Halaman

Jumat, 02 Januari 2009

Politik Hukum Hak Cipta: Meletakkan Kepentingan Nasional Untuk Tujuan

Politik Hukum Hak Cipta: Meletakkan Kepentingan Nasional Untuk Tujuan
Global#
Budi Agus Riswandi##
Pendahuluan
Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa merupakan
sesuatu yang tidak dapat diabadikan keberadaannya. Sehingga sangat jelas, jika
kondisi hukum suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan ekonomi pun
akan mudah untuk dilaksanakan. Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu
berperan secara efektif, maka dapat dipastikan akan berdampak buruk
terhadap pembangunan ekonomi.
Kondisi ini tentu berlaku pula bagi Indonesia sebagai sebuah negara
yang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala
Indonesia menyatakan diri dalam konstitusinya sebagai negara hukum
(rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa Indonesia menghendaki dua hal;
Pertama, hukum diharapkan dapat berfungsi; Kedua, dengan hukum dapat
berfungsi, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk direalisasikan.
Sejalan dengan pemikiran ini, kalu dikaji dari sisi politik hukum acapkali
pembentukan hukum, khususnya hukum ekonomi tak selalu sinkron dengan
harapan-harapan tersebut. Sebagi faktor yang menjadi pemicu tidak adanya
kesinkronan ini karena banyak kepentingan yang berkembang di seputar
pembentukan hukum. Kasus riil yang terjadi adalah dalam pembentukan
hukum Hak Cipta. Politik hukum yang berkembang berupa adanya tarik
# Tulisan ini dimuat di Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia No.
25 Vol. 11 – 2004.
## Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Direktur Pusat HKI Fakultas
Hukum UII.
Abstrak
The logical consequences for Indonesia when it takes ratification on GATT/WTO
agreement in which it contains TRIPs agreement cause the disharmonization in the
national law for intellectual copyright. One of law on copyright is the existence of
law on copyright viewed political law perspective is still dominated by foreign
interest. Whereas ideally, the law created nationally tends to bring the national
interest. The national interest must be translated, in the frame of gaining its
objective.
menarik antara kepentingan nasional dan asing. Alhasil, hukum yang dapat
dijadikan sarana bagi pembangunan ekonomi nampaknya menjadi sia-sia
karena yang dikedepankan justru kepentingan asing yang dominan.
Oleh karena itu, penting dipahami bagian yang mana semestinya segera
dilakukan pembentukan hukum hak cipta guna merubah orientasi dari hukum
hak cipta itu sendiri agar lebih banyak memiliki dimensi kepentingan nasional.
Berikut dalam artikel ini akan dicoba dikemukakan beberapa analisis terhadap
permasalahan tersebut.
TRIPs sebagai “Sumber Hukum Nasional” dalam UU Hak Cipta
Globalisasi ekonomi akhirnya berimbas juga pada globalisasi hukum.
Hal ini dapat dituntut salah satunya melalui keikutsertaan Indonesia terhadap
forum GATT/WTO. Perlu diketahui ketika Indonesia meratifikasi Persetujuan
Pendirian Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establising the World Trade
Organization) melalui UU No. 7 Tahun 1994, maka seketika itu pula Indonesia
sudah masuk kepada apa yang disebut dengan “globalisasi”. Globalisasi di sini
menurut Antonio Giden dalam bukunya The Runway World merupakan
globalisasi yang masuk pada setiap aspek kehidupan manusia, baik ekonomi,
politik bahkan sampai budaya.
Dari sisi hukum tentu keikutsertaan Indonesia dalam forum
GATT/WTO akhirnya melahirkan istilah yang disebut “Globalisasi Hukum’.
Betapa tidak, dengan Indonesia meratifikasi Persetujuan Pendirian Organisasi
Perdagangan Dunia beserta lampirannya hal ini berarti Indonesia wajib dan
harus komit terhadap pelaksanaan GATT/WTO sendiri. Komitmen Indonesia
diwujudkan dalam bentuk melakukan upaya harmonisasi hukum nasional
dengan hukum internasional yang ada dalam forum GATT/WTO.
Persetujuan WTO (WTO Agreement), termasuk di dalamnya Persetujuan
mengenai Pembentukan WTO, mencakup;
a) persetujuan multilateral di bidang perdagangan barang (popular dengan
sebutan GATT 1994), yang terdiri dari berbagai teks persetujuan;
b) persetujuan umum di bidang perdagangan jasa (General Agreement on
Trade in Services = GATS);
c) persetujuan mengenai perdagangan dalam kaitannya dengan aspek hak
atas kekayaan intelektual (Agreement on Trade Related Aspects of intellectual
Property Rights = TRIPs);
d) kesepakatan mengenai tata tertib aturan dan prosedur penyelesaian
sengketa (understanding on Rules and Prosedures Governing the Settlement of
Disputes = DSB);
e) kesepakatan mengenai mekanisme peninjauan kembali kebijaksanaan
perdagangan (Trade Policy Review Mechanism = TPRM); dan
f) persetujuan perdagangan plurilateral (Plurilateral Trade Agreement
=PTAs). GATT 1994, GATS, TRIPs, DSU dan TPRM disebut persetujuan
perdagangan multilateral (Multilateral Trade Agreement = MTAs).
Perlu dicatat bahwa sampai saat ini Indonesia belum menandatangani
PTAs (mencakup persetujuan - persetujuan mengenai Civil Aircraft, Government
Procurement, Dairy Product, dan Bovine Meat). Dengan demikian, Indonesia tidak
mempunyai kewajiban apapun terhadap PTAs.1
Khusus berkaitan dengan pembentukan UU Hak Cipta aspek
persetujuan internasional yang dituangkan dalam TRIPs2 mengikat untuk
diharmonisasi dalam UU Hak Cipta. Melalui proses semacam ini kesan yang
muncul bahwa UU Hak Cipta sebenarnya dibentuk berdasarkan pada sumber
hukum biasanya.3
Hal yang dapat dibenarkan bahwa pembentukan UU Hak Cipta tidak
semata-mata langsung mendasarkan diri pada ketentuan TRIPs, namun
melandaskan diri UU No 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement
Establising the World Trade Organization, namun UU ini sendiri sebenarnya jika
dilihat dari ketentuan Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1994 dinyatakan:
Mengesahkan Agreement Establising The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) beserta lampiran
1 Hartanto Reksodipoetro. 1997. “Peluang dan Tantangan Pasca Putaran Uruguay:
Kesiapan Indonesia dalam Perdagangan Internasional, Makalah pada Seminar Nasional WTO,
Mekanisme aperdagangan Internasional Antara Peluang dan Tantangan, Serta Kesiapan
Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Hukum Atma Jaya, 1 Maret 1997.
2 Masalah TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights) menjadi penting, karena
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pedagangan internasional telah berkembang semakin
kompleks dan bervariasi, sejalan dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.
Perlindungan dan penggunaan IPR menjadi unsure yang utama dalam persaingan
perdagangan internasional. Negara-negara Pemrakarsa putaran Uruguay mengemukakan
alasan bahwa banyak perusahaan telah melakukan counterfeiting yang dapat merusak
kepentingan produsen dan konsumen produk sejenis. Hal ini merupakan bukti tidak memadai
dan tidak efektifnya pengaturan IPR yang ada diadministrasi oleh WIPO. Lihat Taryana
Soenandar. 2001. Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-Negara ASEAN. Jakarta: Sinar
Grafika. Hlm. 11. Selanjutnya, pembahasan mengenai perlindungan hak cipta pasca
persetujuan TRIPs dapat dilihat pada Rahmi Jened. 2001. Perlindungan Hak Cipta Pasca
Persetujuan TRIPs. Surabaya: Yuidika Press.
3 Seperti diketahui dalam hierarkis peraturan perundang-undangan, khususnya TAP
MPR No. III/MPR/2000 bahwa undang-undang berada di bawah Ketetapan MPR dan UUD
1945. Oleh karena itu, undang-undang yang dibentuk selain tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan di atasnya,juga harus megacu kepada peraturan di atasnya, yakni ketetapan MPR
dan UUD 1945.
1,2,3 Persetujuan tersebut, yang salinan naskah aslinya dalam bahasa inggris
serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia dilampirkan, sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Berdasar pada ketentuan Pasal 1 terlihat UU No. 7 Tahun 1994 hanya
bersifat formalitas, sedangkan dari sisi substansi sebenarnya muatannya ada
pada hasil-hasil Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.
Termasuk di dalamnya mengenai TRIPs. TRIPs Agreement pada dasarnya
menerapkan standar minimum (minimum standards) bagi semua anggota WTO.
Hal ini terlihat secara jelas dalam artikel 1 dari TRIPs Agreement yang berbunyi:
“Members shall give effect to the provisions of this Agreement. Members may,
but shall not be obliged to, implement in their law more extensive protection
than is required by this Agreement, provided that such protection does not
contravene the provisions of this Agreement. Members shall be free to determine
the appropriate method of implementing the provisions of this Agreement within
their own legal system and practice.”
Dari bunyi artikel 1 dapat diketahui bahwa TRIPs menghendaki adanya
perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual (hak cipta) lebih
tinggi. Akan tetapi, dalam waktu bersamaan TRIPs juga membolehkan setiap
negara untuk memperluas ruang lingkup perlindungan pada hal-hal baru yang
belum ada di dalam persetujuan, seperti kepemilikan lokal dan kebudayaan
masyarakat tradisional.4
Arti Penting Politik Hukum dalam Peletakan Kepentingan Nasional
Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa
bertubrukan satu sama lain itu oleh hukum diintegrasikan sedemikian rupa
sehingga tubrukan-tubrukan itu bisa ditekan sekecil-kecilnya. Pengorganisasian
kepentingan-kepentingan itu dilakukan dengan membatasi dan melindungi
kepentingan-kepentingan tersebut. Memang, dalam suatu lalu lintas
kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu hanya
dapat dilakukan dengan cara membatasi kepentingan dilain pihak.5
Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara
mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara
terukur, dalam arti ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang
demikian itulah yang disebut hak. Dengan demikian, tidak setiap kekuasaan
4 Carrlos M Correa. 2000. Intellectual Property Rights, the WTO and Developig
Countries the TRIPs Agreement and Policy Options. London and New York: Zed Books Ltd.
Hlm. 9.
5 Sartjipto Raharjo. 1982. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. Hlm.64.
dalam masyarakat itu bisa disebut sebagai hak melainkan hanya kekuasaan
tertentu saja, yaitu yang diberikan oleh hukum kepada seseorang.6
Dalam konteks kepentingan antar negara, maka kepentingan itu dapat
direpresentasikan dalam batasan mencegah ancaman dari pihak luar.
Penyelamatan negara dari ancaman dalam dan luar adalah merupakan hak dan
kewajiban dari setiap negara dan bersifat universal. Hak dan kewajiban setiap
negara untuk menegakkan kedaulatannya harus tetap dalam batas-batas rambu
yang diperbolehkan oleh ketentua perundang-undangan. Hal terakhir ini juga
bersifat universal karena dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun negara
yang tidak memiliki ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
bagimana negara itu menyelamatkan dan melindungi wilayahnya,
penduduknya dan kekayaannya. Konstitusi setiap negara sudah pasti
menegaskan tentang hak, kewajiban, tugas, wewenang dan tanggung jawab
baik negara maupun penduduknya untuk mempertahankan atau
menyelamatkan negara.7
Dari pemikiran ini, maka merupakan sutau keharusan bagi suatu negara
tatkala merumuskan suatu peraturan perundang-undangannya senantiasa
memperhatikan pada aspek kepentuingan nasional (national interests). Untuk
dapat mencapai hal demikian, maka faktor politik hukum akan sangat
menentukan. Bagi beberapa negara pola pemikiran ini menjadi sarana yang
cukup efektif. Sebagai contoh dari pernyataan ini misalnya dalam kasus civil
disorder Pemerintah Australia telah mengaturnya dalam Defence act 1993. Di
sini sikap Pemerintah Australia melindungi negaranya dalam keadaan apapun
termasuk keadaan yang disebut dengan civil disorder.8
Akan tetapi sebaliknya di Indonesia, fenomena ini tidak dapat
ditemukan. Keberadaan peraturan perundang-undangan hanya sebatas aturan
normative yang kering dengan semangat kepentingan nasional. Kalaupun
Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan yang menonjol justru
semangat kepentingan negara-negara di luar (baca: negara-negara maju). Hal
ini dapat dirasakan terutama terkait dengan aturan hukum ekonomi.
Berangkat dari persoalan ini, maka sesungguhnya peranan politik
hukum dalam konteks hukum sangat memegang peranan yang sangat
strategis. Barang kali melalui pendekatan politik hukum, maka hukum yang
dibentuk pun setidaknya akan banyak memperhatikan kepada kepentingan
nasional. Pengertian kepentingan nasional bukan berarti dimaknai dalam arti
6 Ibid.
7 Romli Atmasasmita. 2000. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan
Hukum. Bandung: Mandar Maju. Hlm. 194.
8 Ibid.
yang sempit, namun kepentingan nasional di sini merupakan titik tolak dalam
upaya memasuki dunia global.
Politik Hukum Hak Cipta: Meletakan Kepentingan Nasional untuk Tujuan
Global
Kebijakan pembangunaan ekonomi negara-negara berkembang telah
berubah secara drastis sejak tahun 1980-an. Hampir semua negara berkembang
menggeser kebijakan-kebijakan ekonomi mereka kearah liberalisasi yang lebih
besar dan kepercayaan yang lebih besar pada mekanisme pasar melalui
serangkaian reformasi ekonomi berorientasi pasar. Nyaris di segala penjuru
dunia, negara-negara berkembang mulai mengadopsi kebijakan-kebijakan yang
dimaksudkan untuk merestrukturisasi watak peran negara dalam
perokonomian, untuk meliberalisasi perdagangan domestik dan regulasi
investasi dan untuk menswastakan perusahaan-perusahaan milik negara.
Berbagai reformasi kebijakan tersebut nyaris menggantikan secara keseluruhan
semua kebijakan sebelumnya yang mendominasi negara-negara berkembang
dari tahun 1950-an hingga 1970-an. Reformasi yang mengenyahkan
nasionalisme ekonomi dari perbendaharaan kata negara-negara itu,
mengurangi peran eksesif negara dalam perokonomian, dan menghentikan
kecenderungan pada pembangunan di Dunia Ketiga didasarkan pada premis
kebijakan-kebijakan memandang keluar, dirancang untuk mengintegrasikan
perekonomian kedalam pasar global, utamanya ketika strategi-strategi
berorientasi ekspor menggantikan industrialisasi substitusi impor.9
Untuk mendukung proses pengintegrasian ekonomi secara global, maka
hukumpun diposisikan dalam kerangka mendukung tujuan besar tersebut.
Salah satu hukum yang diorientasikan pada hal itu misalnya hukum dalam
bidang hak kekayaan intelektual. Fenomena ini sebenarnya kalau dicermati
secara mendalam lagi bukanlah semata-mata dalam upaya pembentukan
9 Muhadi sugiono. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia
Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. xii. Paul Hirst dan Grahame Thompson dalam
bukunya yang berjudul Globalisasi Adalah Mitos menyimpulkan problem-problem di sekitar
dalil globalisasi, yakni; Pertama, bahwa hanya sedikit eksponen globalisasi yang
mengembangkan konsep yang secara logis berkaitan mengenai perekonomian dunia di mana
kekuatan supra-nasional dan pelaku-pelakunya bersifat menentukan; Kedua, bahwa dengan
menunjukkan fakta tentang meluasnya internasionalisasi hubungan ekonomi sejak tahun 1970-
an, itu sendiri tidak membuktiakan munculnya struiktur ekonomi global yang berbeda; Ketiga,
bahwa perekonomian internasional tnduk kepada perubahan struktur yang besar di dalam
abad lalu dan bahwa sudah ada periode lebih awal internasionalisasi perdagangan, arus modal
dan sistem moneter, khususnya antara tahun 1870-1914; Keempat, bahwa TNC yang benarbenar
Global hanya relatif sedikit dan bahwa kebanyakan perusahaan multi nasional terus
beroperasi dari basis nasional yang berbeda-beda; dan Kelima, bahwa prospek regulasi oleh
kerjasama internasional, pembentukan blok-blok perdagangan, dan berkembangnya strategistrategi
nasional baru yang memperhatikan intrernasionalisasi sama sekali belum habis. Paul
Hirst dan Grahame Thomson. 2001. Globalisasi Adalah Mitos. Jakarta: Yayasan Obor. Hlm.
300-301. Lihat juga George Soros. 2002. Krisis Kapitalime Global. Yogyakarta: Al-Qalam.
globalisasi ekonomi, namun tidak lebih sebagai upaya mengukuhkan
kepentingan ekonomi dari negara-negara maju. Berlandaskan pada
pemahaman ini, maka pembentukan hukum hak kekayaan intelektual yang
berbasis pada kesepakatan TRIPs dapat saja dimaknai sebagai wujud dominasi
kepentingan negara maju terhadap negara berkembang.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi adanya “eksploitasi” ekonomi
dari negara maju terhadap negara berkembang (baca; Indonesia) semestinya
dalam upaya melakukan harmonisasi hukum dari TRIPs terhadap UU Hak
Cipta ini pemerintah (Presiden dan DPR) meletakannya dalam kerangka
kepentingan nasional.10
Dari prinsip kepentingan nasional ini maka pemeintah diajak untuk
mengambil langkah strategis dan jitu dalam upaya meraup manfaat ekonomi
dari HKI dan manfaat ekonomi tersebut dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia
sendiri bukan malah sebaliknya bangsa lain menikmati hasil dari pembentukan
hukum tersebut.
Konsep ini,sebenarnya kalaui dicermati masih sangat terbuka untuk
dilakukan oleh pemerintah. Semisal dalam Pasal 10 UU hak Cipta dinyatakan:
1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah
dan benda budaya nasional lainya.
2) Negara memegang Hak Cipta atas foklor dan hasil kebudayaan rakyat
ayng menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda,
babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya
seni lainnya.
3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat
(2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu
mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dari ketentuan Pasal 10 UU hak Cipta sangat jelas bahwa aturan ini
mempunyai arti yang strategis dan sekaligus mengandung potensi ekonomi
yang sangat tinggi bagi bangsa Indonesia. Seperti diketahui bangsa Indonesia
dalam kenyatannya mempunyai banyak potensi karya dari hasil kebudayaan
10 Kebijakan Pemerintah saat ini baru sebatas penguatan pada instrument hukum.
Halini dapat dilihat dari lima langkah strategis yang diambil oleh pemerintah, yakni legislasi
dan konvensi internasional, administrasi, kerjasama,kesadaran masyarkat dan penegakan
hukum. A. Zein Umar Purba. 2001. “Pokok-Pokok Kebijakan Pembangunan Sistem HaKI
Nasional,” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 13 April 2001. Hlm. 4-5.
masyarakat. Dengan kenyataan itu, sudah sewajarnya apabila pemerintah
orientasi politik hukum lebih mengedepankan pembentukan instrumentinstrumen
hukum yang terkait dengan permasalahan ini.
Akan tetapi hal ini sangat disayangkan mengingat pemerintah
nampaknya kurang peka atas kebutuhan ini. Akibatnya sangat jelas bangsa
Indonesia banyak sekali dirugikan baik secara ekonomi maupun moral. Contoh
kasus adanya peanggaran motif batik di negara Malaysia yang mana batik ini
sebenarnya merupakan karya dari masyarakat Tamansari Yogyakarta.
Hal serupa yang sebenarnya masih terbuka juga bagi pemerintah untuk
melakukan hal yang sama seperti diatas. Hal ini terkait dengan peluang kepada
pemerintah untuk melakukan pembentukan aturan hukum yang terkait dengan
masalah lisensi wajib. Tentunya, pembentukan hukum ini tidak semata-mata
sebatas dituangkan dalam UU hak Cipta namun hendaknya dituntaskan hingga
kepada peraturan pelaksanannya. Bagaimana pun keberadaan aturan hukum
yang mengatur lisensi wajib dalam prakteknya akan sangat bermanfaat bagi
proses pencerdasan kehidupan bangsa, terutama menyangkut akses terhadap
ilmu pengetahuan bagi seluruh komponen bangsa. Dengan dikuasainya ilmu
pengetahuan, maka harus diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi akan dapat
direalisasi.
Hal ini setidaknya tergambar dalam diagram yang dikemukakan oleh J.
Davidson Frame yang memandang bahwa ilmu pengetahuan merupakan
landasan awal dalam membangun pertumbuhan ilmu pengetahuan. Diagram
yang dimaksud adalah:11
Science Technology Productivity Economicgrowth.
Dari diagram di atas, nampak jelas bahwa dengan ilmu pengetahuan
para ilmuwan akan mengaplikasikannya dalam bentuk teknologi, dimana
teknologi ini akan menciptakan produktifitas dan muaranya dengan tingkat
produktifitas yang tinggi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa akan dapat
diraih dengan maksimal.
Berdasar argumentasi itulah, maka peletakan hukum yang mengatur
lisensi wajib menjadi sangat penting. Orientasi akhir dari pembentukan dasar
hukum yang tuntas dari lisensi wajib ini , pada akhirnya hukum mampu
diletakan pada kepentingan nasional dalam kerangka menyongsong era
globalisasi.
Selanjutnya, masih terkait dengan politik hukum hak cipta akan sangat
pantas bila pengaturan sanksi pidana yang ada dalam UU Hak Cipta tidak
11 J. Davidson Frame. 1983. Internasional Business and Global Technologi. Toronto:
LexingtonBooks. Hlm. 8.
didasarkan pada model delik biasa. Delik biasa mengandung arti bahwa setiap
perbuatan pidana dalam bidang hak cipta akan ditegakkan tanpa harus
menunggu pengaduan dari pihak yang dirugikan. Penyidik dapat langsung
melakukan tindakan hukum kepada pelanggar hukum hak cipta.
Sebagaimana diketahui praktek pembajakan di Indonesia hingga kini
masih sangat marak. Anggapan ini setidaknya didasarkan pada data yang
dikeluarkan oleh IDC pada awal tahun 2004 yang menyatakan ada tiga negara
yang kategori mempunyai tinggkat pembajakan yang sangat tinggi. Negaranegara
itu yakni; Vietnam (95%), Cina (92%), dan Indonesia (89%). Di sini
terlihat Indonesia menduduki urutan nomor tiga dalam hal pembajakan hak
cipta. Hal yang tidak dapat dipungkiri pelaku dari pembajakan itu sendiri pada
dasarnya masih sangat dominan dari kalangan bangsa Indonesia.12
Berdasarkan realitas ini, maka penerapan delik biasa akan sangat
menjadi “bumerang” bagi bangsa Indonesia sendiri. Artinya aturan itu
sebenarnya tidak memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap proses
penegakan hukum hak cipta. Justru yang timbul di lapangan muncul bentuk
penyimpangan baru terkait dengan penerapan delik aduan ini. Penyimpangan
tersebut wujudnya bahwa penegakan hukum hak cipta khususnya dalam
penerapan delik biasa ini ada kecenderungan bersifat transaksional. Proses
inilah kiranya yang dianggap tidak memberikan nilai manfaat bagi
kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Simpulan
Pembetukan hak cipta pada hakekatnya tidak dapat melepaskan diri
dari aspek politik hukum. Kenyataanya, kalau dianalisis hukum hak cipta yang
terbentuk sekarang lebih mencerminkan pada kepentingan asing. Untuk hal ini,
maka perlu dilakukan suatu pendekatan baru dengan menggunakan
pendekatan politik hukum juga, dimana politik hukum ini lebih diarahkan
pada politik hukum yang berbasis kepada kepentingan nasional untuk tujuan
global. Beberapa aspek yang penting untuk diperhatikan dalam kaitanya
dengan cara pendekatan ini dalam bidang hukum hak cipta meliputi, aspek
kebudayaan milik masyarakat, lisensi wajib dan penerapan delik biasa.
Daftar Pustaka
12 Budi Agus Riswandi. 2004. “E-Commerce dan Regim Hak kekayaan Intelektual,”
Majalah Legal Review, Maret No. 19/Th. II. Hlm. 31.
Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan
Penegakan Hukum. Bandung: Mandar Maju.
Correa, Carlos M. 2000. Intellectual Property Rights, the WTO and Developing
Countries the TRIPs Agreement and Policy Options. London and New
York: Zed Books Ltd.
Frame, J. Davidson. 1983. International Business and Global Technology.
Toronto: LexingtonBooks.
Hirst, Paul dan Grahame Thompson. 2001. Globalisasi adalah Mitos. Jakarta:
Yayasan Obor.
Perlindungan, Rahmi Jened. 2001. Hak Cipta Pasca Persetujuan TRIPs.
Surabaya: Yuridika Press.
Purba, Zein Umar. 2001. “Pokok-Pokok kebijakan Pembangunan Sistem HaKI
Nasional,” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 13 April.
Raharjo, Sartjipto. 1982. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
Reksodipoetro, Hartanto. 1997. “Peluang dan Tantangan Pasca Putaran
Uruguay: Kesiapan Indonesia dalam Perdagangan Internasional,”
Makalah pada Seminar Nasional WTO, Mekanisme Perdagangan
Internasional Antara Peluang dan Tantangan, Serta Kesiapan
Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Hukum Atma Jaya, 1 Maret.
Riswandi, Budi Agus. 2004. “E-Commerce dan Regim Hak Kekayaan
Intelektual,” Majalah Legal Review, Edisi No. 19/Th II, Maret.
Soenandar, Taryana. 1996. Perlindungan Hak Milik Intelektual di Negara-
Negara ASEAN. Jakarta: Sinar Grafika.
Soros, George. 2002. Krisis Kapitalisme Global. Yogyakarta: Al-Qalam.
Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia
Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar: