Halaman

Rabu, 24 Desember 2008

MANFAAT MEMPELAJARI SOSIOLOGI HUKUM


Apa manfaat mempelajari sosiologi hukum?

Sosiologi berasal dari bahasa yunani yakni Social dan logos (social = masyarakat dan Logos = Ilmu) yang artinya ilmu yang mempelajari tetang masyarakat. Sisiologi lahir sejak manusia bertanya tentang masyarakat terutama tentang perubahannya. Sisologi dalam pengertian sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir belasan abad kemudian para pemikir Yunani kuno, terutama Sokrates, Plato, dan Aristoteles beranggapan bahwa masyarakat terbentuk begitu saja. Tanpa ada yang bisa mencegah, masyrakat mengalami perkembangan dan kemunduran. Kemakmuran maupun krisis dalam masyarakat merupakan masalah yang tidak terelakkan. Anggapan tersebut terus dianut semasa Abad pertengahan (abad ke 5 M sampai akhir abad ke 14 M) para pemikir seperti Agustinus,Avicenna, dan Thomas Aquinas menegaskan bahwa nasib masyarakat harus diterima sebagai bagian dari kehendak ilahi. Sebagai makhluk yang fana, manusia tidak bisa mengetahui, apalagi menentukan apa yang akan terjadi pada masyarakat.

Melihat baground dari ilmu sisologi dapat kita kaitkan dengan hukum dimana hukum sebagai aturan yang mengatur gejala – gejala yang timbul dalam masyarakat, jadi sebagai keseluruhan kebiasaan – kebiasaan hukum yang berlaku di dalam masyarakat, adalah obyek dari ilmu pengetahuan hukum. Sebagai halnya juga dengan tiap – tiap ilmu pengetahuan lainnya, ia tak puas dengan mencatat gejala-gejala yang dilihatnya, aka tetapi sebanyak mungkin juga mencoba menerangkan dari hubungan sebab akibat dengan gejala - gejala lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut ia memakai 3 buah cara :

ü Cara sisologis, yang menyelidiki sangkut paut dengan gejala – gejala masyarakat lainnya.

ü Cara sejarah, yang menyelidiki sangkut paut hukum dari sudut perjalanan sejarahnya atau dengan perkataan lain yang menyelidiki pertumbuhan secara historis.

ü Cara Perbandingan hukum, yang membandingkan satu sama lain tatanan – tatanan hukum dari berbagai masyarakat hukum.

Maka jelaslah, bahwa cara – cara tersebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Cara sisiologi misalnya tidak dapat berfungsi apabila cara histories tidak dijalankan, karena penyelidikan pengaruh hukum atas gejala-gejala masyarakat secara timbal balik harus menengok ke zaman lampau.

Cara sisiologis pula tak boleh mengabaikan penyelidikan perbandingan hukum, karena hukum walaupun berbeda menurut tempat dan waktu sebagai gejala masyarakat adalah gejalah yang berlaku semesta, dan tak ada sesuatu bangsapun yang mempunyai tatanan hukum yang berdiri sendiri. Sebaliknya penyelidikan tentang pertumbuhan sejarah dari sesuatu tatanan hukum yang tertentu, harus memuat penyelidikan tetang factor –faktor masyarakat dimana pertumbuhan tersebut ditentukan, dan dalam itu pula jika menghendaki agar tidak tetap bersifat kurang sempurna, maka harus mencari tambahan dari pertumbuhan yang sejalan pada tatanan – tatanan hukum yang lain.

Perbandingan hukum harus memperhatikan pertayaan sehingga dimana kaidah-kaidah perundang-undangan dan kaidah-kaidah lainnya dilakukan dalam kehidupan masyarakat dan hal itu pun harus dicari keteranganya dalam sejarah baik perbedaannya maupun persamaannya.

Dengan demikian cara – cara tersebut saling membantu, dan bersama – sama mendorong dan memberikan manfaat kepada penyelidikan yang bersifat ilmu pengetahuan. Dengan demikian ilmu pengetahuan dibagi menjadi 3 bagian yakni :

  1. Sosiologi hukum
  2. Sejarah hukum
  3. Perbandingan Hukum.

Namun yang penulis ingin membahasnya lebih lanjut adalah Sosiologi Hukum.

Sebagaimana diketahui bahwa sosologi hukum merupakan cabang yang termuda pada pohon ilmu pengetahuan dan usianya yang muda itu tampak pada hasil-hasilya yang hingga kini masih sangat sedikit. Itu disebabkan karena ilmu pengetahuan yang baru itu harus mempertahankan diri pada dua kancah perang, sebab ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri di tentang baik oleh para ahli hukum maupun para ahli sisiologi. Karena itulah maka tulisan-tuisan disajikan dengan tulisan yang agak besar jumlahnya dan ditujukan untuk membela hidup cabang ilmu pengetahuan tersebut dengan memberikan cara dan tujuannya.

Selanjutnya penulis hanya memberikan sedikit uraian singkat mengenai obyek dan tujuan sosisologi hukum. Dimana segala gejala pergaulan hidup manusia, oleh sosiologi dijadikan obyek penyelidikan. Sedangkan ilmu – ilmu social lainnya mempelajari tentang gejala masyarakat yang tertentu ; hukum,agama,kesenian,dan sebagainya. Hukumpun mengambil tempat dalam sosiologi, tetapi hukum hanya dipandang dalam hubungan gejala-gejala masyarakat lainnya.

Sebaliknya sosiologi hukum mempergunakan hukum sebagai titik pusat penyelidikannya. Dengan berpangkal pada kaidah – kaidah yang di uraikan dalam UU,keputusan-keputusan pemerintah,Peraturan-peraturan, kontrak,keputusan hakim, tulisan – tilisan yang bersifat yuridis dan dalam sumber – sumber lain, sosiologi hukum menyelidiki, adakah dan sampai dimanakah kaidah – kaidah tersebut dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.

Selanjutnya dari sangkut paut antara sosiologi dan hukum, dan gejala – gejala lainnya, sosiologi hukum mencoba menerangkan pada satu pihak, mengapa terdapat suatu peraturan hukum yang kongkrit dan juga terdapat pada lain pihak serta pengaruh apa yang diadakan oleh peraturan hukum tersebut atas gejala – gejala masyarakat lainnya. Jadi secara singakat sosiologi hukum mencoba untuk menyilidiki hubugan yang terdapat antara susunan hukum sesuatu masyarakat dengan bentuk ekonominya, atau pengaruh apa yang dilakukan oleh pandangan – pandangan Religius yang berlaku dalam masyarakat itu terhadap hukum.

Jadi manfaat untuk mempelajari sosiologi hukum adalah mengetahui bagaimana tumbuh dan berkembangnya gejala – gejala yang ada dalam masyarakat. Dan gejala – gejala tersebut dapat diiliminir dengan ilmu pengetahuan antara lain ilmu Sosiologi Hukum. Sejak lahir hingga sekarang kita hidup ditengah masyarakat. Kehidupan bersama itu melahirkan berbagai pengalaman berhubungan dengan orang lain. Di satu pihak kita membutuhkan kehadiran orang lain dilain pihak kita ingin sendiri dan tidak ingin di ganggu. Singkatnya, pengalaman hidup bersama orang lain, mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, sampai masyarakat, menyadarkan kita akan persamaan maupun perbedaan kita dengan orang lain. Kesadaran paling penting yang muncul dari pengalaman bersama orang lain adalah perubahan masyarakat. Dan disinilah Sosiologi hukum sangat berperan.

HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Normatif (Pengertian dan Hakikat Hak Asasi Manusia)

Secara teoritis Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi. Sedangkan hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur Pemerintahan baik Sipil maupun Militer), dan negara.

Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :

HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis.

HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.

HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.

Fakta (Realita yang Ada Tentang HAM di Indonesia)

Jika melihat hakikat HAM yang sebenarnya, tentu akan sangatlah indah dibayangkan apabila HAM yang terjadi di Indonesia benar-benar seperti itu. Akan tetapi realitas yang ada tidak seperti itu, bahkan bertolak belakang. HAM yang katanya sangat dilindungi dan dihormati di injak-injak begitu saja oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Pelanggaran HAM sering terjadi pada semua aspek kehidupan, sebut saja salah satu contoh kekerasan terhadap perempuan. Hal ini bukanlah satu hal yang asing dikalangan rakyat Indonesia.

Menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Dr. Meutia Hatta Swasono, seperti yang dikutip dari http// : www.kapan lagi. com, mengatakan bahwa kekerasa terhadap perempuan masih terus berlangsung dalam bentuk yang bervariasi bahkan menimbulkan dampak yang cukup kompleks. “Yang merasakan kekerasan itu bukan hanya isteri atau perempuan yang terluka, tetapi juga anak-anak yang hidup dan menyaksikan kekerasan dilingkungannya”. Ia juga menambahkan, anak dimungkinkan meniru terhadap apa yang mereka lihat, sehingga menganggapnya bahkan menyesuaikan perbedaan. Karena itu, kekerasan terhadap perempuan baik yang bersifat publik maupun domestik harus secepatnya dicegah.

Selain pelenggaran HAM yang berupa kekerasan terhadap perempuan ada juga pelanggaran HAM yang berkaitan dengan persoalan-persoalan politik di Indonesia dan beberapa sebab yang lain yang sebenarnya sudah sangat melampui batas.

Berikut ini akan ditampilkan beberapa contoh pelanggaran HAM di Indonesia selama Orde Baru sepanjang tahun 1990-1998, seperti yang dikutip dari http//:www.sekitarkita.com, adalah sebagai berikut :

1991 :

1. Pembantaian dipemakaman santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda. Pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya 200 orang meninggal

1992 :

1. Keluar Kepres tentang Monopoli perdagangan oleh perusahaan Tommy Suharto

2. Penangkapan Xanana Gusmao

1993 :

1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993.

1996 :

1. Kerusuhan anti Kristen di Tasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan kerusuhan Tasikmalaya. (26 Desember 1996)

2. Kasus tanah Balongan

3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Mucura Enim mengenai pencemaran lingkungan

4. Sengketa tanah Manis Mata

5. Kasus Waduk Nipoh di Madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat. Ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka

6. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja di bakar

7. Kerusuhan Sambas Sangvaledo. (30 Desember 1996)

1997 :

1. Kasus tanah Kemayoran

2. Kasus pembantaian mereka yang di duga pelaku dukun santet di Ja-Tim

1998 :

1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus. Aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan di perkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13-15 Mei 1998

2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di Jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei

3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demontrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13-14 November 1998 dan dikenal dengan Tragedi Semanggi, dan lain-lain.

Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil pelanggaran HAM yang ada di Indonesia, masih banyak contoh-contoh lain yang tidak dapat semuanya ditulis disini.

Analisis

Dari fakta dan paparan contoh-contoh pelanggaran HAM di atas dapat diketahui hahwa HAM di Indonesia masih sangat memperiatinkan. HAM yang diseru-serukan sebagai Hak Asasi Manusia yang paling mendasarpun hanya menjadi sebuah wacana dalam suatu teks dan implementasinya pun (pengamalannya) tidak ada. banyak HAM yang secara terang-terangan dilanggar seakan-akan hal tersebut adalah sesuatu yang legal.

Sangat minimnya penegakan HAM di Indonesia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

Telah terjadi krisis moral di Indonesia

Aparat hukum yang berlaku sewenang-wenang

Kurang adanya penegakan hukum yang benar.

Dan masih banyak sebab-sebab yang lain.

Kementar

Melihat seluruh kenyataan yang ada penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa HAM di Indonesia sangat memprihatinkan dan masih sangat minim penegakannya. Banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi, hal itu bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang telah diuraikan di atas. Maka untuk dapat menegakkan HAM di Indonesia perlu :

Kesadaran rasa kemanusiaan yang tinggi

Aparat hukum yang bersih, dan tidak sewenang-wenang

Sanksi yangtegas bagi para pelanggara HAM

Penanaman nilai-ilai keagamaan pada masyarakat

Dan hal-hal yang bersifat positif. Demikian paper yang penulis buat tentang Hak Asasi Manusia, semoga bermanfaat. Saran dan kritik selalu penulis tunggu perbaikan dimasa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

- Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta : The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003

HUKUM INDONESIA

Satjipto Rahardjo

Rekaman tahunan atas perjalanan hukum selama satu tahun kurang memberi informasi lebih luas tentang perspektif perjalanan hukum kita. Ibaratnya, kita sibuk membicarakan pepohonan, lupa melihat hutannya. Bagaimana potret dan penegakan hukum di Indonesia?

Hukum itu mempunyai habitat politiknya sendiri. Saat ini sedang berlangsung perubahan besar dalam habitat itu. Lalai melihat habitat politik dan perubahan yang besar menyebabkan penilaian (evaluation) dan penghukuman (judgement) terhadap penegakan hukum menjadi kurang lengkap berikut segala akibatnya.

Dalam keseharian, hukum, perundang- undangan, institut hukum, dan penegakan hukum tampil di hadapan publik sebagai dokumen, aksi proses yang mudah diamati. Memang bukan tugas publik untuk mengetahui lebih dalam tontonan di hadapan mereka. Pun bukan hak mereka menilai dan mengadili apa yang dilihat. Dari situ masyarakat menilai kinerja hakim, jaksa, polisi, birokrasi.

Dulu dan sekarang

Tentang hukum dan penegakan hukum, saya sebut sebagai sajian jurnalistik. Informasi jurnalistik itu baru menampilkan skeleton, belum potret utuh kehidupan hukum. Untuk menjadikan utuh, skeleton itu membutuhkan "darah dan daging". Karena keterbatasan ruang, tidak semua "darah dan daging hukum" dapat dibicarakan, hanya sebagian, yaitu dinamika politik di Tanah Air. Menempatkan atau mengakarkan hukum ke dalam habitat politik akan membantu memahami lebih dalam keadaan hukum kita.

"Orde 1998-2006" atau orde politik Indonesia kini jauh berbeda dari "orde 1967-1998". Ini menyebabkan kehidupan dan penegakan hukum dalam kedua periode orde itu juga berbeda besar.

Orde pemerintahan Soeharto memiliki kecenderungan kuat ke arah sentralisme, otoriter, dan represif. Kekuasaan politik dengan efisien dan efektif mengendalikan kekuasaan publik, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Meski peraturan yang membolehkan campur tangan presiden ke dalam pengadilan dicabut dalam periode itu, tetapi pencabutan itu tidak dapat menahan kekuatan politik Soeharto untuk mencampuri urusan pengadilan.

Maka, kekuatan politik nyata (real politics) bekerja diam-diam dan tetap menempatkan pengadilan di bawah kekuasaannya. Tengoklah, betapa banyak putusan pengadilan di tingkat bawah dimentahkan pada pengadilan tertinggi, seperti kasus Kedungombo, Muchtar Pakpahan, dan majalah Tempo. Contoh-contoh itu menunjukkan, independensi pengadilan hanya di atas kertas, tidak dalam realitas di masyarakat yang sarat intervensi politik.

Memang di permukaan tampak seolah- olah stabil, tetapi sebetulnya tidak stabil dalam arti sebenarnya, bahkan stagnan dan statis. Saat itu, kata-kata "yang berbeda akan digebuk" sudah menjadi bunyi- bunyian biasa. Pekerjaan polisi, jaksa, pengadilan, dan eksekutif menjadi relatif ringan karena berlindung di bawah sayap burung politik raksasa yang perkasa.

Sejak tahun 1998, orde politik yang disebut reformasi bertolak belakang dengan watak orde sebelumnya. Jika sebelumnya otoriter dan tertutup, orde 1998 mengedepankan akuntabilitas publik dan keterbukaan (transparancy). Perubahan besar itu amat berpengaruh terhadap penegakan hukum atau cara bangsa ini berhukum.

Ibarat kotak yang tertutup rapat lalu dibuka, isinya berhamburan seraya mengibarkan panji-panji demokrasi rakyat, berani merangsek maju, mendobrak pintu kekuasaan yang sebelumnya angker, apakah itu pemerintah, kejaksaan, pengadilan, atau lainnya. Demokratisasi dalam hukum melahirkan lembaga-lembaga independen, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, dan banyak komisi lainnya. Kekuasaan yang semula terpusat mulai didelegasikan ke daerah lewat legislasi otonomi daerah yang menimbulkan banyak masalah.

Berdampak pada hukum

Kita tidak bisa melewatkan realitas perubahan politik itu karena berdampak pada pekerjaan hukum. Kini pekerjaan hukum harus dapat berdiri sendiri secara otentik karena tidak ada lagi kekuasaan dan kekuatan hegemonial yang mendukungnya. Hakim, jaksa legislator, menjadi bulan-bulanan rakyat atas nama demokrasi, akuntabilitas, dan transparansi. Siapa saja, kapan saja, dapat tampil di hadapan Mahkamah Konstitusi untuk menggugat produk-produk legislatif. Dalam kenyataannya, banyak produk yang dimatikan. Kadang kesalahan dilemparkan ke lembaga legislatif sebagai kurang memiliki kemampuan membuat undang-undang.

Kini segalanya terbuka untuk dilihat dan digugat. Kejaksaan dan pengadilan tidak "tiba-tiba" bekerja buruk, tetapi sudah puluhan tahun. Tidak mudah menyangkal kesimpulan Sebastian Pompe (2005) tentang prestasi pengadilan dan Mahkamah Agung. Kemerosotan itu dirumuskan, "courage turn to to cowardice, capability to incompetence, integrity to structural corruption, and respect to contempt". Karya Pompe tidak akan beredar di Indonesia andai tidak ada perubahan besar dalam iklim politik di negeri ini.

Orde politik yang prodemokrasi, civil society, akuntabilitas, dan transparansi kekuasaan publik melahirkan cara berhukum yang berbeda daripada masa sebelumnya. Keadaan atau atmosfer yang demikian itu menjadikan para pelaku kekuasaan publik duduk di kursi panas.

Selain itu, kekuasaan hukum tidak dirancang untuk menghadapi perubahan besar dalam orde politik, sebagaimana diuraikan di muka Pengadilan Tipikor dan HAM, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Juga, dulu tidak pernah terjadi anggota DPRD, mantan menteri, gubernur, bupati, dan wali kota diadili.

Kita perlu melihat "potret buram" hukum dan penegakan hukum dalam konteks lebih besar sehingga mampu menangkap maknanya secara utuh. Kita coba pahami karut-marut hukum kita. Bagaimanapun, saat-saat berat ini harus dihadapi. Yang penting, kita tidak kehilangan kompas untuk menjadikan negara hukum ini sebuah rumah yang menyejahterakan dan membahagiakan seluruh rakyatnya.

SATJIPTO RAHARDJO Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

KEDUDUKAN DAN WEWENANG PTUN DI INDONESIA



PENDAHULUAN

Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan pancasila dan undang-undang Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram serta tertib. Dalam tata kehidupan yang demikian itu dijamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum. Akan tetapi berbagai fungsi untuk menjamin kesamaan kedudukantersebut dan hak perseorangan dalam masyarakat harus di sesuaikan dengan pandangan hidup serta kepribadian negara dan bangsa berdasarkan pancasila sehingga tercapai keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Dalam Negara Republik Indonesia telah di jelaskan dalam pasal 10 ayat (1), UU No. 14 tahun 1970 di sebutkan bahwa:

Ayat (1): kekuatan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan

a). Peradilan Umum

b). Peradilan Agama

c). Peradilan Militer

d). Peradilan Tata Usaha Negara

Di dalam peradilan Tata Usaha Negara itu mencakup sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat di keluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara yang dianggap melanggar hak orang atau badan hukum perdata. Peradilan Tata Usaha Negara itu diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat yang mencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan Tata Usaha Negara.

PERMASALAHAN

Sejauh manakah kedududkan dan wewenang peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia?

PEMBAHASAN

Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara dalam undang-undang ini dilaksanakan oleh pengadilan Tata Usaha Negara dan pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung sesuai dengan prinsip-pinsip yang ditentukan oleh undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dan undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Adapun undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur mengenai wilayah kekuatan PTUN dalam pasal 6 disebutkan bahwa:

Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di kotamadia atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya dan kabupaten.

Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.

Adapun undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara ini merupakan pelaksanaan lebih lanjut undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuatan kehakiman. Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara, kecuali sengketa Tata Usaha di lingkungan Angkatan Bersenjata dan dalam soal militer yang menurut ketentuan undang-undang Nomor 16 Tahun 1953 dan undang-undang Nomor 19 Tahun 1953 dan undang-undang Nomor 19 Tahun 1958 diperiksa, diputus, dan diselesaikan oleh peradilan Tata Usaha Militer, sedangkan sengketa peradilan Tata Usaha Negara lainnya yang menurut undang-undang ini tidak menjadi wewenang peradilan Tata Usaha Negara, diselesaikan oleh peradilan umum.

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara bagi rakyat pencari keadilan. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasarnya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara kecuali:

1). Sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir.

2). Sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif dalam hal ini Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama, sebagaimana diketahui didalam sistem peraturan perundang-undangan kita dikenal adanya penyelesaian sengketa tata usaha negara melalui upaya administratif. Setelah adanya undang-undang ini bagi mereka terbuka kemungkinan untuk mengajukan persoalannya ke pengadilan tinggi tata usaha negara. Mahkamah Agung sebagai pelaksana tinggi kekuatan kehakiman dan pengadilan kasasi diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Tidak setiap sengketa Tata Usaha Negara harus diselesaikan oleh PTUN, karena dapat pula ditempuh upaya administratif, disamping upaya peradilan. Upaya peradilan berarti upaya melalui badan peradilan, baik tingkat 1 pada PTUN, atau tingkat banding pada pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, maupun tingkat kasasi Mahkamah Agung.

Upaya administratif adalah upaya melalui instansi atau badan Tata Usaha Negara, biasanya yang secara hirarki lebih tinggi atau lain dari yang memberi putusan pertama. Upaya ini disebut prosedur keberatan atau administratifse beroep. Apabila badan Tata Usaha Negara diberi wewenang untuk menyelesaikan secara administratif suatu sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa itu harus lebih dahulu diselesaikan secara administratif, kalau upaya administratif ini tidak memuaskan untuk yang bersangkutan maka barulah dilakukan upaya melalui peradilan Tata Usaha Negara.

Pembatasan kompetensi PTUN dalam mengenai kasasi sengketa tata usaha Negara tidak hanya dari sifat langsungnya penanganan saja, tapi PTUN juga tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan memyelesaikan sengketa tata usaha Negara yang dikeluarkan oleh administator dalam kondisi-kondisi tertentu. Pembatasan ini sebagaimana di atur dalam pasal 49 uu No. 5 Tahun 1986 yang mengatur sebagai berikut:

1). Kondisi dimana PTUN tidak berwenang

Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2). Pembatasan lain adalah pembatasan yang menyangkut materi atau isi dari ketetapan yang di ssengketakan, sebab PTUN tidak berwenang untuk memutus dan menyelesaikan perkara sengketa Tata Usaha Negara yang materinya menyangkut hal yang diatur dalam pasal 2 UU No. 5 Tahun 1986 sebagai berikut.

Keputusan tata usaha Negara yang merupakan perbuatan Hukum Perdata.

Keputusan tata usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.

Keputusan tata usaha Negara yang memerlukan persetujuan.

Keputusan tata usaha Negara yang di keluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Pidana atas kitab kitab undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat Hukum Pidana.

Keputusan Tata Usaha Negara yang di keluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peadilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan bersenjata Republik Indonesia

Keputusan panitia pemilihan, baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

KESIMPULAN

PTUN menangani dalam sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau pejabat tata usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara yang dianggap melanggar hak orang atau badan hukum perdata Peradilan Tata Usaha Negara itu diadakan dalam rangka memberikn perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan Tata Usaha Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. C.S.I. Kansil, S.H., Christine S.T. Kansil S.H., Modul Hukum Administrasi Negara, PT. Pradya Paramitha, Jakarta, cet I, 1997.

Prof . HAM. Effendi, S.H., Pengantar Tata Hukum Indonesia, Mahdi Offset, Semarang, 1994.

Yos Johan Utomo, S.H. MHum, Kiat Berperkara Di Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang

KEDUDUKAN HAK ULAYAT DALAM UUPA

I. PENDAHULUAN

Sesuai dengan Undang-Undang no.5 tahun 1960 yaitu UUPA, dimana UUPA merupakan undang-undang yang menjadi pokok dalam penyusunan hukum tanah Nasional di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui pula UUPA mengakhiri kebinekaan perangkat hukum yang mengatur dalam bidang pertanahan yang mana dalam pengaplikasiannya masih di dasarkan pada hukum adat.

Selain hukumnya UUPA juga menunifikasikan hak-hak penguasaan atas tanah terutama hak-hak atas tanah yang di dalamnya masih banyak melahirkan kontroversi maupun hak-hak jaminan atas tanah. Dewasa ini hukum adat apabila kita melihat realita yang ada dalam perihal hak atas tanah dapat memungkinkan di dalamnya adanya penguasaan atas tanah yang secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.

Hal tersebut diatas seiring dengan rumusan konsepsi hukum adat yang mempunyai sifat komunalistik religius. Dimana dengan adanya hal tersebut menimbulkan dan menunjuk adanya hak ulayat dalam masyarakat adat, yang keberadaannya dalam Hukum Tanah Nasional (UUPA) masih dipermasalahkan. Begitu juga statusnya dalam masyarakat adat itu sendiri.

Maka dari itu, untuk lebih jelasnya penulis akan berusaha untuk mengelaborasikan secara terperinci dan menjawab permasalahan tersebut diatas dalam bentuk tulisan yang berjudul “Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA”.


II. PERUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakan kedudukan hak ulayat dalam Hukum Tanah Nasional (UUPA) di Indonesia?
2. Apa saja yang termasuk dalam tanah ulayat tersebut?

III. PEMBAHASAN

a. Pengertian

Definisi dari hak ulayat disini adalah suatu sifat komunaltistik yang menunjuk adanya hak bersama oleh para anggota masyarakat hukum adat atas suatu tanah tertentu.

Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa, Marga magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik atau keluarga, seperti suku.

Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, namun tidak ada kewajiban untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Oleh karena itu penguasaan tanahnya dirumuskan dengan sifat individual.

Dalam pada itu, hak individual tersebut bukanlah bersifat pribadi, semata-mata, di dasari, bahwa yang dikuasai dan digunakan itu adalah sebagian dari tanah bersama. Oleh karena itu dalam penggunaannya tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata-mata, melainkan juga harus diingat akan kepentingan bersama, yaitu kepentingan kelompok, maka sifat penguasaan yang demikian itu pada dirinya mengandung apa yang disebut dengan unsur kebersamaan.

Oleh sebab itu, hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan hak milik dalam arti yuridis, akan tetapi merupakan hak kepunyaan bersama, maka dalam rangka hak ulayat dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

b. Kedudukan Hak Ulayat dalam UUPA

Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.

Pelaksanaan tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut : “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa kepentingan sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas".

Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.

Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak di hapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).

c. Tanah-Tanah Ulayat

Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.

Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka sekiranya dapat kami gambarkan bahwasanya hak ulayat dalam masyarakat hukum adat tersebut selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah-bersama para anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata, juga mengandung tugas, kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan peruntukan dan penggunaannya yang termasuk bidang hukum publik.

Hak bersama dalam masyarakat adat yang merupakan hak ulayat bukan hak milik dalam arti yuridis, melainkan merupakan hak kepunyaan bersama yang itu adalah kepentingan bersama.


_________o0o_________


DAFTAR PUSTAKA


Bushar, Muhammad, Prof. S.H, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, Cet-IX, 1994
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta : Djambatan, Cet. 7, 1997
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, Cet-VIII, 1989
Sutami, Siti, A. S.H, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung : PT. Eresco, 1992
Soekanto, Prof. Dr, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Jakarta : CV. Rajawali Press, 1981

MEMINDAHKAN SPERMA KE PEREMPUAN LAIN ATAU HEWAN, PENCAMPURAN SPERMA ORANG LAIN

I. PENDAHULUAN

Para ahli Ushul fiqh telah membahas maqasid syari’ah, yakni untuk mewujudkan kemaslahatan umat yang berpangkal dari misi Islam "menjaga rahmad bagi alam semesta". Memindahkan bahkan mencampurkan sperma orang lain ini merupakan salah satu bahasan dari lima pokok ajaran Islam yang sangat perlu diperhatikan, yakni mengenai keturunan. Pada dasarnya pemeliharaan keturunan adalah demi menjaga ketetiban umat.

Disini akan tampak perbedaan antara tradisi kelahiran manusia dan kelahiran hewan, hewan tidak ada permasalahan siapa ayah serta silsilah, tetapi manusia senantiasa memerlukan kejelasan baik pertanggungjawabannya di dunia maupun di akherat nanti.

Hubungan seks pada dasarnya adalah ibadah sehingga proses dan praktiknya pun harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam, yakni dalam perkawinan yang syah, sehingga ada pertanggungjawaban antara suami dan istri.

Dalam pembicaraan Hukum Islam antara “sah” dan “haram” itu terkadang bisa berjalan bersama-sama. Sebagai contoh adalah mengenai rahim sewaan, mungkin akan ada yang berpendapat melonggarkan konsep radha’ah (susuan). Namun dalam Islam, rahim adalah sesuatu yang sangat terhormat, sehingga perbuatan seperti itu tetap melanggar ketentuan Islam. Contoh lain adalah salat degan mengenakan pakaian ghasab atau hasil curian. Dalam kasus ini, shalat seseorang adalah sah, namun perbuatannya haram. Dalam istilah biologi istilah memindahkan sperma biasa disebut dengan inseminasi dan pencampuran biasa disebut bank nutfah.

II. PEMBAHASAN

Dalam dunia kedokteran, teknik pemindahan sperma pada manusia dapat dilakukan dengan:

  1. Fertilazation in Vitro (FIV), yaitu dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri, kemudia diproses dalam sebuah bejana atau vitro, setelah terjadi pembuahan lalu ditranfer dirahim istri.
  2. Gamet Intra Felopiah Tuba (GIFT), yaitu dengan mengambil sperma suami dan ovum istri, setelah terjadi pembuahan segera dimasukkan di saluran telur atau tuba jalopi.

Hukum Memindahkan Sperma Pada Hewan

Pada umumnya hewan baik yang hidup didarat, air, an juga terkadang diudara adalah halal dimakan dan dimanfaatkan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, kecuali beberapa jenis makanan atau hewan yang dilarang jelas oleh agama.
Mengembangbiakkan semua jenis hewan yang halal adalah diperbolehkan dalam Islam, baik dengan jalan inseminasi alam (natural insemination) maupun dengan inseminasi buatan (artifical insemination). Dasar hukumnya adalah :

1. Dasar Qiyas (analogi)


Lakukanah pembuahan buatan! Kalian lebih tahu tetang urusan dunia kalian

Kalau inseminasi pada tumbuh-tumbuhan itu diperbolehkan, kiranya pada hewan juga dibenarkan, karena kedua-duanya sama-sama diciptakan oleh Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia, sebagaimana firman Allah Q. S. Qaf: 9-11, tentang cara menyelesaikan pesengketaan yang timbul antara kaum muslimin dan larangan memperolok.

2. Kaidah Hukum Fiqh Islam


Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh, sehingga ada dalil yang kongkret melarangnya

Dan karena tidak dijumpai ayat dan hadits yang seara ekspilit melarang inseminasi buatan pada hewan, maka berarti hukumnya mubah. Namun mengingat misi Islam tidak hanya mengajak umat manusia beriman, beribadah, dan bermuamalah sesuai tuntutan Islam, melainkan Islam mengajak untuk berakhlakul karimah baik terhadap Tuhan, manusia, sesama makhluk termasuk hewan dan lingkungan hidup, maka perlu direnungkan sebab hewan makhluk hidup seperti manusia yang mempunyai nafsu dan naluri untuk kawin guna memenuhi seksual instingnya, mencari kepuasan, dan melestarikan jenisnya di dunia.

Hukum memindahkan sperma pada perempuan lain
Mengenai hukum inseminasi buatan pada manusia apabila dilakukan dengan sperma dan ovum suami istri, baik dengan cara mengambil sperma suami yang disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim, kemudian buahnya (vertilezed ovum) ditanam didalam rahim istri, ini dibolehkan asal keadaan suami istri tersebut benar-benar memerlukannya.

Hajat (kebutuhan yang sangat penting atau necessity) diperlukan seperti keadaan darurat atau emergency, padalah keadaan darurat itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang”.

Sebaliknya kalau memindahkan sperma kepada wanita bukan istri atau dengan donor sperma dan atau ovum, maka diharamkan dan dihukumi sama dengan zina. Dalil syar’i yang mengharamkannya adalah:
1. Firman Allah SWT:


Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka didaratan dan dilautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahkluk yang telah Kami ciptakan”.


Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan sebagai mahkluk yang mempunyai keistimewaan dan kelebihan, sementara inseminasi dengan donor itu pada hakekatnya merendahkan harkat manusia (human diguty) sejajar dengan hewan.

2. Hadits Nabi SAW:


Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkam airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain)”. (HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi).
Hadits ini, dapat menjadi dalil karena kata “...” itu dalam bahasa Arab bisa berarti “air hujan” dan bisa juga “benda cair” atau “sperma”, seperti pengertian yang dipakai dalam QS. Thaha : 53.

Tidak ada satu dosa yang lebih besar setelah syirik disisi Allah daripada setetes sperma yang dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam rahim yang tidak halal baginya (bukan istrinya)”.
Hadits tersebut menjelaskan bahwa memasukkan sperma ke rahim wanita lain adalah dilarang agama, sebab perbuatan tersebut dikategorikan sebagai dosa besar setelah syirik.

3. Kaidah Hukum Fiqih Islam

Menghindari madarat (bahaya) harus didahulukan atas mencari/menarik maslahat/kebaikan”.
Proses inseminasi buatan memang mempunyai sisi maslahat, namun sisi madaratnya pun ada. Maslahatnya adalah dapat membentu pasangan suami istri yang menghalangi bertemunya sel sperma dengan sel telur. Misal karena saluran telurnya (tuka valupi) terlalu sempit atau ejakulasinya (pancaran sperma) terlalu lemah. Sementara madaratnya lebih besar, yakni:

  • Percampuran nasab, karena akan berkaitan dengan kemahraman dan kewarisan.
  • Bertentangan dengan sunnatullah.
  • Pada hakekatnya adalah zina, karena terjadi percampuran sperma dan ovum tanpa pernikahan yang sah.
  • Kehadiran anaknya akan dapat menimbulkan konflik dalam rumah tangga.

Hukum Pencampuran Sperma Orang Lain
Bahwasannya melakukan inseminasi buatan dengan sperma donor adalah tidak diperbolehkan, maka pencampuran sperma/bank nutfah itu pun dilarang. Karena dengan adanya bank sperma sebagai pemilik sperma tidak diketahui dengan jelas. Sementara sperma donor yang jelas pemiliknya pun tidak boleh. Perbuatan itu juga bisa mengarah kepada perbuatan zina.
Sesuai dengan Firman allah:

Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.


III. KESIMPULAN
Dari uraian diatas, penulis dapat menyimpulkan:

  1. Proses pemindahan sperma pada hewan adalah boleh.
  2. Proses inseminasi buatan dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah adalah boleh, tetapi dengan sperma donor adalah haram hukumnya sama dengan zina.
  3. Pemerintah hendaknya melarang berdirinya bank nutfah karena selain bertentangan dengan Pancasila dan UUD ’45, juga bertentangan dengan norma agama dan moral, serta merendahkan martabat.
  4. Pemerintah hendaknya melarang keras praktek inseminasi buatan dengan sperma donor.

DAFTAR PUSTAKA

  • Zuhdi, Masjfuk; Masail Fiqhiyah, Jakarta : PT. Toko Gunung Agung, 1994.
  • Azizy, Ahmad Qodri; Islam Dan Permasalahan Sosial, cet. I, Yogyakarta : LKIS, 2000.
  • Abdul Madjid, Ahmad; Masail Fiqhiyyah, Pasuruan : PT. Garoeda Buana Indah, 2000.
  • Mangundiwirjo, Daldiri; Pendewasaan Masa Perkawinan Ditinjau Dari Kesehatan Jiwa, Surabaya : BKKBN, 1983.

Identitas Nasional

Pada hakikatnya manusia hidup tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, manusia senantiasa membutuhkan orang lain. Pada akhirnya manusia hidup secara berkelompok-kelompok. Manusia dalam bersekutu atau berkelompok akan membentuk suatu organisasi yang berusaha mengatur dan mengarahkan tercapainya tujuan hidup yang besar. Dimulai dari lingkungan terkecil sampai pada lingkungan terbesar. Pada mulanya manusia hidup dalam kelompok keluarga. Selanjutnya mereka membentuk kelompok lebih besar lagi sperti suku, masyarakat dan bangsa. Kemudian manusia hidup bernegara. Mereka membentuk negara sebagai persekutuan hidupnya. Negara merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh kelompok manusia yang memiliki cita-cita bersatu, hidup dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang sama.

Negara dan bangsa memiliki pengertian yang berbeda. Apabila negara adalah organisasi kekuasaan dari persekutuan hidup manusia maka bangsa lebih menunjuk pada persekutuan hidup manusia itu sendiri. Di dunia ini masih ada bangsa yang belum bernegara. Demikian pula orang-orang yang telah bernegara yang pada mulanya berasal dari banyak bangsa dapat menyatakan dirinya sebagai suatu bangsa. Baik bangsa maupun negara memiliki ciri khas yang membedakan bangsa atau negara tersebut dengan bangsa atau negara lain di dunia. Ciri khas sebuah bangsa merupakan identitas dari bangsa yang bersangkutan. Ciri khas yang dimiliki negara juga merupakan identitas dari negara yang bersangkutan. Identitas-identitas yang disepakati dan diterima oleh bangsa menjadi identitas nasional bangsa.

Hakikat Bangsa

Konsep bangsa memiliki 2 (dua) pengertian ( Badri Yatim, 1999) yaitu bangsa dalam pengertian sosiologis antroplogis dan bangsa dalam pengertian politik :

Bangsa dalam arti Sosiologis Antropologis : Bangsa dalam pengertian sosiologis antropologis adalah persekutuan hidup masyarakat yang berdiri sendiri yang masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama dan adatistiadat . Jadi mereka menjadi satu bangsa karena disatukan oleh kesamaan ras, budaya , keyakinan, bahasa dsb. Ikatan demikian disebut ikatan primordial. Persekutuan hidup masyarakat semacam ini dalam suatu negara dapat merupakan persekutuanhidup yang mayoritas dan dapat pula persekutuan hidup minoritas.

Bangsa dalam Arti Politis : Bangsa dalam pengertian politik adalah suatu masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk pada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Jadi mereka diikat oleh kekuatan politik, yaitu negara. Jadi, bangsa dalam arti politik adalah bangsa yang sudah bernegara dan mengakui serta tunduk pada kekuasaan dari negara yang bersangkutan. Setelah bernegara , terciptalah bangsa. Bangsa dalam arti sosiologis antropologis sekarang ini lebih dikenal dengan istilah suku, etnic atau suku bangsa. Ini untuk membedakan dengan bangsa yang telah beralih dalam arti politis.

Cultural Unity dan Political Unity

Melalui pemahaman yang kurang lebih sama, bangsa pada dasarnya memiliki da arti yaitu bangsa dalam pengertian kebudayaan (cultural unity) dan pengertian bangsa dalam pengertian politik kenegaraan (political unity). Cultural unity adalah bangsa dalam pengertian sosiologis antropologi sedangkan political unity adalah bangsa dalam pengertian politik kenegaraan.

Identitas Nasional

Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan. Secara etimologis , identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan “ nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Kata “nasional” merujuk pada konsep kebangsaan.

Faktor pembentukan Identitas Bersama

Proses pembentukan bangsa- negara membutuhkan identitas-identitas untuk menyataukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa, yaitu :

a. Primordial

b. Sakral

c. Tokoh

d. Bhinneka Tunggal Ika

e. Sejarah

f. Perkembangan Ekonomi

g. Kelembagaan

Hakikat Negara

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Negara mempunyai pengertian :

· Negara adalah organisasi disuatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya

· Negara adalah kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi dibawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai satu kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.

Unsur-unsur Negara meliputi :

1. Unsur Konstitutif atau Unsur Pembentuk

§ Rakyat

Yaitu orang-orang yang bertempat tinggal diwilayah itu, tunduk pada kekuasaan negara dan mendukung negara yang bersangkutan.

§ Wilayah

Yaitu daerah yang menjadi kekuasaan negara serta menjadi tempat tinggal bagi rakyat negara. Wilayah juga menjadi sumber kehidupan rakyat negara . Wilayah negara mencakup wilayah darat, laut dan udara

§ Pemerintah yang berdaulat

Yaitu penyelenggaraan negara yang memiliki kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan di negara tersebut. Pemerintahan tersebut memiliki kedaulatan baik kedalam maupun keluar. Kedaulatan kedalam berarti negara memiliki kekuasaan untuk ditaati oleh masyarakatnya. Kedaulatan keluar artinya negara mempunyai kemampuan mempertahankan diri dari serangan negara yang lain

2. Unsur Deklaratif, yaitu pengakuan dari negara lain. Unsur deklaratif adalah unsur yang sifatnya menyatakan, bukan unsur yang mutlak.

Sifat-sifat Negara

Sebagai organisasi kekuasaan negara mempunyai sifat :

1. Memaksa

2. Monopoli

3. Mencakup semua

Teori Terjadinya Negara

a. Proses terjadinya Negara secara teoritis

§ Teori Hukum Alam

Kondisi alam tempat tumbuhnya manusia yang terus berkembang dan membutuhkan aturan dan ketertiban hingga membentuk suatu pemerintahan, dan menjadi negara

§ Teori Ketuhanan

Segala sesuatu terjadi karena kehendak dan ciptaan Tuhan

§ Teori Perjanjian

Manusia menghadapi kondisi alam dan menimbulkan kekerasan, manusia akan musnaj bila tidak mengubah hidupnya. Akhirnya mereka bersatu untuk mengatasi tantangan dan menggunakan persatuan dalam gerak tunggal untuk kebutuhan bersama.

b. Proses terjadinya Negara di Zaman Modern

§ Penaklukan

§ Peleburan atau fusi

§ Pemecahan

§ Pemisahan diri

§ Perjuangan atau Revolusi

§ Penyerahan atau pemberian

§ Pendudukan atas wilayah yang belum ada pemerintahan sebelumnya

Bangsa dan Negara Indonesia

Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia sebagai berikut :

1. Adanya persamaan nasib , yaitu penderitaan bersama dibawah penjajahan bangsa asing lebih kurang selama 350 tahun

2. Adanya keinginan bersama untuk merdeka , melepaskan diri dari belenggu penjajahan

3. Adanya kesatuan tempat tinggal , yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke

4. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa

Cita- Cita, Tujuan dan Visi Negara Indonesia

Bangsa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan rumusan singkat, negara Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini sesuai dengan amanat dalam Alenia II Pembukaan UUD 1945 yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.

Tujuan Negara Indonesia selanjutnya terjabar dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945. Secara rinci sbagai berikut :

1. Melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

2. Memajukan kesejahteraan umum

3. Mencerdaskan Kehidupan bangsa

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi, dan keadilan sosial

Adapun visi bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai , demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa dan berahklak mulia, cita tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, mengausai ilmu pengetahuandan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Setelah tidak adanya GBHN makan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka mengenah (RPJM) Nasional 2004-2009, disebutkan bahwa Visi pembangunan nasional adalah :

1. Terwujudnya kehidupan masyarakat , bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.

2. Terwujudnya masyarakat , bangsa dan negara yang menjujung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia.

3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Identitas Nasional Indonesia :

1. Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia

2. Bendera negara yaitu Sang Merah Putih

3. Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya

4. Lambang Negara yaitu Pancasila

5. Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika

6. Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila

7. Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945

8. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat

9. Konsepsi Wawasan Nusantara

10. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai Kebudayaan Nasional