Halaman

Jumat, 09 Januari 2009

Konstitusionalisme Vs Fundamentalisme


Oleh Adnan Buyung Nasution

Belakangan ini timbul berbagai ancaman terkait fundamentalisme agama.

Pertama, kemunculan berbagai peraturan daerah syariat yang diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Kedua, desakan untuk mengegolkan RUU tentang Pornografi yang amat antiperempuan (misogynist) dan tidak mampu melindungi anak. Ketiga, tindak kekerasan yang dilakukan kelompok fundamental terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas, rakyat kecil marjinal, juga aktivis pejuang kebebasan beragama.

Ancaman itu menjadi kian serius saat berbagai kelompok fundamental mulai mengembuskan isu mayoritas vis a vis minoritas ke ruang publik. Simak tuntutan pembubaran Ahmadiyah yang selalu dikaitkan pandangan mainstream kelompok Islam.

Demikian pula dengan rencana pengesahan RUU Pornografi yang kabarnya sebagai hadiah Ramadhan bagi mayoritas. Celakanya, aspirasi fundamentalistik yang dikesankan mendapat dukungan mayoritas itu membuat cabang-cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) seolah kehilangan pegangan dan tidak berdaya.

Pertanyaannya, jika benar ada dukungan mayoritas terhadap berbagai aspirasi fundamentalistik, apakah hal itu dapat dijadikan argumentasi yang sahih sebagai pembenaran segala tindakan penyelenggara negara? Pertanyaan itu kerap dijawab serampangan atau disederhanakan melalui ungkapan semacam vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Jika mayoritas berkehendak, maka jadilah.

Pemahaman demikian tentu mengandung kerancuan karena majority rule hanyalah salah satu aturan main dalam demokrasi dan bukan fondasi dari demokrasi itu sendiri. Mekanisme kehendak mayoritas hingga kini dan mungkin sampai kapan pun merupakan prosedur yang jauh lebih baik dibanding sistem monarki atau kekhalifahan yang mengandaikan adanya pribadi pemimpin arif bijaksana yang diangkat secara turun-temurun atau lewat penunjukan segelintir orang.

Meskipun demikian, demokrasi tidak melulu terkait prosedur. Demokrasi harus memiliki substansi, yaitu prinsip-prinsip pokok yang harus ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, demokrasi harus berdasarkan prinsip konstitusionalisme yang bertujuan membatasi kesewenang-wenangan kekuasaan, termasuk mencegah adanya tirani dari kelompok mayoritas (tyranny of the majority).

Konstitusionalisme

Sejak pendirian Republik, Hatta mengupayakan adanya jaminan bagi perlindungan kebebasan individu sekaligus meletakkan fondasi konstitusionalisme di Indonesia. Ia mewakili pendukung prinsip demokratis yang mengajukan penolakan terhadap faham integralistik Soepomo yang mengabaikan hak-hak minoritas dan mengandung ide-ide penyeragaman yang amat berbahaya. Hatta menginginkan adanya suatu negara pengurus yang tidak kebablasan menjadi negara kekuasaan, negara penindas (Risalah Sidang BPUPKI/PPKI).

Upaya mewujudkan konstitusionalisme di Indonesia lalu dilanjutkan dan sempat mendapatkan momentumnya saat Konstituante berhasil dibentuk lewat Pemilu 1955 yang amat demokratis. Anggota konstituante yang berjumlah 544 orang itu telah bersidang selama sekitar 3,5 tahun. Mereka bahkan telah berhasil merumuskan 24 pokok HAM. Namun, sebagaimana kita ketahui, pencapaian itu dimentahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Pada masa Orde Baru, pekerjaan besar bangsa ini untuk mewujudkan konstitusionalisme terhambat. Rezim otoriter menutup segala saluran dan menggunakan aparatusnya untuk menyelusup dalam rongga-rongga terdalam kehidupan masyarakat bahkan secara aktif memantau kehidupan orang perseorangan. Pada masa itu kebebasan menjadi kosakata yang telah kehilangan makna.

Pers dan media layaknya koor yang senada dalam menyuarakan kebijakan pemerintah. Suara sumbang dibungkam lewat mekanisme sensor yang berujung pada pembreidelan. Kehidupan kepolitikan dimandulkan dan sebagai gantinya dihadirkan demokrasi seolah-olah. Lawan-lawan politik dan ideologis penguasa diberi stigma sebagai musuh negara dan diperlakukan layaknya warga negara kelas dua. Batas-batas ditentukan dengan ketat dan upaya untuk melampauinya akan digolongkan sebagai tindakan subversif. Pendeknya, Orde Baru telah melucuti hak-hak individu warga negara.

Memasuki era Reformasi terjadi perkembangan yang cukup baik, terutama setelah amandemen UUD 1945. Kekuasaan negara yang sewenang-wenang dan sentralistik telah dilucuti. Kebebasan warga negara dan otonomi daerah telah mendapatkan jaminan di dalam konstitusi.

Persoalan timbul belakangan saat kebebasan dikotori oleh ekstremisme dalam berekspresi. Otonomi daerah pun ditunggangi aneka kepentingan sektarian untuk mengegolkan berbagai perda diskriminatif dan melanggar HAM.

Ancaman demokrasi kita

Insiden Monas 1 Juni 2008 seharusnya dapat menyadarkan banyak kalangan tentang kondisi demokrasi kita yang masih mengidap penyakit kronis. Virus perusak demokrasi itu dibawa oleh berbagai kelompok fundamental yang mengotori keadaban publik dengan menggunakan cara-cara kekerasan pada sesama warga.

Tindakan premanisme seharusnya dapat diatasi sebelumnya jika saja negara tidak ragu-ragu dalam menegakkan hukum dan konstitusi, terutama untuk menindak pelaku dan melindungi kelompok-kelompok minoritas, yang marjinal, lemah, dan terancam. Meski pada akhirnya aparat bertindak dan hingga kini upaya hukum telah berjalan, terjadinya insiden itu harus dipahami sebagai ekses dari lambatnya respons negara.

Dengan pemahaman demikian, seharusnya saat ini aparat hukum lebih sigap, apalagi dengan menyimak perkembangan serius yang terjadi belakangan dalam proses persidangan.

Berbagai kelompok telah melangkah lebih jauh dengan melecehkan wibawa hukum. Mereka tidak segan-segan melakukan intimidasi, ancaman, bahkan kekerasan di ruang sidang pengadilan. Di titik kritis ini, tidak ada pilihan lain, penegakan hukum harus mampu menjadi ultimum remedium guna mencegah agar tidak terjadi kondisi ketiadaan norma (normless) dan memastikan tercapainya summum bonum (greatest good).

Akhirnya, saya ingin sungguh-sungguh meyakinkan segenap bangsa ini, ancaman fundamentalisme agama itu nyata dan berbahaya karena bertujuan menciptakan negara berdasarkan agama. Sejauh ini berbagai kelompok fundamental itu telah menyorong penyelenggara negara hingga tersudut di tepian jurang inkonstitusionalitas.

Karena itu, kita semua harus senantiasa berpegang teguh pada faham konstitusionalisme agar tidak salah langkah dan mampu menjaga bangsa ini tidak terempas dan pecah berkeping-keping.

Adnan Buyung Nasution Pengacara Senior

Selasa, 2008 Oktober 07

Jangan Rindukan Masa Lampau


Selasa, 7 Oktober 2008 | 01:50 WIB

Oleh EEP SAEFULLOH FATAH

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2008 menempatkan Oktober ini sebagai ”bulan calon anggota legislatif”. Berbagai aktivitas, mulai dari pengumuman daftar calon sementara, penyampaian tanggapan masyarakat atas daftar calon sementara, hingga pengumuman daftar calon tetap, berlangsung selama bulan ini.

Saat ini, ratusan ribu politisi— persisnya belum kita ketahui karena data belum bisa diakses publik—pun bersiap merebut 15.750 kursi DPRD kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Puluhan ribu lainnya berusaha merebut 1.998 kursi DPRD provinsi. Ribuan lainnya bersaing merebut 560 kursi DPR.

Suasana kian hiruk-pikuk jika disertakan kontestasi untuk merebut 132 kursi DPD, kursi presiden/wakil presiden, serta kepala daerah (di 466 kabupaten dan kota serta 32 provinsi).

Jika dihitung secara statistik, Indonesia menyelenggarakan 504 pemilu setiap lima tahun. Artinya, 101 pemilu setiap tahun atau lebih dari delapan pemilu setiap bulan atau dua pemilu setiap minggu! Tak pelak lagi, setelah satu dasawarsa lebih menjalani demokratisasi, Indonesia menjadi negara demokrasi elektoral yang amat sibuk.

Pada titik itulah kabar baik dan buruk bertemu. Di satu sisi, kesibukan berpemilu mengindikasikan betapa demokrasi kita mengalami kemajuan luar biasa pada tataran prosedur atau tata cara. Pejabat publik tak lagi ditunjuk melalui prosedur birokratis. Mereka dipilih melalui mekanisme politik yang memosisikan publik sebagai penentu. Ini adalah salah satu kemajuan pokok hasil demokratisasi.

Namun, di sisi lain, hiruk-pikuk rangkaian pemilu yang seolah tak ada habisnya itu menandai membengkaknya skala biaya (finansial, sosial, politik) dan kerepotan berpolitik. Secara finansial, bisa dibayangkan biaya penyelenggaraan dan kontestasi yang mesti dikeluarkan untuk seluruh rangkaian pemilu. Jika biaya finansial, sosial, dan politik tak terkelola dengan layak, bukan tak mungkin publik akan merasakan demokrasi sebagai beban dan bukan kenikmatan.

Jika selepas pemilu tak lahir pejabat publik berkinerja baik dan tak ada perbaikan kesejahteraan publik, demokrasi bisa dipahami sebagai pohon yang buahnya pahit. Dukungan terhadap demokrasi bisa menyurut.

Setidaknya, begitulah sejarah demokratisasi mengajari kita. Gelombang pembalikan kedua, yakni gelombang pasang surut demokrasi dan pasang naik rezim nondemokratis, sepanjang 1958-1975, antara lain didorong oleh menurunnya legitimasi demokrasi karena dipandang tak mampu memecahkan persoalan pokok, sosial dan ekonomi.

Dari balik pandangan itulah, kerinduan akan masa lampau bisa menguat. Masa lampau yang sesungguhnya pahit bisa tiba-tiba terasa manis. Gejala inilah yang belakangan menguat di Indonesia. Sejumlah survei mengonfirmasikannya.

Tahun 2006, Lingkaran Survei Indonesia mengadakan survei yang antara lain menanyakan, ”Jika Bapak/Ibu bandingkan, mana yang lebih baik di antara kondisi perekonomian di bawah Presiden Soeharto atau di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini?” Hasilnya, 62 persen menilai kondisi perekonomian di bawah Soeharto lebih baik, dan hanya 10 persen yang menilai di bawah SBY lebih baik.

Survei yang sama menanyakan, ”Menurut Bapak/Ibu, kondisi ekonomi di masa manakah yang lebih baik, Orde Lama di bawah Soekarno, Orde Baru di bawah Soeharto, atau Era Reformasi sekarang ini?” Ternyata, mereka yang menilai Orde Baru lebih baik mencapai 69,6 persen, jauh di atas mereka yang memilih Era Reformasi (5 persen) dan Orde Lama (10,3 persen).

Survei lain, diadakan Lembaga Kajian dan Survei Nusantara (Laksnu) tahun lalu, memperkuat data itu. Berdasarkan survei ini, lebih banyak responden yang menilai Soeharto sebagai presiden terbaik yang pernah dimiliki Indonesia (34,7 persen) dibandingkan dengan yang memilih Soekarno (28,6 persen) dan presiden di masa Reformasi.

Alih-alih menganggapnya tak ada, kita selayaknya menempatkan perindu masa lampau sebagai tantangan demokrasi. Demokrasi Indonesia mesti menjawab tantangan mereka.

Demokrasi harus meyakinkan betapa kembali ke masa lampau bukanlah pilihan. Setelah belajar berdemokrasi selama satu dekade, kita sekarang mampu mengembangkan kebebasan, partisipasi, dan kompetisi. Benar bahwa prinsip mandat, keterwakilan, dan akuntabilitas serta kesejahteraan memang belum bisa kita capai secara memuaskan. Namun, di masa lampau, yang kita tak miliki apa pun, kecuali capaian ekonomi semu.

Ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhan pokok, misalnya, memang seolah lebih baik di masa Orde Baru. Tetapi, ternyata capaian itu diraih melalui proses pemiskinan petani dan nelayan secara struktural dari waktu ke waktu. Di tengah capaian semu itu, kebebasan dan hak-hak dasar kemanusiaan dikorbankan sebagai ongkosnya.

Maka, jangan rindukan masa lampau. Jauh lebih baik menyadari betapa demokratisasi belum selesai dan butuh kerja keras untuk memperbaiki hasilnya.

EEP SAEFULLOH FATAH Pengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia

Senin, 2008 Oktober 06

Publik Kecewa Kinerja Parpol


Partai politik merupakan institusi penting dalam negara demokrasi di manapun juga, termasuk Indonesia. Karena itu menjadi penting untuk terus melakukan kajian dan evaluasi terhadap partai politik di mata publik sebagai basis dukungan partai politik tersebut.

valuasi itu mencakup tingkat kepuasan terhadap kinerja parpol, pendapat masyarakat tentang jumlah parpol yang ada sekarang ini, berapa jumlah parpol yang mereka anggap baik,apakah mereka setuju dengan electoral threshold (ET) atau tidak, apakah pencalonan presiden harus lewat parpol, dan kalau ya berapa persen syaratnya.

Evaluasi ini dapat dilakukan dengan survei nasional yang dijalankan pada 26 Nov-7 Des 2007 yang lalu. Hasil-hasilnya dapat ditemukan dalam laporan survei ini dan diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pembuatan UU bidang politik atau bagi elit politik dalam mengambil langkah ke depan.

Ringkasan Temuan
KEPUASAN TERHADAP KINERJA PARPOL
Publik Indonesia relatif kurang puas terhadap kinerja partai politik. Tingkat kepuasan hanya sebesar 30,1%, sementara yang tidak puas lebih banyak: 54,6%.

Dari publik yang menyatakan puas terhadap kinerja partai politik, alasan yang paling banyak diungkapkan adalah partai telah memperjuangkan kepentingan rakyat, yaitu 38,3%, disusul dengan alasan Indonesia masih belajar demokrasi, sehingga wajar peran partai belum maksimal sebesar 29,2%.

Dari publik yang menyatakan tidak puas terhadap kinerja partai politik, alasan yang paling banyak diungkapkan adalah partai tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, yaitu 47,5%, disusul dengan alasan fungsi partai tidak berjalan (misalnya dalam melakukan pengkaderan, pendidikan politik, dsb) 28,5%.

Mayoritas publik menyatakan bahwa partai politik belum memberikan manfaat nyata untuk rakyat, yaitu 54,1%. Hanya sebesar 31,5% dari publik yang menyatakan bahwa partai politik telah memberikan manfaat nyata untuk rakyat.

Menurut publik, peran yang paling menonjol dari partai politik adalah memperjuangkan kepentingan partai dan pengurus partai itu sendiri, yaitu 24,2%. Disusul memperebutkan kekuasaan di pemerintahan, yaitu 18,3%. Tampak bahwa peran partai masih belum pro-publik.

PENDAPAT TENTANG JUMLAH PARTAI
Mayoritas publik mengungkapkan partai politik di Indonesia saat ini adalah terlalu banyak, yaitu 88,2%.

Publik mengungkapkan idealnya partai politik di Indonesia saat ini jumlahnya adalah 5 partai (24,0%), 3 partai (21,6%), dan 10 partai (18,3%). Ada yang menyebut angka lain tapi persentasenya kecil.

Mayoritas publik (antara 60-70%) menyatakan kesulitan membedakan diferensiasi 24 partai politik di Indonesai yang ada saat ini. Baik membedakan nama, sikap politik dan kebijakan ekonomi partai.

Mayoritas publik (50%) menyatakan setuju bahwa aturan ikut pemilu 2009 adalah partai politik yang memperoleh suara minimal 3% pada pemilu 2004.

Mayoritas publik menyatakan syarat perolehan suara minimal 3% di pemilu 2004 untuk bisa otomatis ikut pemilu 2009 adalah terlalu kecil, yaitu 35%. Yang menyatakan 3% sudah sesuai, yaitu 28,9%. Sedangkan 4,3% menyatakan syarat 3% itu terlalu besar.

Di antara mereka yang menyatakan syarat perolehan minimal 3% (Electoral Threshold-ET) di atas terlalu kecil, sebanyak 27,4% di antaranya menginginkan syarat itu minimal 10%; kemudian 21,7% meminta syarat itu minimal 5%’ dan sebanyak 18,8% meminta syarat suara itu di atas 10%.

PENDAPAT TENTANG PENGAJUAN CAPRES
Mayoritas publik mengungkapkan tidak semua partai politik peserta pemilu bisa mengusung calon presiden / wakil presiden. Partai politik yang bisa mengusung calon presiden/ wakil presiden adalah partai atau gabungan partai yang memperoleh suara tertentu, yaitu 52,9%.

Mayoritas responden menyatakan syarat minimal partai politik atau gabungan partai politik bisa mengusung calon presiden / wakil presiden adalah minimal mendapat suara 5-10% dalam pemilu, yaitu 26,6%. Pendapat selanjutnya, perolehan suara minimal 11-15%, yaitu 17,5%.

Mayoritas publik menyatakan pasangan calon presiden / wakil presiden yang ideal dalam pemilu umum 2009 nanti adalah 3 pasang, yaitu 40,3%, disusul pendapat 2 pasang sebesar 21,7%.

PERSEPSI PUBLIK DAN IMAGE PARPOL
Partai politik yang paling memperjuangkan kepentingan masyarakat menurut publik adalah PDIP, yaitu 18,7%. Disusul Partai Golkar sebesar 15,4%.

Sebagian besar publik menyatakan tidak ada partai yang paling anti korupsi, yaitu 22,9%. Namun dengan persentase kecil, publik menyatakan partai yang paling anti korupsi adalah PKS sebesar 8,8%, disusul PDIP sebesar 7,5%.

Partai politik yang paling berhasil melakukan kaderisasi kepemimpinan menurut publik adalah Partai Golkar sebesar 16,4%. Disusul PDIP sebesar 8,0% dan Demokrat 7,2%.

Berpacu Dalam Pemilu

KONSTELASI KEKUATAN PARTAI POLITIK DAN SKENARIO PEMERINTAHAN 2009

PENGANTAR

Pada tanggal 7 Juli 2008 malam, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan 34 partai politik nasional dan 6 partai lokal di Aceh yang berhak menjadi peserta pemilu legislatif 9 April 2009. Sesuai UU No.10/2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, begitu ditetapkan, parpol peserta pemilu 2009 dapat langsung mulai kampanye. Menurut KPU, kampanye itu akan dimulai 12 Juli 2009.


Aturan dalam UU No.10/2008 merupakan perubahan yang cukup radikal dibanding UU Pemilu lama yang hanya menyediakan masa kampanye selama 3 minggu. Dengan UU No.10/2008, ada waktu sekitar 8 bulan bagi setiap parpol untuk menyosialisasikan diri dan mempengaruhi pemilih. Dengan waktu yang demikian panjang, kampanye pemilu 2009 layak disebut ”kampanye marathon”. Dalam marathon, hanya peserta yang berstamina tinggi dan pandai mengatur nafas yang mampu menjadi juara.

Artikel ini dilengkapi dengan data PDF. klik di sini untuk download

Meskipun jarak tempuh mirip marathon, dari urutan start, kampanye pemilu mirip dengan balapan mobil Formula Satu (F-1). Dalam F-1, peserta tidak berangkat dari garis start yang sejajar. Ada mobil yang start di depan (pole position). Ada yang di urutan 2, 3, 4 dan seterusnya. Ada pula yang start dari urutan paling belakang. Balapan F-1 menjadi lebih menarik tiap musimnya karena adanya ”pendatang baru terbaik” (rookie of the year).

Bagaimanakah konstelasi dukungan terhadap parpol Indonesia pada saat start kampanye pemilu legislatif 2009 dimulai? Partai manakah yang start paling depan (pole position)? Adakah potensi kejutan berupa ”rookie of the year”? Bagaimana komposisi pertarungan antara kubu partai nasionalis dan partai Islam? Bagaimana kompetisi partai lama dan partai baru yang ikut pemilu 2009? Seperti apa skenario hasil pemilu dan pemerintahan 2009-2014?

Hal-hal tersebut di atas akan dijawab oleh survei nasional Indo Barometer dengan harapan: Pertama, setiap parpol mengetahui posisi start masing-masing. Kedua, bahwa masa kampanye pemilu yang panjang dapat diisi secara maksimal oleh parpol-parpol peserta pemilu dengan kampanye yang paling menjawab kepentingan masyarakat Indonesia.

KESENJANGAN JUMLAH PARPOL PESERTA PEMILU DAN HARAPAN MASYARAKAT

BANYAK PARTAI BANYAK GOLPUT?

Pada tanggal 7 Juli 2008 malam, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan 34 partai politik nasional (dan 6 partai lokal di Aceh) yang berhak menjadi peserta pemilu legislatif 9 April 2009.

Jumlah ini lebih banyak daripada peserta pemilu 2004 yang hanya 24 parpol. Banyaknya jumlah partai ini berpotensi menjadi masalah karena: (1) Sistem presidensialisme kurang cocok dengan multi partai ekstrim. Banyaknya partai dengan kekuatan politik terpecah menyulitkan konsolidasi politik dan eksekusi kebijakan; (2) Banyaknya partai tidak dibarengi dengan tawaran pemikiran dan program kerja yang bervariasi. Kalau begini, banyaknya partai tidak bisa memberi nilai tambah. Malah akan membingungkan masyarakat saja. Kalau sudah bingung kualitas pilihan masyarakat akan turun, atau malah golput!

Dalam konteks ini menjadi revelan untuk menampilkan kembali data survei nasional Indo Barometer, Desember 2007 yang menunjukkan banyak partai tidak sesuai dengan aspirasi mayoritas publik Indonesia dan berpotensi melemahkan kualitas pilihan masyarakat karena masyarakat bingung membedakan satu partai dengan partai lainnya dalam berbagai aspek.

DUKUNGAN TERHADAP PARTAI POLITIK LAMA DAN PARTAI POLITIK BARU

Jika pemilu 2009 dilaksanakan pada hari ini, maka pemenang pemilu adalah PDIP (23,8%). Disusul Golkar (12,0%), Demokrat (9,6%), PKB (7,4%) bersama PKS (7,4%), PAN (3,5%), Hanura (2,3%), dan PPP (1,6%).

Dibanding data 2007, PDIP sedikit menurun. Golkar dan PD mengalami penurunan. Juga PPP. Partai yang naik PKS. Partai baru yang potensial menyodok, sementara baru Hanura. Partai yang sudah memenuhi syarat parliamentary threshold 2,5% (untuk mendapat kursi di DPR pusat) baru 6: PDIP, Golkar, Demokrat, PKB, PKS, dan PAN.

Peluang bagi partai baru untuk mendulang suara masih terbuka karena dua alasan: (1) Masih ada 29,4% pemilih yang masih mengambang; (2) Hanya sekitar 24 persen pemilih saat ini merupakan pemilih loyal (merasa dekat dengan partai tertentu). Sisanya (76%) bisa lari ke mana saja karena tidak memiliki ikatan emosional yang kuat pada partai tertentu yang nota bene adalah partai-partai lama.

Apa saja alasan orang Indonesia memilih partai? Ternyata alasan tertinggi adalah peduli/dekat dengan rakyat (34,2%). Disusul jujur dan tidak KKN (10,8%) dan dekat dengan pengurusnya (7,2%). Hal ini penting diketahui parpol agar dalam berkampanye dapat menyesuaikan dengan aspirasi masyarakat.

Dukungan bagi beberapa partai masih terkait kepuasan terhadap pemerintahan SBY. Yang puas cenderung ke Demokrat dan Golkar. Yang tidak puas ke PDIP dan beberapa parpol lain. Pesannya adalah jika PD dan Golkar ingin suaranya membaik maka kinerja pemerintahan SBY-JK harus dianggap memuaskan oleh mayoritas publik.

Dukungan partai juga tampaknya terkait dengan pilihan capres. Mayoritas pemilih Megawati, memilih PDIP. Mayoritas pemilih SBY memilih PD, dst. Tampaknya variabel figur tokoh nasional masih merupakan faktor penting dalam menarik dukungan pada partai. Lihat data pilihan partai (8 besar) untuk 10 capres dan data pilihan capres (10 nama) untuk pemilih 8 partai besar berdasar hasil survei ini.

DUKUNGAN TERHADAP PARTAI ISLAM VERSUS PARTAI NASIONALIS SEKULER

Dalam konstelasi politik Indonesia, polarisasi partai politik yang paling menonjol adalah antara partai Islam dan partai nasionalis. Ada macam-macam definisi tentang partai Islam. Dalam dunia akademik, biasanya definisi partai Islam itu dibagi menjadi tiga. Pertama, partai yang menganut asas Islam (dan tentu basis massanya adalah Islam) seperti PPP, PKS, PBB, dan PBR. Kedua, partai yang tidak menganut asas Islam tapi berbasis massa Islam seperti PKB dan PAN.

Ketiga, definisi yang tidak memisahkan keduanya. Artinya yang disebut partai Islam mencakup baik yang berasas Islam maupun tidak berasas Islam namun berbasis massa Islam. Lantas, bagaimana publik Indonesia memaknai partai Islam? Apa definisi partai Islam menurut publik Indonesia?

Survei Indo Barometer mengajukan pertanyaan terbuka kepada publik Indonesia tentang pengertian dari partai Islam. Ternyata jawaban tertinggi adalah partai yang berasaskan Islam (28,3%); partai yang mayoritas pemilihnya Islam (24,2%), partai yang didirikan ormas Islam (15,8%), dan partai yang pengurusnya seluruhnya orang Islam (5,8%)

Di Indonesia sekarang ini ada banyak partai Islam . Partai mana yang dipersepsi publik umum sebagai partai Islam? Ternyata partai yang paling tepat disebut sebagai partai Islam adalah PPP (40,8%), disusul oleh PKB (35,9%), PKS (34,1%), PAN (23,6%), dan PBB (8,2%)

Meskipun PPP merupakan partai dengan citra parpol Islam terkuat, ternyata PPP bukan partai Islam dengan dukungan terbesar, baik di antara semua parpol (termasuk yang nasionalis), maupun di antara parpol Islam itu sendiri (baik parpol yang berasaskan Islam atau pun berbasis massa Islam). Seperti dipaparkan di depan, posisi PPP di antara semua partai kini no.8 dan di antara sesama partai Islam hanya no. 4 (setelah PKB, PKS, dan PAN).

Menuju pemilu 2009, tantangan partai-partai Islam ada dua. Tantangan pertama adalah seberapa jauh partai Islam mampu bersaing dengan partai nasionalis. Tantangan kedua, sejauh mana partai Islam bisa mengejar mitos Masyumi sebagai eks partai Islam dengan pencapaian suara tertinggi.

Untuk tantangan pertama, untuk sementara situasi belum berubah banyak dari pemilu demokratis sebelumnya (1955, 1999 dan 2004). Gabungan perolehan suara partai Islam masih kalah dengan perolehan partai nasionalis. Apalagi kalau dibandingkan antara perolehan suara partai yang khusus berasas Islam dengan partai nasionalis.

Untuk tantangan kedua, prestasi Masyumi tahun 1955 belum tersaingi oleh parpol Islam dalam semua pemilu demokratis, baik dari segi persentase suara maupun dari segi ranking. Perolehan Masyumi tahun 1955 adalah 20,59%. Perolehan suara partai Islam tertinggi tahun 1999 adalah PKB dengan 12%. Tahun 2004, kembali PKB dengan 10% dan Juni 2008 PKB dan PKS masing-masing dengan 7,4%. Akan menjadi menarik untuk melihat apakah ada partai Islam yang akan mampu meruntuhkan ”mitos” Masyumi? Partai manakah itu?

Dari segi ranking, posisi Masyumi tahun 1955 adalan nomor 2. PKB tahun 1999 dan 2004 nomor 3 (dibawah PDIP dan Golkar tahun 1999. Di bawah Golkar dan PDIP di tahun 2004). Juni 2008, partai Islam justru melorot ke posisi 4 (diduduki bersama PKB dan PKS masing-masing dengan 7,4% suara). Meski demikian, bila suara Golkar dan PD terus melorot, serta konflik PKB tak kunjung selesai dan kenaikan suara PKS berlanjut, ada peluang bagi PKS untuk meloncat ke posisi 3 atau 2 besar.

Salah satu cara agar partai Islam bisa langsung meloncat ke no. 1 atau no.2 adalah dengan bergabung menjadi partai Islam tunggal. Ini mungkin karena gabungan suara partai Islam (Juni 2008) adalah 21,1% atau lebih besar dari pada suara Golkar yang sementara 12% dan hanya berselisih tipis dengan PDIP yang 23,8%. Masalahnya elit politik partai Islam sulit bersatu seperti dinyatakan sendiri berbagai tokoh partai Islam yang berkumpul dalam sebuah seminar tentang partai Islam baru-baru ini (3 Juli 2008). Padahal publik setuju partai Islam bergabung meski mereka tidak yakin ini bisa dilakukan
Pendirian partai Islam, selain didasarkan pada ideologi politik tertentu, juga didasari asumsi bahwa ada segmen masyarakat yang melihat partai Islam sebagai entitas yang berbeda dibandingkan partai nasionalis. Makin berbeda dan lebih baik dibanding partai nasionalis, semakin besar peluang partai Islam untuk dipilih. Masalahnya ternyata partai Islam dipersepsi tidak terlalu berbeda dengan partai nasionalis baik dalam hal partai maupun perilaku elit/pengurusnya.

Tidak kalah menarik adalah tingkat penerimaan publik umum Indonesia yang hampir sama terhadap partai manapun yang menang pemilu lepas dari latar belakang atau labelnya, baik partai Islam maupun nasionalis.

SKENARIO PEMERINTAHAN INDONESIA 2009 - 2014

PENGANTAR SKENARIO

Sistem pemerintahan Indonesia saat ini adalah presidensialisme dengan multi partai ekstrim. Rakyat memilih partai dan anggota parlemen dalam pemilu legislatif dan memilih pasangan presiden-wakil presiden secara langsung. Pemilu itu diselenggarakan dengan harapan dapat menghasilkan pemerintah yang legitimate dan mampu menjalankan pemerintahan dengan baik. Hasil pemilu yang berbeda, akan menghasilkan kelebihan dan kekurangan yang inheren pada diri masing-masing.

Karena pemilu 2009 masih cukup lama, masih banyak sekali skenario politik yang bisa terjadi ke depan. Namun berdasarkan hasil survei terbaru Indo Barometer Juni 2008, maupun pola dari hasil-hasil survei sebelumnya selama 4 tahun terakhir ini, berikut 4 skenario yang untuk sementara paling mungkin terjadi.

SKENARIO 1
Pemenang Pemilu Legislatif: PDIP
Pemenang Pilpres: Megawati

  • Berdasar data survei Indo Barometer Juni 2008, inilah skenario yang sekarang terjadi. Dalam survei IB, PDIP menduduki peringkat pertama dengan 23,8% dan Megawati juga nomor satu dengan dukungan 30,9% (10 nama calon). Sebagai catatan, semenjak 2007 PDIP telah bertahan sebagai parpol terkuat. Sementara Megawati baru kali ini menjadi nomor satu, sebelumnya selalu diduduki SBY.
  • Kekuatan: Kemenangan PDIP dan Megawati akan menghasilkan ”unified government” (pemerintahan yang satu) karena pemenang pemilu legislatif dan presiden datang dari partai yang sama. Hal ini berpotensi membuat pemerintahan yang lebih stabil meski tergantung persentase kekuatan PDIP di parlemen dan pola kepemimpinan Megawati.
  • Kelemahan: Karena DPR dan Istana dikuasai oleh partai yang sama, mekanisme ”checks and balances” menjadi lebih lemah. Namun ini bisa diatasi apabila ada sejumlah partai yang bersedia tidak masuk kabinet dan membentuk ”blok oposisi” yang cukup besar sehingga mampu memberikan kontrol politik yang cukup kuat.


SKENARIO 2
Pemenang Pemilu Legislatif: PDIP
Pemenang Pilpres: SBY

  • Skenario ini terjadi bila PDIP ”survive” sebagai parpol pemenang pemilu 2009 dan SBY berhasil memulihkan popularitas dirinya yang sekarang anjlok. Meskipun sekarang mungkin lebih berat, data survei tahun 2005-2006 menunjukkan SBY pernah melakukan ”recovery” popularitas dirinya. Pasca kenaikan BBM tahun 2005, kepuasan terhadap pemerintahan SBY turun namun naik kembali pada tahun 2006.
  • Kekuatan: Kemenangan PDIP dan SBY akan menghasilkan kontrol politik yang lebih kuat oleh parlemen terhadap pemerintahan dibanding periode 2004-2009 karena kali ini PDIP menjadi fraksi terbesar dan mungkin menjadi pucuk pimpinan di DPR.
  • Kelemahan: Karena DPR dan Istana dikuasai oleh partai yang berbeda, akan tercipta ”divided government” (pemerintahan terbelah) dengan oposisi politik yang lebih keras dibanding periode 2004-2009 karena kini PDIP nomor 1 di DPR. Di satu sisi ini baik karena bisa memperkuat kontrol, di sisi lain bisa melahirkan pemerintahan yang lemah karena tidak mampu eksekusi. Ini dengan catatan wewenang DPR masih besar dan PDIP berhasil membangun blok oposisi yang cukup besar.


SKENARIO 3
Pemenang Pemilu Legislatif: Golkar
Pemenang Pilpres: Megawati

  • Skenario ini terjadi bila Golkar melakukan aneka terobosan politik yang membuat mereka kembali menjadi partai terkuat seperti pemilu 2004. Namun capres terkuat tetap Megawati dan bukan SBY atau Jusuf Kalla. Ada dua sub-skenario untuk skenario 3 ini: (A) Megawati berpasangan dengan calon wapres dari Golkar; (B) Megawati berpasangan dengan calon wapres non-Golkar.
  • Kekuatan sub skenario A: Kombinasi ini melahirkan ”semi-divided government” namun karena wapres dari Golkar maka stabilitas pemerintahan akan sangat terjaga karena partai presiden dan wapres menguasai kursi terbesar nomor 1 dan nomor 2 di parlemen. Tapi ini dengan syarat presiden dan wapres kompak dan wapres memegang kendali partai di parlemen.
  • Kelemahan sub skenario A: Mekanisme ”checks and balances” menjadi sangat lemah karena istana dan parlemen dikuasai oleh blok politik yang sama. Apalagi jika PDIP dan Golkar mengajak beberapa partai lain sehingga menjadi sangat dominan di Senayan.
  • Kekuatan sub skenario B: Kombinasi ini melahirkan juga melahirkan ”divided government” namun cukup berimbang karena Golkar menguasai Senayan dan PDIP menguasai Istana. Politik akan cukup dinamis namun pemerintah tetap bisa eksekusi sejauh mampu membangun koalisi yang cukup besar di parlemen dan di kabinet.
  • Kelemahan sub skenario B: Jika Golkar ikut ditarik dalam kabinet (plus semua parpol lain) maka DPR akan sangat melempem karena semua partai menjadi bagian dari pemerintah.


SKENARIO 4
Pemenang Pemilu Legislatif: Golkar
Pemenang Pilpres: SBY

  • Ini terjadi apabila Golkar dan SBY sama-sama dapat memulihkan kekuatannya sementara PDIP dan Megawati anjok di tengah jalan. Jika ini yang terjadi maka potret politik Indonesia 2009-2014 kemungkinan mirip seperti periode 2004-2009.
  • Kekuatan: Terjadi ”semi divided government” di mana partai pemenang pemilu legislatif dan pilpres berbeda namun ketua partai pemenang pemilu legislatif menjadi bagian dari pemerintahan (misalnya sebagai wapres). Secara teoritis pemerintahan cukup kuat karena partai pemenang pemilu menjadi bagian dari pemerintahan.
  • Kelemahan: Posisi wapres yang partainya lebih besar daripada partai presiden di parlemen akan membuat wapres memiliki ”bargaining position” yang kuat terhadap presiden dan jika tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa menimbulkan tarik menarik dan masalah koordinasi serta pembagian tugas dengan presiden.

Ketaatan Beribadah tak Berkorelasi Pilihan Parpol

Tak otomatis orang taat beribadah pilih parpol Islam.

JAKARTA — Adakah hubungan antara taat beribadah dan pilihan jenis partai poli­tik (parpol)? Survei terbaru dari Reform Institute mengungkapkan ternyata hubung­an itu ada dan hasilnya cukup menarik perhatian.

Direktur Eksekutif Reform Institute, Yudi Latif, meng­ungkapkan sejumlah hasil survei itu dalam diskusi inter­nal Republika, Kamis (18/9). Turut hadir sebagai pembi­cara adalah Direktur Ekseku­tif Indo-Barometer, M Qodari; dan Wakil Ketua Dewan Per­wakilan Daerah (DPD), Laode Ida.

Yudi memaparkan, Partai Demokrasi Indonesia Perju­angan (PDIP) kerap dici­trakan sebagai parpol sekuler maupun kaum abangan. Tapi, hasil surveinya menunjukkan hal lain. Justru 73,61 persen responden survei yang memi­lih PDIP mengklaim selalu beribadah.

Poin ini relatif tinggi, meski masih di bawah sejumlah parpol Islam lain seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Namun, perolehan PDIP itu me­lambung di atas Partai Bulan Bintang (PBB). Padahal, selama ini PBB mencitrakan di­rinya sebagai parpol Islam yang mendukung penerapan syariah. Hanya 64,29 persen pemilih PBB yang mengaku selalu beribadah.

Sebaliknya, jumlah pemilih PBB yang mengaku kadang-­kadang menjalankan ibadah pun relatif tinggi, yaitu 21,43 persen. Tapi, yang mengejut­kan dari PBB adalah seba­nyak 14,29 persen pemilihnya mengaku sering tidak menja­lankan ibadah. Skor ini ter­tinggi dari seluruh parpol yang disurvei. Berada di urut­an kedua, lagi-lagi parpol Islam, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR).

Yang paling konsisten, me­nurut Yudi, adalah PKB. Par­pol berbasis massa warga Nahdliyin ini menempati urutan teratas. Sebanyak 85,04 persen pemilih PKB meng­klaim selalu beribadah, 14,96 persen responden yang memi­lih PKB mengaku kadang-­kadang beribadah, dan nol persen yang mengaku tidak menjalankan ibadah.

Sementara PKS, yang selama ini mencitrakan dirinya parpol Islam dengan kader militan, ternyata banyak juga pemilihnya yang ibadahnya bolong-bolong. Memang se­banyak 82,82 persen pemilih PKS mengaku selalu beriba­dah, tapi yang kadang-ka­dang beribadah hanya 14,98 persen.

"Jadi, tidak otomatis orang yang menjalankan ibadah, me­milih parpol Islam. Ada kemu­ngkinan orang yang taat ber­ibadah itu pilih parpol Islam dan non-Islam," kata Yudi.

Bagaimana dengan golput? Survei yang dilakukan pada Juni-Juli lalu itu mengung­kapkan sebanyak 73,17 per­sen pemilih golput selalu ber­ibadah. Survei mengambil data 2.519 responden dengan margin error 1,95 persen dan tingkat kepercayaannya 95 persen.

Berebut suara
Direktur Eksekutif Indo ­Barometer, M Qodari, menilai dari kalangan parpol Islam, sejauh ini PKS menjadi par­pol yang trennya terus me­ningkat dan stabil. Dengan kinerja seperti itu, ia yakin PKS bisa meraup minimal 10 persen suara di Pemilu 2009.

Tentang PPP, Qodari tak begitu yakin. Ia belum meli­hat ada momentum yang kuat bagi kebangkitan PPP.

Sedangkan mengenai PKB Qodari memperhitungkan PKB, bisa kehilangan sete­ngah suaranya dari Pemilu 2004. Dan untuk suara PAN dapat digerus Partai Mata­hari Bangsa sampai setengah­nya. (evy/uba)

namika Partai Berbasis Sosial Islam versus Partai Nasional 1955,1999, 2004, 2008



Sumber:
- Data 1955, 1999, 2004 (KPU)
- Juni 2008 (Indo Barometer. Catatan data Juni 2008 masih terdapat suara mengambang atau belum menentukan pilihan sebesar 29,4%)


DINAMIKA PARTAI BERASAS ISLAM VERSUS PARTAI NASIONALIS
1955, 1999, 2004, 2008 (%)


Sumber:
- Data 1955, 1999, 2004 (KPU)
- Juni 2008 (Indo Barometer. Catatan data Juni 2008 masih terdapat suara mengambang atau belum menentukan pilihan sebesar 29,4%)

Dalam konstelasi politik Indonesia, polarisasi partai politik yang paling menonjol adalah antara partai Islam dan partai nasionalis. Ada macam-macam definisi tentang partai Islam. Dalam dunia akademik, biasanya definisi partai Islam itu dibagi menjadi tiga. Pertama, partai yang menganut asas Islam (dan tentu basis massanya adalah Islam) seperti PPP, PKS, PBB, dan PBR. Kedua, partai yang tidak menganut asas Islam tapi berbasis massa Islam seperti PKB dan PAN. Ketiga, definisi yang tidak memisahkan keduanya. Artinya yang disebut partai Islam mencakup baik yang berasas Islam maupun tidak berasas Islam namun berbasis massa Islam. Lantas, bagaimana dinamika pergerakan keduanya sejak 1955 – sekarang?

Menuju pemilu 2009, tantangan partai-partai Islam ada dua. Tantangan pertama adalah seberapa jauh partai Islam mampu bersaing dengan partai nasionalis. Tantangan kedua, sejauh mana partai Islam bisa mengejar mitos Masyumi sebagai eks partai Islam dengan pencapaian suara tertinggi.

Untuk tantangan pertama, untuk sementara situasi belum berubah banyak dari pemilu demokratis sebelumnya (1955, 1999 dan 2004). Gabungan perolehan suara partai Islam masih kalah dengan perolehan partai nasionalis. Apalagi kalau dibandingkan antara perolehan suara partai yang khusus berasas Islam dengan partai nasionalis.

Untuk tantangan kedua, prestasi Masyumi tahun 1955 belum tersaingi oleh parpol Islam dalam semua pemilu demokratis, baik dari segi persentase suara maupun dari segi ranking. Perolehan Masyumi tahun 1955 adalah 20,59%. Perolehan suara partai Islam tertinggi tahun 1999 adalah PKB dengan 12%. Tahun 2004, kembali PKB dengan 10% dan Juni 2008 PKB dan PKS masing-masing dengan 7,4%. Akan menjadi menarik untuk melihat apakah ada partai Islam yang akan mampu meruntuhkan ”mitos” Masyumi? Partai manakah itu?

Dari segi ranking, posisi Masyumi tahun 1955 adalan nomor 2. PKB tahun 1999 dan 2004 nomor 3 (dibawah PDIP dan Golkar tahun 1999. Di bawah Golkar dan PDIP di tahun 2004). Juni 2008, partai Islam justru melorot ke posisi 4 (diduduki bersama PKB dan PKS masing-masing dengan 7,4% suara). Meski demikian, bila suara Golkar dan PD terus melorot, serta konflik PKB tak kunjung selesai dan kenaikan suara PKS berlanjut, ada peluang bagi PKS untuk meloncat ke posisi 3 atau 2 besar.

Salah satu cara agar partai Islam bisa langsung meloncat ke no. 1 atau no.2 adalah dengan bergabung menjadi partai Islam tunggal. Ini mungkin karena gabungan suara partai Islam (Juni 2008) adalah 21,1% atau lebih besar dari pada suara Golkar yang sementara 12% dan hanya berselisih tipis dengan PDIP yang 23,8%. Masalahnya elit politik partai Islam sulit bersatu seperti dinyatakan sendiri berbagai tokoh partai Islam yang berkumpul dalam sebuah seminar tentang partai Islam baru-baru ini (3 Juli 2008). Padahal publik setuju partai Islam bergabung meski mereka tidak yakin ini bisa dilakukan

Pendirian partai Islam, selain didasarkan pada ideologi politik tertentu, juga didasari asumsi bahwa ada segmen masyarakat yang melihat partai Islam sebagai entitas yang berbeda dibandingkan partai nasionalis. Makin berbeda dan lebih baik dibanding partai nasionalis, semakin besar peluang partai Islam untuk dipilih. Masalahnya ternyata partai Islam dipersepsi tidak terlalu berbeda dengan partai nasionalis baik dalam hal partai maupun perilaku elit/pengurusnya.

Tidak kalah menarik adalah tingkat penerimaan publik umum Indonesia yang hampir sama terhadap partai manapun yang menang pemilu lepas dari latar belakang atau labelnya, baik partai Islam maupun nasionalis.

Pilihan Partai Politik

Jika Pemilu Diadakan pada Rabu 9 Juli 2008

Seandainya Pemilu Legislatif dilakukan hari ini, partai politik apa yang akan B/I/S pilih untuk tingkat DPR Pusat?


DINAMIKA PILIHAN PARTAI POLITIK MEI ’07, DES ’07, DAN JUN ’08 (%)

Jika pemilu 2009 dilaksanakan pada hari ini, maka pemenang pemilu adalah PDIP (23,8%). Disusul Golkar (12,0%), Demokrat (9,6%), PKB (7,4%) bersama PKS (7,4%), PAN (3,5%), Hanura (2,3%), dan PPP (1,6%).

Dibanding data 2007, PDIP sedikit menurun. Golkar dan PD mengalami penurunan. Juga PPP. Partai yang naik PKS. Partai baru yang potensial menyodok, sementara baru Hanura. Partai yang sudah memenuhi syarat parliamentary threshold 2,5% (untuk mendapat kursi di DPR pusat) baru 6: PDIP, Golkar, Demokrat, PKB, PKS, dan PAN.

Peluang bagi partai baru untuk mendulang suara masih terbuka karena dua alasan: (1) Masih ada 29,4% pemilih yang masih mengambang; (2) Hanya sekitar 24 persen pemilih saat ini merupakan pemilih loyal (merasa dekat dengan partai tertentu). Sisanya (76%) bisa lari ke mana saja karena tidak memiliki ikatan emosional yang kuat pada partai tertentu yang nota bene adalah partai-partai lama.


Parpol Islam Anjlok


Cambuk Bagi PBB untuk Berbenah Diri

M. Rizal Maslan - detikNews

Jakarta - Hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan penurunan popularitas sejumlah partai politik berbasis Islam. Hal itu akan dijadikan cambuk bagi Partai Bulan Bintang (PBB) untuk berbenah diri.

"Ini cambuk bagi PBB. Survei itu, meskipun orang boleh memberikan pendapat apapun, itu kerja ilmiah. Maka PBB harus mengambil pelajaran, hikmah dan membenahi diri dari sisi kemampuan manajemen dan leadership," kata anggota FPBB Ali Muchtar Ngabalin kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (27/9/2008).

Ngabalin menuturkan, PBB bisa merepresentasikan dirinya sebagai partai yang mewakili berbagai kepentingan umat, namun hal itu terpulang kepada PBB sendiri.

"Hasil LSI menjadi cambuk untuk memacu kita lebih siap pada Pemilu 2009. Bahwa di sana-sini ada hal-hal yang tidak pas dan belum cocok bagi kita, lagi-lagi saya katakan, ini tamparan yang cukup berpengaruh bagi PBB ke depan," jelas pria bersorban ini.

Untuk itu, lanjut Ngabalin, PBB harus segera mempublikasikan sejumlah produk politiknya kepada masyarakat. Selain itu anggota dan kader partai yang ada di legislatif dan eksekutif juga harus menunjukan hal yang sama.

"Saya kira, itu sangat penting. Kalau tidak, publik dan khususnya umat Islam tidak bisa menilai. Untuk apa pilih PBB kalau ternyata beberapa tokoh tidak bisa berbuat untuk kepentingan umat Islam ke depan," tandas Ali.

Seperti diketahui beberapa waktu lalu LSI mempublikasikan hasil penelitiannya terhadap partai politik nasional yang berbasis keagamaan, khususnya Islam. Hasilnya menunjukan kemerosotan kepercayaan dan popularitas parpol-parpol Islam, seperti PKS, PKB, PPP, PAN dan PBB.
(zal/nik)

Demokrater Model China

A. Dahana

PERTANYAAN seperti kalimat judul tulisan inilah yang sering dilontarkan dan sekaligus menjadi teka-teki kalau kita bicara tentang Cina pascareformasi Deng Xiaoping.

Bagi para pengamat Cina, dengan menonjolnya faktor ekonomi, ideologi telah tersingkir jauh ke belakang. Malahan, David M Lampton, ahli Cina dari University of California di Berkeley menyebut Cina sekarang sebagai 'Cina pasca-Komunisme.'

Kalau kita lontarkan pertanyaan itu kepada para pemimpin Cina, jawabannya tentulah gelengan kepala. Sebab, seperti yang dikatakan oleh mendiang Deng, reformasi justru untuk memperkuat posisi Partai Komunis Cina (PKC) sebagai pemegang kekuasaan tunggal di negeri itu. Tak sedikitpun terbersit di kepala mereka untuk mempraktekkan demokrasi a la Barat.

Para pemimpin Cina mungkin belajar dari pengalaman Rusia pasca-Gorbachev, negara-negara Eropa Timur lainnya, dan mungkin Indonesia, mengenai betapa kacau dan hiruk pikuknya transisi ke demokrasi. Buat Cina yang ada tak lain dari demokrasi ekonomi, bukan demokrasi politik.

Karena itulah dewasa ini semua warga Cina boleh berbuat apapun, asalkan tidak mengganggu ketertiban dan tidak mempertanyakan kesahihan kekuasaan PKC.

Gordon C Chang, penulis buku The Coming Collapse of China (2002), mengatakan agar rakyat sibuk dengan pengejaran materi, partai 'menyuap' warga negara dengan insentif ekonomi sebesar-besarnya. Oleh karena itu pulalah, kata penulis itu lagi, pada suatu saat Cina akan kolaps lantaran sistem politiknya yang tak demokratis, ditambah dengan berbagai kelemahan lain.

Ramalan itu ternyata meleset.

Namun, karena katanya pada suatu titik tertentu demokrasi ekonomi pasti akan berdampingan dengan demokrasi politik, ramalan tentang akan adanya demokrasi politik di Cina banyak bermunculan.

Henry Rowen mengatakan, ada korelasi yang sangat tinggi antara GDP perkapita dan lieralisasi politik. Karena itu ia memperkirakan Cina akan mempraktekkan demokrasi secara penuh pada 2015 pada saat GDP perkapita mencapai US$7 ribu-US$8 ribu. Pendapatnya, didasarkan pada pengalaman di negara lain termasuk Amerika.

Namun, ada yang sedikit ragu dengan pendapat Rowen itu. Yang menganut pendapat ini tidak berpegang pada angka. Mereka hanya melihat bahwa perkembangan ekonomi yang tinggi akan menciptakan kelompok yang populer dalam ilmu sosial sebagai 'kelas menengah'.

Mereka itulah, sebagai kelompok masyarakat baru yang memetik keuntungan dari pembangunan ekonomi, khususnya dengan memperoleh pendidikan yang baik. Itu ditambah dengan adaya arus baru kesadaran sosial, serta munculnya masyarakat yang lebih plural dan lebih kompleks.

Semuanya itu membuat pemerintah mendapat kesukaran mengatur sesuai dengan kehendaknya. Dan pada gilirannya akan membuat fondasi pemerintah otoriter goyah. Di situlah sistem demokrasi akan muncul.

Atas pertimbangan itu banyak ahli yang mengatakan - bahkan secara diam-diam juga di kalangan para ahli ilmu sosial dan politik di Cina - demokrasi akan berjaya di Cina lebih awal dari yang diperkirakan Rowan, yaitu kalau GDP perkapita mencapai US$7 ribu-US$8 ribu.

Kalau kita melihat sejarah masa kini, jalan yang ditempuh Cina itu pada dasarnya sama dengan yang ditempuh Korea Selatan dan Taiwan - dua dari negara-negara yang disebut Chalmers Johnson sebagai democratizing dragons.

Pada mulanya ada penguasa otoriter seperti Park Chung-Hee di Korea dan Chiang Kai-shek dan puteranya Chiang Ching-kuo yang sama sekali tak memberikan kebebasan politik, tapi fokus pada pembangunan ekonomi.

Ketika kemakmuran telah tercapai, kelas menengah muncul dan masyarakat semakin kompleks, maka demokrasi pun muncul — tentunya dengan perjuangan dan pertentangan cukup liat.

Untuk kasus Cina, pertanyaannya apakah proses pembangunan ekonomi yang begitu mencengangkan itu hanya akan sampai titik itu saja atau berlanjut ke demokratisasi?

Sejarah akan menjadi saksi.

Penulis adalah Guru Besar Studi Cina, Universitas Indonesia [L1]

Anomali Politik


Ikrar Nusa Bhakti

Suatu hari seorang kawan, mantan aktivis sebuah organisasi ekstra kemahasiswaan, mengirim pesan singkat kepada penulis. Isinya, “Parpol dan politisi tampak seperti remaja dengan masa puber tak berujung. Setiap menjelang pemilu sibuk tebar pesona untuk cari dukungan dan pasangan. Gayanya bagaikan ‘Jablay’ yang rindu belaian dan cumbuan. Maklum, desakan syahwat berkuasa kuat menggelora.”

Hanya dalam hitungan detik, kawan yang sama mengirim SMS lanjutan, “Tapi setelah pemilu usai, gaya mereka berubah aneh-aneh. Ada yang seperti kakek-kakek yang kurang pendengaran dan penglihatan (buta dan tuli terhadap jeritan dan penderitaan rakyat), ada yang seperti kurang gizi dan loyo bekerja (mangkir melulu dan jarang hadir pada sidang-sidang di DPR), ada yang seperti preman yang peras sana peras sini, dan ada yang seperti sakit ingatan lupa akan janji-janji kampanyenya. Itu tadi orang yang dapat kursi dan posisi. Sedangkan yang tidak dapat apa-apa usai pemilu, ya..berubah jadi preman atau orang gila beneran. Aduh..mau jadi apa negeri ini!”

Dua kutipan di atas menunjukkan betapa parpol dan politisi di Indonesia berbuat yang abnormal menjelang dan seusai pemilu. Dalam istilah kerennya, terjadi anomali politik.

Sejarah kehidupan parpol juga penuh anomali politik. Sejak menjelang Pemilu 1955 hingga menjelang Pemilu 2009, perpecahan partai sudah menjadi fenomena politik. Kalaupun tidak pecah, para politisi cakar-cakaran berebut posisi di dalam partai. Tidak heran jika menjelang Pemilu 1955 dan pemilu pasca 1998, bukan penggabungan, melainkan pemekaran partai. Contohnya, menjelang Pemilu 1955 Masyumi pecah dan berdiri NU dan partai Islam lainnya.

Menjelang Pemilu 1999, PPP yang merupakan satu-satunya partai Islam era Orde Baru, pecah berkeping-keping. Berdirilah PKB, PBB, PAN, Partai Keadilan (PK) dan sebagainya. PDI dan Golkar juga mengalami nasib yang sama. Kino-kino yang dulu jadi tulang punggung Golkar, ada yang menjadi partai politik, contohnya Partai MKGR. PDI juga pecah ada yang menggunakan nama PNI Massa Marhaen, ada PNBK, ada Partai Damai Sejahtera dsb.

Menjelang Pemilu 2004, perpecahan terjadi lagi, mereka yang dulunya menyatu di PPP, mendirikan partai baru, PBR. Mereka yang dulu pendukung Golkar juga mendirikan partai baru, Partai Patriot. Hanya satu partai Islam yang tetap solid, walau berganti nama, PK menjadi PKS. Muncul pula partai baru, Partai Demokrat.

Menjelang Pemilu 2009, mereka yang berideologi nasionalis juga muncul lagi. PDI-P pecah dengan terbentuknya partai baru, PDP. Partai berhaluan marhaenisme atau islamisme juga banyak bermunculan. PAN pecah dan berdiri partai baru, PMB yang diusung para aktivis pemuda Muhammadiyah. Mereka yang dulu di Golkar dan Partai Demokrat juga mendirikan Partai Hanura, Partai Gerindra dan Partai Barnas. Perpecahan internal juga terjadi di PPP, Partai Golkar, dan PKB.

Perpecahan, perseturuan, perebutan kursi caleg menjelang pemilu tampaknya sudah menjadi ‘the name of the game’ dalam kehidupan kepartaian di Indonesia. Jika kalah dalam pengambilan keputusan atau perebutan kursi jabatan dalam partai, bukannya menerima, melainkan hengkang dan mendirikan partai baru.

Padahal, fatsun politik normal dan berlaku di banyak negara demokrasi ialah mereka yang menang tetap memberi tempat pada yang kalah. Sebaliknya, mereka yang kalah tetap menyatu dalam partai dan memberi dukungan penuh pada calon presiden atau perdana menteri yang diusung oleh partai tersebut.

Contohnya, Hillary Clinton mendukung penuh Barack Obama sebagai capres pada Konvensi Nasional Partai Demokrat di Amerika Serikat walau ia merupakan seteru kuatnya sebelumnya.

Meski tidak terkait dengan soal kepartaian, anomali politik juga terjadi dalam hubungan antara Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla belakangan ini. Wapres Kalla diminta Majelis Rakyat Thailand Selatan dan Pemerintah Thailand agar menjadi mediator dalam perundingan rahasia menyelesaikan masalah di provinsi Thailand Selatan yang mayoritas Islam.

Politik yang normal mengajarkan, selama persoalan trust antara kedua kelompok yang bertikai masih rendah, maka pertemuan dilakukan rahasia. Namun apa lacur, agar pamor SBY tinggi JK, Jubir SBY Dino Patti Djalal justru membeberkan pada pers, Indonesia diminta Thailand menyelesaikan persoalan Thailand Selatan. Untuk itu Presiden SBY, katanya, memberi mandat Wapres Kalla menjadi mediator dalam pertemuan di Istana Bogor.

Kontan saja Pemerintah Thailand menyangkal adanya permintaan itu. Suatu anomali politik akhirnya menjadi ‘political blunder’ dalam upaya RI membantu penyelesaian konflik antara pemerintah Thailand dan rakyat Thailand Selatan.

Entah kapan anomali politik berakhir. Jika saja konsolidasi demokrasi berjalan baik dan para politisi menyatukan langkah memerbaiki kondisi negara yang carut marut, mungkin Indonesia tak lagi terpuruk di usianya yang sudah 63 tahun ini.

Penulis adalah profesor riset bidang intermestic affairs di LIPI [L4]

Minggu, 2008 Oktober 05

Keranjingan Demokrasi


Catatan: Arief Gunawan, Dewan Redaksi Rakyat Merdeka Online

ORANG dulu mendirikan partai untuk alat perjuangan, yaitu untuk mencapai kemerdekaan. Tetapi partai-partai sekarang didirikan untuk kepentingan jangka pendek, yaitu supaya duduk di parlemen.

Sebab di parlemen kata Amien Rais terdapat unidentify flying envelope alias UFE, dan kalau sedang berlangsung pembahasan sebuah RUU amplop-amplop biasanya berjatuhan, seperti air hujan di atas genteng.

Masuk parlemen jadi lapangan pekerjaan baru, karena lowongannya dibuka partai-partai. Dan kalau sudah duduk, duit dan perempuan suka datang bersamaan. Duduk manis atau berlagak sibuk sama saja, tukang suap datang dengan sendirinya.

Jumlah partai secara kuantitas mengalami fluktuasi. Setelah reformasi lahirlah 48 partai. Pemilu 2004 diikuti 24 partai, tetapi sekarang jumlah partai bertelur makin banyak, sehingga yang akan ikut Pemilu 2009 berjumlah 34 partai. Maka ongkos pemilu pun membengkak, mencapai 14 triliun rupiah.

Kenapa orang lebih suka membikin partai ketimbang membikin rumah makan, apakah ini disebabkan oleh trend, ataukah mode, ataukah idealisme?

Pokok soalnya karena kita sedang keranjingan, euphoria, demokrasi prosedural, dimana kita baru belajar berdemokrasi selama sepuluh tahun terakhir, dan kebebasan bersarikat, berkumpul, serta menyatakan pendapat telah benar-benar boleh dilaksanakan.

Liberalisasi politik saat ini ditentukan oleh pasar bebas, maka kalau ada uang siapa pun boleh membikin partai. Tak heran banyak tokoh bermasalah di masa lalu yang menyimpan banyak uang ikut-ikutan pula membikin partai. Sebab dengan demikian ia punya ‘’alat politik’’, punya legalitas memobilisasi orang, dan sebagainya.

Kenapa ada banyak sekali partai beraliran Nasionalis? Dan ada banyak sekali partai beraliran Islam didirikan saat ini? Kenapa partai-partai sealiran tidak bergabung menjadi satu?

Jawabnya karena ini era liberalisasi politik. Tak ada juntrungan dengan idealisme. Ada uang orang berpolitik, sebab demokrasi yang sedang dibangun adalah Demokrasi uang.

Demokrasi uang dicirikan oleh banyaknya partai, dimana politisi berpolitik untuk kepentingan lima tahun sekali, yaitu pemilu dan parlemen. Politisi bertambah banyak, tetapi negarawan tidak ada. *** (iniorangbiasa@yahoo.com)

Politik Artistik


Catatan: Arief Gunawan, Dewan Redaksi myRMnews


PANGGUNG politik nasional dalam beberapa waktu terakhir kelihatannya semakin artistik.

Yang dimaksud artistik di sini bukan dalam pengertian harfiah, melainkan dalam arti kias, yaitu makin dipenuhi artis yang menjadi calon dalam Pilkada, dan bahkan Gedung DPR di Senayan tampaknya bakal dipenuhi deretan artis, karena partai-partai banyak merekrut caleg dari kalangan artis.

Gedung DPR dan Pilkada semakin artistik. Sehingga politik kosmetik berubah menjadi politik artistik. Orang berminat masuk partai karena partai membuka lowongan kerja untuk posisi caleg dan calon dalam Pilkada, dengan dipungut bayaran yang tidak sedikit.

Kaderisasi partai macet, pengurusnya pada berantem. Partai-partai terbelah dua, sebab orang partai umumnya power oriented dan money oriented.

Power oriented, orientasinya adalah kekuasaan. Pemimpin seperti ini akan mengalami anti-klimaks ketika berhasil memegang kekuasaan. Karena sudah anti-klimaks ia hanya akan menjaga keseimbangan supaya kekuasaan di tangan tidak goyah atau jatuh.

Pemimpin berwatak power oriented bersikap formalistik, legalistik, dan simbolistik. Suka menyenangkan semua orang ketimbang bersikap konfrontatif.

Sedangkan money oriented berorientasi kepada uang. Masuk ke gelanggang politik karena peluang mendapat uang lebih banyak untuk meningkatkan taraf hidup. Contoh pemimpin money oriented setidaknya bisa dilihat dari semakin banyaknya anggota DPR yang ditahan oleh KPK gara-gara urusan uang.

Yang lebih gawat dan berabe ialah pemimpin yang menggabungkan watak power oriented dan money oriented. Tipikal pemimpin seperti ini tidak punya idealisme, kecuali mewujudkan impian sendiri, yaitu mendapat kuasa dan uang untuk sebesar-besar kemakmuran diri sendiri dan golongan. *** (iniorangbiasa@yahoo.com)

Mengoreksi Partai


Catatan: b>Arief Gunawan (iniorangbiasa@yahoo.com)

PARTAI-partai politik sekarang bukan lagi preassure group, melainkan lebih memposisikan diri sebagai lembaga penyalur tenaga kerja untuk posisi calon legislatif dan calon kepala daerah. Partai-partai didirikan menjelang pemilu, sehingga kaderisasi berlangsung secara instan.

Maka kualitas dan integritas DPR sekarang umumnya rendah. Sebab partai tidak punya ’’ideologi’’, kecuali pragmatisme politik. Konstitusi diabaikan, partai-partai mengukuhkan ikatan sempit, bahwa yang dimaksud konstitusi adalah sekadar Undang-Undang Dasar.

DPR membuat undang-undang untuk kepentingan praktis kelompok dan golongan, sehingga undang-undang menjadi alat bargaining. Pembahasan RUU menjadi ’’obyektif’’, maksudnya ’’obyekan kolektif’’ karena sering disiram uang.

Transformasi demokrasi sekarang sedang berlangsung dari tingkat nasional ke tingkat lokal, sehingga hampir setiap hari berlangsung proses demokrasi yang disebut sebagai Pilkada.

Tetapi Pilkada jadi mainan politik lokal. Proses awalnya sering menyebabkan tekanan terhadap birokrasi, dan diujungnya terjadi tekanan politik. Calon yang kalah gampang mengamuk, uang ratusan miliar dipakai untuk mewujudkan Demokrasi Uang.

Maka sekarang timbul pemikiran untuk mengkaji ulang sistem Pilkada dan format otonomi daerah. Ada usul supaya gubernur dipilih saja berdasarkan usulan dari DPRD dan ditentukann oleh pusat, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Sebab soalnya kerawanan sosial di daerah kini menjadi bertambah, akibat sistem yang sekarang.

Ada pula kritik yang datang, bahwa partai-partai, para elit dan para tokoh sengaja menuntut banyak sekali pemekaran wilayah. Sebab pemekaran wilayah adalah ruang untuk permainan kekuasaan, juga partai dan juga uang.

Partai politik yang jumlahnya menggelembung, yaitu 38, plus enam partai lokal, memang tidak bisa dibendung, dikoreksi, apalagi diciutkan. Karena partai-partai tersebut didirikan mengatasnamakan reformasi dan demokrasi.

Kini soalnya adalah sangat berisiko tinggi apabila nasib dan masa depan bangsa dan negara ini diserahkan kepada partai-partai, yang di dalam praktiknya lebih banyak bertindak sebagai penyalur tenaga kerja, dengan kader instan, dan bukan lagi bagian dari preassure group karena asyik berkubang di dalam pragmatisme politik. ***

Kecerobohan Berdemokrasi


Catatan: Arief Gunawan, Dewan Redaksi MyRMNews.com

NKRI menempati jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia, setelah Cina, India, Amerika Serikat, dan menyusul Rusia, dengan pulau yang kaya, yang jumlahnya mencapai 18.110 pulau.

Sumber daya alamnya juga kaya, tetapi sumber daya manusianya terbelakang, sehingga di dalam indeks badan PBB disebut bahwa kualitas orang Indonesia saat ini masih masuk kategori rendah.

Oleh kalangan internasional Indonesia dikategorikan sebagai negeri demokratis ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Sehingga pandangan ini suka membuat mabok kepayang.

India sedang mengembangkan teknologi antariksa, sehingga bersama Cina yang barusan menggelar olimpiade, mau menjadi negara dari Asia yang berencana mampir ke bulan.

Industri film Bollywood di sana menyerap jutaan tenaga kerja. Film-film India di sini ditiru, sehingga para artis yang sekarang berlomba-lomba jadi caleg dan kepala daerah, suka berperan seperti shahruk khan atau tuan takur.

Luas NKRI bandingannya adalah luas Rusia, yang merupakan negara terluas di dunia, yang ukurannya hampir dua kali luas Amerika Serikat dan meliputi 1/8 luas daratan bumi. Luas Rusia 6.592.812 mil atau 17.075.400 km2 yang membentang dalam 11 zona waktu, mulai dari bagian timur benua Eropa hingga ujung timur benua Asia bagian utara.

Dalam sepuluh tahun sejak era reformasi apakah pencapaian bangsa ini? Di bidang otonomi sejak 1999 sudah terbentuk 191 daerah otonomi baru yang terdiri dari tujuh provinsi, 153 kabupaten, dan 31 kota.

Dengan demikian jumlah daerah otonomi yang ada mencapai 510 daerah otonom, yang terdiri dari 33 provinsi, 386 kabupaten, dan 19 kota.

Belakangan ide pemekaran wilayah mulai dipertanyakan oleh banyak pihak yang meminta supaya ditinjau ulang.
Sebab aspirasi pemekaran umumnya datang dari partai-partai dan juga para elit, untuk target kekuasaan dan jabatan-jabatan baru yang menguras keuangan negara, dan menyulut konflik horisontal.

Barangkali tidak ada negeri lain di dunia yang begitu cepat mengembangkan wilayah hanya dalam waktu sepuluh tahun, dengan atasnama demokrasi dan otonomi.

Sehingga jadilah negeri ini sekarang laboratorium demokrasi, dimana demokrasi menjadi bahan eksperimen, yang menjadi perhatian dunia, bukan oleh karena kemampuan para pemimpinnya berdemokrasi, tetapi lebih karena kecerobohannya berdemokrasi. *** (iniorangbiasa@yahoo.com)

Seberapa Murni Suara Terbanyak?

Oleh:Sri Budi Eko Wardani
Pengajar Ilmu Politik FISIP UI

Harian ini pada Selasa (23/9) lalu memuat tulisan berjudul ''Masih Ada Waktu Menggusur Nomor Urut'' tentang penetapan calon terpilih. Tulisan tersebut tampaknya merespons upaya sebagian politisi di DPR untuk melakukan revisi terbatas UU No 10/2008.

Saat ini ada gerakan di kalangan fraksi-fraksi DPR untuk menisbikan kembali pencapaian yang mereka buat tatkala mengesahkan UU Pemilu pada 31 Maret 2008. Namun, upaya ini belum final karena masih ada pendapat yang menghendaki UU Pemilu dilaksanakan secara utuh menghadapi pemilu 2009 yang pelaksanaannya kurang dari 200 hari lagi. Tulisan ini hendak memberikan perspektif lain sehingga pembaca memiliki pemahaman utuh atas hal yang tengah diperdebatkan di DPR.

Usulan revisi UU Pemilu muncul dari keputusan Golkar yang menerapkan suara terbanyak. Keputusan itu menjadi peniup peluit bagi PAN dan Demokrat yang sejak awal mengusung suara terbanyak. Persamaan kepentingan itulah membuat tiga partai ini berkoalisi mendorong mekanisme di DPR untuk revisi UU Pemilu. Bahkan, ada keinginan menempuh cara voting jika terjadi kebuntuan dalam sidang paripurna. Intinya, keputusan internal partai harus diperjuangkan walau harus menerabas keputusan UU yang telah melalui proses panjang.

Sejumlah persoalan
Gagasan memberlakukan suara terbanyak tentu ideal dan dianggap lebih demokratis. Mengapa lebih demokratis? Karena dianggap memenuhi unsur keadilan dan akuntabilitas.

Keadilan dilihat dari memberikan penghargaan kepada caleg yang meraih suara terbanyak karena kerja keras membangun dukungan di daerah pemilihannya secara kontinu. Unsur akuntabilitas dilihat dari pertanggungjawaban yang akan terbangun antara caleg terpilih dan konstituen di dapilnya. Minimal rakyat lebih kenal dengan wakil dari daerahnya.

Untuk mencapai kondisi ideal, suara terbanyak harus dipahami sebagai proses dari hulu ke hilir. Suara terbanyak bukan merujuk pada hasil akhir saja, tetapi proses yang dimulai sejak pencalonan di partai. Bahkan, proses dimulai ketika partai bekerja membangun dukungan rakyat secara simultan. Untuk itu ada sejumlah persoalan demokratis yang harus dicermati jika suara terbanyak dipaksakan berlaku pada pemilu 2009, sementara infrastruktur pendukungnya masih oligarkis dan tidak demokratis.

Tulisan harian ini menyebutkan pengalaman pemilu Indonesia dengan proporsional tertutup dan nomor urut menyuburkan oligarki partai dan tidak memberi ruang pada rakyat menentukan pilihannya. Pendapat tersebut tentu saja benar, tetapi tidak bisa dijadikan pembanding yang sama dengan kondisi saat ini.

Pemilu-pemilu Orde Baru digunakan untuk merekayasa parlemen agar dapat dikendalikan dan menjamin kontinuitas kekuasaan. Sistem tertutup (nomor urut) memang menunjang strategi perekayasaan tersebut. Tidak ada persaingan karena semuanya telah ditentukan sebelum pemilu. Kondisi yang sangat berbeda dengan saat ini.

Transisi demokrasi yang ditempuh Indonesia adalah memberikan pembelajaran dan kesempatan politik kepada rakyat, elite, dan partai politik untuk merespons perubahan sistem dan tata cara agar suitable dengan demokrasi. Kita baru memulainya pada pemilu 2004 dengan mulai membiasakan pemilih memilih nama caleg, bukan hanya gambar partai.

Pemilu 2004 yang menerapkan BPP 100 persen dan nomor urut memang belum sempurna. Tetapi, telah memberikan kesempatan politik kepada para caleg untuk berkompetisi, situasi yang tidak terjadi pada Orde Baru. Hal ini menjadi pembelajaran pada para caleg baik laki-laki maupun perempuan.

Pembahasan di pansus RUU Pemilu melahirkan keputusan menggunakan 30 persen BPP dan nomor urut. Digunakannya 30 persen BPP merupakan kompromi antara memberi peluang bekerjanya proses internal partai, merespons kebutuhan mengakomodasi pasar, serta memberikan peluang keterpilihan pada caleg perempuan dalam rangka tindakan afirmatif.

Harapannya, dengan 30 persen BPP akan memenuhi unsur kompetisi antarcaleg di dapil, sekaligus memberi peluang keterpilihan pada kader partai yang selama ini bekerja untuk partai. Tentu saja, konteks 30 persen BPP ini harus dipahami sebagai proses transisi sebelum kita semua siap menerapkan sistem proporsional murni sebagaimana dikehendaki.

Persoalan lain, suara terbanyak yang dipaksakan pada pemilu 2009 tidak serta-merta memperbaiki hubungan rakyat dan wakilnya, dan tidak juga berkorelasi dengan perbaikan wajah parlemen. Mengapa demikian?

Pertama, suara terbanyak cenderung ditujukan mendongkrak keterpilihan partai politik yang bertumpu pada popularitas caleg di dapil. Itulah sebabnya muncul strategi partai merekrut orang yang sangat populer (seperti artis) yang karena popularitasnya dapat mendongkrak suara. Tetapi, keterpilihan artis, misalnya, lebih disebabkan kepopulerannya, bukan kerjanya membina konstituen di dapil. Maka, suara terbanyak menjadi manipulatif, dalam arti tidak bisa menguji keberhasilan caleg dalam membina konstituennya selama ini.

Kedua, belum terbangunnya mekanisme pencalonan yang transparan dan terukur, serta masih kuatnya peran pimpinan partai (ketua umum, ketua dewan pembina) dalam pencalonan membuat suara terbanyak bersifat prematur. Hal ini rentan terhadap kohesivitas internal partai dalam jangka panjang karena persaingan menjadi tidak sehat.

Bahkan ada gejala keputusan partai menggunakan suara terbanyak karena ketidakmampuan pimpinan partai menyusun kriteria pencalonan serta masih kentalnya nepotisme di dalam partai. Misalnya, ada caleg yang dilempar ke dapil bukan binaannya karena dikalahkan oleh orang yang memiliki kedekatan dengan pimpinan partai. Maka, suara terbanyak yang dipaksakan pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir orang dan tidak memenuhi asas keadilan bagi semua caleg yang bersaing pada suatu dapil.

Ketiga, pencantuman suara terbanyak dalam UU No 10/2008 akan memunculkan masalah harmonisasi. Revisi pasal 214 tidak bisa dilakukan tanpa mengkaji pasal-pasal lain. Misalnya, pemberian suara dan sah tidaknya suara.

Pertanyaan kritis layak diajukan. Jika suara terbanyak yang digunakan, apakah relevan mencoblos gambar partai? Apakah suara sah hanya berlaku jika pemilih mencoblos nama caleg dan bukan gambar partai? Jika ini yang berlaku, berapa potensi suara tidak sah karena pemilih cenderung memilih gambar partai?

Intinya suara terbanyak tidak bisa diterapkan setengah-setengah, tetapi harus melalui kajian mendalam. Suara terbanyak tidak bisa diterapkan ketika pencalonan sudah memasuki tahap akhir sementara kepastian hukum bagi caleg dan penyelenggara pemilu masih terpenjara oleh berbagai kepentingan di DPR. Suara terbanyak tidak bisa diterapkan pada hasil akhir melainkan proses yang terbangun sejak awal.

Pelajaran lain dari apa yang ditunjukkan partai-partai tersebut adalah sikap inkonsistensi mereka atas kesepakatan yang dibuat di tengah proses pemilu yang sedang berlangsung. Inkonsistensi yang terjadi karena adanya kepentingan instan dan tidak didasarkan pada upaya membangun demokrasi secara terarah dan berkesinambungan.

Jika revisi terbatas ini diterima, ini preseden buruk bagi proses konsolidasi demokrasi di mana partai politik (semestinya) bisa memberikan pelajaran yang baik dalam proses tersebut. Demokrasi bukanlah hasil akhir. Demokrasi proses demi kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan sekelompok orang. Semoga anggota DPR dapat lebih arif melihat masalah ini.

Ikhtisar:
- Pemilu pada Orde Baru digunakan untuk merekayasa parlemen.
- Suara terbanyak yang dipaksakan pada pemilu 2009 tidak langsung memperbaiki hubungan rakyat dan wakilnya dan tidak juga berkorelasi dengan perbaikan wajah parlemen.

Seberapa Murni Suara Terbanyak?

Oleh:Sri Budi Eko Wardani
Pengajar Ilmu Politik FISIP UI

Harian ini pada Selasa (23/9) lalu memuat tulisan berjudul ''Masih Ada Waktu Menggusur Nomor Urut'' tentang penetapan calon terpilih. Tulisan tersebut tampaknya merespons upaya sebagian politisi di DPR untuk melakukan revisi terbatas UU No 10/2008.

Saat ini ada gerakan di kalangan fraksi-fraksi DPR untuk menisbikan kembali pencapaian yang mereka buat tatkala mengesahkan UU Pemilu pada 31 Maret 2008. Namun, upaya ini belum final karena masih ada pendapat yang menghendaki UU Pemilu dilaksanakan secara utuh menghadapi pemilu 2009 yang pelaksanaannya kurang dari 200 hari lagi. Tulisan ini hendak memberikan perspektif lain sehingga pembaca memiliki pemahaman utuh atas hal yang tengah diperdebatkan di DPR.

Usulan revisi UU Pemilu muncul dari keputusan Golkar yang menerapkan suara terbanyak. Keputusan itu menjadi peniup peluit bagi PAN dan Demokrat yang sejak awal mengusung suara terbanyak. Persamaan kepentingan itulah membuat tiga partai ini berkoalisi mendorong mekanisme di DPR untuk revisi UU Pemilu. Bahkan, ada keinginan menempuh cara voting jika terjadi kebuntuan dalam sidang paripurna. Intinya, keputusan internal partai harus diperjuangkan walau harus menerabas keputusan UU yang telah melalui proses panjang.

Sejumlah persoalan
Gagasan memberlakukan suara terbanyak tentu ideal dan dianggap lebih demokratis. Mengapa lebih demokratis? Karena dianggap memenuhi unsur keadilan dan akuntabilitas.

Keadilan dilihat dari memberikan penghargaan kepada caleg yang meraih suara terbanyak karena kerja keras membangun dukungan di daerah pemilihannya secara kontinu. Unsur akuntabilitas dilihat dari pertanggungjawaban yang akan terbangun antara caleg terpilih dan konstituen di dapilnya. Minimal rakyat lebih kenal dengan wakil dari daerahnya.

Untuk mencapai kondisi ideal, suara terbanyak harus dipahami sebagai proses dari hulu ke hilir. Suara terbanyak bukan merujuk pada hasil akhir saja, tetapi proses yang dimulai sejak pencalonan di partai. Bahkan, proses dimulai ketika partai bekerja membangun dukungan rakyat secara simultan. Untuk itu ada sejumlah persoalan demokratis yang harus dicermati jika suara terbanyak dipaksakan berlaku pada pemilu 2009, sementara infrastruktur pendukungnya masih oligarkis dan tidak demokratis.

Tulisan harian ini menyebutkan pengalaman pemilu Indonesia dengan proporsional tertutup dan nomor urut menyuburkan oligarki partai dan tidak memberi ruang pada rakyat menentukan pilihannya. Pendapat tersebut tentu saja benar, tetapi tidak bisa dijadikan pembanding yang sama dengan kondisi saat ini.

Pemilu-pemilu Orde Baru digunakan untuk merekayasa parlemen agar dapat dikendalikan dan menjamin kontinuitas kekuasaan. Sistem tertutup (nomor urut) memang menunjang strategi perekayasaan tersebut. Tidak ada persaingan karena semuanya telah ditentukan sebelum pemilu. Kondisi yang sangat berbeda dengan saat ini.

Transisi demokrasi yang ditempuh Indonesia adalah memberikan pembelajaran dan kesempatan politik kepada rakyat, elite, dan partai politik untuk merespons perubahan sistem dan tata cara agar suitable dengan demokrasi. Kita baru memulainya pada pemilu 2004 dengan mulai membiasakan pemilih memilih nama caleg, bukan hanya gambar partai.

Pemilu 2004 yang menerapkan BPP 100 persen dan nomor urut memang belum sempurna. Tetapi, telah memberikan kesempatan politik kepada para caleg untuk berkompetisi, situasi yang tidak terjadi pada Orde Baru. Hal ini menjadi pembelajaran pada para caleg baik laki-laki maupun perempuan.

Pembahasan di pansus RUU Pemilu melahirkan keputusan menggunakan 30 persen BPP dan nomor urut. Digunakannya 30 persen BPP merupakan kompromi antara memberi peluang bekerjanya proses internal partai, merespons kebutuhan mengakomodasi pasar, serta memberikan peluang keterpilihan pada caleg perempuan dalam rangka tindakan afirmatif.

Harapannya, dengan 30 persen BPP akan memenuhi unsur kompetisi antarcaleg di dapil, sekaligus memberi peluang keterpilihan pada kader partai yang selama ini bekerja untuk partai. Tentu saja, konteks 30 persen BPP ini harus dipahami sebagai proses transisi sebelum kita semua siap menerapkan sistem proporsional murni sebagaimana dikehendaki.

Persoalan lain, suara terbanyak yang dipaksakan pada pemilu 2009 tidak serta-merta memperbaiki hubungan rakyat dan wakilnya, dan tidak juga berkorelasi dengan perbaikan wajah parlemen. Mengapa demikian?

Pertama, suara terbanyak cenderung ditujukan mendongkrak keterpilihan partai politik yang bertumpu pada popularitas caleg di dapil. Itulah sebabnya muncul strategi partai merekrut orang yang sangat populer (seperti artis) yang karena popularitasnya dapat mendongkrak suara. Tetapi, keterpilihan artis, misalnya, lebih disebabkan kepopulerannya, bukan kerjanya membina konstituen di dapil. Maka, suara terbanyak menjadi manipulatif, dalam arti tidak bisa menguji keberhasilan caleg dalam membina konstituennya selama ini.

Kedua, belum terbangunnya mekanisme pencalonan yang transparan dan terukur, serta masih kuatnya peran pimpinan partai (ketua umum, ketua dewan pembina) dalam pencalonan membuat suara terbanyak bersifat prematur. Hal ini rentan terhadap kohesivitas internal partai dalam jangka panjang karena persaingan menjadi tidak sehat.

Bahkan ada gejala keputusan partai menggunakan suara terbanyak karena ketidakmampuan pimpinan partai menyusun kriteria pencalonan serta masih kentalnya nepotisme di dalam partai. Misalnya, ada caleg yang dilempar ke dapil bukan binaannya karena dikalahkan oleh orang yang memiliki kedekatan dengan pimpinan partai. Maka, suara terbanyak yang dipaksakan pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir orang dan tidak memenuhi asas keadilan bagi semua caleg yang bersaing pada suatu dapil.

Ketiga, pencantuman suara terbanyak dalam UU No 10/2008 akan memunculkan masalah harmonisasi. Revisi pasal 214 tidak bisa dilakukan tanpa mengkaji pasal-pasal lain. Misalnya, pemberian suara dan sah tidaknya suara.

Pertanyaan kritis layak diajukan. Jika suara terbanyak yang digunakan, apakah relevan mencoblos gambar partai? Apakah suara sah hanya berlaku jika pemilih mencoblos nama caleg dan bukan gambar partai? Jika ini yang berlaku, berapa potensi suara tidak sah karena pemilih cenderung memilih gambar partai?

Intinya suara terbanyak tidak bisa diterapkan setengah-setengah, tetapi harus melalui kajian mendalam. Suara terbanyak tidak bisa diterapkan ketika pencalonan sudah memasuki tahap akhir sementara kepastian hukum bagi caleg dan penyelenggara pemilu masih terpenjara oleh berbagai kepentingan di DPR. Suara terbanyak tidak bisa diterapkan pada hasil akhir melainkan proses yang terbangun sejak awal.

Pelajaran lain dari apa yang ditunjukkan partai-partai tersebut adalah sikap inkonsistensi mereka atas kesepakatan yang dibuat di tengah proses pemilu yang sedang berlangsung. Inkonsistensi yang terjadi karena adanya kepentingan instan dan tidak didasarkan pada upaya membangun demokrasi secara terarah dan berkesinambungan.

Jika revisi terbatas ini diterima, ini preseden buruk bagi proses konsolidasi demokrasi di mana partai politik (semestinya) bisa memberikan pelajaran yang baik dalam proses tersebut. Demokrasi bukanlah hasil akhir. Demokrasi proses demi kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan sekelompok orang. Semoga anggota DPR dapat lebih arif melihat masalah ini.

Ikhtisar:
- Pemilu pada Orde Baru digunakan untuk merekayasa parlemen.
- Suara terbanyak yang dipaksakan pada pemilu 2009 tidak langsung memperbaiki hubungan rakyat dan wakilnya dan tidak juga berkorelasi dengan perbaikan wajah parlemen.

(republika.co.id)

Jumat, 2008 Oktober 03

Kepemimpinan Santri dan Dilema Kekuasaan

Oleh Agus Muhammad

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.

Pasca reformasi, santri memegang peran penting dalam kepemimpinan nasional. Setidaknya, kelompok ini memiliki akses kekuasaan yang lebih luas di banding sebelumnya. Peluang ini tak ubahnya seperti pembalikan terhadap fakta sejarah pada kepemimpinan Soeharto yang tidak memberi akses bagi kekuatan politik Islam untuk mengambil peran dalam kepemimpinan nasional. Rezim ini justru melakukan peminggiran secara sistematis terhadap kekuatan politik Islam.

Setelah Soeharto mundur, kekuatan politik Islam bangkit dan membalikkan fakta sejarah. Partai-partai Islam berlomba-loma dalam pemilu. Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden setelah Habibie merupakan simbol santri par excelent. Pada saat yang sama Amien Rais terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR. Pada saat itu, praktis kepemimpinan nasional berada di tangan kaum santri.

Ketika Gus Dur dilengserkan dari kursi presiden, Megawati yang menggantikannya didampingi oleh Hamzah Haz yang merupakan figur politisi santri. Dalam pemilu 2004, partai-partai Islam kian marak. Disamping itu, semua calon presiden yang maju dalam pemilihan presiden merupakan pasangan antara figur santri dan nasionalis. SBY dan Jusuf Kalla yang kemudian memenangkan pemilu presiden adalah respresentasi dari dua hal ini.

Kecenderungan itulah yang oleh Kuntowijoyo (2004) disebut sebagai pragmatisme religius. Dalam pragmatisme religius, dikotomi sekuler-religius hilang. Tak ada lagi dikotomi santri-abangan. Bersama dengan hilangnya dikotomi sekuler-religius, menurut Kuntowijoyo, tidak akan ada lagi charismatic politics, power politics, dan politics of meaning. Pragmatisme religius mengintegrasikan yang sekuler dan yang religius. Pragmatisme religius adalah antropo-teosentrisme.

Kepemimpinan Moral

Kepemimpinan santri di pentas nasional diharapkan membawa nuansa yang berbeda dengan sebelumnya. Sampai batas tertentu, harapan ini berhasil diwujudkan, misalnya iklim keterbukaan yang lebih transparan, demokrasi yang lebih terjamin dan akses kekuasaan yang relatif terbuka bagi semua kelompok masyarakat.

Namun, dari segi perbaikan ekonomi, peningkatan kesejahteraan serta penegakan hukum yang berkeadilan, kepemimpinan santri masih harus diuji. Karena di bidang ini, tingkat keberhasilannya masih kecil. Kenyataan ini mengherankan, karena secara umum, kepemimpinan kaum santri di pentas nasional relatif memenuhi kriteria akseptabilitas, kapabilitas, dan integritas.

Akseptabilitas yang mengandaikan adanya dukungan riil dari sekelompok masyarakat yang menghendaki orang tersebut menjadi pemimpin sudah terpenuhi dalam pemilihan umum. Demikian juga kapabilitas yang menyangkut kemampuan dan kecakapan untuk menjalankan kepemimpinan. Meski kapabilitas kaum santri yang duduk dalam kepemimpinan nasional tidak sangat memuaskan seperti yang diharapkan, setidaknya mereka telah didampingi para ahli, teknokrat dan kelompok profesional di bidangnya masing-masing. Sehingga problem kapabilitas mestinya sudah tidak ada masalah. Prasyarat yang masih dipertanyakan adalah integritas. Sebab, integritas adalah komitmen moral untuk berpegang teguh dan mematuhi aturan main yang telah disepakati dan sekaligus kesediaan untuk tidak melakukan pelanggaran terhadapnya.

Tanpa akseptabilitas, seorang pemimpin akan mudah dipertanyakan keabsahannya karena tidak memiliki legitimasi yang kuat. Sebaliknya, tanpa kapabilitas, seorang pemimpin tidak mungkin bisa menjalankan kepemimpinannya dengan baik karena dia tidak dilengkapi dengan kompetensi yang memadai. Namun akseptabilitas dan kapabilitas menjadi tidak ada gunanya jika tidak didukung oleh integritas. Tanpa integritas, seorang pemimpin mudah terjemurus dalam sikap sewenang-wenang. Dengan sendirinya berbagai bentuk penyelewengan moral akan mudah terjadi. Aspek terakhir inilah yang sering disebut sebagai kepemimpinan moral. Rendahnya kepemimpinan moral sering dianggap sebagai salah satu faktor yang membuat kondisi bangsa ini tidak segera beranjak pada keadaan yang lebih baik.

Dilema Kekuasaan

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan.

Banyak analis menyebutkan bahwa kegagalan untuk memenuhi harapan masyarakat luas disebabkan oleh parahnya kondisi sosial, ekonomi dan politik bangsa ini. Ini masih ditambah dengan tidak adanya keberanian moral dari pemimpin untuk melakukan terobosan. Monopoli kekuasaan yang nyaris terpusat di lembaga legislatif menjadi persoalan lain yang tak kalah krusialnya. Para politisi santri yang duduk di parlemen tidak jauh berbeda dengan politisi sekuler.

Mengapa politisi santri tidak berhasil membangun moralitas di parlemen? Bukankah mereka adalah representasi dari religiusitas? Eberhard Puntush (1986) punya analisis menarik soal ini. Menurutnya, ada tiga tekanan yang membahayakan kepribadian politisi. Pertama, ia terlalu dibebani secara intelektual. Ia dituntut suatu tingkat kemampuan yang tidak dimilikinya karena melebihi daya tampung biasa suatu kepala. Ia terjebak pada ketidakmampuan dalam banyak bidang dan sekaligus harus menyembunyikan ketidakmampuannya itu. Menurut Puntush, itulah awal dari merebaknya ketidakjujuran.

Tekanan kedua bagi seorang politisi, adalah adanya paksaan untuk bersikap solider pada partainya dan wakil-wakil dari partai tersebut, walaupun tingkah laku rekan-rekan satu partai itu melukai cara pandang etisnya sendiri. Menurut Puntush, politisi sering harus menutup-nutupi kesalahan-kesalahan rekan-rekannya separtai. Ia harus membela pendapat rekan-rekannya meskipun pendapat itu salah. Membohongi masyarakat umum dianggap prestasi.

Tekanan ketiga, adalah paksaan untuk mampu menahan kritik umum yang tidak adil. Kritik umum biasanya membandingkan keberhasilan yang ada dengan keberhasilan yang sebaiknya dapat dicapai; dan dengan cara itu di mana-mana terlihat adanya kekurangan. Dari lawan-lawan politiknya, politisi hanya bisa menerima lebih sedikit lagi keadilan. Karena partai-partai itu saling bersaing, maka upaya merendahkan lawan dengan sendirinya meningkatkan posisi mereka sendiri. Akibatnya, menurut Puntush, kemampuan politisi untuk menerima kritik semakin menurun.

Karakter yang digambarkan di atas hampir semuanya – kalau tidak seluruhnya – tergambar dalam tingkah laku politisi kita. Sebagai personifikasi dari religiusitas, kepemimpinan santri mestinya lebih bisa konsisten dalam memegang teguh moralitas, sehingga berbagai kebijakan dan perilaku politiknya betul-betul dituntun oleh etika. Namun, etika dan moralitas tidak cukup hanya diserahkan kepada individu yang bersangkutan sebagai komitmen pribadi, tetapi harus dilembagakan dalam aturan main. Jika tidak, moralitas akan berbenturan dengan tekan-tekanan yang, menurut Puntush, hanya akan merusak karakter orang yang bersangkutan.[]

Prospek Partai-Partai Islam dalam Pemilu 2009

Oleh Burhanuddin Muhtadi

Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Peta politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Pertanyaannya, apakah politik aliran masih relevan untuk menjelaskan pemilu pasca Orde Baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua penelitian pada skala nasional. Pertama, studi R. William Liddle dan Saiful Mujani yang menyimpulkan politik aliran telah pudar. Tesis Liddle dan Mujani ini didasarkan pada survei skala nasional pada 1999 yang menyebutkan bahwa mayoritas pemilih PDIP (63%) dalam pemilu 1999 adalah santri.

Kedua, studi Dwight Y. King yang menyimpulkan bahwa politik aliran masih viable pada tingkat grassroot. Dengan data hasil Pemilu 1955 dan 1999, King menyatakan bahwa partai Islam dan Golkar mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan kekuatan utama partai-partai santri (misalnya Masyumi, NU). Sementara partai nasionalis seperti PDIP mendapatkan dukungan di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan lumbung suara partai abangan (misalnya PNI dan PKI). Jika studi King benar, maka perlu redefinisi politik aliran. Bahwa parameter menjalankan shalat dan ritual lainnya tak lagi akurat untuk membedakan afialiasi politik Islam dan nasionalis. Juga, pertanyaan semisal “apakah anda sering, cukup, atau tidak pernah menjalankan shalat” termasuk kategori socially desirable. Kalau politik aliran berlaku, seharusnya suara partai Islam melonjak pada pemilu 1999 dan 2004. Karena, sebagaimana dalam survei Liddle dan Mujani (1999), tingkat ketaatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah makin tinggi.

Faktanya, perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.

Karakteristik partai Islam biasanya dilihat dari dua hal, asas dan basis massa. Dari asas partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Sementara PKB dan PAN bisa dikelompokkan Islam karena meskipun menjual ideologi pluralis, dua partai itu mengandalkan basis massa muslim. Namun, partai Islam tak homogen. PKS, PPP, dan PBB bisa dikategorikan Islamis. Ketiganya memosisikan Islam bukan semata-mata konstruksi teologis, tapi juga menyediakan perangkat sosial politik yang tak memisahkan agama dan negara (Monshipuri, 1998; Roy, 1993). Tak heran jika ketiga partai itu masih memiliki agenda semisal penerapan Piagam Jakarta atau mendukung pelaksanaan perda Syariat. Sebaliknya, PAN dan PKB tak bisa disebut Islamis karena keduanya lebih menitikberatkan pada nilai-nilai niversal Islam dan tak punya agenda menghidupkan Piagam Jakarta.

Uniknya, perbedaan karakter ideologis Islamis dan non-Islamis itu tak terlalu berpengaruh dalam perolehan suara partai Islam. Hasil korelasi pemilu 1999 dan 2004 yang dilakukan Baswedan, suara PDI-P beralih ke partai nasionalis. Sementara, peningkatan suara PKS berasal dari partai berbasis Islam (PAN dan PPP). Suara PKB relatif tetap karena partai ini menangguk suara dari kalangan Islam tradisionalis di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.

Kesimpulan Baswedan di atas sejalan dengan exit polls yang diadakan LP3ES pada hari pemilu 5 April 2004; bahwa peningkatan suara PKS merupakan hasil migrasi dari suara pemilih berbasis Islam, kecuali PKB. Sebanyak 16 persen PAN dan PPP pada pemilu 1999 berpindah ke PKS. Tingkat loyalitas pemilih tertinggi juga jatuh ke PKS (56%), disusul pendukung PKB (54%). Ini menunjukkan, kenaikan suara satu partai Islam lebih disebabkan turunnya suara partai Islam lain. Papartai Islam tidak atau belum berhasil meluaskan pangsa pasarnya. Hubungan antara satu partai Islam dengan partai Islam yang lain bersifat zero-sum game.

Bagaimana prospek partai Islam pada pemilu 2009? Hasil survei opini publik yang diadakan lembaga jajak pendapat menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tak akan jauh dari hasil pemilu 2004. Survei CSIS Jakarta misalnya, bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk melihat pemilu tahun depan. Benar bahwa suara yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) masih cukup besar, 30%. Ini artinya, jika ditanyakan partai apa yang dipilih pada saat survei itu digelar, sepertiga pemilih belum menentukan pilihan. Di antara yang sudah menentukan pilihan, menurut survei CSIS, 20.3% menyatakan akan memilih PDI-P. 18.1% memilih Golkar, 11.8% sudah menyatakan pilihannya ke PKS. Pemilih yang sudah menentukan pilihan ke PKB sebesar 6.8%, PD sebesar 5.2%, PPP sebesar 2.7%, dan PAN sebesar 1.7%.

Sementara itu, dilihat dari tingkat loyalitas pemilih, pemilih PKS pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PKS pada pemilu 2009 sebesar 75,4%. Ini rekor tertinggi loyalitas pemilih. Peringkat kedua, Golkar (61%), disusul PDI-P (55,1%) PKB (48, 5%). Sementara tingkat loyalitas PAN terhitung rendah; 31% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PAN pada 2009 nanti. Uniknya, ada sekitar 22,5% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan menjatuhkan pilihan pada PKS pada pemilu 2009 nanti. Tingkat loyalitas pemilih partai Demokrat terhitung paling rendah (18.7%). Ini bukti bahwa pemilih partai Demokrat adalah swing voters dan fenomena sesaat.

Suara PKS yang menanjak menurut hasil survei ini sebagian besar mengambil dari suara PAN dan PPP. Ini berarti, pangsa suara PKS bersinggungan langsung dengan partai Islam modernis lain; PAN, PPP dan PBB. Suara PKB yang akan jatuh ke PKS diprediksi kecil. Di samping karena pemilih PKB memiliki loyalitas tinggi, juga karena karakteristik sosio-religious dan demografis pemilih PKB dan PKS berbeda. Pemilih PKB rata-rata berdomisili di wilayah rural, berpendidikan rendah dan berpendapatan menengah ke bawah.

Mengaca pada hasil jajak pendapat tersebut, partai-partai yang berasas Islam atau berbasis massa Islam perlu mencari strategi yang matang untuk mengembangkan suara di luar suara tradisional Islam. Cara yang paling tepat adalah dengan membidik suara pemilih pemuda karena segmen suara inilah yang relatif bebas dari historical baggage dan immune dari polarisasi Islam dan nasionalis. Apakah partai-partai Islam mampu mengembangkan jaringan suaranya? Kita lihat hasilnya nanti!

Mencontreng ataukah Mencoblos?


Jumat, 3 Oktober 2008 | 02:04 WIB

Komisi Pemilihan Umum belum juga menentukan tanda apa yang akan digunakan dalam Pemilihan Umum 2009. Meski sudah yakin dengan tanda centang atau contreng (V), KPU masih saja tak kunjung membuat aturannya. Perdebatan masih berkutat di seputar apakah tanda selain tanda contreng, seperti mencoblos, bisa dikatakan sebagai suara sah.

Sejak awal, pada Mei lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah sangat yakin dengan tanda contreng. Itu terlihat pada Pencanangan Sosialisasi Pemilu 2009 yang dilaksanakan di Istana Presiden. Bahkan, di situ sudah dikenalkan logo Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, Si Pena, boneka dengan bentuk pena yang besar dan berwarna oranye. Selain itu, juga ada poster yang bergambar tanda contreng. Dengan demikian, KPU mau tidak mau harus mengesahkan tanda contreng itu.

Tanda contreng itu merupakan terjemahan KPU terhadap bunyi Pasal 153 Ayat 1 Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan pemberian suara untuk pemilu dilakukan dengan memberi tanda satu kali pada surat suara. Kemudian, ayat berikutnya, memberikan tanda satu kali dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam penghitungan suara dan efisien dalam penyelenggaraan pemilu.

Perdebatan muncul ketika KPU memaparkan desain surat suara di depan anggota Komisi II DPR. Tentu saja tanda contreng tidak terlepas dari bagaimana desain surat suara Pemilu 2009. Sebagian anggota DPR meragukan tanda contreng bisa dimengerti oleh ratusan juta pemilih Pemilu 2009. Alasannya, sudah bertahun-tahun masyarakat Indonesia terbiasa dengan mencoblos.

Anggota Komisi II, Andi Yuliani Paris (Fraksi Partai Amanat Nasional, Sulawesi Selatan II), mengatakan, KPU perlu memikirkan nama yang cocok untuk tanda contreng karena tidak semua orang di dalam masyarakat mengetahui arti tanda contreng. ”Bagaimana kalau masyarakat mengilustrasikan tanda contreng itu seperti tanda silang atau titik? Apakah suaranya sah? Kata ’contreng’ tidak dikenal seluruh masyarakat, termasuk konstituen kami di Sulsel,” kata Andi.

Bila KPU memutuskan menggunakan tanda contreng dalam surat suara, lanjutnya, sebaiknya dicari cara yang tepat bagaimana mengubah kebiasaan pemilih dari mencoblos menjadi memberi tanda contreng. ”Banyak yang bertanya kepada kami, termasuk dari kaum tunanetra. Bagaimana memastikan kaum tunanetra memilih pada tempat yang tepat? Ini penting supaya mereka juga bisa berpartisipasi dalam pemilu,” ujarnya.

Anggota Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, juga mengungkapkan hal senada. Ia mendorong agar cara mencoblos tetap digunakan pada Pemilu 2009. ”Tanda mencoblos atau mencontreng sudah melalui perdebatan yang panjang. Pada prinsipnya, bagaimana tanda itu mudah dan efisien. Jangan dipukul rata semuanya, harus mencontreng. Saya kira tanda titik pun bisa lebih mudah dan efisien,” kata Jazuli.

Ia juga mengatakan, bila KPU sudah memutuskan tanda contreng, sosialisasi harus gencar dilakukan KPU. Salah satu cara efektif yang bisa dipakai, menurut dia, KPU menyerahkan sosialisasi tanda kepada KPU daerah agar bisa menggunakan bahasa daerah, yang tentu lebih mudah dimengerti oleh masyarakat.

Sejak UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dibahas oleh pemerintah dan DPR, perdebatan soal tanda mencontreng atau mencoblos sudah muncul. Saat itu ada dua pilihan yang mengerucut, yaitu memberi tanda (contreng) atau mencoblos. Dengan adanya dua pilihan itu, DPR menganggap mencoblos bukanlah termasuk memberi tanda.

Saat pembahasan RUU Pemilu, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Partai Golkar mengusulkan agar pemberian suara dalam Pemilu 2009 tidak dengan cara mencoblos kertas suara, tetapi dengan menulis nama partai dan nama calon. Usulan ini pun memunculkan pro dan kontra.

Di sisi lain, perdebatan di antara lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang membidangi pemilu tak kalah seru. Centre for Electoral Reform (Cetro) mendukung tanda contreng pada surat suara. Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay mengungkapkan, tanda contreng sudah banyak digunakan di negara lain, hanya Indonesia dan Kamerun yang masih menggunakan tanda mencoblos. Selain itu, tanda contreng diharapkan bisa menghilangkan kemungkinan kecurangan yang bisa dilakukan dengan metode mencoblos.

Sementara itu, Kelompok Kerja (Pokja) Pemantau Penyelenggara Pemilu yang merupakan gabungan dari beberapa LSM, seperti Formappi, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, KRHN, Yappika, LBH Jakarta, serta Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, beranggapan tanda contreng akan menyebabkan suara tidak sah meningkat. Sekjen Formappi Sebastian Salang mengatakan, tanda yang dipilih harus memberikan kemudahan kepada pemilih dan menjamin akurasi penghitungan suara. ”Dengan alasan-alasan itu, kami merekomendasikan kepada KPU untuk memilih tanda mencoblos. Apalagi sebagian besar masyarakat belum terbiasa dengan tanda contreng. KPU harus tegas,” ujarnya.

Meski perdebatan di luar KPU sudah sangat seru, hampir setiap hari ada pro dan kontra tanda contreng, KPU masih saja bersantai-santai. Keputusan tanda contreng akan diambil bersamaan dengan penentuan desain surat suara. Simulasi pemungutan suara dilakukan untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan.

Dua pekan lalu KPU melakukan simulasi pemungutan suara di dua tempat, yaitu Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, dan Kabupaten Keerom, Papua. Dalam dua simulasi itu ada dua pengesahan tanda memberi suara yang sah. Di Sidoarjo, KPU mengesahkan tanda selain tanda contreng, yaitu tanda coblos, tanda garis, dan tanda silang.

Di Keerom, KPU hanya mengesahkan tanda contreng. Hasilnya, KPU menjadi semakin mantap dengan pilihannya, Alasannya, sebagian besar masyarakat yang datang untuk simulasi tidak mengalami kesulitan dalam mencontreng. Permasalahan yang muncul hanya mengenai desain surat suara yang terlalu besar. Simulasi juga mengungkapkan, 10 orang mencoblos surat suara.

Untuk kedua simulasi itu, KPU sudah berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR, tetapi keputusan belum bisa diambil KPU. Saat ini, KPU masih menunggu satu simulasi lagi, di Aceh. Setelah itu, mudah-mudahan saja KPU semakin tegas melangkah mengambil keputusan tanda apa yang sah. Hanya saja, jangan sampai KPU kemudian mengesahkan banyak tanda pemberian suara yang tentu akan membingungkan masyarakat.

Anggota KPU, Andi Nurpati, mengatakan, apabila tanda diberikan dalam kolom nama calon anggota legislatif atau gambar partai politik, maka menjadi suara yang sah. Namun, KPU tetap akan memakai tanda contreng dalam sosialisasi pemilu.

”Kalau tandanya masih di dalam kolom, itu tetap sah. Ini nanti akan diatur dalam peraturan KPU tentang pemungutan suara,” kata Andi yang juga Ketua Pokja Pemungutan Suara KPU.

Lalu, kapankah KPU akan menentukan tanda suara yang sah? KPU harus segera memutuskannya! Semua keputusan ada di tangan KPU. Apa pun yang dipilih KPU tentu ada risikonya, tetapi yang penting dari itu semua adalah sosialisasi. (MARIA SUSIE BERINDRA)

Jumlah Caleg


KPU Tetapkan Maksimal
Jumat, 3 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan jumlah calon anggota legislatif atau caleg per partai, pekan lalu. Dari 38 partai politik peserta Pemilu 2009, Partai Demokrat mempunyai caleg DPR terbanyak, yaitu 673 orang. Jumlah ini membuat tanda tanya beberapa pihak yang berpendapat jumlah caleg paling banyak 120 persen dari jumlah kursi DPR (550), yaitu 672 caleg.

Anggota KPU, Endang Sulastri, Selasa (30/9), mengatakan, pengajuan caleg setiap parpol peserta Pemilu 2009 maksimal 675 orang. KPU berpedoman pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang menyatakan daftar bakal calon memuat paling banyak 120 persen dari jumlah kursi dari setiap daerah pemilihan (dapil).

”Untuk itu, kami sudah mendaftar dan menghitung jumlah 120 persen dari jumlah kursi setiap dapil sehingga hasilnya 675 caleg, bukan menghitung 120 persen dari 550 kursi DPR,” kata Endang.

Untuk itu, lanjut Endang, Partai Demokrat tidak menyalahi ketentuan jumlah caleg maksimal. Dalam pengumuman KPU, Partai Demokrat menjadi partai yang paling banyak mengajukan caleg, sementara partai yang paling sedikit mengajukan caleg adalah Partai Penegak Demokrasi Indonesia mengajukan 50 caleg.

Dalam kesempatan itu, Endang juga mengungkapkan beberapa data menarik mengenai profil daftar caleg yang sudah disampaikan 38 parpol ke KPU. Misalnya, ada parpol yang mempunyai 100 persen caleg perempuan, parpol yang tidak mempunyai banyak perbaikan data caleg.

Mengenai keterwakilan caleg perempuan, Endang mengatakan Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) mempunyai data yang cukup baik, yaitu daerah pemilihan DKI Jakarta II memasang tujuh caleg dan semuanya perempuan.

”Hanya PDP satu-satunya yang mempunyai 100 persen caleg perempuan di salah satu dapilnya. Memang ada parpol lain juga yang 100 persen perempuan, tetapi dalam satu dapil itu hanya ada satu atau dua caleg,” ujarnya.

Menurut Endang, sebagian besar parpol menempatkan caleg perempuan di nomor urut tiga ke bawah, hanya sedikit parpol yang memasang caleg perempuan di nomor satu atau dua. (SIE)

Tiga Alternatif Revisi UU


Sulit Revisi UU No 10/2008 dalam Waktu Dekat
Jumat, 3 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Tersedia tiga pilihan atas usul revisi terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terkait dengan klausul penetapan calon terpilih.

Pertama, usul perubahan mentah. Kedua, usul diakomodasi sehingga penetapan calon terpilih bisa mengacu ke nomor urut sekaligus dimungkinkan bagi partai politik menerapkan prinsip suara terbanyak. Ketiga, mesti diputuskan adanya ketentuan yang tunggal demi kepastian publik, yaitu antara penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak seperti UU No 10/2008 atau sepenuhnya berdasarkan suara terbanyak.

Seperti diberitakan, sejumlah anggota DPR telah mengusulkan revisi terbatas atas UU No 10/2008, yaitu agar dimungkinkan cara penetapan calon terpilih dengan menggunakan sistem suara terbanyak. Sebanyak 60 anggota dari lima fraksi mengusulkan revisi terbatas atas UU yang baru diundangkan pada 31 Maret 2008 itu. Usul perubahan tersebut kini masih dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi DPR. Namun, di sisi lain, ada kelompok anggota DPR yang secara resmi juga meminta agar ketentuan dalam UU No 10/2008 tetap dipertahankan.

Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Al Muzzammil Yusuf (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Lampung I) di Jakarta, Rabu (1/10), ketiga kemungkinan itu muncul dalam proses harmonisasi materi usul perubahan UU No 10/2008. Al Muzzammil mengakui, pembahasan usul revisi itu mesti dilakukan komprehensif. Realitas politiknya, ada kelompok yang ingin revisi terbatas dengan menyelipkan pemberlakuan prinsip suara terbanyak. Namun, juga ada kelompok yang ingin UU No 10/2008 dijalankan tanpa perubahan.

Diharapkan sebelum masa persidangan berakhir pada 24 Oktober, sudah selesai di tingkat DPR, untuk kemudian disampaikan kepada Presiden agar segera diagendakan pembahasannya. Jika hanya terkait dengan penetapan calon terpilih, tahapan persiapan Pemilu 2009 tidak akan terhambat.

Secara terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow menyebutkan, kemungkinan perubahan atas UU No 10/2008 yang paling cepat bisa dicoba dengan meminta pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika nanti keluar putusan MK, mau tidak mau akhirnya DPR bersama pemerintah akan ”menyesuaikan” ketentuan dalam UU bersangkutan. Problemnya sekarang, belum jelas siapa yang akan mengajukan permohonan pengujian itu. ”Kalau dilakukan oleh parpol, tentu akan menjadi sangat lucu, aneh, dan memalukan,” kata Jeirry.

Prediksi Jeirry, masih agak sulit bagi DPR menetapkan usul revisi atas UU No 10/2008 dalam waktu dekat. Bahkan, bisa jadi kepastian revisi tersebut tidak akan tersepakati sampai pemilu anggota legislatif berlangsung. Sekalipun fraksi pendukung revisi semakin banyak dan bahkan cenderung mayoritas, kekuatan yang menentangnya pun masih cukup besar. Dibutuhkan waktu lama untuk memproses penyamaan kepentingan partai politik terhadap revisi tersebut.

Jeirry juga menyebutkan agenda DPR masih sangat padat. Salah satunya, RUU Pemilu Presiden yang mesti segera diselesaikan DPR, tetapi prosesnya masih alot. Selain itu, konsentrasi DPR pasti juga akan tersita oleh kontroversi menyangkut RUU Pornografi.

Selain itu, jika revisi hanya dilakukan dengan menambah atau mengurangi pasal terkait penentuan calon terpilih, akan muncul kesan tidak adil karena ada pasal lain yang menjadi kehilangan makna. Misalnya, ketentuan mengenai tindakan khusus sementara untuk kaum perempuan, di mana sistem zipper menjadi tidak ada artinya. (dik)

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Sungguh ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung dibawah 'dokumen dan rahasia negara'. Lihat saja statemen KAI bahwa hukum negara ini berdiri diatas pondasi suap. Sayangnya sebagian hakim negara ini sudah jauh terpuruk sesat dalam kebejatan moral suap. Quo vadis Hukum Indonesia?

David
(0274)9345675