Halaman

Senin, 27 Juli 2009

SISTEM PEMERINTAHAN DI DAERAH

“SISTEM PEMERINTAHAN DI DAERAH”
Oleh: Muhammad Syahrum.

I. Latar Belakang
Pemahaman Orde Baru mengenal UUD 1945 sangat sederhana, yaitu “ Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”. Murni dan konsekuen dipahami sebagai menjalankan UUD 1945 sesuai dengan asas dasar,tujuan,dan berbagai ajaran mengenai hakikat UUD dalam suatu Negara yang berdasarkan atas hukum dan bersistem konstitusi (Sistem Konstitusional).
Sehubungan itu, sesuai dengan semangat Pasal 18 UUD 1945, seyogyanya pemahaman desentralisasi lebih diharapkan pada otonomi. Otonomi mengandung pengertian kemandirian (“Zelfstandigheid”) untuk mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintah yang diserahkan atau dibiarkan sebagai urusan rumah tangga satuan pemerintahan lebih rendah yang bersangkutan. Jadi esensi otonomi adalah kemandirian, yaitu kebebasan untuk berinisiatif dan bertanggung jawab sendiri dalam mengatur dan mengurus pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya.
Dalam makna otonomi, maka desentralisasi bukan hanya bermakna efisiensi, melainkan juga sebagai sarana demokrasi penyelenggaraan pemerintahan. Seperti yang disebutkan dalam pasal 18.UUD 1945, bahwa pemerintahan daerah (pemerintahan otonom) diselenggarakan “ dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara “. Dasar permusyawaratan hanya dijalankan dalam corak pemerintahan demokrasi. Sedangkan demokrasi memberikan tempat keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan Negara atau pemerintahan, baik secaa individual maupun melalui kelompok organisasi masyarakat ataupun politik.
Dengan demikian, ditinjau dari sudut pandang ilmu hukum delegasi yang semata – mata berisi delegasi wewenang (pemancaran wewenang) dari satuan pemerintahan yang lebih tinggi kepada bagian – bagiannya, bukanlah desentralisasi melainkan sebagai suatu bentuk sentralisasi. Setiap bentuk otonomi selalu mengandung muatan desentralisasi. Tiada otonomi tanpa desentralisasi. Bahkan dalam pandangan ilmu hukum, isi desentralisasi tidak lain dari otonomi. Tetapi otonomi tidak sekadar pemancaran wewenang.

II. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana pemahaman Pasal 18 UUD 1945 tentang desentralisasi.
2. Bagaimana kedudukan desentralisasi dalam sistem ketatanegaraan yang desentralistik.
3. Bagaimana hubungan desentralisasi dengan tugas pembantuan.
4. Bagaimana hakikat otonomi dalam Negara kesatuan RI.

III. Pembahasan
Selama ini, ternyata tidak mudah mewujudkan kehendak yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945. Ketidak mudahan tersebut antara lain disebabkan karena perbedaan persepsi dan cara pemahaman mengenai makna atau gagasan yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945.
Kenyataan demikian, terlihat dalam perjalanan mengatur pemerintahan daerah.
Dimasa sebelum Orde Baru, ada tiga undang – undang yang dibuat mengenai pemerintahan daerah sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945, Yaitu :
1. UU No. 1 Tahun 1945
2. UU No. 22 Tahun 1948
3. UU No. 18 Tahun 1965
Sedang setelah Orde Baru, dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1974. UU No. 22 Tahun 1948 menjabarkan Pasal 18 UUD 1945, antara lain dengan hanya memberi dasar untuk mengatur pemerintahan daerah otonom (asas desentralisasi). Sehingga hanya ada satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah ( pemerintahan daerah otonom). Demikian pula, UU No. 22 Tahun 1948 mewujudkan bahwa pemerintahan daerah otonom itu tersusun dalam satu kesatuan integral (Pasal 1 ayat (1)), yaitu :
• Propinsi,
• Kabupaten ( Kota Bsar),
• Desa ( Kota Kecil, Nagari, Marga).
Bahkan UU No. 22 Tahun 1948, meletakan Desa sebagai pusat pembaharuan dan pembangunan (Desa yang akan diperbahurui; lihat Penjelasan UU No. 22 Tahun 1948).
Sebaiknya UU No. 5 Tahun 1974 ternyata memberi persepsi dan pemahaman, bahwa Pasal 18 UUD 1945 tidak hanya menjadi dasar pengaturan pemerintahan otonom, tetapi juga mengatur pemerintahan Pusat di Daerah/pemerintahan wilayah administratip (asas dekonsentrasi).
Dengan demikian, UU No. 5 Tahun 1974 mengenal dua bentuk penyelenggaraan pemerintahan (di) daerah, yaitu :
a. Pemerintahan Daerah Otonom, yang tersusun dalam dua tingkat :
1. DT I
2. DT II,
Sebagai perwujdan asas desentralisasi, dengan titik berat otonomi diletakan pada DT II (Pasal 3 ayat (1) jo pasal II ayat (1).
b. Pemerintahan Wilayah Administratip (asas dekonsentrasi), yang tersusun dalam (pasal 72) :
1. Wilayah Propinsi dan Ibukota Negara;
2. Wilayah Kabupaten dan Kotamadya;
3. Wilayah Kecamatan.
Dan apabila dipandang perlu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan dalam Wilayah Kabupaten dapat dibentuk Kota Administratip yang pengaturannya ditetapkan dengan PP. Selain itu, apabila dipandang perlu Mendagri dapat menunjuk Pembantu Gubernur/Bupati/Walikotamadya, yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi (pasal 73).
Dengan perkataan lain, UU No. 5 Tahun 1974 membedakan secara tegas desentralisasi dengan dekonsentrasi (juga tugas pembantuan) sebagai asas – asas yang masing – masing berdiri sendiri (satu hal yang bertentangan dengan sudut pandang doktriner).
Demikian pula UU No. 5 Tahun 1974, memisahkan antara susunan pemerintahan daerah ( otonom) dengan pemerintahan desa (Pasal 88; Desa diatur dengan UU No. 5 Tahun 1979).
Sebenarnya ditinjau dari prinsip – prinsip pemerintahan tingkat lebih rendah yang terkandung dalam Pasal 18 UUD 1945, yaitu :
a. Prinsip territorial;
b. Prinsip kerakyatan yang pempin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (kedaulautan rakyat);
c. Prinsip dengan memandang dan mengingat hak – hak asal usul dalam daerah – daerah yang bersifat istimewa.
Tidak terdapat indikasi bahwa Pasal 18 UUD 1945 mengatur prinsip Wilayah Administratip (asas dekonsentrasi) disamping desentralisasi atau otonomi. Sehingga atas dasar itu, Pasal 18 UUD 1945 hanya mengenal satu satuan pemerintahan daerah (pemerintahan daerah otonom). Jadi secara konstitusional hanya daerah otonom yang perlu diatur dalm undang – undang organic sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 18 UUD 1945.
Apabila kesimpulan tersebut dihubungkan dengan UU No. 5 Tahun 1974 yang justru mengatur mengenai Wilayah Administratip dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi (Pasal 72), maka tidaklah berdasarkan ketentuan Pasal 18 UUD 1945, melainkan semata – mata terpengaruh oleh bunyi penjelasannya (“ Di daerah – daerah yang bersifat otonom/streek dan locale rechhtsgemeenschappen atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang – undang”) yang didorong oleh hasrat menonjolkan kekuasaan Pusat di Daerah.
Bilamana diteliti secara lebih mendalam mengenai pembangunan pemikiran terhadap tempat yang wajar bagi desentralisasi dan dekonsentrasi dalam system pemerintahan daerah, maka terungkap bahwa yang menjadi masalah utama justru terletak pada konsep sentralisasi dan dekonsentrasi dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana pengertian dekonsentrasi dipandang sangat erat dengan sentralisasi.
Dengan mengikuti sejarah pertumbuhan dan perkembangan organisasi – organisasi modern dibeberapa Negara, dapat diketahui bahwa desentralisasi pada hakikatnya merupakan suatu konsep yang lahir setelah sentralisasi mencapai wujudnya. Ini berarti bahwa desentralisasi tak mungkin lahir tanpa didahului oleh sentraslisasi, sebab sebelum desentralisasi dilaksanakan, sentralisasilah yang mula – mula diperlukan.
Dekonsentralisasi adalah unsur tatalaksana penyelenggaraan pemerintahan Pusat, karenanya tidak seyogianya dilekatkan pada pengaturan mengenai pemerintahan daerah. Pasal 18 UUD 1945, mengatur mengenai “ Pemerintahan Daerah” (Bab IV), bukan “Pemerintahan Di Daerah”. Kalau memang Pasal 18 UUD 1945 dimaksudkan juga mengatur dekonsentrasi, maka sudah tentu dalam undang- undang terdahulu diatur.
Apalagi ditinjau secara doktriner sebagaimana dikemukakan R Tresna yang memberi gambaran mengenai desentralisasi, sebagai berikut :
1. Staatkudige decentralisatie/Politieke desentralisatie :
a. Territoriale decentralisatie :
a.1. Autonomie
a.2. Medebewind/Medebestuur/Zelfbestuur/Selfgovernment
b. Functionale decentralisastie
2. Ambtelijke decentralisatie (deconsentratie).
Begitu pula menurut Irawan Soejito , bahwa pada umumnya desentralisasi mempunyai bentuk :
1. Desentralisasi territorial;
2. Desentralisasi fungsional;
3. Desentralisasi administrative (ambtelijk) atau dekonsentrasi.
Melalui pendapat – pendapat diatas dapat diketahui, bahwa meskipun dekonsentrasi memuat pemencaran kekuasaan, tetapi tidak dapat disejajarkan dengan desentralisasi bersifat ketatanegaraan (staatkundig),sedang dekonsentrasi hanya berkaitan dengan penyelenggaraan administrasi Negara, karena itu bersifat kepegawaian ( ambtelijk).
Aspek ketatanegaraan dalam desentralisasi mengandung arti bahwa penyelenggaraan desentralisasi merupakan bagian dari organisasi Negara. Sebagai bagian dari organisasi Negara, desentralisasi harus memcerminkan sepenuhnya tatanan organisasi Negara dan penyelenggaraan Negara (misalnya, tentang “dasar permusyawaratan” dalam rumusan Pasal 18 UUD 1945).
Dalam dekonsentrasi, dasar permusyawaratan itu tidak ada, Dekonsentrasi dapat hadir tanpa menghiraukan corak Negara atau sistem kenegaraan. Kehadiran dekonsentrasi semata – mata untuk melancarkan pemerintahan sentral/Pusat di Daerah. Jadi di dalam dekonsentrasi, terkandung unsur sentralisasi. Karena semata – mata “ambtelijk”, maka dekonsentrasi dalam ilmu hukum terletak dalam lingkungan Hukum Administrasi. Dengan demikian, pengaturan dekonsentrasi inheren dalam wewenang administrasi Negara. Artinya pengaturan dekonsentrasi baru menjadi wewenang pembentuk undang – undang, apabila administrasi Negara bermaksud mengalihkan wewenang itu pada badan – badan diluar administrasi Negara yang bersangkutan.
Hal ini dapat ditunjukkan dalam UU No. 5 Tahun 1974, bahwa Kepala Daerah adalah pejabat administrasi Negara, tetapi secara hukum bukan bagian dari administrasi Pusat. Kepala Daerah adalah pejabat administrasi Negara dari suatu satuan pemerintahan yang berdiri sendiri, yang apabila hanya dilihat dari status hukumnya mempunyai kedudukan yang sama (di depan hukum) dengan Negara, karena merupakan sama – sama subjek hkum. Sehingga sebaiknya akan lebih tepat apabila Kepala Daerah disebut “pejabat administrasi Negara”.
Selain memisahkan desentralisasi dengan dekonsentrasi, UU No. 5 Tahun 1974 juga membedakan desentralisasi dengan tugas pembantuan sebagai dua asas yang berbeda satu sama lain. Padahal menurut kepustakaan baik di Belanda maupun di Indonesia, tugas pembantuan/medebewind/zelfbestuur, adalah salah sastu aspek dari desentralisasi (bukan sesuatu yang berada diluar desentralissasi). Kalaupun akan di bedakan, seharusnya diantara otonoi dengan tugas pembantuan. Meskipun saat ini pendapat umum yang berlaku mengatakan, bahwa perbedaan antara otonomi dengan tugas pembantuan hanya bersifat “gradual” .
Perbedaan secara mendasar antara otonomi dan tugas pembantuan, berlaku sampai pertengahan abad ke – 19. Timbulnya perbedaan tersebut berdasarkan “driekringennleer” (Oppenheim) , yang bertolak dari pemikiran bahwa urusan pemerintahan dapat dipilah – pilah secara pasti antara urusan Pusat, Propinsi, dan Gemeente/Kotanya.
Otonomi menurut “driekringenleer”, berhubungan dengan soal rumah tangga daerah, yaitu kebebasan melaksanakan sendiri urusan rumah tangganya. Sedang tugas pembantuan, merupakan kewajiban membantu mengurus kepentingan rumah tangga tingkat lebih atas ( Pasal 1 sub d UU No. 5 Tahun 1974).
Akhir – akhir ini telah terjadi pergeseran pandangan mengenai hubungan otonomi dengan tugas pembantuan, yang disebabkan antara lain :
Pertama : Tidak ada jenis pengurusan pemerintahan yang secara lengkap dan alamiah, adalah urusan Pusat atau Daerah. Suatu urusan pemerintahan, setiap saat dapat bergeser dari urusan Daerah menjadi urusan Pusat atau sebaliknya.
Kedua : Perkembangan paham Negara kesejahtraan yang mewajibkan pemerintahan memberikan pelayanan pada hampir setiap aspek kehidupan, baik individu maupun masyarakat, menyebabkan tidak mungkin menentukan secara pasti aneka ragam urusan pemerintahan.
Berdasarkan perkembangan diatas, baik secara doktriner maupun kebutuha praktis, tidaklah tepat untuk memisahkan antara desentralisasi dengan tugas pembantuan, begitu pula antara otonomi dengan tugas pembantuan.
Sejalan dengan itu, UU No. 22 Tahun 1948 telah merumuskan hubungan antara otonomi dan tugas pembantuan, yaitu dengan memperkenalkan dua macam pemerintahan daerah :
a. Pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak otonomi, dan
b. Pemerintahan daerah yang disandarkan pada hak menebewind.
Dalam pemerintahan yang disandarkan pada hak otonomi, bersumber pada penyerahan penuh, sedangkan dalam pemerintahan daerah yang disandarkan pada medebewind, berasal dari penyerahan tidak penuh suatu urusan dari pemerintah Pusat kepada Daerah.
Penyerahan penuh, artinya baik tentang asas – asasnya/prinsip – prinsipnya, maupun tentang cara menjalankan kewajiban/pekerjaan yang diserahkan itu, semuanya diberikan kepada Daerah ( hak otonomi). Penyerahan tidak penuh, artinya dalam penyerahan urusan hanya mengenai cara menjalankan saja, sedang prinsip – prinsipnya/asas – asasnya ditentukan oleh Pusat sendiri (hak menebewind).
Hak medebewind hendaknya jangan diartikan sempit, yaitu hanya menjalankan perintah dari atas saja (Pasal 12 ayat (1),(2) UU No. 5 Tahun 1974). Oleh karena Pemerintah Daerah berhak mengatur cara menjalankannya menurut pendapat sendiri. Jadi masih mengandung hak otonomi, sekalipun hanya mengenai cara menjalankan saja (Pasal 45 UU No. 5 Tahun 1974).
Sesuai dengan perkembangan pemahaman desentralisasi dan otonomi, pendekatan terhadap medebiwind yang pergunakan UU No. 22 Tahun 1948 akan lebih memperkuat posisi otonomi secara keseluruhan. Selain itu, untuk mengurangi beban berat perangkat dekonsentrasi (di wilayah) dalam pelaksanaan urusan pemerintahan tertentu, daerah diikutsertakan berdasarkan kebijaksanaan medebewind. Dengan demikian, ditinjau dari sudut kebijaksanaan, medebewind dapat menjadi sarana antara sebelum suatu urusan pemerintahan masuk kedalam rumah tangga daerah sepenuhnya. Bahkan dalam UU No. 18 Tahun 1945 terdapat anjuran untuk sebanyak mungkin menerapkan kebijaksanaan tugas pembantuan di samping pemberian otonomi yang luas dan riil kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi.
Sehubungan dengan otonomi dan tugas pembantuan, Moh. Hatta menyatakan, bahwa keperluan memberikan otonomi dan pembantuan kepada kota, desa, atau daerah yaitu dalam rangka melaksanakan dasar kedaulatan rakyat dan keperluan setempat yang berlain – lainan.
Tetapi dari penjelasan UU No. 5 Tahun 1974 tersimpul, bahwa UU No. 5 Tahun 1974 meskipun mengakui sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan (di) daerah, tetapi tugas pembantuan hanya ditempatkan sebagai asas pelengkap disamping asas desentralisasi dan dekonsentrasi yang ditempatkan sebagai asas pokok/utama.
Lebih jelas lagi, apabila menelaah ketentuan dalam Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1974 yang member kesan bahwa seolah – olah tugas pembantu itu baru dilaksanakan seandainya dianggap perlu oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah daerah Tk. I, dan pengaturannya harus dicantumkan dalam peraturan perundang – undangan. Sehingga dengan penafsiran demikian, tugas pembantuan dapat dianggap sebagai “ tugas yang diperintahkan” .
Adapun mengenai otonomi, seperti telah disinggung dimuka, otonomi adalah kebebasan dan kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu, menjadi urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah. Tetapi meskipun kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi, namun bukan kemerdekaan, kebebasan dan kemandirian itu kebebasan dan kemandirian dalam ikatan kesatuan yang lebih besar. Jadi otonomi itu sekadar subsistem dari kesatuan yang lebih besar.
Dari segi hukum tatanegara (teori bentuk Negara), otonomi adalah subsistem dari Negara kesatuan. Otonomi adalah fenomena Negara kesatuan. Segala pengertian dan isi/materi otonomi, adalah pengertian dan isi Negara kesatuan. Atau dengan perkataan lain, Negara kesatuan merupakan landas batas dari pengertian dan isi otonomi.
Otonomi dapat diberi arti luas dan sempit. Dalam arti luas, otonomi mencakup pula tugas pembantuan. Baik otonomi maupun tugas pembantuan, sama – sama mengandung kebebasan dan kemandirian. Perbedaannya hanya pada tingkat kebebasan dan kemandiriannya (tidak mendasar).
Pasal 1.c UU No. 5 tahun 1974 member pengertian otonomi, yaitu :
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku”
Selanjutnya dalam penjelasan umum UU No. 5 Tahun 1974 terdapat penegasan, bahwa dalam pelaksanaannya lebih menekankan pada aspek kewajiban dari pada haknya. Penjelasan tersebut, menimbulkan kontraversi pendapat dikalangan para pakar hukum.
Sujamto mengemukakan, bahwa otonomi daerah dalam Negara Kesatua RI memang lebih merupakan kewajiban daripada hak. Artinya aspek hak dan kewajiban itu sama – sama ada, akan tetapi aspek kewajibanlah yang lebih menonjol. Pendapatnya tersebut, dilandasi pertimbangan :
1. Daerah otonomi dan Pemerintahan Daerah yang dibentuk berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 itu semuanya merupakan subsistem Negara Kesatuan dan Pemerintah RI. Dengan kata lain, daerah otonomi itu diadakan atau dibentuk dalam rangka memperlancar penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI. Jadi otonomi daerah itu lahir dengan mengemban tugas dan kewajiban tertentu. Untuk melaksanakan itu, ia diberi hak – hak dan wewenang – wewenang tertentu. Dengan kewajiban lahir lebih dulu dari hak. Jadi dengan filsafat otonomi yang demikian itu berarti mendahului lahirnya daerah otonom.
2. Oleh karena aspek hak itu timbul kemudian, maka jika terjadi tuntutan dari masyarakat si suatu Daerah agar Daerahnya diberi otonomi ( dibentuk menjadi suatu daerah otonom), maka tuntutan yang sedemikian itu tidak mempunyai dasar secara konstitusional. Yang menentukan apakah suatu Daerah itu diberi otonomi atau tidak, adalah Presiden ( dengan persetujuan DPR), karena pembentukan, demikian pula penghapusansuatu daerah otonom harus dittapkan dengan undang – undang.
3. Berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat, maka”kedaulatan rakyat” di daerah tidak bersifat hakiki ataupun mutlak, akan tetapi hanya sebagai “ perolehan” dari pemberian sistem kedaulatan rakyat yang lebih atas. Dengan demikian, wajarlah kalau dapat diambil kembali.
Sebelumnya, Moh. Hatta pernah mengutarakan :
“Memang, rakyat didaerah juga mempunyai kekuatan, artinya berhak memutuskan tentang segala hal yang mengenai lingkungan daearahnya sendiri, berhak mengatur rumah tangganya menurut putusan mufakat mereka sendiri. Tetapi bukan kedaulatan yang keluar dari pokoknya sendiri, melainkan kedaulatan yang dating dari kedaulatan rakyat yang lebih atas”.
Kedua pendapat diatas menggambarkan bahwa dalam sistem rumah tangga nyata (riil) dan bertanggung jawab, otonomi daerah bukanlah merupakan sesuatu yang tumbuh dan berkembang secara alami kemudian diakui oleh Pemerintah melalui peraturan Perundang – undangan, melainkan semata – mata hanyalah merupakan pemberian dari pemerintahan Pusat dengan maksud untuk lebih melancarkan penyelenggaraan pemerintahan Negara. Artinya, pembentukan daerah otonom pada hakikatnya dimaksudkan untuk mengemban suatu tugas dan tanggung jawab tertentu dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara, oleh sebab itu perlu diberikan hak – hak dan wewenang – wewenang (otonomi) tertentu.
Sementara itu pendapat berbeda dikemukakan oleh Ateng Sjafrudin, yaitu bahwa rumusan yang menganggap otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban dari pda hak, rasanya tidak sepenuhnya cocok dengan asas keselarasan, keserasian, terutama keseimbangan, dengan alasan :
1. Dalam implementasinya banyak sekali kewajiban yang diberikan kepada Pemerintah Daerah Otonomi oleh Pemerintah Pusat yang tidak seimbang dengan kemampuan aparatur Pemerintah Daerah untuk memikul dan menjalankannya.
2. Dengan adanya penekanan aspek kewajiban yang biasanya dicerminkan melalui aturan pelaksanaan yang kaku dan “jelimet”, maka mengakibatkan ruang gerak aparatur Pemerintah Daerah menjadi sempit, khususnya dalam rangka mengembangkan prakarsa maupun dalam menyesuaikan instruksi dan arahan atasan dengan situasi dan kondisi daerah.
3. Kata kewajibanmengandung makna sanksionistik, yaitu apabila Daerah tidak mau persis menerima dan melaksanakan apa yang diinstruksikan, diarahkan, dan ditetapkan, maka ada kemungkinan daerah akan mendapatkan sanksi – sanksi tertentu, misalnya dana akan ditarik dan dialihkan ke Daerah lain.
Lebih jauh dikemukakan, persepsi bahwa otonomi itu lebih merupakan kawajiban dari pada hak, membuktikan sekali lagi bahw otonomi tidak konsisten dengan asas keseimbangan dan semangat kekeluargaan yang diperintahkan UUD 1945, yang didasari falsafah Pancasila. Otonomi Daerah yang dianggap lebih menekankan kepada aspek kewajiban daripada hak, merupakan bentuk pengingkaran dari pengakuan terhadapsatuan – satuan pemerintah asli yang telah diakui oleh Pasal 18 UUD 1945, khusunya mengenai hak – hak asal – usul daerah – daerah yang bersifat istimewa.
Beranjak dari pandangan Ateng Sjafrudin, maka jelas otonomi daerah menurut sitem rumah tangga (otonomi) nyata ( riil) merupakan bentuk pengakuan terhadap keberadaan pemerintahan asli yang telah ada sebelum suatu Negara terbentuk. Artinya sebelum suatu Negara itu ada dalam arti merdeka dan berdaulat, satuan – satuan pemerintahan asli yang ada tetap diakui dan dibiarkan tumbuh bahkan diberi pengakuan sebagai bagian dari Negara melalui peraturan perundang – undangan.

IV. Kesimpulan
1. Menurut pemahaman Pasal 18 UUD 1945, desentralisasi bukan hanya bermakna efesiensi, tetapi juga sebagai sarana demokrasi penyelenggaraan pemerintahan.
2. Ditinjau dari prinsip – prinsip pemerintahan tingkat lebih rendah yang terkandung dalam Pasal 18 UUD 1945, tidak terdapat indikasi bahwa Pasal 18 UUD 1945 mengatur prinsip Wilayah Administrasi (asas dekonsentrasi) di samping desentralisasi atau otonomi. Meskipun demikian, dalam lingkungan desentralisasi dapat saja fungsi dekonsentrasi dilaksanakan, karena dekonsentrasi merupakan mekanisme untuk menyelenggarakan urusan Pusat di Daerah (bersifat kepegawaian/”ambtelijk”.
3. Baik secaradoktriner maupun kebutuhan praktis, tidak tepat untuk memisahkan antara desentralisasi dengan tugas pembantuan ( otonomi dengan tugas pembantuan), karena tugas pembantuan (medebewind) adalah salah satu aspek dari desentralisasi.
4. Ditinjau dari sudut kebijaksanaan, tugas pembantuan dapat menjadi sarana antara sebelum suatu pemerintahan diserahkan secara penuh kepada Daerah.
5. Dari segi Hukum Tatanegara, otonomi adalah subsistem dari Negara kesatuan. Negara kesatuan, merupakan landas batas dari pengertian dan isi otonomi.
6. Persepsi bahwa otonomi lebih merupakan kewajiban daripada hak, adalah tidak konsisten dengan asas keseimbangan dan semangat kekeluargaan yang diperintahkan UUD 1945, yang didassari falsafah Pancasila.


DAFTAR PUSTAKA

Ateng Sjafrudin, Titik berat Otonomi Daerah Pada Daerah tingkat II dan Perkembangannya, mandar Maju, Bandung, 1991, hlm. 5,6.

Burger,B.A.J., Schets van het Nederlands GEmeentercht, dikutip dari Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Uniska, 1993, hlm. 54.

Hatta,Moh., dalam Sujamto, Cakrawala Otonomi Daerah.loc.cit

Hatta,Moh., Kearah Indonesia Merdeka (1932), dikutip dari Bagir Manan, idem,hlm. 9. Moh.Hatta sendiri menggunakan istilah “ Zelfbestuur”.

Irawan Soejito, Hubungan Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah, Bina Aksaa, Jakarta, 1984, hlm. 20. Bandingkan dengan Amrah Muslimin, Aspek- aspek Hukum Otonomi daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 5.

Ismail husin, Penerapan Asas Tugas Pembantuan Untuk Mendorong desentralisasi Pemerintahan, Pidato Wisuda dalam Rapat Senat Terbuka Institut Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri, Jakarta, 16 Juli 1986. Hlm. 5, 6.

Istilah Tugas Pembantuan, pertama kali dipergunakan dalamUU No. 1 Tahun 1957. Sedang istilah medebewind, diperkenalkan oleh Van Vollenhoven.

Lihat bagir Manan, ibid, hlm. 54.

Otonomi riil (nyata) untuk pertama kali dianut dalam UU No. 1 Tahun 1957.

Sujamto, Cakrawala Otonomi Daerah, hlm. 18 – 21.

Tresna, R., Bertamasya ke Taman Ketatanegaraan dibja, bandung, hlm. 31 ; lihat juga Logemann dan Koessoemaatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Binacipta, Bandung, hlm.14.

Tidak ada komentar: