Halaman

Jumat, 19 Desember 2008

DUALISME HUKUM DAN PEMERINTAHAN ACHEH

Suatu Pendekatan Yuridis

Diakui atau tidak oleh rezim Indonesia dan dunia internasional, di Acheh berlaku dualisme hukum dan Pemerintahan.

1. 1. Pemerintahan Negara Acheh.

Sejak tahun 1976, roda pemerintahan negara Acheh kembali berputar. Struktur dan sistem pemerintahan sipil dan militer telah disusun kembali berdasarkan acuan pemerintahan Acheh dahulu dan berjalan lancar di 17 Wilayah hukum (setingkat Provinsi). Perkara ini telah disaksikan dan diakui sendiri oleh rezim Indonesia dan dunia internasional. Masalah perkawinan (munaqahat), mu’amalah (kemasyarakatan), syiasah (politik), warisan, sengketa-sengketa keperdataan dan kejahatan (jenayah) yang terjadi dalam masyarakat, pajak bangunan, pendapatan, zakat fitrah dan zakat maal dan pengaturan irigasi, semuanya sudah diatur dilaksanakan dalam suatu administrasi mengikuti hukum nasional Acheh.

Pengaturan tentang hak pengelolaan hutan, perindustrian dan perikanan yang sebelum ini dimonopoli oleh bandit-bandit Indonesia-Jawa, kini berada dalam pengawasan pemerintah negara Acheh. Tegasnya, sumber daya alam di darat dan di laut sedang dalam upaya penyelamatan demi masa depan bangsa Acheh. Termasuk pendidikan, mengacu kepada falsafah pendidikan Acheh, akan disempurnakan secara bertahap, sampai akhirnya falsafah pendidikan Jawa Tutwuri handayani (politik jawanisasi) akan dihapus. Ini tentu perlu masa dan kesadaran politik dari bangsa Acheh.

Salah satu bukti berjalannya pemerintahan Acheh ialah: baru-baru ini dalam rangka pelantikan Panglima dan Gubernur Wil. Pidie, Panglima perang Acheh Muzakkir Manaf, telah mengemukakan bahwa pajak pendapatan dan bangunan akan dikenakan kepada mereka yang dipandang layak membayar. Peraturan tersebut dipatuhi oleh bangsa Acheh.

2. 2. Pemerintahan Indonesia

Roda pemerintahan rezim Indonesia juga masih wujud di Acheh yang dilaksanakan oleh pegawai-pegawai NKRI melalui lembaga eksekutif - Gubernur sampai kepada Kepala Desa), lembaga legislative – DPRD tkt I/II) dan lembaga legislative (kehakiman) yang dipakai untuk menjalankan politik penjajahan Indonesia di Acheh. Walaupun dalam kenyataannya symbol penjajah ini sudah tidak efektif, tetapi propaganda Indonesia kepada dunia luar tetap dilakukan seolah-olah roda pemerintahannya masih kuat di Acheh. Sebagai bukti tidak efektifnya pemerintahan Indonesia, diakui sendiri pihak JSC bahwa: “JSC telah menerima 800 laporan keamanan di Aceh” bahkan Brigjen AL. S. Nurdin, wakil Indonesia dalam KKB mengungkapkan: “pihaknya menyesalkan sikap masyarakat yang seolah-olah melupakan Polisi, padahal sebagian besar yang masuk bisa ditangani Polisi” (Laporan Liputan 6).

Pemerintahan penjajah ini dilengkapi dengan hukum nasional yang dipaksa berlaku di Acheh. Walaupun pelaksanaannya lumpuh, tetapi bangsa Acheh dipaksa mendatangi kantor-kantor, kononnya untuk melayani rakyat. Sistem hukum nasional RI yang diterapkan dalam lapangan tatanegara semata-mata dimaksudkan untuk menggerakkan pemerintahan. Pelaksanaan hukum perdata dimaksudkan untuk mengeruk hasil kekayaan bumi Acheh, sementara hukum Pidana dimaksud untuk menghukum setiap orang yang melawan kebijaksanaan politik penjajah Indonesia di Acheh. Tidak lebih daripada itu. Jadi disini terbukti bahwa di Acheh, berlaku dualisme hukum dan pemerintahan.

Pertikaian antara dua kepentingan nasional: Indonesia dan Acheh memiliki alasan masing-masing untuk membela dan mempertahankan diri. Bagi bangsa Acheh, sistem pemerintahan dan hukum nasional Acheh wajib dilaksanakan, dipelihara, dihormati dan dipertahankan demi kedaulatan dan kemerdekaan Acheh. Bangsa Acheh tidak ada hak dan kewajiban untuk mematuhi hukum nasional RI, apalagi tunduk kepada rezim penjajah Indonesia. Bangsa Acheh mau mendaulatkan sejarah, mendaulatkan hukum, mendaulatkan adat-istiadat dan reusam, mendaulatkan tanah, mendaulatkan politik, budaya dan falsafah Acheh. Sejarah Acheh adalah jiwa, sementara sejarah, hukum, adat-istiadat, reusam, tanah, politik, budaya, falsafah Acheh adalah fisiknya bangsa Acheh. Jadi antara sejarah dan komponen-komponen perekat tadi, memiliki ikatan lahir bathin dari suatu generasi ke generasi selanjutnya.

Sementara itu, penjajah Indonesia memaksakan kehendak supaya sistem pemerintahan dan hukum RI berlaku di Acheh. Hukum Indonesia mau dipakai sebagai alasan pembenar untuk menangkap, menahan dan menghukum bangsa Acheh.

Disini nampak jelas, bahwa pertikaian politik dan hukum antara Acheh-RI sedang bersabung di Acheh. Ini merupakan kasus kenegaraan yang sangat menarik untuk dikaji dalam skala hukum internasional. Lantas, bagaimana jalan keluar jika terjadi pertikaian antara dua pemerintahan atau terjadinya dualisme hukum? Untuk mengelak dari terjadinya dualisme hukum dan Pemerintahan, maka pihak Internasional mesti tampil menengahinya, apalagi Acheh merupakan wilayah konflik. Dalam upaya penyelesaian pertikaian kedua belah pihak , maka sudah sepakat memilih dan memberlakukan hukum baru <Perjanjian Penghentian Permusuhan> yang sudah ditanda tangani oleh Acheh-RI pada 9 Desember 2002, sebagai salah satu alternatif.

Dengan disepakatinya hukum baru (COH), maka tidak ada keraguan lagi bagi kedua belah pihak untuk memberlakukan ketentuan hukum yang dimuat dalam COH. Perjanjian tersebut dengan tegas menyebut: „Kedua belah pihak menyatakan komitmen mereka dengan sejelas-jelasnya untuk memenuhi syarat‑syarat Perjanjian ini guna menghentikan permusuhan dan segala bentuk kekerasan terhadap satu sama lain dan terhadap rakyat di Acheh, dengan melaksanakan langkah‑langkah yang ditentukan dalam Perjanjian ini. Dalam menyatakan komitmen yang demikian itu, kedua belah pihak menjamin bahwa mereka masing-masing menguasai pasukan TNI/Polri dan GAM di lapangan.“

Perjanjian Penghentian Permusuhan ini sakaligus merupakan landasan hukum untuk memberi sanksi terhadap semua bentuk dan jenis pelanggaran. Dalam perjanjian tersebut disebut: „menjamin penghentian permusuhan dan segala tindak kekerasan, termasuk intimidasi, pemusnahan harta -benda serta penyerangan apa saja dan perbuatan kriminil. Yang dimaksud dengan penyerangan dan tindakan kriminil termasuklah tindakan-tindakan kekerasan seperti menyerang, menembak, melakukan penganiayaan, pembunuhan, penculikan, pemboman, pembakaran, perampokan, pemerasan, pengancaman, penteroran, pelecehan, menangkap orang secara tidak sah, memperkosa, dan melakukan penggeledahan sewenang-wenang“. Jadi, ianya bersifat mengikat kedua belah pihak.

Dengan demikian, hukum positif Indonesia tidak bisa lagi dipakai sebagai tolak ukur untuk menentukan suatu peristiwa: melawan hukum atau tidak. Setelah diberlakukan hukum baru <Perjanjian Penghentian Permusuahan> sebagai standard hukum untuk menyelesaikan segala bentuk pelanggaran hukum di Acheh, maka demi keadilan, rasa keadilan, kebenaran dan kamanusiaan, hukum Indonesia mansyuk dengan sedirinya. Artinya, hukum nasional RI tidak bisa dipakai lagi sebagai alasan pembenar untuk menangkap, menahan dan munghukum rakyat Acheh. Oleh sebab itu, tidak relevan dan sangatlah tolol, jika Jenderal Endriarto Sutarto bertanya: „Apakah itu merupakan pelanggaran agreement, apakah JSC sudah mempunyai hak untuk mengambil alih hukum di Indonesia? TNI meminta Komite Keamanan Bersama (JSC) lebih jeli dalam membedakan pelanggaran hukum dengan pelanggaran perjanjian antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Rezim Indonesia telah salah menafsirkan bahkan tidak mengerti mengenai validitas hukum.

Apa yang dikatakan sebagai „hukum murni“, tidak dapat dibenarkan dari segi hukum. Ketentuan yang dimuat dalam KUHP dan KUHAP serta semua infrastruktur politik (semua jenis peraturan hukum) mesti dibekukan di Acheh. Dalam konteks ini, penangkapan terhadap Muhammad Nazar dan men DPO-kan Kausar oleh aparat penjajah Indonesia, adalah bertentangan dengan ketentuan hukum Intenasioanl (hukum bilateral yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak). Adalah goblok bila Jenderal Endriarto Sutarto yang berkata: "Henry Dunant Center (HDC) dan JSC harus profesional dalam melihat pelanggaran hukum murni atau pelanggaran perjanjian yang sudah ditandatangani,"

Pihak HDC semestinya memberi penyuluhan hukum kepada pegawa-pegawai penjajah Indonesia, agar mereka tidak buta hukum, angkuh dan sewenang-wenang bertindak di Acheh. Dalam ketentaun pasal 2 (f) COH, jelas dikatakan: „Kedua belah pihak akan mengizinkan masyarakat sipil untuk mngungkapkan hak-hak demokrasi mereka tanpa hambatan.“ Jadi, mengapa masih lagi terjadi penangkapan dan penahanan terhadap kedua aktivis bangsa Acheh yang menyuarakan aspirasi politik secara damai dan demokrasi???. Jika perbuatan sewenang-wenang ini tidak segera diselesaikan oleh HDC, maka tidak ada artinya Perjanjian Penghentian Permusuahan. Secara politik, moral dan hukum, perjanjian yang ditanda tangani antara GAM-RI dimaksudkan untuk seluruh bangsa Acheh, sebab GAM bertindak untuk dan atas nama bangsa Acheh. Jadi setetes darah bangsa Acheh yang tumpah akibat kebiadaban TNI dan Polri, semua kerugian harta-benda yang diderita bangsa Acheh dan memperlakukannya secara tidak adil, maka pemerintah Acheh wajib membelanya.

Selain daripada itu, Safzen Nurdin berkata: „proses dan prosedur hukum untuk investigasi yang digunakan dalam kasus tersebut tetap digunakan sesuai yang berlaku di wilayah Indonesia, termasuk di Serambi Mekah.“ Pernyataan ini dalam hubungannya dengan kasus penembakan Jamaluddin di Lungbata, Aceh Besar, 8 Januari silam, yang disifatkan dsebagai penjahat yang selama ini masuk daftar orang yang dicari kepolisian dan dia bukan anggota GAM, Demikian juga penembakan terhadap Yusaini di Aceh Timur karena mencuri senjata anggota TNI. Begitu juga pernyataan Deputi Komander RI di JSC, Kombes Pol Adjie R. Ramadja, mengatakan: „hukum Indonesia masih berlaku di Aceh, tanpa menafikan naskah kesepakatan yang sudah diatur dalam Cessation of Hostilities Agreement (COHA). COHA tidak mematikan hukum Indonesia, hukum Indonesia masih berlaku di sini. Artinya, meski ada JSC, tidak mengurangi kewenangan polisi. Jika dalam investigasi ini, ditemukan kesalahan prosedur polisi, berarti itu pelanggaran, jika tidak maka kasus ini akan ditutup oleh JSC, karena merupakan kewenangan polisi," Pada hal dalam ketentuan yang disepakati disebut: „Sepanjang (berlangsungnya) proses damai itu, pelaksanaan undang-undang dan ketertiban umum di Acheh akan tetap menjadi tanggung‑jawab Polisi Indonesia (Polri).“ Kalimat tersebut tidak dapat dipahami sebagai kalimat berdiri sendiri dan memiliki kekuatan hukum. Umpamanya: „Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat“ (Q: 107, ayat 4). Pernyataan tersebut tidak dapat dipahami secara berdiri sendiri. Validitasnya mesti dipahami dari penjelasan ayat berikutnya sebagai pelengkap: „Yaitu: orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang yang berdusta ria dan enggan menolong dengan sesuatu yang berguna“ (Q:107, ayat 5, 6 dan 7). Dengan logika hukum demikian, maka anak kalimat: „... pelaksanaan undang-undang dan ketertiban umum di Acheh akan tetap menjadi tanggung‑jawab Polisi Indonesia (Polri)“, tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak memberi wewenang untuk menjalankan tugas Polisi. Validitas kalimat tersebut mesti dihubungkan dengan kalimat pelengkap berikutnya, barulah ianya memiliki kekuatan hukum: „(JSC (Joint Security Committee/Komite Keamanan Bersama) akan menjadi tempat rujukan bagi segala pengaduan menyangkut fungsi dan tindakan polisi yang dianggap bertentangan dengan semangat dan ketetapan Perjanjian Pengehentian Permusuhan. Dengan demikian, JSC akan bertanggungjawab untuk mendefinisikan, mengenalpasti dan menyelidik apabila dan jika polisi melanggar mandatnya.“ Maknanya, tanggungjawab Polisi Indonesia baru bisa dilaksanakan, jika ada pengaduan kepada JSC, bahwa pernyataan Muhammad Nazar dan Kausar meresahkan masyarakat. Atas dasar aduan tersebut, JSC kemudian mendefinisikan dan menilai apakah kasus tersebut patut diambil tindakan atau tidak?

Dalam realitasnya, masyarakat justeru datang berduyun-duyun menyaksikan ceramah Muhammad Nazar dan rakyat Acheh datang berbondong-bondong mengadakan demonstrasi yang dikomandoi Kausar. Aktivitas seperti ini dilindungi oleh hukum di Acheh. TNI yang kurang ajar, mengganggu ketertiban umum dan keamanan di Acheh. Jadi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, tindakan Polisi ke atas Muhammad Nazar, Kausar dan menjadikan Faisal Ridha sebagai tersangaka hanya karena mengadakan buka bersama mesti dibatalkan, sebab tindakan tersebut berlawanan dengan keadilan, perasaaan keadilan dan perbuatan Polisi ini benar-benar sudah melewati batas ketentuan hukum.

Dalam konteks pelanggaran hukum atau kejahatan berat, secara tegas dalam formula COHA disebut: „Yang dimaksud dengan penyerangan dan tindakan kriminil termasuklah tindakan-tindakan kekerasan seperti menyerang, menembak, melakukan penganiayaan, pembunuhan, penculikan, pemboman, pembakaran, perampokan, pemerasan, pengancaman, penteroran, pelecehan, menangkap orang secara tidak sah, memperkosa, dan melakukan penggeledahan sewenang-wenang.“ Ini berarti, semua unsur-unsur Pidana yang disebut disini akan diselesaikan melalui pengadilan JSC, dengan mengenyampingkan KUHPidana dan KUHAP Indonesia. Jadi, tidak ada alasan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar berkata: „tidak setuju dengan keputusan Joint Security Committee (JSC) yang menyebut Polri telah melakukan pelanggaran perjanjian penghentian permusuhan di Aceh.“ Termasuk ketentuan hukum Syariat Islam. Rezim penjajah Indonesia tidak berhak membentuk Mahkamah Syar'iyah di Acheh, yang pelaksnaannya: “masih dalam kerangka sistem hukum Indonesia. Karena itu, segala hukum yang berlaku harus disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan di Indonesia.” (kata Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan dalam media baru-baru ini. Detikcom). Mahkamah Syari’ah sudah dibentuk oleh pemerintah Acheh. Pembentukan Mahkamah syari’ah oleh rezim Indonesia sama prinsipnya dengan mahkamah syari’ah yang diberi kebenaran semasa Belanda dahulu.

Sebagaimana sudah dikatakan diatas, bahwa Acheh merupakan wilayah konflik politik dan hukum antara Acheh-RI. Semua infrastruktur politik Indonesia mesti diketepikan. Dengan demikian amatlah tidak bijak, jika Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, DR. Alyasa' Abubakar, MA yang berkata: "Kita kan masih Republik Indonesia, lagipula ini kan sebagai tindak lanjut dari UU nomor 18 tahun 2001," terangnya. Ini ucapan pegawai penjajah di Acheh.

Adalah menyulitkan sekali bagi bangsa Acheh, karena harus berhadapan dengan bangsa Indonesia yang buta hukum dan tidak mengindahkan rules of the game dan kandungan perjanjian yang telah disepakati bersama. Bukti ketololan pegawai penjajah ini nampak dari pernyataan Deputi Komander RI di JSC, Kombes Pol Adjie R. Ramadja, mengatakan: „hukum Indonesia masih berlaku di Aceh, tanpa menafikan naskah kesepakatan yang sudah diatur dalam Cessation of Hostilities Agreement (COHA). COHA tidak mematikan hukum Indonesia, hukum Indonesia masih berlaku di sini. Artinya, meski ada JSC, tidak mengurangi kewenangan polisi. Jika dalam investigasi ini, ditemukan kesalahan prosedur polisi, berarti itu pelanggaran, jika tidak maka kasus ini akan ditutup oleh JSC, karena merupakan kewenangan polisi,"

Akhirnya, untuk mengelak dan mengatasi masalah-masalah hukum yang telah dilanggar oleh rezim Indonesia, sudah sepatutnya Dewan Bersama (Joint Council) yang terdiri dari wakil-wakil tertinggi RI, GAM, dan pihak ketiga (HDC) menjalankan funksi seperti diamanahkan oleh pasal 8 „Fungsi Joint Council ini adalah untuk memecahkan segala persoalan atau perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan Perjanjian ini, yang tidak dapat diselesaikan oleh Komisi‑Komisi dan Struktur‑Struktur lainnya yang dibentuk di bawah Perjanjian ini. Joint Council boleh merobah pasal‑pasal dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Pedanjian ini.”

Anggota Dewan Bersama (Joint Council) tidak boleh bertapa, sudah saatnya persoalan dualisme hukum dan pemerintahan di Acheh ini dibincang, sehingga tidak lagi terjadi kerancuan dalam menerapkan COH di Acheh

Tidak ada komentar: