Halaman

Jumat, 09 Januari 2009

KONSOLIDASI DEMOKRASI MELALUI AMANDEMEN KONSTITUSI :

(Hasyim Asy’ari) Universitas Diponegoro


Abstrak

Demokratisasi memiliki dua aspek, yaitu transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi. Transisi dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama, yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi. Proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. Konstitusi baru yang telah terbentuk akan memberikan jaminan bagi prosedur tetap pembuatan keputusan politik. Implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan institusi politik. Tulisan ini akan membahas tentang konsolidasi demokrasi melalui amandemen konstitusi di Indonesia.

Keywords : 1. Konsolidasi Demokrasi-- 2. Amandemen Konstitusi-- 3. Indonesia.

Pengantar
Arus demokratisasi di Indonesia agaknya berjalan begitu cepat. Terhitung sejak turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, serangkaian peristiwa politik menandai transisi menuju demokrasi di Indonesia. Pengalaman Indonesia yang berada dalam kungkungan rezim otoriter selama kurang lebih 32 tahun tentu saja sedang mencari pola demokratisasi yang tepat untuk dipraktekkan. Penyelenggaraan Pemilu 1999 di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie sebagai awal dimulainya transisi demokrasi. Hasil Pemilu 1999 berupa lahirnya kelembagaan perwakilan rakyat (MPR) yang kemudian melanjutkan agenda demokratisasi ini melalui serangkaian amandemen konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Sejak amandemen konstitusi UUD 1945 yang secara tegas meneguhkan eksistensi kedaulatan rakyat sebagai prinsip umum demokrasi, implementasi ke dalam pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen juga turut menyertainya. Nomenklatur dan gagasan tentang pemilihan umum (pemilu) sebagai aspek demokratisasi juga menjadi hal baru dalam khazanah konstitusi Indonesia.
Tulisan ini akan membahas tentang konsolidasi demokrasi di Indonesia melalui amandemen konstitusi. Konsolidasi demokrasi yang dikaji dalam tulisan ini akan memfokuskan diri pada institusionalisasi politik melalui strategi rekonstitusi atau amandemen konstitusi. Studi ini relevan dilakukan, karena Indonesia sebagai negara yang memiliki populasi penduduk tertinggi ketiga di dunia potensial menjadi negara besar yang mempraktekkan demokrasi setelah Amerika Serikat dan India. Pola demokratisasi di Indonesia dapat menjadi model transisi dan konsolidasi demokrasi dalam ranah studi-studi demokratisasi.

Konsolidasi Demokrasi
Dalam khazanah studi-studi demokratisasi, Samuel Huntington dalam studinya tentang “gelombang demokratisasi ketiga”, menggambarkan bahwa demokratisasi pada tingkatan yang paling sederhana mensyaratkan terjadinya tiga hal, yaitu (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter; (2) dibangunnya sebuah rezim demokratis; (3) pengkonsolidasian rezim demokratis itu. Alfred Stepan menyebutkan bahwa transisi demokrasi dari rezim otoriter ada tiga model kemungkinan : (1) penjajahan dari luar dan peperangan internal; (2) tranformasi internal dari elit rezim otoriter menuju rezim demokratis; (3) kekuatan internal kelompok oposisi yang menumbangkan kekuasaan otoriter yang berkuasa.
Sementara Samuel Huntington menyebutkan bahwa ada tiga kemungkinan model demokratisasi, yaitu (1) transformasi (reforma), yaitu demokratisasi terjadi ketika elit yang berkuasa mempelopori proses perwujudan demokrasi. (2) Replacement (ruptura), yaitu demokratisasi terjadi ketika kelompok oposisi mempelopori proses perwujudan demokrasi, dan rezim otoriter tumbang atau digulingkan. (3) Transplacement (ruptforma), yaitu demokratisasi terjadi sebagai sebuah hasil tindakan bersama antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi.
Dengan demikian, demokratisasi memiliki dua aspek, yaitu transisi demokrasi dan konsolidasi demokrasi. Transisi demokrasi adalah titik awal antara rezim otoritarian dengan rezim demokratis. Transisi dimulai dari keruntuhan rezim otoritarian lama, yang kemudian diikuti atau berakhir dengan pengesahan lembaga-lembaga politik dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi.
Proses konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. Konsolidasi demokrasi juga dipahami sebagai sebuah proses panjang yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokratisasi, mencegah erosi demokrasi, menghindari keruntuhan demokrasi, yang diteruskan dengan melengkapi demokrasi, pendalaman demokrasi dan mengorganisir demokrasi secara berkelanjutan.
Dalam konsolidasi demokrasi diawali dengan negosiasi (transaksi) politik yang hendak mempromosikan sistem atau aturan main baru ketimbang merusak sistem lama. Struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama proses transisi akan dimantapkan, diinternalisasikan dan bahkan diabsahkan dalam proses konsolidasi. Akhirnya proses konsolidasi akan menghasilkan penetapan sistem demokrasi secara operasional dan ia akan memperoleh kredibilitas di hadapan masyarakat. Karena itu, konsolidasi demokrasi tidak hanya merupakan proses politik yang terjadi pada level prosedural dan lembaga-lembaga politik, tetapi juga pada level masyarakat. Demokrasi yang terkonsolidasi bila aktor-aktor politik, partai, kelompok kepentingan, dan lainnya menganggap bahwa tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan (democracy as the only game in town), dan tidak ada aktor atau kelompok yang mempunyai klaim terhadap tindakan yang sudah dipilih secara demokratis.
Proses konsolidasi demokrasi jauh lebih kompleks dan panjang setelah transisi. Karena itu, studi-studi tentang konsolidasi demokrasi juga jauh lebih kompleks dan bervariasi ketimbang studi transisi. Studi-studi konsolidasi demokrasi, menurut Goran Hyden, memiliki empat pendekatan. Pertama, pendekatan agen-elite yang memfokuskan studinya pada interaksi elite politik, baik pemimpin, penyelenggara negara maupun politisi. Menurut pendekatan ini, elite harus mempunyai sikap, pilihan, tindakan dan keyakinan yang kuat pada demokrasi serta saling membangun konsensus bersama untuk konsolidasi demokrasi.
Kedua, pendekatan teori budaya politik. Pendekatan ini selalu menekankan bahwa budaya politik demokratis (toleran, egalitarian, kompromis, akomodatif, kompeten) sebagai prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi. Pendekatan teori budaya politik ini memiliki dua fokus, yaitu relasi horisontal antar-warga masyarakat dan relasi vertikal antara elit-massa atau pemerintah-rakyat. Secara horisontal, demokrasi mengajarkan tentang pluralisme, yaitu semangat hubungan yang menghargai perbedaan dan melewati batas-batas etnis, agama, daerah, bahasa dan unsur-unsur primordial lainnya. Secara vertikal, demokrasi mengajarkan bahwa relasi pemerintah dengan rakyat atau antara elite dengan massa bukan berdasar kepada klientelisme, paternalisme atau patrimonialisme, namun berdasar kepada prinsip kewarganegaraan.
Ketiga, pendekatan pembangunan ekonomi dan demokrasi. Pendekatan ini memiliki dua pandangan yang berbeda. Pada satu sisi, terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berperan sebagai penopang tumbuhnya demokrasi. Namun pada sisi lain justru sebaliknya, terdapat korelasi positif antara pertumbuhan ekonomi dengan munculnya rezim otoriter-birokratis, yaitu pertumbuhan ekonomi justru ditopang oleh keberadaan rezim otoriter-bikroratis.
Keempat, pendekatan struktur-massa, yaitu pendekatan yang lebih fokus kepada gerakan-gerakan sosial dalam masyarakat dalam proses demokrasi. Pendekatan ini memfokuskan diri untuk mengkaji peranan civil society dalam proses demokratisasi.
Sependapat dengan Goran Hyden, Larry Diamond berpendapat bahwa terdapat empat pendekatan dalam studi-studi konsolidasi demokrasi, yaitu (1) pendekatan aktor elite; (2) pendekatan institusional; (3) pendekatan budaya politik; dan (4) pendekatan yang barhaluan kepada masyarakat (civil society).
Pendekatan institusional, menurut Larry Diamond, yaitu pentingnya institusionalisasi politik dalam proses konsolidasi demokrasi. Pendekatan ini merupakan bagian dari tiga tugas dalam konsolidasi demokrasi : pendalaman demokrasi, institusionalisasi politik dan mengontrol kinerja rezim. Pendalaman demokrasi membuat struktur-struktur formal demokrasi menjadi lebih liberal, akuntabel, representatif dan aksesibel.
Institusionalisasi politik melibatkan konvergensi yang mapan pada tingkat aturan dan prosedur dalam persaingan dan aksi politik. Konsolidasi demokrasi harus mampu melakukan penguatan tiga tipe institusi politik, yaitu aparat administrasi negara (birokrasi); institusi representasi dan penyelenggaraan demokrasi (partai politik, parlemen dan sistem pemilihan umum); dan struktur-struktur yang menjamin akuntabilitas horisontal, konstitusionalisme, dan pemerintahan berdasar hukum (sistem peradilan dan lembaga pengawasan). Institusionalisasi politik ini adalah upaya memperkuat struktur demokrasi representatif dan pemerintahan formal, sehingga menjadi lebih koheren, kompleks, otonom, mudah beradaptasi, dan karenanya lebih kapabel, efektif, berharga, dan mengikat.
Proses konvergensi elite dalam konsolidasi demokrasi tidak sekedar untuk mencapai kesepakatan atau untuk mengakhiri konflik di antara mereka, tetapi juga menjadi bagian dari proses institusionalisasi politik, yang di dalamnya mencakup agenda rekonstitusi maupun penciptaan prosedur kelembagaan baru yang kondusif bagi demokrasi. Institusionalisasi politik pada dasarnya hendak melakukan reformasi sistemik institusi politik, prosedur dan aturan main yang lebih cocok dengan demokrasi.
Setidaknya ada tiga sasaran dalam melakukan institusionalisasi politik, yaitu (1) institusi eksekutif-negara (lembaga kepresidenan, sistem pemerintahan, birokrasi dan militer); (2) institusi perwakilan (parlemen, partai politik dan pemilihan umum); dan (3) lembaga peradilan dan sistem hukum. Dalam konteks ini, para pemimpin politik melakukan crafting yang didukung oleh partisipasi dan konsultasi publik, untuk membuat sistem baru yang dituangkan dalam konstitusi atau perundang-undangan. Tujuan institusionalisasi politik ini adalah membuat institusi politik menjadi lebih akuntabel, transparan, terkontrol, responsif, partisipatif, dan berpijak pada rule of law.
Urgensi rekonstitusi (amandemen konstitusi) dalam konsolidasi demokrasi adalah bahwa norma-norma konstitusional baru yang dihasilkan dari konsolidasi konstitusional, hadir pada langkah awal dalam proses konsolidasi demokrasi. Norma-norma itu memberi petunjuk pola-pola perilaku formal dalam konstestasi politik, yang dikembangkan dan dinegosiasikan dalam proses transisi, dan memantapkan standarisasi penyelenggaraan kekuasaan. Kegiatan merancang konstitusi baru (rekonstitusi atau amandemen konstitusi) terjadi pada bagian awal konsolidasi demokrasi, dan mulai memberi kesempatan pada konsolidasi level berikutnya. Bahkan konstitusi baru yang telah terbentuk akan memberikan jaminan bagi prosedur tetap pembuatan keputusan politik. Pada akhirnya, implementasi dari konstitusi baru merupakan dasar bagi format baru sistem politik dan institusi politik.

Mengapa Amandemen Konstitusi?
Pertanyaan yang mengemuka seputar amandemen konstitusi UUD 1945 adalah mengapa perlu dilakukan amandemen terhadap UUD 1945? Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, terdapat beberapa alasan dilakukannya amandemen konstitusi UUD 1945, yaitu alasan historis, alasan filosofis, alasan yuridis, alasan teoritis, dan alasan politik.
Pertama, alasan historis, yaitu sejarah pembentukan UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara (founding fathers) sebagai konstitusi yang “bersifat sementara” karena dibentuk dalam suasana ketergesa-gesaan Soekarno sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam pidatonya pada tanggal 18 Agutus 1945 mengatakan :
“Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar jang lebih sempurna dan lengkap.”

Pada kesempatan yang lain, yaitu saat pelantikan anggota Konstituante pada tanggal 10 Nopember 1956, Soekarno menyampaikan pidato tentang “sifat sementara” konstitusi UUD 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mengatakan :
“Kita bukan tidak punya konstitusi, malahan dengan konstitusi yang berlaku sekarang (UUD Sementara 1950) kita sudah mempunyai tiga konstitusi. Tapi semua konstitusi (UUD 1945, UUD RIS 1949 dan UUD Sementara 1950) adalah bersifat sementara. Semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara anggota-anggota sesuatu konstituante yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi semua negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebuah konstitusi yang dibuat oleh rakyat sendiri.”

Kedua, alasan filosofis, yaitu dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, seperti antara faham kedaulatan rakyat dengan faham negara integralistik, dan antara faham negara hukum dengan faham negara kekuasaan.
Ketiga, alasan yuridis, yaitu sebagaimana lazimnya dalam setiap konstitusi tertulis memuat ketentuan tentang perubahan konstitusi. Ketentuan yang mengatur tentang perubahan konstitusi ini merupakan bentuk keinsyafan pembentuk konstitusi bahwa konstitusi merupakan produk manusia yang tidak mungkin sempurna. Oleh karena itu, secara yuridis disediakan ketentuan yang mengatur kemungkinan perubahan konstitusi. Demikian juga dalam UUD 1945 diatur ketentuan tentang perubahan konstitusi dalam Pasal 37.
Keempat, alasan teoritis, yaitu dalam perspektif teori konstitusi, keberadaan konstitusi bagi suatu negara pada dasarnya adalah berfungsi untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang. Berbeda dengan fungsi tersebut, keberadaan UUD 1945 sebagai konstitusi sering digunakan sebagai instrumen dasar legitimasi kekuasaan negara otoriter yang dipraktekkan baik oleh Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto, sehingga berdasarkan konstitusi yang sama yaitu UUD 1945 dapat muncul model “Demokrasi Terpimpin” era Soekarno dan “Demokrasi Pancasila” era Soeharto, yang keduanya memiliki karakter otoriter ketimbang demokratis.
Kelima, alasan politik, yaitu dalam praktek politik ketatanegaraan dalam kurun waktu sepanjang berlakunya UUD 1945 telah terjadi sejumlah penyimpangan dan manipulasi. Manipulasi tersebut dilakukan melalui interpretasi konstitusi secara otoriter berdasarkan selera elit yang sedang berkuasa, di antaranya dengan memanfaatkan kelemahan substansi konstitusi yang cenderung multi-interpretasi. Termasuk dalam kategori ini adalah inkonsistensi sistem pemerintahan Indonesia yang dianut UUD 1945, apakah menganut sistem presidensil atau kah menganut sistem parlementer.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut, amandemen UUD 1945 diarahkan kepada tersedianya konstitusi yang demokratis, yaitu konstitusi yang memberikan jaminan kepastian hukum dalam pengaturan lembaga negara dan kewenangannya, jaminan kepastian perlindungan terhadap hak asasi warga negara, dan jaminan tersedianya mekanisme checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dengan demikian, agenda amandemen konstitusi UUD 1945 dapat diartikan sebagai agenda menyusun ulang desain negara (redesigning the state). Karena amandemen konstitusi sebagai agenda mendesain ulang negara, maka amandemen konstitusi UUD 1945 diarahkan kepada perumusan ulang gagasan kedaulatan rakyat, bagaimana implementasi gagasan kedaulatan rakyat dalam praktek ketatanegaraan, dan diikuti dengan pembentukan lembaga negara dan pemberian kewenangan kepadanya dalam rangka pelembagaan negara.

Amandemen Konstitusi
Negara yang menganut paham konstitusionalisme adalah negara yang dalam mengorganisasikan pemerintahan tergantung dan taat kepada seperangkat hukum dan prinsip-prinsip fundamental yang telah digariskan dalam konstitusi. Konstitusionalisme merupakan sebagian prasyarat dari demokrasi, karena demokrasi mengandaikan adanya sebuah pembatasan kewenangan dari kekuasaan yang diatur dalam sebuah perangkat hukum yang jelas.
Konstitusi diartikan sebagai seperangkat aturan yang digunakan untuk membangun atau mengatur sebuah pemerintahan negara. Dalam definisi yang lain, konstitusi diartikan sebagai sebuah dokumen yang berisi perangkat aturan pokok tentang pemerintahan sebuah negara. Konstitusi dalam arti ini akan menunjukkan sebuah gambaran tentang keseluruhan sistem pemerintahan dalam suatu negara. Dengan demikian, konstitusi berkududukan sebagai hukum yang fundamental sifatnya, dan hukum yang tinggi kedudukannya. Sebagai konsekuensi dari pengertian konstitusi yang demikian ini adalah : (1) adanya pengaturan tentang pembentukan lembaga negara; (2) adanya pemberian kewenangan kepada lembaga-lembaga negara tersebut; (3) sebagai konsekuensinya adalah adanya pembatasan kewenangan terhadap lembaga-lembaga negara.
Pada umumnya, konstitusi diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Menurut klasifikasi ini, UUD 1945 termasuk dalam kategori sebagai konstitusi tertulis. Dalam kategori konstitusi tertulis, maka perubahan konstitusi akan memiliki 3 pengertian : (1) menjadikan lain rumusan teks yang terdapat dalam konstitusi; (2) menambah sesuatu yang tidak (belum) terdapat dalam konstitusi; dan (3) adanya perbedaan antara apa yang tercantum dalam teks konstitusi dengan apa yang ada dalam praktek ketatanegaraan.
Perubahan konstitusi pada umumnya memiliki dua model, yaitu “perubahan” (amandemen), dan “pembaharuan” atau “penggantian” (renewal). Amandemen biasanya berupa perubahan konsep dalam konstitusi yang ditandai dengan perubahan teks konstitusi. Model amandemen biasanya masih mempertahankan teks konstitusi yang lama, namun ia sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi, melainkan sekedar menjadi dokumen historis, dan hasil perubahan teks konstitusi yang memiliki kekuatan hukum ditempatkan sebagai “lampiran” (adendum) dari konstitusi yang sudah diubah tersebut. Model renewal biasanya ditandai dengan digantinya suatu konstitusi dalam suatu negara dengan konstitusi yang lain, seperti UUD 1945 diganti dengan UUDS 1950.
Konstitusi biasanya juga diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu konstitusi yang “rigid” dan konstitusi yang “fleksibel”. Ukuran yang digunakan untuk menentukan “rigid” dan “fleksibel”-nya sebuah konstitusi adalah : (1) berdasarkan mudah atau sulitnya konstitusi untuk dapat diubah; (2) berdasarkan mudah atau sulitnya konstitusi untuk menyesuaikan dengan dinamika perubahan masyarakat. Konstitusi disebut “rigid” bila ia sulit untuk diubah dan sulit menyesuaikan dengan perubahan masyarakat. Sebaliknya, konstitusi disebut “fleksibel” manakala ia mudah untuk diubah dan mudah menyesuaikan dengan perubahan masyarakat.
Dalam praktek ketatanegaraan, mekanisme perubahan konstitusi di Indonesia pernah mengalami masa “rigid”, di mana konstitusi sulit untuk diubah. Mekanisme yang rigid ini ditempuh melalui dua tingkat. Tingkat pertama dilaksanakan dalam lembaga MPR sebagaimana pasal 37 UUD 1945, dan selanjutnya di tingkat rakyat dilaksanakan dengan mekanisme referendum sebagaimana diatur dalam TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, dan dilaksanakan dengan UU No. 5 tahun 1985 tentang Referendum. Berdasarkan dua peraturan tersebut, referendum dimaksudkan untuk menentukan pendapat rakyat tentang kehendak melakukan perubahan konstitusi. Syarat yang berat ditentukan dalam dua peraturan tersebut, yaitu 90 % warga negara yang berhak harus menggunakan hak pilihnya, dan 90 % dari 90 % warga negara yang berhak harus menyatakan setuju. Kini mekanisme perubahan konstitusi mengalami perubahan, tepatnya mengalami penyederhanaan, yaitu hanya satu tingkat melalui persetujuan hanya pada tingkat MPR, tanpa melalui persetujuan rakyat langsung. Hal ini ditandai dengan keluarnya TAP MPR No. VIII/MPR/1998 hasil Sidang Istimewa MPR yang mencabut berlakunya TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum.
Dalam konteks perubahan konstitusi dapat dilakukan dengan beberapa cara atau prosedur. C.F. Strong menyebutkan empat cara mengubah konstitusi. Pertama, perubahan konstitusi oleh lembaga legislatif/parlemen dengan pembatasan tertentu. Dalam hal ini biasanya ditentukan syarat pengusulan, kuorum, dan jumlah pengambil keputusan. Kedua, perubahan konstitusi oleh rakyat melalui referendum, yaitu parlemen mengajukan rancangan amandemen untuk diputuskan oleh rakyat melalui referendum. Ketiga, perubahan konstitusi diputuskan oleh negara-negara bagian dalam negara serikat, yaitu usulan dapat berasal dari parlemen federal atau sejumlah negara bagian. Keempat, perubahan konstitusi oleh konvensi konstitusi atau konstituante, yaitu keanggotaan parlemen ditambah dengan pemilihan anggota baru untuk membentuk konvensi konstitusi atau konstituante, atau dapat pula parlemen dibubarkan terlebih dahulu kemudian dilaksanakan pemilihan umum anggota konstituante.
Arend Lijphart menyebut ada tiga tipe amandemen konstitusi. Pertama, amandemen konstitusi oleh parlemen berdasarkan suara mayoritas murni atau sederhana (separuh lebih satu). Kedua, amandemen konstitusi oleh parlemen berdasarkan suara mayoritas khusus, misalnya dua pertiga atau tiga perempat. Ketiga, amandemen konstitusi yang disiapkanoleh parlemen, namun harus memperoleh persetujuan rakyat melalui referendum. Tipologi ini disusun untuk mengetahui watak sistem politik yang dianut, apakah cenderung mengutamakan konsensus dalam pengambilan keputusan (consensus democracy) ataukah cenderung pada suara mayoritas (majoritarian democracy).
Terlihat bahwa demikian cara atau prosedur amandemen konstitusi dapat dikategorikan dua model, yaitu amandemen dengan model elitis dan partisipatoris. Model amandemen konstitusi dikatakan elitis bila prosedur pengusulan hingga pengambilan keputusan dilakukan sepenuhnya oleh parlemen. Model partisipatoris bila amandemen konstitusi dilakukan dengan melibatkan peran rakyat dari pengajuan usul amandemen hingga pengambilan keputusan lewat referendum.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tentang “perubahan konstitusi” dalam UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai perubahan oleh parlemen dengan syarat tertentu, yaitu suara mayoritas. Amandemen konstitusi UUD 1945 juga dapat dikategorikan sebagai model amandemen elitis, karena prosedur pengusulan, pembahasan dan pengambilan keputusan semata-mata hanya terbatas dilakukan oleh anggota parlemen, tanpa melalui proses partisipasi rakyat.
Atas dasar itu kemudian muncul gagasan dan gerakan amandemen konstitusi oleh “Komisi Konstitusi Independen” Ada dua argumentasi yang diajukan. Pertama, pembentukan komisi konstitusi independen diharapkan untuk menghindari pertarungan dan konflik kepentingan antara berbagai kekuatan politik dalam MPR, mengingat anggota MPR mayoritas merupakan wakil partai politik yang berkepentingan terhadap bagaimana kekuasaan akan dirumuskan dalam konstitusi. Kedua, komisi konstitusi independen diharapkan dapat mengakomodir kepentingan pluralisme masyarakat Indonesia, yaitu dengan memberikan kesempatan partisipatif dari berbagai perwakilan rakyat dari daerah. Pada akhirnya dengan mengakomodasi partisipasi rakyat melalui komisi konstitusi independen, diharapkan akan terbentuk konstitusi dengan semangat rasa memiliki (sense of belonging, sense of ownership) terhadap konstitusi.
Dalam perkembangan, gagasan pembentukan Komisi Konstitusi diakomodir oleh MPR melalui Ketetapan MPR No. 1/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi, dan Ketetapan MPR No. 4/MPR/2002 tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan, dan Keanggotaan Komisi Konstitusi. Ternyata Komisi Konstitusi hasil bentukan MPR tersebut hanya diberikan kewenangan terbatas, yaitu melakukan pengkajian secara komprehensif terhadap UUD 1945 hasil amandemen, bukan melakukan amandemen konstitusi itu sendiri. Pada akhirnya hasil kerja Komisi Konstitusi sebatas hanya “hasil kajian” dan ternyata tidak memiliki pengaruh apa pun terhadap struktur dan substansi hasil amandemen konstitusi.
Mekanisme perubahan konstitusi dalam UUD 1945 diatur dalam pasal 37. Dalam pasal ini mengandung norma : (1) lembaga yang berwenang melakukan perubahan adalah MPR; (2) untuk dapat melakukan perubahan diperlukan syarat quorum, yaitu 2/3 anggota MPR harus hadir; (3) keputusan untuk dapat dilakukan perubahan didasarkan kepada persetujuan 2/3 jumlah anggota MPR yang hadir. Berdasarkan pasal 37 hasil Perubahan IV UUD 1945, norma tentang mekanisme perubahan UUD 1945 adalah : (1) lembaga yang berwenang melakukan perubahan adalah MPR; (2) usul untuk melakukan perubahan UUD dapat diagendakan dalam Sidang MPR bila diajukan oleh 1/3 anggota MPR; (3) usul perubahan UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya; (4) syarat quorum untuk melakukan sidang MPR untuk mengubah UUD harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR; (5) putusan untuk mengubah UUD harus dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 % + 1 dari seluruh anggota MPR.
Bentuk hukum yang digunakan untuk melakukan perubahan konstitusi terdapat 2 pendapat. Prof. Soewoto Mulyosudarmo berpendapat bahwa berdasarkan pada pasal 3 dan pasal 37 UUD 1945, lembaga yang berwenang melakukan perubahan konstitusi adalah MPR, maka instrumen hukum yang digunakan untuk melakukan perubahan konstitusi adalah Ketetapan MPR (TAP MPR). Sementara Prof. Sri Soemantri berpendapat bahwa TAP MPR tidak dapat digunakan sebagai instrumen hukum untuk melakukan perubahan konstitusi. Hal ini didasarkan kepada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (sekarang telah diubah dengan TAP MPR No. III/MPR/2000), yang menentukan bahwa kedudukan TAP MPR berada di bawah UUD 1945. Dengan demikian, secara hukum, TAP MPR tidak dapat digunakan sebagai instrumen hukum untuk melakukan perubahan konstitusi. Selanjutnya Sri Soemantri berpendapat bahwa perubahan konstitusi dilakukan dengan menggunakan bentuk hukum “amandemen”, yaitu dengan menempatkan hasil perubahan sebagai “lampiran” atau “adendum” dari konstitusi yang diubah tersebut.
Dalam proses perubahan UUD 1945, Panitia Ad Hoc I MPR membuat kesepakatan tentang batas-batas amandemen konstitusi. Pertama, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Kedua, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Keempat, Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal. Kelima, perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.
Dalam praktek ketatanegaraan, bentuk hukum perubahan konstitusi UUD 1945 dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan instrumen TAP MPR dan dengan amandemen. TAP MPR digunakan sebagai bentuk hukum dalam perubahan konstitusi, terlihat pada TAP MPR No. XIII/MPR/1998 hasil Sidang Istimewa MPR 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI. TAP MPR ini berfungsi untuk memberikan “penegasan tafsir” atas pasal 7 UUD 1945 yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Pasal 7 UUD 1945 tertulis “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”, kemudian dipertegas oleh TAP MPR No. XIII/MPR/1998 pasal 1 yang tertulis “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan” Bentuk hukum amandemen terhadap konstitusi UUD 1945 dilakukan mulai Sidang Umum MPR 1999, Sidang Tahunan MPR 2000, Sidang Tahunan MPR 2001, Sidang Tahunan 2002, yang menghasilkan “Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD Negara RI 1945” Dalam rumusan pasal 7 Perubahan Pertama UUD 1945 tertulis “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

Kalau diperhatikan secara menyeluruh, materi Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 meliputi:
Mempertegas pembatasan kekuasaan presiden. Sebelum terjadinya perubahan konstitusi, UUD 1945 memberikan kekuasaan kepada lembaga kepresidenan begitu besar (executive heavy). Kekuasaan presiden Indonesia meliputi kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudisial sekaligus. Namun kini kekuasaan presiden terbatas pada kekuasaan eksekutif saja, sementara kekuasaan legeslatif dalam membuat UU kini berada di tangan DPR, dan dalam kekuasaan yudisial lembaga kehakiman diberikan jaminan independensi.
Mempertegas ide pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara, hal ini terlihat dalam pengaturan tentang kewenangan lembaga negara yang lebih terinci.
Menghapus keberadaan lembaga negara tertentu (dalam hal ini DPA), dan membentuk lembaga-lembaga negara yang baru (munculnya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Daerah, Komisi Pemilihan Umum dan Bank Sentral).
Memberikan jaminan terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia warga negara yang lebih jelas dan terperinci.
Mempertegas dianutnya teori kedaulatan rakyat, yang selama ini UUD 1945 lebih terkesan menganut teori kedaulatan negara. Hal ini terlihat dari dihapusnya klaim politik bahwa MPR adalah “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya”, dimasukkannya konsep pemilihan umum dalam mengisi jabatan anggota DPR, DPD dan DPRD, dan digunakannya sistem pemilihan langsung oleh rakyat untuk mengisi jabatan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Secara spesifik, amandemen konstitusi Indonesia menghasilkan sejumlah design baru format kenegaraan sebagai berikut. Pertama, Presiden dan Wakil Presiden dipilih melalui pemilu secara langsung oleh rakyat (direct popular vote), sedangkan kewenangan MPR hanya sebatas melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih saja. Sebagai konsekuensinya, berbeda dengan sebelum perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, namun bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih (direct responsible to the people). Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan sebelum perubahan UUD 1945, di mana kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnya oleh MPR, dan kini kedaulatan rakyat tetap di tangan rakyat. Sebagai konsekuensinya adalah jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD yang keduanya merupakan anggota MPR, dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Dengan demikian, masing-masing lembaga negara sama-sama memiliki legitimasi politik yang kuat, dan masing-masing bertanggung jawab langsung kepada pemegang kedaulatan asli yaitu rakyat.
Kedua, kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh berbagai lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing menurut konstitusi UUD 1945. Hal ini terlihat dari adanya pembagian tugas masing-masing lembaga negara yang makin jelas dan terperinci, sehingga menghindari terjadinya tumpang tindih dan intervensi kewenangan antar lembaga negara (separation of power). Presiden memegang kekuasaan menjalankan pemerintahan, DPR dan DPD dapat mengawasi jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh Presiden dan kabinetnya, dan lembaga peradilan dalam hal ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang melakukan kontrol yuridis lewat judicial review terhadap kebijakan yang diambil oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, maupun terhadap kebijakan yang dibuat oleh DPR berupa produk undang-undang. Kondisi ini mengarah kepada terciptanya situasi checks and balances antar lembaga negara yaitu eksekutif, legislatif dan yudisial.
Ketiga, adanya jaminan terciptanya stabilitas jalannya pemerintahan karena jabatan Presiden dibatasi dalam masa jabatan lima tahun, dan hanya dapat diberhentikan oleh MPR dalam kondisi tertentu saja berdasarkan UUD, serta melalui mekanisme hukum yaitu pembuktian hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian Presiden tidak dapat diusulkan oleh DPR untuk diberhentikan semata-mata karena alasan konflik politik. Demikian pula Presiden dilarang untuk membekukan dan/atau membubarkan DPR.

Penutup
Amandemen konstitusi UUD 1945 membawa perubahan aliran pemikiran hukum dan politik yang dianut Indonesia. Sebelum perubahan UUD 1945, aliran pemikiran yang dianut lebih cenderung kepada teori kedaulatan negara. Hal ini terlihat dari digunakannya teori “negara integralistik” atau teori “negara organik” yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller dan Hegel, kemudian staatsidee negara integralistik ini digunakan oleh Soepomo dalam penyusunan UUD 1945, dan dalam perkembangannya teori negara integralistik ini digunakan sebagai tafsir historis atas model negara yang dianut oleh UUD 1945 selama era Orde Baru.
Kini, setelah terjadi perubahan UUD 1945, dengan dimasukkannya konsep pemilihan umum (pemilihan langsung) untuk mengisi jabatan anggota DPR, DPD, DPRD dan presiden), dihapusnya klaim bahwa MPR adalah “pemegang kedaulatan rakyat sepenuhnya”, dan diberikannya jaminan yang lebih jelas dan terinci terhadap perlindungan HAM warga negara, maka sesungguhnya perubahan UUD 1945 mengalami perubahan aliran pemikiran, yaitu dari aliran teori kedaulatan negara berubah menjadi lebih cenderung mengikuti teori kedaulatan rakyat. ©


















Daftar Pustaka

Abdul Mukthie Fadjar, 2002, “Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik”, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (eds.), 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan).
Adnan Buyung Nasution, 1992, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia : A Socio-Legal Study of the IndonesianKonstituante 1956-1959, (Utrecht : Rijk Universiteit).
Afan Gaffar, 2002, “Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Perubahan Kelembagaan”, dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim (eds.), 2002, Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, (Jakarta : AIPI).
Aguero, Felipe, 1995, Soldiers, Civilians, and Democracy : Post-Franco Spain in Comparative Perspective, (Baltimore : The John Hopkins University Press).
Bambang Widjojanto, Saldi Isra, dan Marwan Mas (eds.), 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan).
Bourchier, David, 1996, Lineages of Organicist Political Thought in Indonesia, Ph.D. Dissertation, (Melbourne : Department of Politics, Monash University).
de Smith, S.A., 1973, Constitutional and Administrative Law, (Middlesex : Penguin Education).
Diamond, Larry, 2003, Developing Democracy Toward Consolidation, (Yogyakarta : IRE).
di Palma, Giuseppe, 1997, Kiat Membangun Demokrasi : Sebuah Esai tentang Transisi Demokrasi, (Jakarta : Yayasan Sumber Agung).
Elazar, Daniel J., 1985, “Constitution-making : The Pre-eminently Political Act”, dalam Keith G. Banting, and Richard Simeon, (eds.), 1985, The Politics of Constitutional Change in Industrial Nations : Redesigning The State, (London : The MacMillan Press Ltd.).
Hendarmin Ranadireksa, 2002, Amandemen UUD 45 Menuju Konstitusi yang Berkedauatan Rakyat, (Jakarta : Yayasan Pancur Siwah).
Higley, John and Gunther, Richard (eds.), 1992, Elites and Democratic Consolidation in Latin America and Southern Europe, (Cambridge : Cambridge University Press).
Holmes, Stephen, 1995, “Constitutionalism”, dalam Seymour M. Lipset (ed.), 1995, The Encyclopedia of Democracy, Vol. I, (Washington : Congressional Quarterly Inc.), hlm. 299-306.
Huntington, Samuel P., 1995, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta : Grafiti).
Hyden, Goran, 2002, “Development and Democracy : An Overview”, dalam Ole Elgstrom and Goran Hyden (eds.), 2002, Development and Democracy : What Have We Learn and How?, (London : Routledge).
I Made Leo Wiratma, 2002, “Mendung Menyelimuti Reformasi Konstitusi : April-Juni 2002”, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2.
Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta : Setjen Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia).
_______________, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Cet. Ke-2, (Yogyakarta : FH UII Press).
Krisna Harahap, 2004, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, (Jakarta : Grafitri Budi Utami).
Leo Agustino, 2002, “Pemilihan Presiden Secara Langsung Untuk Indonesia”, Analisis CSIS, No. 2, Tahun XXXI/2002.
Levinson, Sanford (ed.), 1995, Responding to Imperfection : The Theory and Practice of Constitutional Amendment, (Princeton, N.J. : Princeton University Press).
Liddle, R. William, 2002, “Indonesia’s Democratic Transition : Playing by the Rules”, dalam Andrew Reynolds (ed.), 2002, The Architecture of Democracy : Constitutional Design, Conflict Management, dan Democracy, ((Oxford : Oxford University Press).
Lijphart, Arend, 1984, Democracies : Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries, (New Haven and London : Yale University Press).
Marsillam Simanjuntak. 1994. Pandangan Negara Integralistik. (Jakarta : Grafiti).
Mohammad Fajrul Falaakh, 2002, “Komisi Konstitusi dan Peran Rakyat dalam Perubahan UUD 1945”, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2.
Mohammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta : Yayasan Prapantja).
Przeworski, Adam et.al. (eds.), 1999, Democracy, Accountability and Representation, (Cambridge : Cambridge University Press).
Ramlan Surbakti, 2002, “Perubahan UUD 1945 Dalam Perspektif Politik”, dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim (eds.), 2002, Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, (Jakarta : AIPI).
Saldi Isra, 2002, “Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi : Memastikan Arah Reformasi Konstitusi”, Analisis CSIS, Tahun XXXI/2002 No. 2.
Schedler, Andreas, 1998, “What is Democratic Consolidation?”, Journal of Democracy, No. 2.
Soewoto Mulyosudarmo. 1999. “Sistem Perubahan Konstitusi dan Konsekuensi Penerapannya di Indonesia”. Makalah Seminar Nasional Hukum VIII “Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani”, oleh BPHN, 12-15 Oktober 1999, Jakarta.
Sri Soemantri. 1999. “Sistem Perubahan Konstitusi dan Konsekuensi Penerapannya di Indonesia”. Makalah Seminar Nasional Hukum VIII “Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani”, oleh BPHN, 12-15 Oktober 1999, Jakarta.
____________. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. (Bandung : Penerbit Alumni).
Stepan, Alfred, 1993, “Berbagai Jalur Menuju Demokratisasi : Sejumlah Pertimbangan Teoritis dan Komparatif”, dalam Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter and Laurence Whitehead (eds.), 1993, Transisi Menuju Demokrasi : Tinjauan Berbagai Perspektif, (Jakarta : LP3ES).
Strong, C.F., 1952, Modern Political Constitutions, (London : Sidgwick & Jackson).
Syafroedin Bahar et.el. (eds.), Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945, (Jakarta : Sekneg RI, 1992).
Wheare, K.C., 1966, Modern Constitutions, (London : Oxford University Press).
Wheeler Jr., John P., (ed.), 1961, Salient Issues of Constitutional Revision, (New York : National Municipal League).
Whitehead, Laurence, 1989, “The Consolidation of Fragile Democracy”, dalam Robert Pastor (ed.), Democracy in the Americas, (New York : Holmes).






































Tentang Penulis

Hasyim Asy’ari, lahir di Pati, Jawa Tengah, Indonesia, 3 Maret 1973, adalah Dosen pada Bagian Hukum Tata Negara (HTN), Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, dan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah (2003-2008). Pendidikan hukum ditempuh pada Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto (1991-1995), Jurusan Hukum Tata Negara dengan spesialisasi Kajian Hukum dan Politik, dan menulis skripsi “Pembreidelan Pers : Studi Terhadap Pembatalan SIUPP Sebagai Bentuk Pembatasan Kebebasan Pers” Menempuh pendidikan pascasarjana pada Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (1996-1998), dan menulis tesis “Demokratisasi Melalui Civil Society : Studi Tentang Peranan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam Pemberdayaan Civil Society di Indonesia 1971-1996”. Kini sedang menempuh pendidikan tingkat doktoral (Ph.D. Candidate) dalam bidang kajian Sociology of Politics, Institute of Postgraduate Studies, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia (sejak 2006), dan menulis disertasi “Road Toward Democratic Consolidation : Study on Constitution Amendment and Its Implementation at General Election of 2004 in Indonesia”.

Tidak ada komentar: