakang
         Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal (PTK-PNF) pada dasarnya identik dengan profesi kependidikan lainnya, yakni profesi guru, di mana status dan fungsinya serta konstribusinya tidak bisa dibilang kecil di dalam partisipasinya untuk mencerdaskan warga bangsa. Berkenaan dengan posisi strategisnya di dalam konfigurasi pendidikan nasional itulah,  perlu diberikan garansi perlindungan kepada profesi PTK-PNF, baik berupa jaminan kepastian hukum  atas  status profesi PTK-PNF, maupun jaminan kesejahteraan, serta jaminan terhadap kebebasan di dalam mengaktualisasikan profesinya sebagai pendidik di dalam sistim pendidikan non formal.
            Jumlah PTK-PNF yang sangat banyak dan sebarannya begitu sangat luas, dari metropolitan hingga ke titik-titik terujung pulau-pulau terpencil dan di daerah perbatasan, merupakan bukti empirik bahwa keberadaan mereka diperlukan oleh siapa pun dan di manapun komunitas berada. Menurut estimasi Direktortat Tenaga Teknis Diknas,  hingga tahun 2005 jumlah tenaga PTK –PNF yang dibutuhkan  di seluruh Indonesia   sekitar 744.790  orang. Dari jumlah itu,    saat ini baru tersedia 233.704 orang (33, 1 %), sisanya sebesar   521.066 orang (69,9 %) sedang diupayakan pemenuhannya.
            Jumlah PTK-PNF yang konfiguratif dengan sebaran yang sangat luas tersebut, jelas merupakan aset di bidang sumber daya profesional yang sangat strategis  untuk mewujudkan misi dan amanat konstitusi Republik Indonesia di dalam upaya mencerdaskan bangsa melalui institusi pendidikan, yakni  melalui pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat utuk mengakses pendidikan secara mudah dan murah  (acces to education) di bidang pendidikan non formal.
            Konsep pendidikan untuk semua (education for all)  yang selama ini sudah dan tengah dilakukan oleh tenaga pendidik PTK-PNF dengan mendidik anak bangsa secara nyaris tanpa batas akses geografis, tanpa terikat dengan struktur  birokratis yang ketat, jadwal kerja yang fleksibel, serta tentu saja dengan metode yang menyenangkan. Namun ironisnya, karakteristik semacam ini pulalah yang menyebabkan mereka tidak pernah luput dari belenggu sosial, kultural, psikologis, ekonomis, hukum, kepegawaian, potensi korban konflik, dan lain-lain. Dalam bidang kesejahteraan misalnya, menurut data mutakhir insentif yang diterima oleh PTK –PNF per bulannya berkisar di antara rentang Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah) hingga  Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Insentif yang relatif kecil bahkan jika dibandingkan dengan UMR (upah minimum regional)  buruh pabrik , tentu sulit rasanya mengharapkan tenaga PTK-PNF dapat bekerja secara optimal. Dengan pengkalimatan berbeda, permasalahan krusial yang hingga kini dihadapi PTK-PNF adalah masih rendahnya sistem perlindungan dan penghargaan yang diperoleh oleh PTK-PNF.
             Kondisi yang ironis  ini tak lain   disebabkan belum adanya regulasi yang secara valid   menjamin dan melindungi profesi PTK-PNF dalam bentuk peraturan perundang-undangan, Undang-undang PTK-PNF misalnya. Sebagai komparasi  di bidang pendidikan formal  untuk  katagori prosfesi guru dan dosen sudah diakomodasi secara khusus oleh UU No. 14 Tahun 2005 Tentang   Guru dan Dosen. Sedangkan untuk profesi pendidik  non formal  regulasi yang secara spesifik mengatur kepentingan  PTK-PNF, sejauh ini belum ada Undang-Undangnya. Kendati sudah  ada peraturan lainnya, seperti UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional,  namun ketentuan itu dianggap belum cukup memadai, karena masih bersifat umum dan membutuhkan peraturan derivasi yang bersifat operasional, semisal PP, Peraturan Presiden dan seterusnya.
  Selanjutnya, problem lain yang  tidak bisa  dibilang ringan karena mempunyai implikasi serius di bidang otoritas atau kebebasan melakukan  pengajaran, pendidikan, evaluasi dan penilaian terhadap peserta didik, yakni hingga kini belum adanya pengakuan terhadap status ”profesi”  PTK-PNF.  Ketidak jelasan status PTK-PNF sebagai suatu profesi ataukah sebagai pekerja inilah yang menyebabkan kedudukan PTK-PNF sangat rentan terhadap pelanggaran hak. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki norma, aturan, syarat, dan .etentuan yang dirumuskan dalam kode etik profesi (profesión code of conduct), yang menjadi referensi PTK-PNF dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga, ketika terjadi kesalahan prosedur  terhadap pelaksanaan tugas PTK-PNF, maka PTK-PNF  tidak seharusnya berhadapan langsung dengan aparat penegak Hukum (aparat kepolisian) seperti yang sering terjadi selama ini.  Namun secara normatif  harus dikedepankan terlebih dahulu melalui mekanisme Kode Etik Profesi, misalnya oleh Dewan Kehormatan Kode Etik dan bukan melalui mekanisme Hukum.
Kondisi yang demikian ini, masih ditambah lagi dengan persoalan kelembagaan organisasi profesi PTK-PNF yang belum established dan masih terolong infant (usia muda). Padahal dalam studi literatur maupun pengalaman di berbagai organisasi profesional  manapun, peran organisasi atau asosiasi sangatlah vital di dalam memberdayakan dan meningkatkan kemampuan skill dan pengetahuan, serta melakukan advokasi dan perlindungan terhadap para anggotanya. Di masa depan, kiranya perlu diupayakan agar seluruh pemangku kepentingan pendidikan baik di tingkat lokal, regional hingga nasional untuk mendorong komunitas profesi PTK-PNF  segera melakukan konsolidasi organisasi dan menyusun program-program yang strategis dan sinergis guna mewujudkan profesi PTK-PNF yang profesional, handal dan bermartabat.
 Berdasarkan uraian di atas, tak pelak bahwa keberadaan PTK-PNF yang profesional, bermartabat, dan sejahtera merupakan prasyarat bagi terselenggaranya PNF yang bermutu adalah suatu keniscayaan. Pilihan strategi pemberdayaan sumber daya manusia (profesi PTK-PNF) yang demikian adalah sangat tepat, oleh karena ini pada  gilirannya akan  membuahkan proses belajar-mengajar yang atraktif dan efektif. Dan ujung-ujungnya kualitas produk pendidikan PTK-PNF  berupa peserta didik diharapkan dapat meningkat pula mutunya.
Selanjutnya dalam konteks upaya pemberdayaan, perlindungan dan penghargaan PTK-PNF strategi jangka panjang sudah seharusnya jika pemerintah atau negara sebagai pengemban amanat konstitusi, berkewajiban untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada PTK-PNF, baik dalam bentuk peraturan-perundang-undangan maupun dalam bentuk program-program yang memberikan nilai tambah bagi peningkatan kualitas PTK-PNF. Di samping itu di dalam jangka pendek sungguh-sungguh diharapkan kontribusi seluruh komponen pemangku pendidikan, baik pemerintah di tingkat pusat, daerah, organisasi profesi, lembaga swadaya, organisasi kemasyarakatan, yaitu keterlibatan mereka di dalam proses advokasi tenaga kependidikan PTK –PNF. Sedangkan dalam hal advokasi di bidang hukum adalah sudah tepat jika lembaga-lembaga bantuan hukum yang selama ini sudah menjalin kerjasama dengan pihak direktorat PK-PNF, yang keberadaannya tersebar di tiga puluh tiga propinisi, untuk melakukan sosialisasi institusi dan advokasi baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi.

1.      Pengertian  Perlindungan Hukum, Advokasi, dan Advokasi Hukum  
a.   Perlindungan hukum adalah seperangkat peraturan yang memberi pengakuan atas serangkaian hak yang wajib dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mewujudkan harkat dan martabatnya yang hakiki.

b.      Advokasi adalah usaha sistimatis secara bertahap (inkremental) dan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi untuk menyuarakan aspirasi anggota, serta usaha mempengaruhi pembuat kebijakan publik untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok tersebut, sekaligus mengawal penerapan kebijakan agar berjalan efektif. 
     
c.   Advokasi hukum adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh ahli hukum dan atau lembaga bantuan hukum dalam bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, serta pendampingan baik di dalam dan di luar pengadilan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang bedimensi hukum.

2. Tujuan Advokasi Hukum
      Tujuan advokasi hukum terhadap anggota PTK-PNF setidaknya meliputi dua hal, yakni:
         a. Menyadarkan hak-hak tenaga (profesi) PTK-PNF sebagai subyek hukum
              atau kelas professional yang memiliki sejumlah hak dankewajiban yang
              dijamin oleh konstitusi dan berbagai peraturan derivasinya;
         b. Menegakkan perlindungan hukum tenaga (profesi) PTK-PNF sebagai bagian dari upaya menegakkan prinsip negara hukum, Negara kesejahteraan yang bercorak demokratis;
         c.   Membantu penyelesaian permasalahan hukum yang dihadapi oleh PTK-PNF dengan cara pendampingan hukum baik yang bersifat non litigasi maupun yang berbentuk litigasi;

3. Urgensi Perlindungan Hukum PTK-PNF
Penghargaan dan perlindungan hukum bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada Pendidikan Non Formal merupakan pengakuan atas prestasi yang dicapai, maupun pengabdian yang telah dilaksanakannya. Pemberian Perlindungan Hukum bagi PTK-PNF juga merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme PTK-PNF dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dengan adanya Penghargaan dan Perlindungan yang diberikan secara optimal kepada PTK-PNF, maka akan tercipta rasa aman bagi mereka dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu pemberian Perlindungan hukum terhadap PTK-PNF akan menjamin terpenuhinya hak-hak PTK-PNF, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan mereka, dan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap pencapaian mutu Pendidikan Non Formal dan mutu Pendidikan secara luas.
Fakta dan kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa kondisi PTK-PNF di seluruh wilayah Indonesia, belum mendapatkan perlindungan hukum secara optimal. Bahkan dalam banyak hal para pendidik dan tenaga pendidikan non formal tidak mengetahui adanya program pemberian perlindungan ini.  Beberapa penyebab atau akar permasalahan yang dihadapi antara lain:
1)      Kurangnya sosialisasi dan pengetahuan, pemahaman hukum para PTK-PNF terhadap hak dan kewajiban mereka terutama berkaitan dengan hubunga mereka selaku tenaga kerja dengan pemberi kerja, misalnya mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK), pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam penyampaian pandangan, pelecehan terhadap profesi dan pembatasan/ pelarangan lain yang dapat menghambat PTK-PNF dalam melaksanakan tugasnya;
2)      Belum tersedianya regulasi yang secara spesifik menjamin perlindungan hukum bagi PTK-PNF, terutama berkaitan dengan produk hukum yang dapat menjamin / melindungi mereka baik dari asosiasi profesi maupun peraturan lain yang memperkuat posisi dari PTK-PNF dalam berkarya.
3)      Belum adanya standardisasi kualifikasi profesi PTK-PNF yang dapat dijadikan acuan dalam melaksanakan advokasi dan perlindungan profesi mereka.
4)      Kurangnya pengetahuan dan pemahaman para PTK-PNF dalam masalah HAKI dan prosedur pemerolehannya;
5)      Kurangnya pengetahuan PTK-PNF dalam memahami alur (mekanisme) pelaporan/pengaduan dan proses operasional pemecahan kasus PTK-PNF melalui jalur Advokasi yang diberikan LBH/ BKBH di 33 provinsi di Indonesia.
Melihat permasalahan yang dihadapi PTK-PNF sebagaimana dijelaskan di atas, maka perlu dibuat program-program kegiatan yang benar-benar tepat sasaran, sehingga PTK-PNF bisa mendapatkan perlindungan secara optimal dalam melaksanakan profesi sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Secara umum tujuan dari program pemberian perlindungan bagi PTK-PNF ini adalah memberikan perlindungan hukum terhadap PTK-PNF dalam melaksanakan profesinya sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi PTK-PNF di seluruh wilayah Republik  Indonesia.
Sedangkan secara khusus tujuan dari kegiatan ini adalah :
1)            Memberikan perlindungan hukum  bagi PTK-PNF di Indonesia, yang mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain;
2)            Memberikan perlindungan profesi yang mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat PTK-PNF  di Jatim dalam melaksanakan tugasnya;
3)            Memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, yang mencakup perlindungan terhadap resiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, keba-karan pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja dan atau resiko lainnya;
4)            Meningkatkan wawasan/pengetahuan  dan pemahaman hukum para PTK-PNF di Jatim terhadap hak dan kewajiban mereka terutama berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK), pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam penyampaian pandangan, pelecehan terhadap profesi dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat PTK-PNF dalam melaksanakan tugasnya;
5)            Mendorong terwujudnya regulasi dan aturan hukum yang pasti dalam menjamin penghargaan dan perlindungan bagi PTK-PNF, terutama berkaitan dengan produk hukum yang dapat menjamin /melindungi mereka baik dari asosiasi profesi maupun perda yang memperkuat posisi dari PTK-PNF dalam berkarya;
6)            Mendorong terwujudnya pedoman standardisasi kualifikasi profesi PTK-PNF yang dapat dijadikan acuan dalam melaksanakan advokasi dan perlindungan profesi mereka dalam lingkup peningkatan mutu dan relevansi pendidikan di Indonesia;
7)      Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para PTK-PNF dalam masalah HAKI dan prosedur pemerolehannya melalui program sosialisasi HAKI;
8)      Meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan PTK-PNF di seluruh wilayah Indonesia  dalam memahami alur (mekanisme) pelaporan/pengaduan dan proses operasional pemecahan kasus PTK-PNF melalui jalur Advokasi yang diberikan LBH/ BKBH di Indonesia

4. Dasar Hukum Perlindungan Hukum PTK-PNF
         Sejatinya manakala diinventarisir aneka regulasi yang mengatur PTK-PNF, maka dijumpai sejumlah regulasi yang dapat dikatagorikan sebagai  dasar hukum bagi pelaksanaan program Perlindungan PTK-PNF, mulai dari tingkat hukum yang paling tinggi dan fundamental yakni konstitusi, hingga beberapa peraturan derivasinya yang  berbentuk undang-undang hingga peraturan menteri. Bahkan dalam konteks referensi perlindungan hukum ini, putusan Mahkamah Kostitusi RI termasuk pula di dalamnya. Untuk lebih jelasnya landasan yuridis perlindungan hukum bai PTK-PNF antara lain sebagai berikut:
1.      UUD Republik Indonesia Tahun 1945
2.      Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional;
3.      Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan;
4.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
5.      Undang-Undang Nomr 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Juncto Keppres RI Nomr 50 Tahun 1993 Tentang Komnas HAM;
6.       Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi/merendahkan martabat manusia;
7.      Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor: 006/PUU-II/2004  tentang Tidak Mengikatnya Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat bagi Lembaga Bantuan Hukum di Lingkungan Perguruan Tinggi;
8.      Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2000 Tentang Tenaga Kependidikan;
9.      Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan;
10.  Peraturan Presiden RI nomor 07 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009 khususnya program bidang ketenaga pendidikan yaitu peningkatan kesejahteraan dan perlindungan hukum dan profesi bagi pendidik dan tenaga kependidikan.



  1. Urgensi Advokasi
            Secara umum tujuan advokasi adalah untuk mewujudkan berbagai hak dan kebutuhan fundamental suatu kelompok masyarakat yang oleh karena keterbatasannya untuk memperoleh akses di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya, mengalami hambatan secara struktural akibat tidak adanya kebijakan publik yang bepihak kepada mereka.
            Sebagaimana telah diungkapkan terdahulu, bahwa salah satu persoalan krusial yang dihadapi oleh PTK-PNF adalah belum terakomodasinya kebutuhan akan jaminan pengakuan terhadap status dan hak profesi PTK-PNF di dalam suatu regulasi yang secara khusus mengatur hal tersebut. Padahal kedudukan PTK-PNF esensinya sejajar dengan koleganya yang bergerak di bidang  pendidikan formal, yakni guru dan dosen. Yang disebut terakhir ini justru telah diakui eksistensinya secara yuridis oleh UU Guru dan Dosen. Ketiadaan regulasi berupa UU PTK-PNF inilah sesungguhnya bentuk empiris dari absennya  pemihakan dari Negara casu quo pemerintah terhadap profesi PTK-PNF. Pengabaian negara casu quo pemerintah  terhadap peneguhan posisi  profesi PTK-PNF di dalam konfigurasi sistim pendidikan nasional, jelas merupakan sasaran dan tujuan dari kegiatan advokasi.
               Dalam konteks yang demikian ini, praktek advokasi sebagai sebuah gerakan yang terorganisir menjadi sangat urgen. Oleh karena advokasi  pada satu sisi merupakan tindakan yang secara sengaja dimaksudkan untuk mempengaruhi kebijakan publik,  yakni mendorong terwujudnya pembentukan kebijakan publik yang berdimensi keadilan dan kemaslahatan bagi banyak orang, termasuk di dalamnya PTK-PNF. Sebaliknya advokasi juga bertujuan menihilkan bentuk-bentuk kebijakan yang diskriminatif dan menimbulkan berbagai keburukan di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu di lain sisi, advokasi juga  melakukan upaya tranformasi aspirasi anggota ke wilayah publik secara demokratis serta penguatan internal berupa usaha penyadaran serta pengorganisasian anggota PTK-PNF di dalam memperkuat posisi tawarnya di hadapan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan PTK-PNF. 

6. Urgensi Advokasi Hukum
               Bahwa tak dapat dipungkiri, di dalam realitas keseharian aktulisasi profesi PTK-PNF di dalam berinteraksi dengan pihak lainnya, semisal peserta didik, pengelola lembaga pendidikan, maupun dengan pihak masyarakat, bahkan dengan pihak aparat hukum acap kali menemui sejumlah persoalan yang berdimensi hukum. Persoalan-persoalan berdimensi hukum itu antara lain berupa perbuatan melawan hukum, bisa juga perbuatan wanprestasi, bahkan juga perbuatan pidana berupa tindakan tidak menyenangkan hingga bentuk ancaman riil yang dilakukan oleh pihak lain terhadap anggota PTK-PNF.
               Upaya penyelesaian persoalan hukum yang demikian ini, tentu saja tidak mungkin mengharapkan individu maupun komunitas PTK-PNF untuk menyelesaikannya secara mandiri tanpa bantuan hukum dari institusi yang ahli di bidang itu. Sehubungan dengan realitas yang demikian ini, maka advokasi hukum yang sejauh ini dipahami sebagai sebuah kegiatan atau kerja-kerja pembelaan hukum, baik litigasi maupun non litigasi yang dilakukan oleh kaum professional hukum dan  juga lembaga bantuan hukum tak pelak lagi menjadi urgen. Lebih jauh adanya jaminan advokasi hukum yang ditujukan kepada profesi PTK-PNF secara psikologis akan menciptakan ketenangan dan rasa aman di dalam menjalankan profesinya di dalam proses transformasi pengetahuan dan ketrampilan tersebut.
             
7.         Relevansi Perlindungan Hukum , Advokasi dan Advokasi Hukum  
            Bahwa perlindungan hukum berupa jaminan hak-hak tenaga PTK-PNF yang sudah tertuang dipelbagai peraturan perundang-undangan, tentu saja tidak serta merta dapat terimplementasikan dengan sendirinya. Namun sesungguhnya masih diperlukan beragam kegiatan dan desakan dari berbagai pihak terhadap aparatur hukum agar dengan secara sukarela maupun dengan terpaksa dapat mengimplementasikan peraturan-peraturan tersebut. Di samping itu faktor pengetahuan dan pemahaman terhadap beragam peraturan perundang-undangan oleh PTK-PNF menjadi sangat relevan dan urgen. Jelasnya faktor kesadaran dan pemahaman terhadap sejumlah hak-hak dan kewajiban yang dimiliki PTK-PNF yang tercantum di dalam berbagai regulasi tersebut dapat menjadi faktor determinan bagi penerapan regulasi tersebut. Di sinilah letak relevansi advokasi dengan aspek perlindungan hukum, yakni advokasi menjadi suatu mekanisme penyadaran terhadap anggota PTK-PNF akan perlindungan hukum yang tersebar di berbagai peraturan peundang-undangan.
               Sementara itu berkaitan dengan sejumlah kebutuhan hukum yang secara obyektif diharapkan kelahirannya oleh tenaga PTK-PNF, maka melalui kegiatan advokasi harapan tersebut dapat terpositifkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di kemudian hari.  Oleh karena salah satu esensi dari advokasi adalah menyuarakan aspirasi anggota PTK-PNF agar menjadi perhatian pembuat kebijakan publik.
               Selanjutnya berkaitan dengan adanya kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum terhadap jaminan hak-hak dan kewajiban PTK-PNF (perlindungan hukum PTK-PNF) yang  dilakukan oleh pihak-pihak di luar PTK-PNF dapat diupayakan penyelesaiannya melalui mekanisme advokasi hukum yang diselenggarakan oleh profesi hukum maupun lembaga bantuan hukum yang sengaja dibentuk untuk memberi advokasi hukum kepada PTK-PNF.

8.      Peran LBH Perguruan Tinggi Dan Non Perguruan Tingi Dalam Pelaksanaan Advokasi Hukum Bagi PTK-PNF
Peran strategis LBH Perguruan Tinggi Dan Non Perguruan Tinggi didalam mengupayakan dan memperkuat terbukanya akses untuk memperoleh keadilan (acces to justice) tidak saja bergerak di wilayah bantuan hukum yang bercorak tradisional dan individual, namun juga telah merambah wilyah konstitusional dan struktural. Sejarah hukum di Indonesia setidaknya ikut menjadi saksi tentang upaya BKBH Universitas Muhammadiyah Malang melakukan uji materiil (judicial review) di Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang berisi ketentuan elitisme acces to justice dan terpasungnya kiprah peran BKBH berbasis kampus. Bahwa Pasal tersebut telah menciptakan eksklusifisme advokasi hukum baik di dalam dan di luar pengadilan, yakni advokasi hukm hanya dapat dijalankan oleh kelompok profesi advokat saja. Padahal di dalam ketentuan hukum acara yang saat ini masih diberlakukan kepada warga Negara Indonesia, sesungguhnya tidak ada satu pun pasal yang mewajibkan beracara di pengadilan harus di dampingi oleh advokat. Begitu pula seterusnya, bahwa tidak satupun regulasi acara di pengadilan yang melarang individu atau pun kelompok masyarakat yang tidak berprofesi advokat untuk menjadi pendamping atau pembela di muka pengadilan.
Namun akhirnya Putusan Mahkamah Konstitusi menganulir ketentuan pasal 31 Undang-Undang Advokat karena secara konstitusional bertentangan dengan prinsip Negara hukum dan prinsip justice for all. Di samping itu Pasal  31 UU Advokat tersebut, dianggap tidak sesuai dengan realitas obyektif penduduk Negara Indonesia yang masih membutuhkan layanan hukum yang murah dan terjangkau. Sementara itu rasio advokat dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia masih sangat timpang. Menurut catatan Mahkamah Agung RI, saat ini jumlah advokat yang terdaftar berjumlah sekitar 29.000 orang sedangkan jumlah penduduk Indonesia saat ini diperkirakan bejumlah 230 juta jiwa.
Putusan Mahkamah Konstitsi tersebut tak pelak telah menggairahkan kembali aktifitas LBH berbasis kampus maupun lembaga advokasi hukum yang di luar kampus di seluruh tanah air di dalam melakukan advokasi hukum bagi kepentingan masyarakat yang kurang beruntung di dalam memperoleh akses pelayanan hukum yang murah dan terjangkau.
Dalam kaitannya dengan keberadaan PTK-PNF, peran LKBH menjadi sangat signifikan terutama di dalam memberikan layanan advokasi hukum kepada anggota PTK-PNF yang secara riil dan obyektif menghadapi problema hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. LKBH tidak saja berperan sebagai institusi yang melakukan penanganan kuratif terhadap permasalahan hukum yang tengah dihadapai anggota PTK-PNF. Selain itu LKBH juga dapat difungsikan sebagai instrument preventif bagi munculnya berbagai persoalan hukum yang mungkin dihadapi PTK-PNF melalui kegiatan sosialisasi atau penyuluhan hukum. Peran yang disebut terakhir ini, tidak saja membantu meringankan tugas-tugas organisasi profesi PTK-PNF di dalam melakukan konsolidasi organisasi, namun lebih daripada itu secara psikologis keberadaan LKBH dapat memberikan keuntungan psikologis bagi PTK-PNF untuk lebih tenang dan nyaman, serta aman di dalam menjalankan profesinya. 
Adapun jenis dan bentuk peran advokasi hukum yang dapat diharapkan LBH perguruan tinggi maupun non Perguruan Tinggi kepada PTK-PNF, diantaranya, yaitu:
1.   Perlindungan Fisik
Semua PTK-PNF harus dilindungi secara fisik dari segala anomali yang mungkin atau berpotensi menimpanya. Perlindungan hukum teerhadap aspek fisik dimaksud meliputi perlindungan yang muncul akibat tindakan  dari warga belajar, orang tua warga belajar, masyarakat, birokrasi atau pihak lain, berupa:
a.      tindak kekerasan,
b.      ancaman,
c.       perlakuan diskriminatif,
d.     intimidasi, dan
e.      perlakuan tidak adil


2.   Perlindungan profesi
Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap PHK yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam penyampaian pandangan, pelecehan terhadap profesi dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat PTK-PNF dalam melaksanakan tugas
a.          Setiap PTK-PNF yang bekerja pada satuan PNF seharusnya didasari perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
b.          Setiap PTK-PNF tidak boleh diberi sanksi pemutusan hubungan kerja tanpa mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
c.           Penyelenggara atau kepala satuan PNF wajib melindungi PTK-PNF dari praktik pembayaran imbalan yang tidak wajar.
d.         Setiap PTK-PNF memiliki kebebasan akademik untuk menyampaikan pandangan.
e.  Setiap PTK-PNF memiliki kebebasan untuk:
Ø    mengungkapkan ekspresi,
Ø    mengembangkan kreatifitas, dan
Ø  melakukan inovasi baru yang memiliki nilai tambah tinggi dalam proses pendidikan dan pembelajaran PNF.
f.            Setiap PTK-PNF harus terbebas dari tindakan pelecehan atas profesinya dari warga belajar, orang tua warga belajar, masyarakat, birokrasi,  atau pihak lain.
g.          Kebebasan dalam memberikan penilaian kepada warga belajar, meliputi:
Ø penetapan substansi,
Ø penetapan prosedur,
Ø penetapan instrumen penilaian, dan
Ø keputusan akhir dalam penilaian.
h.      Ikut menentukan kelulusan warga belajar, meliputi:
Ø   penetapan taraf penguasaan kompetensi,
Ø   standar kelulusan mata pelajaran atau mata pelatihan, dan
Ø   menentukan kelulusan ujian keterampilan atau  kecakapan khusus.
i.        Kebebasan untuk berserikat dalam organisasi atau asosiasi profesi, meliputi:
Ø   mengeluarkan pendapat secara lisan atau tulisan atas dasar keyakinan akademik,
Ø   memilih dan dipilih sebagai pengurus organisasi atau asosiasi profesi PTK-PNF, dan
Ø   bersikap kritis terhadap kinerja organisasi profesi.
j.            Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan PNF, meliputi:
Ø   akses terhadap sumber informasi kebijakan,
Ø   partisipasi dalam pengambilan kebijakan pendidikan pada tingkat satuan PNF, dan
Ø   memberikan masukan dalam penentuan kebijakan pada tingkat yang lebih tinggi atas dasar pengalaman terpetik dari lapangan.

3.   Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja mencakup perlindungan terhadap resiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau resiko lain.  Beberapa hal krusial yang  terkait dengan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk rasa aman bagi PTK-PNF dalam bertugas, yaitu:
a.      Hak memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas harus mampu diwujudkan oleh pengelola satuan PNF, pemerintah dan pemerintah daerah.
b.      Rasa aman dalam melaksanakan tugas, meliputi jaminan dari ancaman psikis dan fisik dari warga belajar, orang tua/wali warga belajar, atasan langsung, teman sejawat, dan masyarakat luas.
c.       Keselamatan dalam melaksanakan tugas, meliputi perlindungan terhadap:
Ø  resiko gangguan keamanan kerja,
Ø  resiko kecelakaan kerja,
Ø  resiko kebakaran pada waktu kerja,
Ø  resiko bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau
Ø  resiko lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan.
d.     Terbebas dari tindakan resiko gangguan keamanan kerja dari warga belajar, orang tua warga belajar, masyarakat, birokrasi,  atau pihak lain.
e.      Pemberian asuransi dan/atau jaminan pemulihan kesehatan yang ditimbulkan akibat:
Ø  kecelakaan kerja,
Ø  kebakaran pada waktu kerja,
Ø  bencana alam,
Ø  kesehatan lingkungan kerja, dan/atau
Ø  resiko lain.
f.        Terbebas dari multiancaman, termasuk ancaman terhadap kesehatan kerja, akibat:
Ø  bahaya yang potensial,
Ø  kecelakaan akibat bahan kerja,
Ø  keluhan-keluhan sebagai dampak ancaman bahaya,
Ø  frekuensi penyakit yang muncul akibat kerja,
Ø  resiko atas alat kerja yang dipakai, dan
Ø  resiko yang muncul akibat lingkungan atau kondisi tempat kerja.

4.   Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual

Pengakuan HaKI di Indonesia telah dilegitimasi oleh peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Merk, Undang-Undang Paten, dan Undang-Undang Hak Cipta. HaKI  terdiri dari dua kategori yaitu:

Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Hak Kekayaan Industri meliputi Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman. Bagi PTK-PNF, perlindungan HaKI dapat mencakup:

a.      hak cipta atas penulisan buku,
b.      hak cipta atas makalah,
c.       hak cipta atas karangan ilmiah,
d.     hak cipta atas hasil penelitian,
e.      hak cipta atas hasil penciptaan,
f.        hak cipta atas hasil karya seni maupun penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta sejenisnya, dan;
g.      hak paten atas hasil karya teknologi
Seringkali karya-karya mereka ini terabaikan, menjadi seakan-akan makhluk tak bertuan, atau paling tidak terdapat potensi untuk itu. Oleh karena itu, dimasa depan pemahaman PTK-PNF terhadap HaKI ini harus dipertajam.









BAB II
RUANG LINGKUP ADVOKASI HUKUM

A. Dimensi Advokasi Hukum
      Advokasi hukum pada prinsipnya tidak berdimensi tunggal, yakni dimensi abstraksi dan positifikasi nilai dan norma yang harus dipedomani ke dalam rangkaian kalimat hukum semata. Namun advokasi hukum memiliki spektrum yang lebih luas ketimbang aspek substansi atau isi hukum (content of law), yakni mencakup dimensi  struktur hukum (structure of law)  dan dimensi budaya hukum (legal culture).         
       Mengingat advokasi merupakan kegiatan atau usaha untuk memperbaiki/merubah kebijakan publik sesuai dengan kehendak mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami apa sesungguhnya kebijakan publik itu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk memahami kebijakan publik adalah dengan melihat sebuah kebijakan itu sebagai suatu system hukum. Secara teoritis, sistem hukum mengacu pada tiga hal:
1.      Isi hukum (content of law) yakni uraian atau penjabaran dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk Undang-Undang, Perpu, PP, Perpres, Perda dan seterusnya;
2.      Struktur hukum (structure of law) yang merupakan seperangkat kelembagaan dan pelaksana isi hokum yang berlaku. Dalam pengertian ini tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi, partai politik, dll) dan para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, pejabat pemerintah, dll)
3.      Budaya hukum, yaitu persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran terhdap dua unsure di atas, yaitu isi dan tata laksanan hukum.
Oleh karena itu idealnya suatu kegiatan atau program advokasi hukum harus mencakup sasaran perubahan ketiga-tiganya. Dengan demikian, suatu kegiatan advokasi hukm yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan, baik dalam isi, tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu tidak harus selalu terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun bisa saja bertahap atau berjenjang dari satu aspek hukum tersebut yang dianggap merupakan titik-tolak paling menentukan.    Untuk melakukan advokasi pada tiga aspek hukum di atas, perlu dilakukan pendekatan yang berbeda mengingat ketiga aspek hukum tersebut dihasilkan oleh proses-proses yang memiliki kekhasan tersendiri. Oleh karena itu, menurut Roem, kegiatan advokasi harus mempertimbangkan dan menempuh proses-proses yang disesuaikan sebagai berikut:
1.      Proses-proses legislasi dan juridiksi, yakni kegiatan pengajuan usul, konsep, penyusunan academic draft hingga praktek litigasi untuk melakukan judicial review, class action, legal standing untuk meninjau ulang isi hukum sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan hukum selanjutnya.
2.      Proses-proses politik dan birokrasi, yakni suatu upaya atau kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana peraturan melalui berbagai strategi, mulai dari lobi, negoisasi, mediasi, tawar menawar, kolaborasi dan sebagainya.
3.      Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi, yakni suatu kegiatan untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang lebih luas melalui kampanye, siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian basis, pendidikan politik, diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya. Untuk membentuk opini publik yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan sekaligus menyentuh perasaan terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan untuk mengolah, mengemas isu melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat dibutuhkan.
B.     Prinsip-Prinsip Advokasi Hukum
1.      Bahwa dalam advokasi kita harus menentukan target yang jelas. Maksudnya kita harus menentukan kebijakan publik macam apa yang akan kita ubah.
2.      kita juga harus menentukan prioritas mengingat tidak semua kebijakan bisa diubah dalam waktu yang cepat. Karena itu, kita harus menentukan prioritas mana dari masalah dan kebijakan yang akan diubah.
3.      Realistis. Artinya bahwa kita tidak mungkin dapat mengubah seluruh kebijakan publik. Oleh karena itu kita harus menentukan pada sisi-sisi yang mana kebijakan itu harus dirubah. Misalnya pada bagian pelaksanaan kebijakan,pengawasan kebijakan atau yang lainnya.
4.      Batas waktu yang jelas. Alokasi waktu yang jelas akan menuntun kita dalam melakukan tahap-tahap kegiatan advokasi, kapan dimulai dan kapan akan selesai.
5.      Dukungan logistik. Dukungan sumber daya manusia dan dana sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan advokasi.
6.      Analisa ancaman dan peluang.

C.    Jenis-Jenis Advokasi Hukum
1.      Advokasi Litigasi
      Litigasi dapat diartikan sebagai keseluruhan proses yang mengalihkan suatu kasus atau permasalahan ke pengadilan. Hasil akhir suatu sengketa di pengadilan, tidak ditentukan oleh para pihak yang berposisi sebagai penggugat dan tergugat, tetapi diputuskan oleh hakim melalui penerapan hukum serta menentukan sedapat mungkin bentuk penghukuman, seperti penjatuhan perintah pembayaran ganti rugi dan kewajiban memulihkan keadaan seperti semula sebelum terjadi sengketa.
      Berdasakan konsepsi yang demikian ini, banyak  orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Pandangan semacam itu bukan selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi lebih luas. Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof. Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa Inggris dapat bermakna macam-macam. Advocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis.      

2.      Advokasi Non Litigasi
Di samping melalui Litigasi, juga dikenal Alternatif penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan yang lazim disebut Non Litigasi. Alternatif penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradlan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hokum. Peran dan fungsi peradilan, dianggap mengalami beban yang terlampau padat (overloaded), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensif) dan kurng tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu formalistis (formalistic) dan terlampau teknis (technically).
Dalam pasal (1) angka (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan bahwa masyarakat dimungkinkan memakai alternatif lain dalam melakukan penyelesaian sengketa. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan cara konsultsi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

a.      Konsultasi
                        Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa konsultasi merupakan tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien, dengan pihak lain yang merupakan konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan klien tersebut. Konsultan hanyalah memberikan pendapat hukum, sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun ada kalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

b. Negosiasi dan Perdamaian
Menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, pada dasarya para pihakberhak untuk menyelsaikan sendiri sengket yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui para pihak. Negosiasi mirip dengan perdamaian yang diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, di mana perdamaian itu adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namun ada beberapa hal yang membedakan, yaitu:
Pada negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa. pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa.
   Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

c. Mediasi
Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) Undang Undang Nomor 39 tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan “seorang atu lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah pinal dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilakasanakan dalam waktu lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Mediator dapat dibedakan:
  1. mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak
  2. mediator yang ditujuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

d. Konsiliasi dan perdamaian
          Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara  jelas  dalam  Undang Undang  nomor 30 tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses legitasi, melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8)

e. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase
          Pasal 52 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari pengertian tentang Lembaga Arbitrase yang di berikan dalam Pasal 1 angka 8 Undang Undang nomor 30 tahun 1999:
“Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.”
Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya  pada  lembaga  arbitrase  tersebut). Setiap  pendapat  yang  berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.

f. Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam Pasal 615 s/d 651 Reglement of de Rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui artibrase tetap dipebolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.
Menurut pasal 1 angka 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar Pengadilan Umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya  arbitrase    dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1.      Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjain tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) atau
2.      Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).

Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut pasal 5 ayat 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu ayat 5 (2) nya memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.

Dalam penjelasan umum Undang Undang nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah:
1.      dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2.      dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
3.      para pihak dapat memilih arbiter yang menurut pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil
4.      para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5.      putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.








BAB III
STRATEGI DAN PELAKSANAAN ADVOKASI HUKUM
BAGI PTK-PNF

A. Tahapan Advokasi Hukum
            Menurut Fiona Boyle et al., advokasi hukum tidak lain adalah seni tentang persuasi di dalam konteks hukum, yakni suatu persuasi yang berakar kepada pemahaman suatu kasus, dan pengetahuan yang cukup terhadap peraturan perundang-undangan, serta kemampuan persuasif sebelum kasus tersebut diperiksa di dalam pengadilan atau tribunal.
            Berdasarkan rumusan yang demikian ini kemampuan advokasi sangat erat dengan unsur pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum yang berlaku.  Kemampuan advokasi hukum lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan interview, menyusun ilustrasi kasus (kronologi kasus), serta kemahiran di bidang penelitian dan analisis kasus hukum. Kemampuan tersebut pada prinsipnya dapat memberikan arah dan fokus advokasi yang efektif, yakni  menentukan apakah suatu kasus adalah kasus hukum atau bukan; bentuk advokasi hukum yang dibutuhkan; serta strategi mana yang dianggap paling sesuai untuk mencapai hasil yang diinginkan. 
            Faktor lain yang tidak kalah pentingnya di dalam proses advokasi adalah faktor persiapan yang sudah dilakukan oleh pihak yang akan melakukan advokasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan suatu advokasi sangat ditentukan oleh bagusnya persiapan yang dilakukan sebelum advokasi dilakukan. Hal ini kiranya sangat sesuai dengan ungkapan yang menyatakan bahwa persiapan yang memadai merupakan setengah langkah dari keberhasilan. Adapun jenis persiapan yang perlu dilakukan di dalam melakukan advokasi   antara lain meliputi identifikasi kasus, yakni usaha untuk mendapatkan ilustrasi tentang anatomi kasus; menginventarisir bahan-bahan hukum; menganalisis alat-alat bukti; menyusun atau mengkonstruksi advokasi hukum serta memprediksi berbagai kemungkinan yang bakal terjadi terhadap jalannya kasus. Di samping itu persiapan penting lainnya adalah mempersiapkan diri si pemberi advokasi bahwa dirinya benar-benar yakin dan memiliki waktu dan kemampuan untuk menyelesaikan kasus yang tengah dihadapainya, atau setidaknya dia memiliki referensi alternatif, manakala kasus yang ditangani tersebut terhenti di tengah jalan, maka advokasi substitusi sudah siap untuk menggantikannya.
            Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan secara sederhana beberapa tahapan penting untuk dilakukan di dalam melakukan advokasi, yaitu:
1.      Identifikasi dan analisis kasus;
2.      pemberian pendapat hukum (legal memorandum); dan
3.       praktek pendampingan hukum.

Ad. 1.  Tahap Identifikasi dan Analisis Kasus
            Bahwa langkah pertama yang harus dilakukan di dalam proses advokasi hukum ialah melakukan identifikasi permasalahan atau kasus hukum yang hendak ditangani. Asumsinya adalah semakin awal diketahui seluruh aspek kasus hukum yang menjadi obyek advokasi, maka semakin fokus dan akurat advis dan langkah hukum  yang akan dilakukan.
             Sebagaimana diketahui, bahwa setiap kasus hukum tidak selalu berdimensi tunggal, akan tetapi tidak jarang suatu kasus mencakup di dalamnya lebih dari satu dimensi hukum, baik dimensi pidana, perdata bahkan juga dimensi hukum administrasi. Sebagai contoh sederhana, kasus hukum kekerasan di dalam proses belajar-mengajar --pemukulan peserta didik yang dilakukan oleh oknum pendidik dengan dalih penegakan disiplin—- setidaknya ada tiga aspek hukum yang bisa dikenakan dalam kasus ini, yaitu aspek pidana (penganiayaan); aspek perdata (ganti rugi atas dasar pebuatan melawan hukum); serta aspek hukum administrasi (pemberian skorsing, penghentian sementara tugas mengajar).
            Akan tetapi tidak jarang pula suatu persoalan yang dimintakan advokasi hukum justru sama sekali bukan termasuk bidang garapan advokasi hukum melainkan garapan bidang institusi lainnya. Misalnya permasalahan keinginan sejumlah PTK-PNF untuk  diangkat statusnya menjadi pegawai negeri sipil. Jelas yang demikian ini bukan fokus advokasi hukum, melainkan bagian dari urusan biro kepegawaian. Oleh karena masalah tersebut bukan ranah hukum, akan tetapi masuk ke dalam katagori ranah administrasi.
            Berdasarkan hal demikian ini, langkah identifikasi aspek hukum suatu kasus adalah sangat penting di dalam proses advokasi hukum. Proses identifikasi yang  akurat dan obyektif, akan menghasilkan langkah dan strategi yang tepat di dalam proses advokasi hukum, yaitu: 
(i)                 Sejak dini sudah dapat dipastikan bahwa kasus tersebut perlu
             dilakukan advokasi hukum ataukah tidak;
(ii)              Bahwa jika kasus tersebut adalah kasus hukum, maka aspek
             hukum apakah yang perlu diprioritaskan advokasi hukumnya;
(iii)            Jika kasus tersebut di luar bidang keahliannya perlukah meminta
             bantuan tenaga yang lebih expert;
(iv)            Ataukah tidak sebaiknya kasus tersebut disarankan untuk
             ditangani oleh pihak yang lebih berkompeten, dan seterusnya.
            Selanjutnya langkah yang mesti ditempuh pasca identifikasi aspek hukum  suatu kasus  adalah fase analisis kasus (case analysis . Bahwa tahap analisis kasus ini dilakukan adalah untuk mengetahui secara obyektif duduk persoalan atau fakta empiris dari suatu kasus dengan cara mengumpulkan informasi dan berbagai alat bukti yang berkaitan dengan kasus tersebut. 
            Kemudian setelah itu dilakukan pula proses inventarisasi peraturan hukum maupun jurisprudensi yang berhubungan dengan kasus yang perlu diadvokasi tersebut. Bahkan perburuan informasi melalui literatur dan studi kepustakaan adalah sesuatu yang niscaya di dalam menganalis suatu kasus, karena  ada kemungkinan kasus yang tengah dihadapi ternyata pernah terjadi atau setidaknya mirip dengan kasus di tempat lain. Seterusnya jika dirasa perlu, konsultasi dengan kaum intelektual hukum yang ahli di bidangnya perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan suatu kasus.
            Berdasarkan serangkaian investigasi fakta dan norma hukum tersebut, maka kasus tersebut setidaknya telah diketemukan jawabannya secara hipotetis atau secara apriori, yakni:
(i)                 tentang kedudukan klien, posisinya kuat (pihak yang benar) ataukah justru lemah (pihak yang salah);
(ii)              alat-alat bukti apakah yang mesti dihadirkan untuk memperkuat posisi klien;
(iii)            strategi apakah yang perlu ditempuh di dalam proses advokasi tersebut;
(iv)            prediksi mengenai probabilitas berhasil tidaknya advokasi hukum itu, dan seterusnya.
            Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan, bahwa langkah identifikasi masalah dan analisis kasus pada dasarnya adalah ketrampilan hukum atau lebih tepatnya ketrampilandi bidang penelitian hukum.

Ad. 2. Tahap Pemberian Pendapat Hukum (Legal Memorandum)
            Pendapat hukum atau legal memorandum sesungguhnya adalah salah satu jenis penulisan esai yang berkenaan dengan isu hukum. Memo hukum ini biasanya ditulis bedasarkan hasil kajian dan penelusuran hukum oleh mahasiswa hukum maupun advokat. Isi memo hukum tersebut antara lain berkenaan dengan isu atau permasalahan hukum, kesimpulan, diskusi penerapan hukum terhadap suatu peristiwa, catatan atau kemungkinan implikasi hukum kasus tersebut, serta rekomendasi yang dihasilkan berdasarkan diskusi.
            Dalam kaitannya dengan tahapan advokasi sebelum ini, yaitu tahap identifikasi dan analisis kasus, maka pendapat hukum atau memo hukum ini tidak lain adalah catatan pihak pemberi layanan advokasi terhadap kliennya mengenai posisi kasus, prediksi kasus, catatan-catatan kritis atas kasus tersebut, serta rekomendasi yang disarankan untuk dilakukan oleh klien.
            Bahwa pemberian pendapat hukum ini harus diberikan secara obyektif dan tidak boleh ditutup-tutupi, termasuk konsekuensi atau dampak yang akan terjadi manakala kasus tersebut terpaksa diselesaikan melalui mekanisme advokasi hukum. Dengan demikian, diharapkan keputusan yang diambil klien betul-betul obyektif, tidak emosional dan tidak obsesif atau wishful thinking.

Ad. 3. Tahap Pendampingan Hukum
            Bahwa pada tahap ini, pihak penyedia layanan advokasi hukum (LKBH) telah menyatakan kesediaanya untuk melakukan advokasi hukum sebagaimana dikehendaki oleh pihak klien. Berkenaan dengan implementasi advokasi hukum ini ada baiknya diperhatikan, hal-hal yang perlu ditegaskan di dalam proses advokasi agar dapat berjalan efektif. Yaitu:
(1) Aspek legitimasi proses advokasi hukum melalui pemberian surat kuasa;
(2) Aspek kontraktual yang berisi kesepakatan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak;
(3) Aspek logistik atau yang berkenaan dengan masalah finansial yang dibutuhkan selama proses advokasi tersebut.
            Dalam kaitan ini, ada baiknya sebagai ilustrasi perbandingan, diketengahkan ketentuan, syarat,  prosedur advokasi hukum yang dilakukan oleh LKBH  Universitas Muhammadiyah Malang yang menjadi partner Direktorat PTK-PNF, yakni antara lain:
            Bahwa advokasi hukum diberikan kepada:
 (1) Tenaga pendidik yang masih berstatus PTK-PNF, yang dibuktikan dengan surat keputusan atau surat tugas PTK-PNF yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang;
(2) Terdapat permasalahan hukum atau permasalahan profesi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai PTK-PNF; dan
(3)  Layanan advokasi hukum tidak dikenai biaya apapun.
            Sementara itu prosedur advokasi hukum diberikan kepada PTK-PNF dengan cara:
(1) PTK-PNF yang bersangkutan atas inisiatif sendiri atau atas permintaan asosiasi mengajukan permohonan  advokasi hukum, baik secara lisan maupun secara tertulis;
(2) LKBH segera melakukan verifikasi terhadap permohonan yang diajukan;
(3) Jawaban atau rekomendasi dari LKBH diberikan secara tertulis paling lambat tujuh hari setelah permohonan masuk.
            Selanjutnya penanganan kasus melalui advokasi hukum yang dilakukan LKBH, setidaknya harus memenuhi empat indicator, yakni:
(1) Aspek kemendesakan (urgensi);
(2) Aspek tingkat ancaman;
(3) Aspek hasil analisis kasus; dan
(4) Aspek rekomendasi.

B.   Strategi Advokasi Hukum
            Strategi yang digunakan di dalam proses advokasi hukum tentunya sangat ditentukan oleh pendekatan yang dilakukan di dalam keseluruhan proses advokasi. Strategi yang dipilih juga bergantung kepada cara pandang terhadap advokasi itu sendiri, yakni berkaitan dengan seberapa besar harapan yang akan diperoleh berupa konsesi, pemberian timbal balik, maupun solusi yang mungkin bisa dicapai. Dengan kata lain strategi dapat dimaknai sebagai taktik yang digunakan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai dengan yang diharapkan.
            Sesungguhnya di dalam literatur tidak dijumpai model strategi advokasi hukum, oleh karena proses advokasi hukum tidak berkaitan dengan teknik meyakinkan pihak lawan dengan bujukan, ancaman atau pun tawaran berupa pemberian suatu konsesi tertentu. Advokasi hukum justru melakukan persuasi kepada pihak lawan dengan menggunakan dalil-dalil hukum dan fakta-fakta obyektif untuk memaksa lawan melakukan tindakan tertentu. Model strategi yang dikenal dalam proses advokasi, justru dijumpai di dalam salah satu varian advokasi hukum yaitu proses negoisasi. Jika strategi negoisasi itu dianalogikan terhadap proses advokasi hukum, maka strategi advokasi hukum dibedakan atas lima macam, yakni:
(2)                                                                           Strategi Kompetitif;
(3)                                                                           Strategi Kooperatif;
(4)                                                                           Strategi Pemecahan Masalah  (Problem Solving);
(5)                                                                           Strategi Mengelak (avoiding);
(6)                                                                           Strategi Akomodatif.

Ad. 1. Strategi Kompetitif
            Strategi ini menggunakan pendekatan diameteral atau saling berhadap-hadapan antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Kedudukan masing-masing pihak berada di antara posisi ekstrim yaitu menang atau kalah. Tujuan  yang hendak dicapai melalui strategi kompetitif adalah untuk menghancurkan kepecayaan diri pihak lawan. Di samping itu juga diharapkan memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari pihak lawan yang kalah.
            Kelebihan strategi adalah:
(i)           Sangat membantu penyelesaian kasus terutama kasus kecil atau sederhana;
(ii)        Bersifat intimidatif, terutama dalam kondisi perimbangan kekuatan yang timpang; dan
(iii)      Efektif digunakan pada awal advokasi hukum, ketika pihak lawan belum mengetahui kekuatan atau kelemahan yang sesungguhnya.
            Sedangkan kekurangan strategi ini adalah:
(i)                 Tidak kreatif untuk mencari solusi alternatif;
(ii)              Tidak realistis;
(iii)            Sulit untuk dilakukan dalam waktu yang agak lama;
(iv)      Dapat menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan.

Ad. 2. Strategi Kooperatif
            Pendekatan kooperatif di sini dimaksudkan untk memperoleh hasil yang terbaik dari masing-masing pihak. Para pihak bertujuan untuk membuat kesepakatan yang saling menguntungkan satu sama lain, dengan cara mengabaikan konflik, saling berusaha mempercayai, menawarkan konsiliasi, kemauan untuk saling memberi, saling terbuka.
            Adapun keuntungan strategi kooperatif antara lain:
(i)           Kemustahilan terjadinya dead lock;
(ii)        Terjaganya hubungan baik para pihak;
(iii)      Minimnya ketegangan dan tingkat stress di antara para pihak.
Sementara itu sisi kelemahannya pendekatan ini, ialah:
(i)           Para pihak dipersepsikan lemah tidak berdaya;
(ii)                Membutuhkan informasi yang memadai tentang pihak lain;
(iii)  Berisiko tinggi  jika salah satu pihak beriktikad tidak baik sedangkan kesepakatan belum selesai seluruhnya.

Ad. 3. Strategi Pemecahan Masalah
            Strategi ini berkonsentrasi untuk menemukan solusi kreatif di dalam usahanya memberikan bagian atau interest kepada kedua belah pihak. Tujuan utama strategi ini ialah menganggap suatu pemasalahan itu dapat dipisahkan dari manusia – sebagaimana kata orang bijak, bahwa tidak ada persoalan yang tidak ada jalan keluarnya--  tentunya melalui berbagai opsi yang dituangkan dalam kesepakatan kontraktual.
            Karakteristik strategi ini antara lain:
(i)           Berusaha untuk memahami pihak lainnya secara emphati;
(ii)        Menghargai ikatan emosional di antara para pihak;
(iii)      Fokus terhadap masing-masing kepentingan pihak lain;
(iv)      Menekankan kepada komunikasi yang baik; dan
(v)          Melahirkan solusi kreatif dan inovatif.
            Sementara itu keunggulan strategi ini ialah:
(i)           Tidak saling menjatuhkan, dead lock dapat dihindari;
(ii)        Fokus kepada permasalahan utama;
(iii)       Kreatif.
      Sedangkan kelemahan stategi ini, adalah:
(i)           Membutuhkan informasi lebih banyak ;
(ii)        Sulit dilakukan jika pihak lain tidak menghendaki strategi ini;
(iii)      Tidak realistis, agaknya sulit ditemui proses advokasi yang menghasilkan kepuasan di antara para pihak yang bertikai.

Ad. 4, Strategi Mengelak (Avoiding)
            Strategi ini tujuan utamanya adalah mencari-cari alasan untuk menolak berbagai bentuk kemajuan riil yang dicapai dalam proses advokasi. Dalam praktek strategi sudah jarang dipakai, karena strategi ini digunakan dalam keadaan terdesak, dan sifatnya hanya mengulur-ulur waktu saja (buying time).
             Adapun kelebihan strategi ini ialah:
(i)           Dapat meletakkan pihak lawan dalam posisi di bawah tekanan (under pressure);
(ii)        Memaksa pihak lawan untuk mengambil inisitif;
(iii)      Dapat menunda pelaksanaan kesepakatan melalui cara mengulur waktu.
      Sedangkan keburukan strategi ini adalah:
(i)           Dapat memberikan keleluasan pihak lawan untuk mengendalikan pihak yang mengelak;
(ii)        Adanya ancaman untuk diselesaikan lewat jalur pengadilan dengan kekuatan sita dan eksekusinya;
(iii)      Bertentangan dengan hukum acara yang menganjurkan penyelesaian kasus secara sederhana dan tidak berbelit-belit;
(iv)      Strategi ini tidak etis.

Ad. 5. Strategi Akomodatif
            Strategi ini sering dipadankan dengan strategi kooperatif yang dilakukan secara ekstrem. Strategi akomodatif melibatkan kesepakatan terhadap penawaran pihak lawan secara ekstrem.  Yaitu kemungkinan penerimaan tawaran pihak lawan tanpa persyaratan apapun. Karakteristik strategi ini mungkin hanya digunakan oleh keompok advokasi hukum yang kurang berpengalaman. Kelebihan strategi ini tida ada, sedangkan kelemahannya terletak pada kegagalannya untuk meraih hasil yang baik, hampir-hampir tidak mungkin diperoleh.

C.Mekanisme Pelaksanaan Advokasi Hukum
1.      Pelaksanaan Advokasi Litigasi
      Litigasi adalah salah satu bentuk advokasi hukum yang dilakukan melalui proses pengadilan, bahkan sebelum kasus atau satu perkara di sidangkan ke pengadilan, pendampingan klien atas pemeriksaan atau penyidikan di tingkat kepolisian, serta proses penuntutan di tingkat kejaksaan dapat juga dikatagorikan sebagai bentuk litigasi.
      Di dalam melaksanakan advokasi hukum dalam bentuk litigasi ini jelas dibutuhkan keahlian dan ketrampilan serta pengetahuan tentang prosedur hukum beracara mulai dari tingkat kepolisian, kejaksaan, hingga tingkat pengadilan. Lazimnya proses advokasi hukum yang demikian ini dilakukan oleh kelompok professional yang memiliki izin untuk itu, yang biasanya dikenal dengan sebutan advokat atau penasehat hukum.
               Lantas bagaimana dengan status LKBH yang nota bene anggotanya atau personilnya tidak memiliki izin praktik dan pula tidak mengantungi kartu advokat. Mungkinkah institusi LKBH ini diizinkan dan berhak melakukan advokasi hukum dalam bentuk litigasi. Jawabannya secara tegas adalah boleh dan sah secara hukum maupun konstitusi. Oleh karena di samping tidak ada satu pun regulasi hukum acara yang mengharuskan setiap orang atau kelompok yang beracara di pengadilan wajib didampingi oleh advokad, sebagaimana diaatur di dalam ketentuan RV dan dipraktekan  pada zaman kolonial dahulu. Selain itu pula sesungguhnya tidak ada satu pun aturan melarang individu atau pun kelompok yang melakukan kerja advokasi hukum dalam bentuk litigasi, harus berprofesi advokat.               Hal yang disebut  terakhir ini dengan tegas dapat disimak dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah bersifat final dan berkekuatan mengikat terhadap Perkara Nomor: 006/PUU-II/2004  tentang Tidak Mengikatnya Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat bagi Lembaga Bantuan Hukum di Lingkungan Perguruan Tinggi.
               Untuk mengetahui secara otentik isi putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor: 006/PUU-II/2004  ada baiknya berikut ini di sadur bunyi putusan tersebut, yakin:
(1)   Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan;
(2)   Menyatakan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
(3)   Menyatakan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
(4)   Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara  Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
               Berdasarkan ilustrasi di atas,  maka saat ini tidak ada lagi alasan untuk khawatir, risau dan cemas bahwa litigasi yang dilakukan oleh LKBH akan diusir dari ruang pengadilan. Justru kinilah saatnya untuk memanfaatkan momentum terbukanya kembali akses untuk melakukan litigasi sebagai wujud era bangkitnya LKBH dan sekaligus bentuk kepedulian dan pemihakan kepada kelompok yang kurang beruntung atau miskin di dalam memperoleh akses keadilan.
               Adapun langkah kongkret untuk merealisasikan iktikad mulia ini, maka selain keharusan untuk konsolidasi organisasi seluruh LKBH di tanah air. Langkah sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut harus senantiasa dipublikasikan, diinternalisasikan kepada segenap pihak dan seluruh aparat hukum yang berprofesi sebagai polisi,jaksa, notaris, hakim, advokat, akademisi hukum, para legal, dan sebagainya.

  1. Pelaksanaan Advokasi Non Litigasi
            Sebagaimana diungkapkan terdahulu, bahwa penyelesaian sengketa Non Litigasi adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. Dengan sedikit perubahan dan penyesuaian demi memenuhi kebutuhan dan kepentingan obyek advokasi hukum, bentuk-bentuk advokasi non litigasi yang akan dibahas mekanisme pelaksanaannya antara lain adalah:
  1. Sosialisasi;
  2. Konsultasi;
  3. Negosiasi;
  4. Mediasi.

Ad. 1.  Sosialisasi
               Sosialisasi adalah salah satu bagian advokasi hukum yang dilakukan dengan cara mempublikasikan dan memasyarakatkan norma, kode etik, serta regulasi yang mengatur segala hal-ikhwal PTK-PNF terutama sekali yang berkaitan dengan hak dan kewajiban, status dan peran  K-PNF. Tujuan kegiatan sosialisasi adalah untuk menyadarkan kepada PTK-PNF bahwa konsekuensi atas status yang diembannya menimbulkan sejumlah hak dan kewajiban yang melekat kepadanya. Selain itu sosialisasi juga bertujuan untuk menyerap aspirasi dan harapan serta kebutuhan obyektif anggota PTK-PNF, yang pada saatnya nanti akan diperjuangkan menjadi sebuah kebijakan public.
               Pelaksanaan sosialisasi ini dapat dilaksanakan dengan cara dan frekuensi yang beragam, seperti melalui media elektronik (TV, radio, internet, dll), media cetak (koran, majalah, jurnal, leaflet, booklet dll), penyuluhan dan tatap muka secara langsung denga audiens obyek advokasi dan lain-lain. Begitu pula dengan frekuensi dan durasi sosialisasi bisa sangat bervariasi, yaitu bisa dilakukan setiap dwi mingguan, bulanan maupun pelaksanaannya dikaitkan dengan momen-momen hari –hari besar nasional.
               Sosialisasi dalam pemaknaan yang lain, sesungguhnya proses penyampaian pesan dari komunikan kepada audiens. Oleh karena itu hal-hal  yang perlu dipertimbangkan di dalam memilih media dan bentuk sosialisasi adalah  informasi tentang audiens atau obyek sosialisasi. Ketersedian informasi secara memadai tentang  profil audiens, setidaknya ikut memudahkan proses pemilihan media dan bentuk sosialisasi yang lebih valid dan memiliki hasil yang efektif. Di samping itu faktor yang tak kalah pentingnya untuk berhasilnya proses penyampaian pesan tersebut adalah kemampuan dukungan logistik, baik berupa finansial maupun ketersediaan sumber daya manusia yang memang mendukung untuk kegiatan sosialisasi tersebut.

Ad. 2. Konsultasi
               Memperoleh advis hukum atau nasihat hukum boleh jadi merupakan tujuan utama seseorang (klien) mendatangi dan berkonsultasi kepada seorang penasehat hukum.  Biasanya seseorang yang tengah menghadapi suatu problem hukum, konsultasi adalah tindakan yang dipilih untuk memperoleh informasi mengenai status atau posisi hukumnya, serta berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada dirinya.  Misalnya dalam kasus perdata, seorang klien ingin mengetahui tentang peluangnya untuk menang itu lebih besar, ataukah sebaliknya. Berkenaan  dengan kasus pidana, keingintahuan seorang klien adalah seputar apakah ia bersalah ataukah tidak, jika ia bersalah melakukan tindak pidana apakah bentuk pidananya dan berapa lama. Tak jarang pula, seorang klien merasa sedih setelah berkonsultasi dengan penasehat hukum, karena mengetahui posisi hukum nya lemah, dan begitu pula sebaliknya seorang klien merasa berbung-bungan menakala diinformasikan kepadanya bahwa ia berada pada posisi yang benar dan berpeluang untuk memenangkan perkara.
               Advis hukum yang akurat dan komprehensif biasanya tidak diberikan  dalam waktu yang seketika itu juga, namun terkadang membutuhkan waktu berhari-hari oleh karena masih mencari referensi hukum maupun kelengkapan informasi yang valid. Salah satu upaya memperoleh informasi yang akurat tentang posisi kasus sekaligus peluang seorang klien di dalam suatu kasus, pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh proses konsultasi yang dilakukan oleh si penasehat hukum dengan seorang klien. Dengan kata lain advis hukum yang diberikan sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh proses konsultasi yang dilakukan. Semakin baik dan efektif proses konsultasi itu, maka semakin akurat pula advis hukum yang diberikan.
               Konsultasi itu sendiri pada hakekatnya adalah berbentuk interview atau kegiatan tanya jawab, dialog antara penasihat hukum dengan seorang klien. Oleh karena itu ketrampilan atau teknik interview sebaiknya dimiliki oleh seorang penasihat hukum untuk mengeksplorasi informasi dari klien yang diberikan secara jujur, tidak mengada-ada atau keterangan palsu, terbuka, dan tidak ada rasa khawatir.  Selain kemampuan berkomunikasi dengan klien, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam proses konsultasi, adalah faktor pemilihan waktu serta tempat dilakukannya konsultasi. Tidak selalu konsultasi dilakukan pada jam-jam kerja, atau ditempat kerja, konsultasi dapat juga dilakukan di tempat-tempat lain semisal di lobi hotel, di rumah makan atau di  tempat lainnya yang mendukung seseorang untuk berkomunikasi secara terbuka.
               Selanjutnya aspek penampilan atau performance atau citra diri si pemberi advis hukum, sebaiknya mampu menimbulkan rasa percaya diri seorang klien, bahwa infomasi yang disampaikannya tidak akan dikonsumsi oleh pihak yang tidak berhak dan juga keyakinan bahwa si penasehat hukum adalah orang yang tepat untuk membantu persoalan yang tengah dihadapinya. Selain itu sikap ramah, bahasa tubuh yang menyenangkan misalnya dengan jabatan tangan, sedikit humoris setidaknya perlu dilakukan oleh penasehat hukum, di samping berpakaian yang rapi, setidaknya ikut mempengaruhi proses konsultasi secara terbuka dan efektif.

Ad. 3. Negosiasi dan Negosiasi Hukum
               Agak sulit untuk mendefinisikan konsep negosiasi itu, secara akurat. Kebanyakan oang berbicara dan melakukan negosiasi dan memperoleh hasil yang memuaskan atau mengecewakan dari negosiasi itu, namun mengenai makna persisnya negosiasi itu, mereka menjawab silahka lakukan saja. Sebagian   orang mengatakan bahwa negoisasi adalah sebuah seni bukan suatu ilmu. Tetapi apa persisnya konsep negosiasi itu sendiri, berikut ini salah satu definisi yang dicoba berikan oleh Menkel-Meadow, yakni: “negosiasi adalah perangkat utama untuk memperoleh apa yang anda harapkan dari pihak lain. Sarana komunikasi digunakan untuk mencapai kesepakatan di antara dua pihak yang memiliki kepentingan berbeda, pihak yang satu ingin berbagi sebaliknya pihak lainnya justru menolaknya”. Sementara itu pengertian sederhananya menurut Chambers English Dictionary, negosiasi adalah perbuatan atau perundingan yang dimaksudkan untuk mencapai hasil kesepakatan yang saling menguntungkan (mutual agreement). Berdasarkan rumusan ini, apabila seseorang berbicara dengan orang lain dan bermaksud mencapai kesepahaman, maka itulah negosiasi.
               Adapun karakteistik yang melekat pada pranata negosiasi, setidaknya ada tujuh macam, yakni:
(i)           Negosiasi melibatkan dua pihak atau lebih yang memiliki kepentingan yang sama namun berbeda dalam pelaksanaanya;
(ii)     Masing-masing pihak berangkat dengan opini atau sudut pandang yang berbeda terhadap suatu obyek;
(iii)      Masing-masing pihak berpretensi bahwa negosiasi merupakan cara terbaik untuk menyelesaikan perbedaan di antara mereka;
(iv)Masing-masing pihak berpikir masih terdapat peluang untuk saling berubah posisi;
(v)     Andaikan masing-masing pihak tidak memperoleh hasil maksimal, setidaknya mereka masih mempunyai harapan memperoleh hasil yang memadai;
(vi) Setiap pihak dapat saling mempengaruhi pihak lainnya;
(vii)     Proses negosiasi melibatkan interaksi banyak orang. Negosiasi dilakukan melalui perantaraan seseorang, melalui telpon, surat menyurat dan mungkin semua itu dilakukan secara kombinasi. Oleh karena terkadang bersifat personal atau pribadi, maka unsur emosional dan sikap menjadi faktor penting di dalam negosiasi.
               Sementara itu mengenai negosiasi di bidang hukum agaknya berbeda dengan jenis negosiasi yang biasa dikenal oleh orang awam. Karakteristik spesifik negosiasi hukum  setidaknya menyangkut tiga hal, yakni:
(i)           Penasehat hukum di dalam proses negosiasi berkedudukan sebagai kuasa dari klien, jadi tidak berbicara atas dirinya sendiri;
(ii)         Melakukan persiapan yang memadai, merupakan tahap yang penting di  dalam proses negosiasi;
(iii)       Penasehat hukum terikat oleh seperangkat aturan baik yang bersifat hukum atau undang-undang serta ketentuan kode etik professional.     
         Dalam praktek negosiasi hukum, tidak jarang penasehat hukum melibatkan diri sebagai pihak yang di dalam suatu kasus, yakni menjadi bagian salah satu pihak yang bersengketa. Idealnya kondisi yang demikian sebaiknya harus dihindari, demi menjaga obyektivitas penyelesaian kasus hukum. Dalam konteks hukum, proses negosiasi yang menjadi tujuan utama adalah untuk menyelesaikan masalah, bahkan sesungguhnya tujuan yang lebih utama ketimbang penyelesaian sengketa tersebut adalah pencegahan munculnya sengketa secara riil. Inilah karakter spesifik dua jenis  pekerjaan seorang penasehat hukum, yaitu menggugat dan tidak menggugat.
         Selanjutnya yang perlu disadari adalah, bahwa pengunaan pendekatan hukum di dalam negosiasi memiliki kendala, yaitu:
(i)                 Penasehat hukum harus yakin bahwa cara yang sudah ditempuh adalah sudah tepat dan benar. Oleh karena itu penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman akan teori hukum di balik penerapan hukum dalam praktek adalh mutlak dibutuhkan;
(ii)              Penasehat hukum harus menyadari bahwa peraturan perundang-undangan atau hukum positif lah yang akan diterapkan di dalam negosiasi. Hukum maupun hakim di pengadilan akan menghukumi sengketa yang dinegosiasikan selalu dalam koridor hukum. Hal demikian tentu saja tidak dijumpai dalam konteks negosiasi di luar hukum, artinya negosiasi tersebut tetap dapat berjalan dan diselesaikan dengan norma-norma kesepakatan atau pun norma sosial lainnya.

         Ad.4. Mediasi
            Secara teknis, mediasi dapat dijelaskan  sebagai suatu proses di mana pihak ketiga yang bersikap netral, atau kerap disebut mediator, membantu menyelesaikan masalah terhadap dua atau lebih pihak yang bersengketa, dengan memfasilitasi negosiasi di antara mereka.
         Mediasi menjadi begitu menarik sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa yang dapat bekerja secara efektif, manakala para pihak masih beharap hubungan baik di antara keduanya masih teap terjaga. Hal demikian jarang dijumpai manakala penyelesaian sengketa tersebut dibawa ke pengadilan. Belum lagi pertimbangan pengeluaran uang, waktu dan tenaga yang dicurahkan di dalam persidangan di pengadilan, maka mediasi sebagai instrumen yang fleksibel meniadakan hal-hal yang demikian itu.
          Menurut Michael Noone, terdapat sejumlah karakteristik mediasi sebagai altenatif dari proses litigasi, yaitu:
(i)           assesible atau mudah dijangkau dan dilakukan oleh setiap orang. Mediasi tidak mensyaratkan adanya posedur yang ketat;
(ii)        Sukarela (voluntary) , artinya setiap orang  yang mengambil bagian di dalam mediasi dapat bersetuju untuk melakukan sesuatu, dan dapat pula mengundurkan diri sewakatu-waktu;
(iii)      Bersifat rahasia (confindential), oleh karena masing-masing pihak butuh keamanan untuk  berbicara tentang segala sesuatu secara terbuka, maka setiap proses tawar menawar di dalam mediasi besifat rahasia;
(iv)      Fasilitatif, artinya mediasi menggunakan pendekatan pemecahan masalah secara kreatif yang akan ditawarkan oleh mediator. Oleh karena itu mediator harus menjaga ketidakberpihakan dan senantiasa membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan.
         Selanjutnya tentang kemahiran atau ketrampilan yang dibutuhkan dan harus dikuasai oleh seorang mediator yang efektif, meliputi antara lain:
(i)                 Ketrampilan negosiasi;
(ii)              Membangun kepercayaan para pihak;
(iii)            Menjaga netralitas;
(iv)            Menjaga ketidakberpihakan;
(v)               Memfasilitasi proses mediasi;
(vi)            Mengontrol para pihak dan jalannya mediasi;
(vii)          Bersikap adaptif;
(viii)       Menjadi pendengar yang baik;
(ix)             Kemampuan mengajukan pertanyaan yang sesuai;
(x)               Memiliki pengetahuan khusus.
         Dalam praktek acapkali pelaksanaan mediasi oleh mediator tidak berjalan dengan mulus oleh karena mediator melanggar etika mediasi, yaitu:
(a) mediator mengalami conflict of interest;
(b) gagal menjaga kerahasiaan para pihak; dan
(c) bersikap tidak impartial alias memihak salah satu pihak.
         Sementara itu mengenai keuntungan mediasi antara lain:
(i)       Mediasi menunjukkan keberhasilan di dalam penyelesaian sengketa dengan
       mencapai rata-rata 75%-95%;
(ii)     Proses mediasi biasanya berjalan secara fair;
(iii)  Dapat dijalankan secara informal;
(iv)  Bersifat kreatif;
(v)     Proses mediasi bersifat informative;
(vi)  Bersifat cepat dan tidak berbelit-belit;
(vii)                Dapat memuaskan semua pihak;
(viii)       Biayanya murah;
(ix)   Bersifat rahasia;
(x)     Dialog, diskusi di dalam mediasi tidak diselimuti prasangka;
(xi)   Para pihak masuk dalam mediasi bersikap sukarela;
(xii)Para pihak lebih bisa mengontrol jalannya mediasi;
(xiii)          Bersifat menyenangkan, karena tidak terikat tempat dan waktu;
(xiv)        Dapat digunakan untuk beragam jenis sengketa.

        Sementara itu tentang kerugian menggunakan mediasi dalam proses penyelesaian sengketa, yaitu:
(i)         kendati hasil kesepakatan melalui mediasi bersifat mengikat, namun belum
        mempunyai kekuatan eksekutabel sebagaimana kekuatan putusan
        pengadilan;
(ii)      Seluruh pihak harus bersetuju untuk melakukan mediasi;
(iii)    Dalam beberapa kasus mediasi tidak dapat berjalan efektif ketika salah satu
        pihak melakukan keputusan untuk memindahkan asetnya ke luar negeri;
(iv)    akibat proses mediasi yang singkat, hasil yang diharapkan terkadang tidak
        sesuai dengan harapan;
(v)       Membutuhkan waktu yang tepat untuk membuat kesepakatan di dalam
        proses mediasi.

        

              













BAB IV
PELAKSANAAN MONITORING DAN EVALUASI
ADVOKASI HUKUM

Monitoring dan Evaluasi adalah serangkaian kegiatan perancangan monitoring, perumusan indikator  advokasi hukum, penetapan target advokasi hukum, pengumpulan data pelaksanaan dan evaluasi kinerja pelaksanaan advokasi Hukum .

A. Prinsip Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi
Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi setidaknya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Tujuan dan hasil Monitoring dan Evaluasi jelas;
2.      Pelaksanaan dilakukan secara objektif;
3.      Dilakukan secara terbuka (transparan);
4.      Pertisipatif, artinya melibatkan berbagai pihak yang dipandang perlu secara proaktif;
5.      Akuntabel, artinya pelaksanaannya harus dapat dipertanggung jawabkan secara internal dan eksternal;
6.      Komperhensif, yaitu mencakup seluruh objek agar dapat menggambarkan secara utuh kondisi dan situasi sasaran Monev;
7.      Berkesinambungan, yaitu dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan;
8.      Efektif dan efisien, artinya target Monev harus dicapai dengan menggunakan sumber daya yang ketersediannya terbatas dan sesuai dengan yang direncanakan.

B.     Metode Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi (Monev) adalah kegiatan yang dilakukan untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program advokasi hukum  yang telah disusun dan dilakukan pada tahap pelaksanaan maupun pada tahap akhir advokasi hukum  secara keseluruhan. Melalui Monev dapat diketahui berbagai hal yang berkaitan dengan tingkat pencapaian tujuan (keberhasilan), ketidak berhasilan, hambatan, tantangan, dan ancaman tertentu dalam mengelola dan menyelenggarakan program pemberian advokasi hukum bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal.  
Kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan program pemberian advokasi hukum bagi PTK-PNF meliputi analisa kapasitas atau kemampuan LKBH sebagai organisasi penyelenggara dalam mengelola dana program serta analisa efektivitas pelaksanaan advokasi hukum. Analisa kapasitas organisasi penyelenggara dalam mengelola dana program dilakukan melalui pendekatan terhadap : sumber daya manusia yang menangani advokasi hukum, sarana dan prasarana yang mendukung organisasi penyelenggara advokasi hukum, beban kerja personil yang terlibat dalam advokasi hukum.
               Metode pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi dilakukan dengan menganalisa efektivitas pelaksanaan advokasi hukum yaitu mengumpulkan informasi apakah pelaksanaan program telah tepat mengenai kelompok sasaran atau tidak. Analisa efektivitas pelaksanaan advokasi hukum. juga mencari tahu apa saja manfaat yang diperoleh kelompok sasaran dari dilaksanakannya advokasi hukum pada PTK-PNF.

C. Instrumen Monitoring dan Evaluasi Advokasi Hukum
Pengumpulan informasi dilakukan dengan cara, antara lain:
(1)  Penyebaran quisioner atau angket kepada kelompok sasaran,  yakni anggota PTK-PNF di wilayah propinsi masing-masing dengan menggunakan metode random sampling, yaitu pengambilan data dilakukan secara acak dengan mengambil sample di berbagai daerah sebaran PTK-PNF di masing-masing propinsi, sampai diperkirakan cukup merepresentasikan data dari seluruh kelompok sasaran;
(2) Menggunakan metode interview terhadap responden yang dipilih secara purposif , yakni antara lain: pengurus asosiasi PTK-PNF, dan juga para anggota PTK-PNF yang pernah memperoleh advokasi hukum;
(3) Melakukan observasi ke lokasi di mana anggota dan pengurus PTK-PNF berdomisili;
(4) Menggunakan metode dokumentasi, baik berupa dokumen surat maupun dokumen lainnya, termasuk di dalamnya dokumen elektronik.





















BAB V
PENUTUP

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu dapatlah disimpulkan bahwa   pranata advokasi hukum itu sesungguhnya jauh lebih luas daripada   pranata mediasi yang dapat berbentuk konsultasi, negoisasi, arbitrasi dan konsiliasi, yang penekenannya adalah penyelesaian sengketa sebelum atau di luar pengadilan. Advokasi hukum selain dapat dimaknai sebagai mediasi itu sendiri atau yang kerap disebut sebagai pranata non litigasi,   juga mencakup pranata litigasi yakni penyelesaian sengketa yang ditransformasikan lewat jalur pengadilan.
Sejumlah persyaratan yang sangat dibutuhkan di dalam melakukan advokasi hukum, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari kemampuan pihak advokasi hukum di dalam memahami konfigurasi hukum yang sedang berlaku atau bersifat kekinian. Oleh karena itu tak dapat dipungkiri,  memiliki latar belakang pendidikan yang berbasis hukum tentunya sangat membantu dan memudahkan di dalam proses advokasi. Selain itu, sejumlah faktor lain yang ikut menentukan sukses tidaknya sebuah advokasi tentu saja melibatkan faktor non yuridis, semisal faktor persiapan, faktor logistik, faktor sumber daya manusia dan yang tak kalah pentingnya adalah faktor obyek advokasi  (klien) itu sendiri. Artinya keakuratan keterangan yang diungkapkan oleh klien, dan juga sikap keberanian dan daya tahan klien di dalam menjalani proses advokasi, kerap menjadi faktor motivasi dan validasi pihak pemberi advokasi hukum.
Selanjutnya mengenai kegamangan yang selama ini menggelayuti fikiran lembaga bantuan hukum (LKBH) yakni, keraguan dan kekhawatiran untuk melakukan advokasi hukum dalam bentuk litigasi di pengadilan, karena tidak memiliki surat ijin praktek atau bukan sebagai profesional advokat. Keraguan dan kekhawatiran yang demikian ini sangat beralasan, sebab  Pasal 31 UU Advokat yang isinya mengkriminalkan individu atau lembaga advokasi hukum yang berpraktek namun tidak berijin sebagai advokat, kerap digunakan pihak kuasa hukum  yang berprofesi advokat untuk mengusir atau setidaknya mengajukan keberatan kepada majelis hakim, bahwa pihak lawan tidak berhak beracara di pengadilan. Namun  sejak dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Pasal 31 UU Advokat tersebut, maka tak pelak keraguan dan kekhawatiran tadi saat ini sungguh tidak beralasan sama sekali.
Ketrampilan, kemahiran dan kepiawaian melakukan advokasi hukum harus disadari tidak datang begitu saja dan bersifat instant, namun hal demikian diperoleh melalui proses panjang bahkan tidak berkesudahan. Artinya kepiawaian itu akan menjadi terinternalisasi kalau pihak pemberian advokasi bersedia menjadi manusia pembelajar dan sabar. Di samping itu ada bekal lain yang perlu dimiliki pemberi advokasi hukum terutama bagi mereka yang masih minim pengalaman, yakni keberanian untuk berbuat dan sekaligus keberanian untuk mengakui kesalahan. Sebagaimana ungkapan bijak mengatakan: Don’t be afraid with mistake, the man who does no make mistake, it’s means he doesn’t anything. Allahu bissawab.

DAFTAR PUSTAKA

Valeri Miller dan Jane Covey, Pedoman Advokasi: Perencanaan, Tindakan, dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum Di Indonesia, LP3ES, 2007
Fiona Boyle, et al., A Practical Guide to Lawyering Skills, Cavendish Publishing Limited, Londo. Sidney, 2002


LAMPIRAN: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara
    PUU/006/2004

PUTUSAN
 
P   U   T  U   S  A  N
Perkara Nomor 006/PUU-II/2004

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam  permohonan pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003  tentang Advokat (selanjutnyanya disebut UU No. 18 Tahun 2003) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diajukan oleh:
1.  Tongat, SH. M.Hum,    Pekerjaan: Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Jabatan: Kepala Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum  UMM; Pangkat/Golongan: Lektor/IIIc; Alamat Rumah: Dawuhan RT 16 RW 05 Desa Tegal Gondo, Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang-Jawa Timur;
2. Sumali, SH, MH.           Pekerjaan:           Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Jabatan: Sekretaris Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum  UMM; Pangkat /Golongan: Lektor/IIId; Alamat Rumah: Jalan Perum IKIP Tegal Gondo, 3 F/19 Kabupaten Malang-Jawa Timur;
3. A. Fuad, SH,MSi            Pekerjaan: Dosen           Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jabatan: Staf Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang; Pangkat/ Golongan: Lektor/IIId, alamat Rumah: Jl. Kelud Gang I Nomor 37 RT 01 RW 01 Desa Pendem Kec. Junrejo Kota Batu-Jawa Timur;
berdasarkan Surat Kuasa Khusus  bertanggal 1 Maret 2004, ketiganya bertindak untuk dan atas nama Drs. Muhadjir Effendy, MAP, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. Untuk selanjutnya telah memilih kediaman hukum (domisili) di kantor Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH)  UMM, Alamat Jl.Raya Tlogomas Nomor 246 Malang-Jawa Timur; Telp. (0341) 464318, 464319. Untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon ;
            Telah membaca surat permohonan Pemohon;
            Telah mendengar keterangan Pemohon;
            Telah mendengar keterangan dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia baik yang diajukan didalam persidangan maupun secara tertulis yang disampaikan melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi R.I; -
            Telah memeriksa bukti-bukti dan mendengarkan keterangan dari pihak-pihak terkait;
DUDUK PERKARA
            Menimbang, bahwa Pemohon dalam permohonannya bertanggal 10 Maret 2004 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut  Mahkamah) pada  tanggal 25 Maret 2004  dan telah diregistrasi   pada   tanggal  30 Maret 2004  Jam 10.45 WIB dengan Nomor 006/PUU-II/2004 yang  telah diperbaiki dan  telah disampaikan melalui kepaniteraan Mahkamah Kontitusi pada tanggal 7 Juli 2004   jam 10.25 WIB, telah mengajukan permohonan pengujian UU No. 18 Tahun 2003 terhadap UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya  sebagai berikut:
1.            Bahwa rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000 000,00 (lima puluh juta) rupiah”;
2.            Bahwa pada bagian Penjelasan UU No. 18 Tahun 2003. Pada alinea ketiga bagian Umum Penjelasan UU Advokat menyebutkan: “Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negoisasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan”;
3.            Bahwa rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 yang berisi ancaman pidana tersebut sangat diskriminatif dan tidak adil, serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon;
4.            Bahwa dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tersebut, pihak Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM, tidak dapat menyelenggarakan lagi aktivitasnya di bidang pelayanan hukum kepada masyarakat, baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi. Oleh karena Undang-undang Advokat tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai peran perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum secara murah.  Jelasnya Undang-undang Advokat ini hanya mengakui profesi Advokat an-sich yang memiliki otoritas di dalam pelayanan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan;
5.            Bahwa pada saat sebelum lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM sebagai institusi nir laba (non profit oriented) telah memainkan peran penting di dalam advokasi hukum kepada masyarakat yang tidak mampu, baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi. Dalam pada itu, legalitas institusi Laboratorium Konsultasi  dan Pelayanan Hukum (LKPH) UMM di dalam menjalankan aktivitasnya di bidang advokasi hukum didasarkan pada Persetujuan Kerjasama antara Pengadilan Tinggi Jawa Timur dengan Universitas Muhammadiyah Malang Mengenai Bantuan Hukum No. 04/KEP/KPT/VIII/2000- No. E.6.J/756/UMM/IX/2000. Namun sejak UU No. 18 Tahun 2003 ini lahir, praktis peran advokasi dari Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM menjadi vacuum. Hal ini disebabkan tidak ada institusi yang ditunjuk secara eksplisit oleh Undang-undang Advokat yang memberi legitimasi kepada perguruan tinggi hukum untuk memberikan Bantuan hukum khususnya bagi golongan masyarakat yang kurang mampu ;
6.            Bahwa sebagaimana diketahui bersama, selama ini Pemohon yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum secara personal dan sekaligus secara struktural sebagai pengelola Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM  telah menjalankan proses pendidikan profesi terhadap mahasiswa Fakultas Hukum berdasarkan kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum yang antara lain mewajibkan penyelenggara pendidikan tinggi Hukum untuk melatih ketrampilan hukum mahasiswa melalui kegiatan praktisi hukum atau lebih popular dengan istilah pendidikan hukum klinis;
7.            Bahwa keberadaan Lembaga Bantuan Hukum di Perguruan Tinggi sebagai Laboratorium Hukumnya Fakultas Hukum yang berfungsi untuk melatih praktik kemahiran hukum dan sekaligus berfungsi memberikan pelayanan hukum bagi golongan masyarakat yang kurang mampu, adalah sangat sesuai dengan Surat MA No.MA/SEK/034/II/2003 tentang Ijin Praktek Bantuan Hukum Bagi Lembaga Hukum Fakultas/Sekolah Tinggi Hukum yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia;
8.            Bahwa sebagaimana diketahui, berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan nasional, pada Pasal 20 ayat (3) menyebutkan: “Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan vokasi”.  Sementara itu pada Pasal 21 ayat (1) menegaskan “Perguruan Tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya”. Berdasarkan kedua pasal itu, sesungguhnya proses penyelengaraan pendidikan Fakultas Hukum UMM yang sudah terakreditasi oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan status Unggul, secara legal dan absah memiliki otoritas dan kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan profesi hukum;
9.            Bahwa sementara itu dalam rangka mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya bidang Pengabdian Masyarakat sebagai aktualisasi dari Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 yang berbunyi: “Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat”, Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM sejauh ini menerjemahkan amanat tersebut dengan melakukan kegiatan berupa konsultasi, advokasi dan litigasi terhadap berbagai elemen masyarakat yang membutuhkan keadilan (justitiabelen) ;
10.        Bahwa dengan lahirnya ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu, maka seluruh aktifitas LKPH UMM yang dipimpin oleh Pemohon, tidak memungkinkan lagi untuk dijalankan secara regular dan profesional. Oleh karena aktivitas Pemohon dapat ditafsirkan sebagai kegiatan yang seolah-olah menyerupai profesi Advokat. Penafsiran demikian ini dapat dirujuk pada alinea ketiga bagian Penjelasan UU No. 18 Tahun 2003;
11.        Bahwa implikasi dari hal demikian ini, Pemohon secara psikologis menjadi tidak tenang dan tidak konsentrasi didalam menjalankan profesinya sebagai dosen Fakultas Hukum UMM dan jabatannya sebagai   pimpinan   LKPH UMM. Pada akhirnya beban psikologis ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan proses pendidikan menjadi terganggu dan mengorbankan kepentingan mahasiswa;
12.        Bahwa salah satu bentuk kerugian riil yang pernah dialami oleh LKPH UMM pada saat melakukan pendampingan kepada klien di Kepolisian Resort Malang. Kuasa hukum dari LKPH UMM tidak dapat meneruskan pendampingan klien, disebabkan tidak dapatnya kuasa hukum LKPH menunjukkan identitas Advokat yang diminta oleh  penyidik. Sementara itu izin praktek bantuan hukum yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur sudah habis masa berlakunya;
13.        Bahwa Pemohon berkeyakinan, rumusan atau materi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu dibuat dalam suasana euphoria reformasi hukum, sehingga melupakan akal sehat (common  sense). Lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 yang memberikan pengakuan terhadap eksistensi profesi Advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum,  justru mengabaikan fakta historis empiris yang sudah berjalan selama ini, yaitu bahwa lembaga Perguruan Tinggi Hukum memiliki otoritas untuk menyelenggarakan pendidikan profesi hukum. Sementara itu Pemohon juga berkeyakinan munculnya ketentuan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 lebih dipengaruhi oleh bayangan ketakutan yang tidak berdasar akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki advokat terutama dari klien yang akan ditanganinya. Dengan perkataan lain Undang-undang Advokat ini secara sistematis berusaha mereduksi dan menihilkan peran dan eksistensi pihak-pihak di luar profesi advokat, serta secara transparan dan arogan mewujudkan terjadinya monopoli profesi. Sungguh ironis, jika diingat bahwa profesi advokat yang mengklaim dirinya sebagai officium nobile dan tidak mengedepankan profit oriented, ternyata telah mengkhianati nilai-nilai luhur sikap profesionalisme-nya. Dan yang lebih menyedihkan, justru korban yang dirugikan oleh ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, tidak lain dan tidak bukan adalah lembaga perguruan tinggi hukum yang nota bene telah mengantarkan dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap kaum advokat untuk menjadi sosok profesional melalui proses edukasi hukum selama ini;
14.        Bahwa sangat jelas diketahui pembuatan UU No. 18 Tahun 2003 secara materiil tidak dapat dikategorikan sebagai produk Undang-undang yang baik. Oleh sebab Undang-undang Advokat ini belum memenuhi sejumlah persyaratan ideal, sebagaimana layaknya sebuah peraturan undang-undang yang baik. Buktinya didalam UU No. 18 Tahun 2003 tidak mengakomodasi prinsip pengecualian (exception) sebagaimana dianut didalam system hukum manapun (there is no law without  exception). Sebagai komparasi di dalam sistim perundang-undangan nasional yang ada, dapat diambil sebagai contoh kongkret dianutnya prinsip pengecualian tersebut, yaitu Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak cipta, terutama dapat dilihat pada Pasal 14, 15 dan 16;
15.        Bahwa dengan adanya ketentuan pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, maka Pemohon yang saat ini berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum UMM dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan LKPH UMM merasa dirugikan hak konstitusional Pemohon, yakni berupa hak asasi di dalam hukum dan pekerjaan. Sebagai warga Negara yang bekerja di dunia akademik sekurang-kurangnya selama lebih dari 12 (dua belas) tahun, Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas dicantumkannya ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2003 yang secara tegas sangat diskriminatif dan tidak adil. Jelasnya ketentuan tersebut bertentangan dengan isi rumusan Pasal 28C ayat (1);(2); dan Pasal 28D ayat (1); (3); serta Pasal 28I ayat (2) Perubahan ke-2 UUD 1945. Adapun bunyi Pasal 28C ayat (1) adalah:” setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan hidup umat manusia”. Sedangkan pada ayat (2) berbunyi: “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Selanjutnya pasal 28D ayat (1) menegaskan: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum”. Sedangkan pada ayat (3) menyebutkan: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Dalam pada itu Pasal 28I ayat (2) menegaskan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”;
16.        Bahwa dasar permohonan Pemohon untuk mengajukan uji materiil atas Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 terhadap UUD 1945 yang telah Pemohon uraikan tersebut di atas adalah berdasarkan  Pasal 28C ayat (1);(2); dan Pasal 28D ayat (1); (3); serta Pasal 28I ayat (2) Perubahan ke-2 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon agar Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 24C UUD 1945 jo. Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berkenan memeriksa permohonan Pemohon dan memutuskan sebagai berikut:
1.      Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
2.      Menyatakan isi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang ancaman pidana terhadap siapapun yang bukan Advokat menjalankan aktivitas atau bertindak seolah-olah Advokat, bertentangan dengan UUD 1945;
3.      Menyatakan isi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang ancaman pidana terhadap siapapun yang bukan advokat menjalankan aktivitas atau bertindak seolah-olah Advokat, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM dan atau semua Lembaga Bantuan Hukum di Perguruan Tinggi Hukum di seluruh Indonesia; 
4.      Mohon keadilan yang seadil-adilnya;
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil dalam permohonannya  Para Pemohon telah melampirkan bukti-bukti  yang berupa:
1.      Bukti P-1: Fotokopi Surat Kuasa Khusus Rektor UMM, Drs. Muhadjir Effendy, MAP;
2.      Bukti P-2      :  Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor E.2.b/819/UMM/2000 Tentang Pengangkatan tenaga Dosen Tetap Universitas Muhammadiyah Malang atas nama Sumali, SH;
3.      Bukti P-3      :  Fotokopi surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20358/A.2.IV.1/C/1994, atas nama Tongat, SH;
4.      Bukti P-4      :  Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor E.2/1651/UM/X/1989 Tentang Pengangkatan tenaga Dosen Universitas Muhammadiyah Malang atas nama Ahmad Fuad, SH, Msi;
5.      Bukti P-5:        Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor. 242/SK-ST/VIII/2003 Tentang Pengangkatan Kepala LKPH-UMM atas nama Tongat, SH. M.Hum;
6.      Bukti P-6:        Fotokopi surat keputusan Rektor UMM Nomor. 243/SK-ST/VIII/2003 Tentang Pengangkatan Sekretaris LKPH-UMM atas nama Sumali, SH.MH;
7.      Bukti P-7:     Fotokopi Surat Dekan Fak. Hukum UMM Nomor.E.2e/0167/FH-UMM/V/2003 kepada A. Fuad Usfa, SH.M.Si sebagai Koordinator Pembela Umum PKPH/LKPH Fak. Hukum UMM; --
8.      Bukti P-8      : Fotokopi Statuta Universitas Muhammadiyah Malang Tahun 2001;
9.      Bukti P-9      :  Fotokopi perpanjangan Persetujuan Kerjasama Antara Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya dengan Universitas Muhammadiyah Malang Mengenai Bantuan Hukum No. 04/Kep/KPT/VII/2000–No. E.6.j/756/ UMM/ IX/ 2000;
10.  Bukti P-10    :  Fotokopi Surat Mahkamah Agung  RI Nomor: MA/SEK/o34/II/2003;
11.  Bukti P-11:   Fotokopi Surat Kuasa sebagai Kuasa Hukum dari Klien LKPH–FH UMM;
12.  Bukti P-12:   Fotokopi Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor: 036/BAN-PT/AK-VII/SI/X/2003 tentang Hasil dan Peringkat Akreditasi program Studi untuk program sarjana di Perguruan Tinggi;
13.  Bukti P-13:   Fotokopi Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945;
14.  Bukti P-14    : Fotokopi UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat ;
15.  Bukti P-15:   Fotokopi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
16.  Bukti P-16: Fotokopi Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta;
17.  Bukti P-17    : Surat tanggal 30 Oktober 2002 Nomor 01./IBBH/2002 dari Ikatan Biro bantuan (IBBH) Perguruan Tinggi Malang perihal Ijin Praktik Instruktur Kemahiran Hukum BKBH/BBH Perguruan Tinggi se Malang;
18.  Bukti P-18    : Kesepakatan dan Tuntutan Bersama BKBH/BBH Perguruan Tinggi se-Malang;
19.  Bukti P-19    : Fotocopy artikel “Tersandung Pasal ‘Seolah-olah’ dari Majalah Tempo Edisi 12 september 2004;
Menimbang, bahwa  disamping mendengarkan keterangan Para Pemohon,  dipersidangan juga telah didengar keterangan tertulis Pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, S.H Direktur Jenderal Perundangan-undangan yang mewakili Menteri Kehakiman dan HAM R.I selaku Kuasa dengan hak subsitusi dari Presiden R.I,  yang pokoknya sebagai berikut:
1.    Bahwa pada surat permohonannya, Pemohon yang menyatakan rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 yang berisi ancaman pidana tersebut sangat diskriminatif dan tidak adil serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon, dengan alasan vang pada pokoknya sebagai berikut:
a.       Bahwa dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tersebut, pihak Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM, tidak dapat menyelenggarakan lagi aktivitasnya di bidang pelayanan hukum kepada masyarakat baik dalam bentuk Litigasi maupun non Litigasi;
Oleh karena Undang-undang Advokat tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum secara murah;
Jelasnya Undang-undang Advokat ini hanya mengakui profesi Advokat ansich yang mewakili otoritas di dalam pelayanan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan;
b.      Bahwa dengan lahirnya Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu maka seluruh aktivitas LKPM UMM yang dipimpin oleh Pemohon, tidak memungkinkan lagi dijalankan secara reguler dan profesional. Oleh karena aktivitas Pemohon dapat ditafsirkan sebagai kegiatan yang seolah-olah menyerupai profesi Advokat. Penafsiran demikian ini dapat dirujuk pada alinea ke tiga bagian Penjelasan UU No. 18 tahun 2003;
c.       Bahwa Pemohon berkeyakinan rumusan atau materi Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 itu di buat dalam suasana ephoria reformasi hukum, sehingga melupakan akal sehat (common sense);
Lahirnya UU No. 18 Tahun 2003, yang memberikan pengakuan terhadap eksistensi profesi Advokat sebagai salah satu pilar penegakan hukum, justru mengabaikan fakta historis empiris yang sudah berjalan selama ini, yaitu bahwa Lembaga Perguruan Tinggi Hukum memiliki otoritas untuk menyelenggarakan pendidikan profesi hukum;
Sementara itu Pemohon juga berkeyakinan munculnya ketentuan Pasal 31 Undang-­undang Nomor 18 Tahun 2003 lebih dipengaruhi oleh bayangan ketakutan yang tidak berdasar akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki Advokat terutama dari klien yang akan ditanganinya;
d.      Bahwa dengan adanya ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, maka Pemohon yang saat ini berprofesi sebagai Dosen Fakultas Hukum UMM sekaligus menjabat sebagai pimpinan LKPH-UMM merasa dirugikan hak konstitusional Pemohon, yakni berupa hak asasi di dalam hukum dan pekerjaan. Sebagai warga negara yang bekerja di dunia akademik sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun;
Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas dicantumkannya ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 secara tegas sangat diskriminatif dan tidak adil;
Jelasnya ketentuan tersebut bertentangan dengan isi rumusan Pasal 28 C ayat (1) (2) dan Pasal 28 D ayat (1); (3); serta Pasal 28 1 ayat (2) Perubahan ke 2 UUD 1945;
2. Pemerintah tidak sependapat dengan argumen-argumen Pemohon dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003, menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah);
Dari ketentuan tersebut terdapat beberapa unsur yang harus dapat dipenuhi agar orang dapat dipidana, yakni:
    1. dengan sengaja;
    2. menjalankan pekerjaan profesi Advokat;
    3. bertindak seolah-olah sebagai Advokat;
    4. tetapi bukan Advokat;
b. Ketentuan di atas hanya ditujukan kepada orang mengaku-aku atau berpura-pura sebagai Advokat atau profesi Advokat, padahal pelaku yang bersangkutan bukan Advokat;
Dengan demikian Pemerintah dapat menjelaskan bahwa titik berat Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 adalah mengenai larangan bagi orang yang mengaku-aku sebagai Advokat sedangkan profesi sebenarnya bukanlah Advokat seperti yang diatur oleh Undang-undang ini, bukan bagaimana ia bertugas dan berfungsi sebagai Advokat. Jika yang bersangkutan menjadi Advokat, maka berlaku ketentuan Pasal 3 ayat (1) yakni bahwa yang bersangkutan tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara sehingga pada saat yang bersangkutan diangkat menjadi Advokat, maka ia bukan lagi berkedudukan sebagaimana yang dilarang oleh Pasal 3 ayat (1) tersebut, yang dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan larangan bagi aktivitas yang dilakukan oleh Pemohon dalam Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, yang dikhawatirkan oleh Pemohon; --
c. Berkaitan dengan itu Pemerintah dapat menjelaskan pula bahwa ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tidak ada kaitannya pemberian bantuan hukum murah oleh karena hal tersebut diatur secara tersendiri pada Pasal 22 UU No. 18 Tahun 2003 yang mengatur tentang bantuan hukum cuma-cuma yang diwajibkan kepada Advokat kepada pencari keadilan yang tidak mampu, sedangkan persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma akan di atur Iebih Ianjut dengan Peraturan Pemerintah. Sehingga argumen Pemohon adalah tidak beralasan yang menganggap Undang-undang ini tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum, secara murah. Selain dari pada itu Pemerintah berpendapat bahwa mengenai seluk beluk yang mengatur perguruan tinggi sudah ada ketentuannya secara tersendiri yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
d. Dengan demikian Pemerintah dapat menjelaskan bahwa segala argumen dan fakta selebihnya yang diajukan oleh Pemohon tidak perlu ditanggapi satu persatu karena apa yang disampaikan Pemohon tidak ada relevansinya dan tidak membuktikan adanya pelanggaran hak-hak konstitusional Pemohon;
3. Berdasarkan keseluruhan penjelasan diatas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak melanggar hak-hak konstitusional Pemohon;
Kesimpulan;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap UUD 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1.    Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai Legal Standing;
2.    Menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima;
3.    Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4.    Menyatakan Pasal 31 Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak bertentangan dengan UUD 1945;
5.    Menyatakan bawha Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tetap mempunyai kekuatan hukum dan tetap berlaku di seluruh wilayah Indonesia;
Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat R.I, telah  menyampaikan pula keterangan tertulisnya  yang disampaikan melalui Kepaniteraan Mahkamah pada hari Selasa tanggal 7 September 2004 yang pada pokoknya  menerangkan sebagai berikut: 
I. Mengenai Syarat Permohonan
1. Hak dan/atau kewenangan Konstitusional Pemohon:
a. Bahwa permohonan diajukan untuk melaksanakan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (1); ayat (2); dan Pasal 28D ayat (1); (3) UUD 1945;
b. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak danlatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yaitu:
1)            perorangan warga negara Indonesia;
2)           kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang;
3)            badan hukum publik atau privat; atau;
4)            lembaga Negara;
c. Bahwa para pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia, yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (setidak-tidaknya Pemohon I berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20358/A2.IV.I/C/1994 jo. Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan RI No. 045/Kop.VII/C.I/1996) yang menjabat sebagai Staf Laboratorium dan Konsultasi Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, karenanya adalah patut dan layak secara hukum agar pemohon mengacu pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk mengajukan pengujian Pasal 31 Undang-undang No. 18 Tahun 2003 terhadap UUD 1945;
2. Syarat Formalitas Permohonan:
a.       Bahwa permohonan Pemohon tidak menguraikan dengan jelas tentang hak­hak konstitusional yang dilanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b.      Bahwa permohonan Pemohon mengenai Pasal yang mengatakan bahwa Pasal 31 Undang-undang No. 18 Tahun 2003 adalah bukan hak konstitusional yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Berdasarkan uraian di atas permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 karenanya permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima;
II. Mengenai Pokok Materi Permohonan;
1)      Bahwa Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: " Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah;
2)      Bahwa ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 merupakan konsekuensi dari rumusan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.       warga negara Republik Indonesia;
b.      bertempat tinggal di Indonesia;
c.       tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat Negara;
d.      berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh) lima tahun;
e.       magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
f.        tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g.       berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi;
3)      Bahwa ketentuan Pasal 3 dan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 merupakan persyaratan yang lazim dan perlu bagi setiap profesi, baik berdasarkan keahlian dan ketrampilan, maupun untuk pertimbangan kepastian dan perlindungan kepentingan masyarakat, serta kepentingan negara dalam kaitannya dengan ketentuan larangan jabatan rangkap atau bagi pejabat negara dan pegawai negeri sipil;
4)      Bahwa persyaratan untuk di angkat menjadi Advokat, tidak berarti bertentangan atau tidak dapat dimaknai bertentangan dengan isi rumusan pasal 28C ayat (1); (2); dan pasal 28D ayat (1); (3) UUD 1945, karena persyaratan tersebut tidak lain dimaksudkan untuk memenuhi ketentuan bahwa (pelaksanaan) hak asasi manusia tidak berarti tanpa pembatasan atau pengaturan, tetapi harus memperhatikan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrartis sebagaimana yang tertuang Pasal 28 J UUD 1945;
5)      Bahwa Undang-undang No. 18 Tahun 2003 mengatur profesi Advokat, bukan mengatur kegiatan Lembaga Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum, oleh karena itu ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tidak dapat dimaknai membatasi apalagi melarang kegiatan pendidikan dan upaya mencerdaskan bangsa yang dilakukan oleh lembaga tersebut di setiap Fakultas Hukum Universitas atau lembaga-lembaga sejenis lainnya;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami berpendapat bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon yang menyatakan bahwa Ketentuan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 bertentangan dengan pasal 28C ayat (1); (2); dan pasal 28D ayat (1); (3) UUD 1945 tidak beralasan, karena itu permohonan harus dinyatakan ditolak; -
Menimbang, bahwa disamping memeriksa bukti-bukti, mendengarkan keterangan Pemohon, Pemerintah dan DPR sebagaimana tersebut di atas Mahkamah juga memandang perlu untuk mendengar keterangan dari pihak-pihak terkait baik dari organisasi advokat maupun dari lembaga bantuan hukum perguruan tinggi dan non perguruan tingggi yaitu:
1.        Komite Kerja Advokat Indonesia yang diwakili oleh Dr. Teguh Samudera, S.H, MH, Hari Pontoh, SH  dan Hasanuddin  Nasution, S.H. pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
-          Bahwa  sangat tidak benar dalih yang menyatakan rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat sangat diskriminatif  dan tidak adil serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon. Karena Undang-undang Advokat lahir dan ada semata-mata untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan yang tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan kita yang berlaku. Juga Undang-undang Advokat itu lahir untuk memberi landasan yang kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat, sebagai pemenuhan amanat Pasal 38 Undang-undang  Nomor 14 tahun 1970 Jo.  35 tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
-          Bahwa Undang-undang Advokat lahir untuk mengatur berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat, termasuk berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat,  khususnya dalam peranannya menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya. Oleh karena itu tidaklah relevan apabila kepentingan Pemohon yang tidak berprofesi sebagai Advokat, akan tetapi berprofesi sebagai dosen, beranggapan dan menundukkan diri pada Undang-undang Advokat sehingga berpendapat rumusan Pasal 31 diskriminatif tidak adil serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon;
-     Bahwa oleh karena namanya saja Undang-undang Advokat, maka tentu saja didalamnya mengatur tentang Advokat dan tidak mungkin berisi aturan-aturan yang mengatur tentang peran perguruan tinggi atau perguruan tinggi hukum, lembaga-lembaga yang berada atau bernaung dibawah perguruan tinggi maupun Dosen Fakultas Hukum. Hal-hal yang menyangkut perguruan tinggi berikut dengan segala kelengkapan, sarana dan prasarananya termasuk tetapi tidak terbatas pada perannya dalam melaksanakan Tridarma Perguruan tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat, adalah telah dengan jelas diatur didalam Undang-undang Sisdiknas yang terjabarkan dalam kurikulum. Dan jikapun ada mata kuliah tentang ketrampilan hukum atupun kegiatan praktisi hukum hal tersebut hanyalah semata-mata dalam wujud pembelajaran tentang implementasi ketentuan-ketentuan hukum formil atau hukum acara, jadi tidak harus atau tidak wajib melakukan atau menjalankan kegiatan yang merupakan ruang lingkup tugas pengabdian profesi Advokat;
-     Bahwa hal-hal yang telah dilakukan Pemohon dengan melakukan kegiatan yang seolah-olah seperti profesi Advokat sebelum adanya Undang-undang Advokat, yang apabila dicermati berdasarkan penjelasan umum Undang-undang Advokat, dapat dikategorikan dan dianggap sebagai ketentuan yang diskriminatif, karena perguruan tinggi kewenangannya adalah menyelenggarakan program pendidikan tertentu dalam hal ini termasuk profesi hukum akan tetapi sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur oleh undang-undang. Namun demikian perguruan tinggi apalagi seperti Pemohon tidaklah berwenang menyelenggarakan pendidikan tertentu misalnya profesi hakim, profesi jaksa maupun profesi penyidik, juga profesi Advokat. Karena undang-undangnya telah mengatur secara tersendiri secara khusus. Demikian pula kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Pemohon adalah tidak ada hubungannya atau tidak ada relevansinya dengan rumusan Pasal 31 Undang-undang Advokat, maka tidak terjadi rumusan tersebut diskriminatif karena pengabdian masyarakat sebagai perwujudan tridarma perguruan tinggi adalah kewajiban Pemohon dan tidak ada hubungannya dengan profesi Advokat dan itu merupakan kewajiban profesi Pemohon sebagai dosen perguruan tinggi;
-     Bahwa sudah tepat tindakan Pemohon yang berprofesi sebagai dosen bukan sebagai Advokat dilarang apabila melakukan tugas pengabdian Advokat didalam masyarakat karena, apabila hal itu dilakukan berpotensi akan menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, hilangnya tertib hukum dan berpotensial dapat merugikan mencari keadilan serta tidak kokohnya penegakkan hukum;
      -     Bahwa rumusan Pasal 31 adalah merupakan ketentuan universal yang dianut dan menjadi materi dari suatu Undang-undang profesi, karena suatu pekerjaan atau tindakan profesional tentu tidak dapat dilakukan oleh bukan profesi. Kalau dilakukan oleh bukan profesi  nantinya akan dapat berpotensi merugikan kepentingan masyarakat mencari keadilan. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan bahwa profesi Dokter tidak dapat dilakukan oleh orang yang bukan Dokter demikian pula untuk profesi-profesi lainnya misalnya penegak hukum, Jaksa, Hakim, Polisi tidak bisa dilakukan oleh yang bukan hakim, yang bukan Jaksa yang bukan polisi;
-     Bahwa sebagaimana ditentukan dalam konsideran menimbang Undang-undang Advokat, profesi Advokat itu diperlukan semata-mata untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, yang adil dan memiliki kepastian hukum bagi semua mencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan HAM yaitu supaya kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar. Advokat sebagai profesi bebas mandiri dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum perlu dijamin dan lindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum. Jadi jelas sudah Majelis yang mulia bahwa Undang-undang Advokat tidak menjamin dan tidak melindungi profesi dosen, maka Pemohon tidaklah mungkin dapat dikategorikan atau dikualifikasikan sebagai termasuk penegak hukum yang berprofesi Advokat. Kesimpulannya bahwa berdasarkan hal-hal yang telah kami uraikan maka permohonan Pemohon sudah sepatutnya dikesampingkan karena irelevan dan nyatanya rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 28C ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (3) Pasal 281 ayat (2) Undang-Undang Dasar;
-     Bahwa UU No. 18 Tahun 2003 itu mengatur tentang profesi Advokat;
-     Bahwa jika Pasal 31 dibaca secara seksama, itu bukan perlindungan terhadap Advokat tetapi perlindungan terhadap masyarakat pencari keadilan dari orang-orang yang sesungguhnya bukan Advokat;
-     Bahwa profesi advokat dapat  dianalogikan dengan dokter.  Apabila ada orang yang berpraktek sebagai Dokter atau seolah-olah sebagai Dokter adalah pantas jika ada ancaman pidana terhadap orang itu;  
-     Bahwa tidak ada diskriminasi karena siapapun boleh memasuki profesi Advokat sepanjang dia memenuhi ketentuan-ketenatuan yang diatur dalam Undang-undang Advokat;
-     Bahwa di Amerikapun orang yang mau berprofesi sebagai Advokat harus mengikuti persyaratan-persyaratan tertentu bahkan tidak mustahil sampai 4 mungkin 5 kali ikut ujian, baru bisa  lolos menjadi Advokat.
-     Bahwa jika  berbicara tentang pengabdian kepada masyarakat, fungsi LBH yang ada di dalam Universitas Muhammadiyah sesungguhnya bisa tetap dijalankan dengan misalnya bekerjasama dengan organisasi Advokat, karena di dalam Undang-undang Advokat juga ada Pasal 22  tentang bantuan hukum cuma-Cuma;
-     Bahwa jika dianalogikan dengan profesi dokter maka resiko malpraktek karena perlindungan Pasal 31 untuk melindungi pencari keadilan adalah sangat besar sekali. Karena walaupun latar belakang pendidikan sama-sama Sarjana Hukum, untuk berprofesi sebagai Advokat tidak semudah seperti pendapat orang,  karena Sarjana Hukum hanya mempelajari tentang teori-teori. Sedangkan   bagaimana mengimplementasikan teori-teori itu apalagi sebelum ada pengalaman, sebelum mengikuti pendidikan khusus untuk profesi Advokat sangat berpotensi  untuk merugikan kepentingan pencari keadilan;
-     Bahwa profesi Advokat membutuhkan skill  tertentu  oleh karena itu dalam Undang-undang Advokat juga sudah diatur,  misalnya  selain dia lulusan perguruan tinggi hukum dia juga harus mengikuti kursus yang sekarang ini sedang didesain untuk litigasi maupun non litigasi. Juga harus ada proses magang selama 2 tahun. Karena akibat mal praktek yang dilakukan oleh seorang advokat akibat tidak menguasai  profesinya  dapat menyebabkan kerugian pada pencari keadilan;
-     Bahwa yang dimaksud kata seolah-olah adalah kalau orang itu bukan Advokat tetapi mengaku dirinya Advokat. Untuk pengakuan dan perbuatan itu didasari dengan unsur kesengajaan.   Harus mengaku bahwa “saya Advokat”. Kalau dia tidak mengatakan sebagai Advokat tidak memenuhi unsur kesengajaan, sebagaimana ajaran dari Joncker;
-     Bahwa dari sisi pidana khusus Pasal 31 tidak cukup hanya dikaitkan dengan Pasal 1 butir 1. Tapi juga harus dikaitkan dengan butir 1 dan butir 7 karena disini Advokat adalah mendapatkan honorarium;
-     Bahwa untuk menjalankan profesi harus Advokat, tetapi untuk beracara di pengadilan tergantung dari siapa yang memberikan ketentuan hukum acaranya, bukan profesinya. Jadi untuk beracara di persidangan terletak atau berpatokan pada hukum acaranya, tetapi untuk melakukan profesi Advokat harus seorang Advokat sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Advokat;
-     Bahwa yang berhak mewakili seseorang di pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum acara tidak disebutkan sebagai seorang Advokat tapi khusus seorang kuasa dengan mendapatkan surat kuasa. Profesi Advokat tunduk pada ketentuan Undang-undang Advokat;
2.       Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang diwakili oleh Ketuanya Munarman, S.H pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
-          Bahwa YLBHI itu bukan organisasi profesi dan bukan juga lembaga yang bernaung di bawah institusi Perguruan Tinggi seperti Pemohon, melainkan sebuah organisasi non pemerintah atau LSM yang  independen yang  memiliki core  dibidang bantuan hukum;
-          Bahwa YLBHI sangat menghargai semangat dari Pemohon, karena dalam konsteks Indonesia sekarang ini secara sosiologis memang acces to justice for poor people,  akses masyarakat miskin untuk mendapat keadilan itu memang masih sangat terbatas;
-          Bahwa berdasarkan  pengalaman sebetulnya kita menghadapi dua problem hukum dalam pekerjaan-pekerjaan kita. Yang pertama latent legal problem, yang kedua adalah manifest legal problem.
-          Pasal yang diajukan keberatan oleh Pemohon ini adalah yang berkaitan  dengan manifest legal problem bukan latent legal problem. Karena apa yang dilakukan oleh Pemohon dan LBH yang bernaung dibawah institusi perguruan tinggi itu dari referensi yang ada dari laporan konsep penyuluhan dan bantuan hukum yang pernah dilakukan dan banyak dilakukan dalam lokakarya-lokakarya LBH bersama beberapa perguruan tinggi sejak tahun 80-an misinya itu lebih kepada latent  legal problem, memperkuat posisi-posisi rakyat, memberikan pendidikan hukum kepada rakyat dalam rangka hubungannya dengan hak mereka sebagai warga negara. Tetapi ketika masuk ke wilayah manifest legal problem memang membutuhkan satu spesifikasi dan kualifikasi tertentu. Menurut YLBHI,  Undang-undang Advokat ini mengatur hal-hal yang berkaitan manifest legal problem yang berkaitan dengan problem hukum yang sengketanya sudah muncul kepermukaan., baik itu di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan.  Itu yang menjadi wilayah atau scoop dari Undang-undang  Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat;
-          Bahwa kalau dikatakan Pasal 31 bersifat diskriminatif,  maka yang disebut diskriminatif itu secara sosiologis maupun dari aspek HAM diletakan pada 4 dasar, yaitu pertama diskriminatif itu didasarkan pada etnik, ras, yang kedua pada agama, yang ketiga pada gender, yang ke empat pada umur. Kalau berkait paling tidak pada 3 aspek ini dilarang seseorang untuk menekuni profesi Advokat barulah Pasal 31 itu disebut bisa diskriminatif.  Tetapi Pasal 31 adalah setiap orang, siapapun, jadi menurut kami 3 kriteria untuk dikatakan diskriminatif itu patut dipertimbangkan;
-          Bahwa dalam praktek sehari-hari secara empirik apa yang sudah disebutkan oleh Pemohon di dalam permohonannya, ketika ada problem misalnya institusi perguruan tinggi ada satu lembaga baik swasta maupun negeri yang digugat atau mendapat problem hukum tidak mesti diwakili  Advokat sepanjang yang mewakili memiliki kaitan secara langsung dengan pihak yang bersengketa,  tetapi kalau dia mewakili pihak lain dan orientasinya adalah profit dan dia masuk wilayah manifest legal problem hal-hal seperti ini sebenarnya bisa dikenakan Pasal 31;
-          Bahwa penerapan Pasal 31 itu sangat kontekstual, spesifik dan macam-macam, tetapi memang Pasal 31 itu mengandung problem redaksional karena dia menyebutkan kata seolah-olah;
3.       Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (APHI) yang diwakili oleh  Dorma Sinaga, S.H ( Ketua ) dan Lambok Gultom, S.H (Sekjen) telah memberikan keterangan sebagaiberikut:
-          Bahwa APHI sangat sependapat dengan Para Pemohon;
-          Bahwa  Undang-undang  Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat ini sangat ideal dan sangat berorientasi kepada profit. Sangat ideal pada saat penegakan hukum itu sudah berjalan dengan baik. Dalam kondisi negara seperti sekarang dimana penegakan hukum  masih carut-marut dan  pelanggaran terhadap hak-hak rakyat masih berjalan di mana-mana  ini sangat berbahaya. Pembelaan terhadap hak-hak rakyat itu banyak dilakukan oleh Lembaga-lembaga Bantuan Hukum atau LSM atau Lembaga-lembaga Bantuan Hukum Kampus. Di daerah mayoritas dilakukan oleh LBH-LBH kampus;
-          Bahwa secara fakta  LBH kampus itu memang sangat minim yang memiliki izin Advokat, tapi mereka dibantu oleh sarjana-sarjana hukum yang mahir pengetahuan umum tentang hukum. Peran mereka disini mereka memberikan suatu pelayanan hukum kepada masyarakat, karena dalam penanganan perkara atau melakukan advokasi terhadap hak-hak rakyat kita memakai 2 cara. Yang pertama  melalui litigasi, yang kedua non litigasi. Litigasi itu pasti dilakukan oleh kawan-kawan yang mempunyai izin praktek Advokat, tapi yang non litigasi itu dilakukan oleh kawan-kawan Sarjana Hukum yang tidak memiliki izin, kami banyak juga dibantuk oleh mahasiswa tingkat akhir.  Peran mereka sangat penting dalam pembelaan hak-hak rakyat namun mereka bisa terbentur dengan adanya Pasal 31 ini. Karena mereka secara tidak langsung dalam menjalan kan tugas-tugas non litigasi itu sudah dapat dikatakan menjalankan seolah-olah profesi Advokat, karena mereka memberikan pelayanan hukum, pendampingan di kepolisian, pendampingan dalam pemenuhan hak mereka, pendampingan terhadap Komnas HAM.  Kawan-kawan yang mempunyai izin profit sangat minim yang mau terlibat untuk itu, apalagi pendampingan di lembaga-lembaga pemerintah seperti  Komnas HAM,  departemen atau DPR, itu sangat minim yang mau ikut serta dan banyak dilakukan oleh kawan-kawan Sarjana Hukum yang mahir akan pengetahuan hukum;
-          Bahwa  dalam permohonan Pemohon sebenarnya persoalannya adalah persoalan legalitas, artinya kalau dulu kawan-kawan LBH kampus cukup dengan keputusan pengadilan tinggi, mereka bisa melakukan pelayanan hukum terhadap masyarakat tidak mampu, tapi pada saat sekarang hal itu tidak bisa.  Persoalan legalitas itu kalau menurut Undang-undang  Advokat terdapat dalam organisasi Advokat;
4.      Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum Unpad (BBH FH-UNPAD) yang diwakili oleh Eva Laela, S.H Dosen FH Unpad dan Ketua Biro  Bantuan Hukum FH-Unpad dan Dedi Gozali, S.H,  Dosen Fakultas Hukum Unpad dan Konsultan Senior Biro  Bantuan Hukum FH-Unpad, pada pokoknya  memberikan keterangan sebagai berikut:
-     Bahwa BBH FH-Unpad pernah mengalami satu kasus berkaitan dengan Pasal 31 ini karena Ketua BBH FH-Unpad sempat dilaporkan kepada Polwiltabes untuk pelanggaran Pasal 31 ini;
-     Bahwa Ketua BBH FH-Unpad  mengalami kurang lebih 3 sampai 4 kali pemeriksaan di kepolisian, hanya karena memberikan bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu dalam konteks pengabdian masyarakat mengenai kasus perceraian;
-     Bahwa kasus tersebut sebetulnya sudah in kracht,  tetapi kemudian sekitar bulan Februari ditulis di koran, kemudian dilaporkan ke kepolisian dan diproses;
-     Bahwa pada akhirnya ada keterangan dari Pengadilan Tinggi yang memberikan izin berdasarkan kerjasama antara Unpad dengan pengadilan tinggi, yang mengatakan bahwa ia  masih boleh menggunakan kartu izinnya;
-     Bahwa pada pada saat menangani kasus itu, izinnya masih berlaku sampai Juli  2004. sedangkan ia  menangani kasus sekitar Agustus 2003 yang dimulai sejak 2001. Jadi  secara administratif masih boleh menggunakan kartu tersebut;
-     Bahwa kemudian kasus tersebut diproses di kepolisian dan pada akhirnya pada 31 Agustus 2004 kasus itu sudah di SP3kan, karena menurut pihak kepolisian tidak ada pelanggaran pidana disitu;
-    Bahwa yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah seseorang yang memberikan bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu, bukan kepada masyarakat mampu dan dia tidak mendapatkan penghasilan atau mendapatkan dari memberikan bantuan hukum itu lalu itu dikategorikan dengan perbuatan pidana yang bisa diancam dengan hukuman 5 tahun dan denda 50 juta;
-    Bahwa eksistensi Biro Bantuan Hukum Fakultas Hukum Unpad ini tidak hanya menangani bantuan hukum saja tetap yang masyarakat tidak mampu, tapi juga untuk kepentingan universitas itu sendiri. Banyak kasus-kasus yang menggugat Universitas Padjajaran misalnya kasus drop out dimana Rektor itu di PTUN kan, kemudian aset-aset Unpad diserobot oleh masyarakat, itu selalu diselesaikan melalui peradilan. Selain itu juga kasus-kasus yang menyangkut karyawan;
-    Bahwa UU No. 18 Tahun 2003 akomodatif, tidak menyertakan institusi lain yang punya kepentingan;
5.  Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum FH-UI ( LKBH FH –UI) yang diwakili oleh Ketuanya Retno Muryati, S.H, MH  pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
-          Bahwa masih banyak persoalan yang harus diselesaikan dalam  Undang-undang  Advokat.  Satu yang jadi fokus pembicaraan ialah  Pasal 31 dimana  kata seolah-olah itu akan membuat  penafsiran yang bermacam-macam, yang akan kena dampak adalah dari perguruan tinggi. Jadi dari Undang-undang Advokat pun ini perlu ada beberapa hal yang perlu  dibahas kembali;
-          Bahwa berkaitan dengan kekecewaan dari organisasi advokat terhadap sarjana hukum yang baru lulus, oleh karena itu perlu pendidikan khusus untuk menjadi advokat yang handal. Kemampuan seorang seorang Sarjana Hukum tidak cukup hanya setelah menjadi sarjana.  Adalah lebih sempurna kalau sejak mahasiswa pun sudah diperkenalkan bagaimana nantinya kalau mereka menjadi Advokat, karena pendidikan setelah Sarjana Hukum itu hanya berapa tahun, misalnya untuk Advokat berapa bulan, sedangkan untuk menjadi Sarjana Hukum 4 tahun atau 3,5 tahun atau 7 semester. Justru di sinilah untuk membuat sarjana yang siap pakai;
-          Adanya satu laboratorium yang berupa Lembaga Bantuan Hukum mengacu kepada kurikulum nasional dimana ada mata kuliah mengenai kemahiran, keterampilan dan itu berlaku untuk seluruh Indonesia;
-          Adanya Tri Darma Perguruan Tinggi yang salah satunya adalah  pengabdian pada masyarakat, perlu diperhitungkan juga oleh Asosiasi Advokat. Jangan hanya mengatakan Sarjana Hukum perlu dididik lagi untuk menjadi Advokat yang betul-betul bisa memenuhi apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Justru ditingkat pertama, di S1, perlu disiapkan syarat minimal untuk mereka bisa maju kesana;
-          Bahwa dengan adanya Undang-undang Advokat ini tentu LBH yang juga berfungsi sebagai laboratorium hukum bagi mahasiswa Fakultas Hukum betul-betul terkena dampaknya.
6.      Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum FH- Universitas Trisakti  (LKBH FH-Trisakti) yang diwakili oleh   Ketuanya  Sugeng Sudartono, S.H pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
-          Bahwa secara prinsip sependapat bahwa Pasal 31 Undang-undang Advokat itu sebaiknya ditinjau kembali karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar  terutama dengan Pasal 28;
-          Bahwa tujuan dibentuknya laboratorium hukum disetiap perguruan tinggi adalah untuk mendekatkan peranan perguruan tinggi dengan masyarakat termasuk di dalam Fakultas Hukum. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Prof. Dr. Erman Rajagukguk yang mengatakan bahwa Fakultas Hukum dalam era globalisasi harus mempersiapkan mahasiswanya dengan pendidikan yang cukup. Disatu pihak pendidikan hukum harus melahirkan Sarjana Hukum yang mempunyai keterampilan dalam praktek hukum, disamping itu juga harus mampu menghadapi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat termasuk dengan jalan memberikan  bantuan hukum; 
-          Bahwa jika  dikaitkan  dengan Undang-undang  tentang  Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang  Nomor 20 Tahun 2003, di dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) butir c dan d disebutkan bahwa seorang pendidik yang memberikan pendidikan pada mahasiswanya harus mendapatkan perlindungan hukum, agar mahasiswa yang bersangkutan dan pendidikan yang bersangkutan mendapatkan ketenangan dalam menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu untuk terciptanya suatu sistem pendidikan yang baik bagi Fakultas Hukum diperlukan adanya keterampilan pada para Sarjana Hukum yang hanya bisa diperoleh apabila para pendidik dan para mahasiswanya juga dilibatkan dalam proses beracara. Oleh karena itu peranan lembaga-lembaga bantuan hukum dalam proses beracara seharusnya diakomodir dalam Pasal 31;
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini maka segala sesuatu yang tertera dalam berita acara persidangan dianggap telah termasuk dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
            Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok perkara sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan mengenai:
1.      Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa permohonan Pemohon a quo,
2.      Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon a quo.
1. KEWENANGAN MAHKAMAH
            Menimbang bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UUMK) yang menyatakan, salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
            Menimbang bahwa undang-undang yang dimohonkan untuk diuji, in casu UU 18 Tahun 2003, diundangkan pada tanggal 5 April 2003 maka, terlepas dari adanya perbedaan pendapat di antara para hakim mengenai Pasal 50 UUMK, Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutus permohonan a quo;

2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
            Menimbang bahwa Pasal 51 UUMK menyatakan, Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a.       Perorangan warga negara Indonesia;
b.      Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.       Badan hukum publik atau privat; atau
d.      Lembaga negara;
yang dengan demikian berarti bahwa untuk dapat diterima sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 seseorang atau suatu pihak terlebih dahulu harus menjelaskan:
1.      Kualifikasinya dalam permohonan a quo, apakah sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum (publik atau privat), ataukah sebagai lembaga negara;
2.      Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dideritanya dalam kualifikasi tersebut;
            Menimbang bahwa Pemohon adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang membawahkan Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (LKPH-UMM), sebuah lembaga nirlaba yang didirikan guna memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat baik dalam bentuk litigasi maupun non-litigasi, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya sebagaimana telah disebut dalam duduk perkara yang masing-masing adalah sekaligus Kepala, Sekretaris, dan Staf LKPH-UMM;
            Menimbang bahwa dalam kualifikasi sebagaimana disebutkan di atas Pemohon merasa dirugikan oleh berlakunya UU No.18 Tahun 2003, in casu Pasal 31, yang menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah”, kerugian mana secara nyata telah dialami Para Kuasa Pemohon yakni dalam wujud ditolaknya kehadiran Para Kuasa Pemohon oleh pihak penyidik di Kepolisian Resort Malang pada saat melakukan pendampingan selaku kuasa hukum dari seorang klien karena Para Kuasa Pemohon tidak mampu menunjukkan identitas Advokat yang diminta oleh penyidik (vide butir 12 permohonan);
            Menimbang bahwa, dengan demikian, telah ternyata terdapat kepentingan Pemohon terhadap berlakunya undang-undang a quo yang menurut Pemohon, dalam kualifikasi sebagaimana diuraikan di atas, telah merugikan hak-hak konstitusionalnya, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon di hadapan Mahkamah;
POKOK PERKARA
            Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 sebagai ketentuan yang sangat diskriminatif, tidak adil, serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon karena, dengan adanya ketentuan dimaksud, Pemohon tidak dapat lagi memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, baik dalam bentuk litigasi maupun non-litigasi.  Di samping itu, ketentuan Pasal 31 dimaksud juga telah mengakibatkan Pemohon tidak mungkin lagi melaksanakan kegiatan pendidikan hukum klinis guna melatih keterampilan hukum mahasiswa melalui kegiatan praktisi hukum, padahal berdasarkan kurikulum pendidikan tinggi hukum hal itu wajib dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan tinggi hukum.  Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 telah pula mengakibatkan Pemohon tidak mungkin melaksanakan salah satu unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi, dalam hal ini unsur pengabdian pada masyarakat, yang dalam hubungannya dengan Pemohon unsur pengabdian pada masyarakat tersebut dilaksanakan sebagai kegiatan pemberian konsultasi, advokasi, dan litigasi terhadap berbagai elemen masyarakat yang membutuhkan keadilan. Hal tersebut dikarenakan Pasal 1 angka 1 dan 2 undang-undang a quo menentukan bahwa “advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini”, sedangkan yang diartikan sebagai jasa hukum adalah “jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien”;
            Menimbang bahwa UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), secara tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum yang dengan demikian berarti bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagai bagian dari hak asasi manusia, harus dianggap sebagai hak konstitusional warga negara, kendatipun undang-undang dasar tidak secara eksplisit mengatur atau menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib menjamin pemenuhannya;
            Menimbang bahwa dalam rangka menjamin pemenuhan hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud, keberadaan dan peran lembaga-lembaga nirlaba semacam LKPH UMM, yang diwakili Pemohon, adalah sangat penting bagi pencari keadilan, teristimewa bagi mereka yang tergolong kurang mampu untuk memanfaatkan jasa penasihat hukum atau advokat profesional.  Oleh karena itu, adanya lembaga semacam ini dianggap penting sebagai instrumen bagi perguruan tinggi terutama Fakultas Hukum untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam fungsi pengabdian kepada masyarakat. Di samping itu, pemberian jasa bantuan hukum juga dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan tinggi hukum dengan kategori mata kuliah pendidikan hukum klinis dan ternyata membawa manfaat besar bagi perkembangan pendidikan hukum dan perubahan sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin, Asia, Eropa Timur, Afrika Selatan, bahkan juga negara yang sudah tergolong negara maju sekalipun seperti Amerika Serikat, seperti dikatakan McClymont & Golub, “...university legal aid clinics are now part of the educational and legal landscape in most regions of the world. They have already made contributions to social justice and public service in the developing world, and there are compelling benefits that recommend their consideration in strategies for legal education and public interest law...”  [vide lebih jauh Mary McClymont & Stephen Golub, Many Roads to Justice, 2000, hal. 267-296).  Namun, peran demikian menjadi tidak mungkin lagi dijalankan oleh LKPH UMM atau lembaga-lembaga lain sejenis, sebagaimana telah ternyata dari pengalaman dan keterangan Para Kuasa Pemohon di hadapan persidangan tanggal 30 September 2004, dan diperkuat oleh keterangan pihak terkait dari lembaga Biro Bantuan Hukum Universitas Padjadjaran yaitu Eva Laela, S.H. dan Dedi Gozali, S.H. pada persidangan tanggal 30 September 2004, yang menyatakan keduanya telah disidik oleh penyidik dengan sangkaan telah melanggar ketentuan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003, meskipun penyidikan  kemudian dihentikan. Namun penghentian penyidikan tersebut dilakukan bukan karena alasan yang bersangkutan tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003, melainkan peristiwa yang disangkakan tersebut terjadi sebelum berlakunya undang-undang a quo;
            Menimbang bahwa dalam praktik, rumusan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 dimaksud bukan hanya mengakibatkan tidak memungkinkan lagi berperannya lembaga-lembaga sejenis LKPH UMM memberikan bantuan dan pelayanan hukum kepada pihak-pihak yang kurang mampu, melainkan ketentuan dalam pasal dimaksud juga dapat mengancam setiap orang yang hanya bermaksud memberikan penjelasan mengenai suatu persoalan hukum, hal mana dikarenakan pengertian Advokat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.18 Tahun 2003 adalah “orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini”, sehingga seseorang yang memberikan penjelasan tentang suatu persoalan hukum kepada seseorang lainnya dan kemudian sebagai ucapan terima kasih orang yang disebut terdahulu menerima suatu pemberian, yang sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai honorarium oleh pihak yang memberi, dapat dituduh telah melakukan perbuatan “bertindak seolah-olah sebagai advokat” dan karenanya diancam dengan pidana yang sedemikian berat;
Menimbang bahwa Pasal 31 undang-undang a quo mengancam pidana kepada seseorang yang menjalankan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat tetapi bukan advokat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang a quo. Sedangkan yang dimaksud dengan profesi advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 18 Tahun 2003. Sementara itu pada angka 2-nya dinyatakan bahwa jasa hukum adalah memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien;
Menimbang bahwa menurut Pasal 28F UUD 1945 setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Seseorang yang memerlukan jasa hukum di luar pengadilan pada hakikatnya adalah ingin memperoleh informasi hukum dan dijamin oleh Pasal 28F UUD 1945. Adalah menjadi hak seseorang untuk memilih sumber informasi yang dipandangnya tepat dan terpercaya;
Menimbang bahwa Pasal 31 jo Pasal 1 angka 1 undang-undang a quo membatasi kebebasan seseorang untuk memilih sumber informasi karena seseorang yang melakukan konsultasi hukum di luar pengadilan oleh undang-undang a quo hanya dibenarkan apabila sumber informasi tersebut adalah seorang advokat. Jika seseorang bukan advokat memberikan informasi hukum, terhadapnya dapat diancam oleh Pasal 31 undang-undang a quo. Pencari informasi akan sangat terbatasi dalam memilih sumber informasi karena yang bukan advokat terhalang untuk memberikan informasi dengan adanya Pasal 31 undang-undang a quo;
            Menimbang pula bahwa UU No. 18 Tahun 2003 adalah undang-undang advokat yaitu undang-undang yang mengatur syarat-syarat, hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi profesi advokat, yang memuat juga pengawasan terhadap pelaksanaan profesi advokat dalam memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan.  Oleh karena itu, tujuan undang-undang advokat, di samping melindungi advokat sebagai organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari jasa advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan penyalahgunaan jasa profesi advokat;
            Menimbang bahwa sebagai undang-undang yang mengatur profesi, seharusnya UU No. 18 Tahun 2003 tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus diatur dalam hukum acara, padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara (verplichte procureurstelling).  Oleh karena tidak atau belum adanya kewajiban demikian menurut hukum acara maka pihak lain di luar advokat tidak boleh dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan pengadilan.  Hal ini juga sesuai dengan kondisi riil masyarakat saat ini di mana jumlah advokat sangat tidak sebanding, dan tidak merata, dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang memerlukan jasa hukum;
Menimbang bahwa sebagaimana terungkap dalam persidangan Mahkamah tanggal 30 September 2004, sejarah lahirnya perumusan undang-undang a quo, pasal tersebut memang dimaksudkan agar yang boleh tampil beracara di hadapan pengadilan hanya advokat, yang dengan demikian berarti undang-undang a quo telah mengatur materi muatan yang seharusnya menjadi materi muatan undang-undang yang mengatur hukum acara.  Bahkan, andaikatapun maksud demikian tidak ada, sebagaimana diterangkan wakil Pemerintah (c.q. Dirjen Hukum dan Perundang-undangan) pada persidangan tanggal 23 Agustus 2004, rumusan Pasal 31 undang-undang a quo dapat melahirkan penafsiran yang lebih luas daripada maksud pembentuk undang-undang (original intent) yang dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi banyak anggota masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan dan bantuan hukum karena Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 dimaksud dapat menjadi hambatan bagi banyak anggota masyarakat yang tak mampu menggunakan jasa advokat, baik karena alasan finansial maupun karena berada di wilayah tertentu yang belum ada advokat yang berpraktik di wilayah itu, sehingga akses masyarakat terhadap keadilan menjadi makin sempit bahkan tertutup. Padahal, akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33);
            Menimbang bahwa jika pun benar maksud perumusan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 tersebut adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan penipuan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku-aku sebagai advokat, kepentingan masyarakat tersebut telah cukup terlindungi oleh ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sehingga oleh karenanya ketentuan Pasal 31 undang-undang a quo harus dinyatakan sebagai ketentuan yang berlebihan yang berakibat pada terhalanginya atau setidak-tidaknya makin dipersempitnya akses masyarakat terhadap keadilan, yang pada gilirannya dapat menutup pemenuhan hak untuk diadili secara fair (fair trial), terutama mereka yang secara finansial tidak mampu, sehingga kontradiktif dengan gagasan negara hukum yang secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
            Menimbang pula bahwa, sebagai perbandingan, akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk diadili secara fair adalah melekat pada ciri negara hukum (rule of law), dan karenanya dinilai sebagai hak konstitusional, sudah merupakan communis opinio sebagaimana terlihat antara lain dalam putusan Pengadilan Inggris dalam kasus R v Lord Chancellor ex p Witham (1998) yang di antaranya menyatakan, “... the right to a fair trial, which of necessity imports the right of access to the court, is as near to an absolute right as any which I can envisage... It has been described as constitutional right, though the cases do not explain what that means (vide Helen Fenwick & Gavin Phillipson, Text, Cases & Materials on Public Law & Human Rights, 2nd edition, 2003, hal. 142);
            Menimbang bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28F UUD 1945 dan karenanya permohonan Pemohon a quo harus dikabulkan;
            Mengingat Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 57 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

M E N G A D I L I
            Menyatakan permohonan Pemohon dikabulkan;
            Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
            Menyatakan, Pasal 31 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;



PENDAPAT BERBEDA (Dissenting Opinion)
Menimbang, bahwa terhadap putusan Mahkamah tersebut diatas, Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, SH, Prof. H.A.S. Natabaya, SH, LL.M, dan H. Achmad Roestandi, SH mempunyai pendapat berbeda sebagai berikut :
Secara tekstual, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-seolah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 merupakan een wet artikel gedeelte dari Undang-Undang Advokat, yang secara khusus diperuntukkan mengatur profesi advokat. Undang-Undang Advokat adalah undang-undang profesi, dalam hal ini undang-undang profesi advokat.
            Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dibuat guna melindungi profesi advokat, suatu pengaturan beroepsbescherming bagi advokat.
            Manakala seseorang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat maka hal dimaksud merupakan strafbare sanctie (sanksi pidana) yang ditujukan kepada non profesi advokat, atau orang lain (profesi lain) di luar advocat beroep.
            Penolakan hakim atau pihak lain terhadap orang lain yang bukan advokat beracara di pengadilan (atau di luar pengadilan) tidak dapat dijadikan alasan guna pengujian (apalagi membatalkan) Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 karena hal dimaksud berpaut dengan salah penerapan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, tidak terletak pada substansi normatif yang dimaksud pembuat undang-undang. Kesalahan penerapan Pasal a quo terungkap pula dari keterangan dan kesaksian dalam persidangan. Memang di tempat-tempat tertentu, dalam hal ini di Bandung dan Malang, pemberian kuasa kepada LBH Perguruan Tinggi pernah dipersoalkan oleh Polisi atau Pengadilan dengan mendasarkan pada Pasal a quo, tetapi di tempat-tempat lain pemberian kuasa semacam itu tidak pernah dipersoalkan, artinya tetap berjalan seperti yang dilakukan sebelum pasal a quo berlaku.  Lagipula proses penanganan perkara tersebut baik di Bandung maupun di Malang pada akhirnya tidak dilanjutkan.
            Dengan demikian ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tidak ada kaitannya dengan perlakuan diskriminatif yang didalilkan Pemohon sehingga bertentangan dengan Pasal 28 C ayat (1); (2) dan Pasal 28 D ayat (1); (3). Adapun bunyi Pasal 28 C ayat (1) adalah “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Sedangkan ayat (2) berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Selanjutnya Pasal 28 D ayat (1) menegaskan  Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Sedangkan pada ayat (3) menyebutkan “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
            Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, jika dibaca sepintas memang seolah-olah memberikan perlindungan yang berlebihan kepada advokat. Tetapi jika dipahami secara cermat, perlindungan terhadap advokat itu, pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Kerugian yang mungkin diderita oleh masyarakat sebagai akibat ulah dari mereka yang mengaku-aku sebagai advokat, dapat berpengaruh lebih luas dan lebih besar daripada akibat yang ditimbulkan oleh penipuan biasa, sehingga wajar saja jika diberikan ancaman pidana khusus selain ancaman pidana umum yang terdapat dalam KUHP.
            Perlindungan itupun tidak berarti menutup pintu bagi Perguruan Tinggi untuk memberikan pelatihan praktis kepada para mahasiswa Fakultas Hukum, bahkan pelatihan itu akan berlangsung lebih terarah, lebih realistis dan lebih sejalan dengan Pasal 13 a quo, jika misalnya dilakukan melalui kerjasama antara Perguruan Tinggi dengan Asosiasi (Perkumpulan) advokat, sebagaimana yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi dengan Rumah Sakit dalam rangka pelatihan mahasiswa Fakultas Kedokteran. 
Adapun dalil Pemohon yang menyatakan dengan munculnya ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 telah dipengaruhi oleh ketakutan akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki Advokat adalah bersifat tendensius dan berburuk sangka karena berdasarkan hasil Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat di DPR (Ketetapan DPR dan Pemerintah) pernyataan Pemohon tidak benar. Pemohon sebagai anggota Civitas Academica Universitas Muhammadiyah Malang yang bukan merupakan institusi Pemerintah (tidak berstatus Pegawai Negeri) dapat mendaftarkan diri untuk menjadi Advokat asal saja memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, dengan catatan bahwa setiap profesi sudah seharusnya dituntut untuk bekerja secara profesional di bidangnya masing-masing, termasuk advokat hendaknya bekerja profesional di bidangnya, demikian pula tenaga pengajar hendaknya juga profesional dan tidak berdwifungsi.
            Adapun dalil Pemohon yang menyatakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 bukan undang-undang yang baik karena tidak ada aturan  pengecualiannya, tidak tepat, karena tidak selalu harus suatu undang-undang mempunyai pasal atau ketentuan pengecualian (escape clausule).
            Oleh karena itu, kami berpendapat dalil yang dikemukakan oleh Pemohon bahwa Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah bertentangan (tegengesteld) dengan UUD 1945,  tidak terbukti.
         Sebagai penutup, izinkanlah kami menutup pendapat berbeda ini dengan mengutip pepatah Melayu “awak tak pandai menari dikatakan lantai terjungkit” dan “buruk muka cermin dibelah”.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu tanggal 8 Desember 2004, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk  umum  pada  hari ini, Senin tanggal 13 Desember 2004, oleh kami Prof. Dr. Jimly  Asshiddiqie, S.H, selaku  Ketua merangkap Anggota  didampingi oleh  Prof.  H. A.  Mukthie  Fadjar, S.H.,  M.S., H. Achmad  Roestandi, S.H.,  Dr. Harjono, SH, MCL., Soedarsono, S.H., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., dan Maruarar Siahaan, SH, masing-masing sebagai anggota dan dibantu oleh Teuku Umar, SH, MH sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Kuasa  Pemohon, pemerintah dan Pihak Terkait.

K  E  T  U  A

ttd
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

ANGGOTA-ANGGOTA,
                                                                       
Ttd
Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H

ttd
Prof. H.A.S. Natabaya, S.H, LL.M.
ttd
H. Achmad Roestandi, S.H.
ttd
Dr. Harjono, S.H, MCL.

ttd
Prof.H.A.Mukthie Fadjar, SH, MS
ttd
I Dewa Gede  Palguna, S.H, MH

ttd
Maruarar Siahaan, SH.
ttd
Soedarsono, SH.

Panitera Pengganti,
ttd
Teuku Umar, SH.MH.